Categories
EKOSOB

KOMNAS HAM Surati Pemerintah Kota Makassar Tunda Penggusuran, Ingatkan Kewajiban Pemerintah Penuhi dan Lindungi Hak Asasi Manusia

Makassar, 6 Januari 2024. Merespon aduan yang diajukan oleh YLBHI-LBH Makassar terkait rencana penggusuran paksa yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Makassar terhadap dua Keluarga di Beroanging,  Komnas HAM mengirim surat tertanggal 5 Januari 2024, perihal Penundaan Penggusuran dan bersifat Penting, yang ditujukan ke Walikota dan Kepala DLH Kota Makassar dengan meminta dilakukan Mediasi hingga dicapai solusi bersama dalam rangka menjamin pemenuhan dan perlindungan hak bagi warga. 

Sehari sebelumnya pada pada 5 Januari 2024, warga kembali menerima surat Peringatan untuk segera mengosongkan atau membongkar sendiri rumah satu-satunya yang dimiliki karena rumah tersebut diklaim berdiri diatas tanah milik Pemerintah Kota Makassar yang difungsikan sebagai Tempat Pemakaman Umum. Hanya karena warga tidak memiliki kertas bukti kepemilikan atas tanah tersebut, sehingga warga dinilai tidak memiliki hak atas tanah dan tempat tinggal di wilayah tersebut. 

Pemerintah Kota Makassar tidak mempertimbangkan jika warga tersebut diusir dan tergusur dari rumahnya, maka mereka tidak memiliki tempat tinggal dan hal tersebut bertentangan sesuai Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Pemerintah kota Makassar juga telah mengabaikan kewajibannya sebagai lembaga negara dalam rangka perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia sebagaimana ketentuan Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 8 jo. Pasal 71 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pada 27 Desember 2023, Koalisi Anti Penggusuran telah mengajukan surat  ke Walikota Makassar untuk meminta agar dilakukan perundingan ulang. Hasilnya pada 5 Januari 2024 tim kuasa hukum bertemu dengan Bagian Hukum Pemkot Makassar, yang pada intinya menegaskan bahwa mereka tetap akan melakukan penertiban atau penggusuran paksa terhadap warga pasca Pilpres 14 Februari 2024. Hingga saat ini belum terdapat titik temu terkait dengan atau solusi bersama antara warga dan pihak DLH maupun Walikota Makassar. 

Melalui surat, Komnas HAM RI meminta agar Walikota Makassar dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar untuk menunda rencana penggusuran dan tindakan yang dapat menimbulkan konflik fisik, sampai dengan dicapainya solusi atau penyelesaian bersama yang dapat diterima oleh kedua belah pihak; dan mengupayakan penyelesaian bersama atas permasalahan sebagaimana perwujudan dari kewajiban Pemerintah dalam rangka perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia sebagaimana ketentuan Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 8 jo. Pasal 71 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 

Berdasarkan surat Komnas HAM RI yang ditujukan kepada Walikota Makassar dan Kadis LBH Makassar, YLBHI-LBH Makassar bersama Koalisi Rakyat Anti Penggusuran mendesak Pemerintah Kota Makassar dan DLH Kota Makassar untuk mwngikuti permintaan dari Komnas HAM untuk melakukan perundingan kembali yang bertujuan untuk jaminan pemenuhan hak Warga terdampak; serta menghentikan upaya tindakan aktif pelanggaran HAM yang menghilangkan hak atas tempat tinggal yang layak bagi warganya sendiri serta menjamin hak-hak dasar lainnya.

Categories
EKOSOB

Menolak Upaya Penggusuran Paksa, Warga Beroanging Ajukan Permohonan Perundingan ke Walikota

Makassar, 27 Desember 2023.  Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar bersama dengan Koalisi Rakyat Anti Penggusuran mendatangi kantor Wali Kota Makassar untuk mengajukan upaya perundingan. Hal ini dilakukan guna sebagai upaya untuk mempertahankan ruang hidup terhadap 2 Keluarga di Beroanging,  Kelurahan Suangga, Kecamatan Tallo, Kota Makassar yang terancam tergusur oleh proyek pembangunan pagar yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar.

Setelah tiba di kantor walikota Makassar, surat langsung dimasukkan sesuai prosedur di bagian Sekretariat Daerah Bagian Umum, dan diterima dengan baik oleh pegawai dengan nomor agenda 4186 terkait dengan perundingan. Pasca memasukkan surat, koalisi hendak mengambil foto dokumentasi di depan balaikota dengan membentangkan spanduk penolakan penggusuran sepihak oleh pemerintah kota Makassar

Namun, tindakan pembentangan spanduk tersebut mendapatkan respon yang tidak kooperatif dari beberapa petugas Satpol-PP yang berjaga. Dengan nada suara yang tinggi dan intimidatif, mereka mendesak massa koalisi untuk meninggalkan dan melarang kami mengambil dokumentasi di halaman kantor Walikota dan mengarahkan untuk mengambil gambar dari jalan raya.

“Kami tidak mengizinkan kalian membentangkan spanduk demo dan ambil foto di dalam lingkungan kantor walikota. Kalau mau silahkan di luar saja,” ucap salah satu aparat Satpol-PP yang berjaga di kantor walikota Makassar.

Dan tindakan  tersebut mengundang terjadinya proses perdebatan antara (LBH) Makassar dengan massa koalisi dan petugas Satpol-PP yang berjaga. 

“Di mana aturannya? Kami tidak melakukan demonstrasi kami hanya ingin mendokumentasikan perihal penolakan penggusuran terhadap rumah yang ada di sekitaran perkuburan,” ujar salah satu perwakilan dari Koalisi Rakyat Anti Penggusuran.

Setelah Satpol-PP meminta waktu berbicara dengan Pimpinannya, dengan dalih aturan lisan mereka melarang untuk mengambil gambar dari halaman kantor Walikota. Pada akhirnya Koalisi Rakyat Anti Penggusuran diminta untuk mengambil gambar dari luar pagar lingkungan kantor pemerintah kota Makassar. 

Tentunya tindakan aparat Satpol-PP dalam menghalang-halangi upaya koalisi dan warga untuk menyampaikan aspirasinya adalah sebuah tindakan yang mencederai nilai demokrasi dalam konteks negara hukum. Balai Kota sebagai ruang publik mestinya bisa diakses oleh seluruh warga yang hendak memperjuangkan aspirasinya terkait dengan hak untuk hidup dan hak untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak dan bebas dari ancaman penggusuran oleh negara sendiri.

Berdasarkan uraian diatas, YLBHI-LBH Makassar bersama Koalisi Rakyat Anti Penggusuran mendesak Pemerintah Kota Makassar untuk:

  1. Tidak melakukan tindakan penggusuran sepihak atas tanah serta bangunan yang ditempati Warga di sekitar pekuburan Beroanging, Kelurahan Suangga, Kecamatan Tallo, Kota Makassar.
  2. Mendesak Walikota makassar untuk mengagendakan proses perundingan (mediasi) yang melibatkan DLH Kota Makassar dan seluruh aparatur pemerintahan terkait untuk membahas mengenai hak tempat tinggal atas masyarakat.
  3. Mendesak agar Balaikota menjadi ruang publik yang inklusif bagi warga untuk menyampaikan aspirasinya.
Categories
Perempuan dan Anak

Lagi, Polres Luwu Timur Lamban Dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual

Perempuan disabilitas intelektual AF (21) jadi korban kekerasan seksual pada 15 November 2023, yang diduga dilakukan oleh 3 orang tamu hotel Mireya, dibantu oleh salah satu petugas Hotel. Pihak keluarga kemudian melaporkan peristiwa tersebut ke Polres Luwu Timur, sebagaimana Laporan Polisi Nomor : LP/B/87/XI/2023/SPKT/Polres Luwu Timur/Polda Sulawesi Selatan, tanggal 16 November 2023.

Saat ini proses hukum yang dilakukan oleh Polres Lutim masih dalam proses penyelidikan. Namun, terkait perkembangan penyelidikan, pihaknya belum menerima informasi detail dari penyidik. Pelapor terakhir menerima perkembangan hasil penyelidikan pada 16 November 2023, tanggal yang sama dengan laporan dimasukkan.

Bersama dengan pihak keluarga selaku pelapor, Tim Penasehat Hukum LBH Makassar mendatangi Polres Lutim, pada 21 November 2023, meminta informasi perkembangan penyelidikan. Namun, saat tiba Kanit PPA yang menangani perkara tidak berada di tempat. Tidak ada satupun dari Unit PPA yang bisa dimintai keterangan.

N, selaku tante korban mengaku bingung terhadap proses penyelidikan yang terkesan lamban. Dirinya dan pihak keluarga merasa kesulitan dalam mengakses informasi perkembangan laporan.

“Saya merasa penyidik tidak terbuka kepada kami pihak keluarga terkait proses penyelidikan. Sudah lebih sebulan sejak kami melapor, tidak ada satupun informasi kami terima. Kami bahkan tidak tahu, siapa saja yang sudah diperiksa, bukti apa saja yang sudah terkumpul. Kami hanya diminta untuk  sabar dan menunggu”. Jelasnya.

N selaku om korban menambahkan bahwa keluarga korban sudah melakukan visum secara mandiri. Nurdin juga meminta Polres Lutim untuk terbuka dengan proses penyelidikan yang dilakukan. 

“Setelah memasukkan laporan ke Polres Lutim, kami secara mandiri melakukan pemeriksaan visum  di Rumah Sakit Primaya Inco Sorowako dan hasilnya sudah diambil langsung oleh penyidik Unit PPA. Rekaman cctv hotel juga kemungkinan sudah diamankan penyidik, tapi kenapa proses hukumnya seperti jalan di tempat. Pelakunya masih bebas berkeliaran. Sementara setiap hari kami harus menghadapi cerita-cerita pemerkosaan yang dialami keponakan saya. Bagaimana kami bisa tenang”. tambahnya.

Sementara itu, Mirayati Amin selaku penasehat hukum korban mengatakan Timnya telah melakukan upaya desakan percepatan penanganan perkara terkait kasus yang dialami AF. 

“Sejak awal pendampingan, kami sudah mencoba berkoordinasi dengan Kanit PPA Polres Lutim, baik melalui surat maupun menghubungi langsung via telepon. Namun, tidak ditanggapi. Sehingga, kami kemudian bersurat ke beberapa instansi seperti Komnas Disabilitas, Komnas Perempuan, Kompolnas dan Mabes Polri. Tujuannya, agar instansi ini memberikan desakan dan mengawal jalannya proses hukum terhadap pelaku.” 

“Hari ini kami mendatangi Polres Lutim untuk mendapatkan perkembangan informasi penyelidikan. Berdasarkan penjelasan Kasat Reskrim, saat ini pihaknya masih menunggu hasil asesmen psikolog Rumah sakit Bhayangkara, untuk selanjutnya dilakukan gelar perkara” terangnya.

LBH Makassar mengingatkan penyidik Polres Lutim, bahwa tindak pidana pelecehan seksual fisik memiliki ancaman pidana penjara paling lama 12 tahun, ditambah 1/3 mengingat korban adalah seorang disabilitas intelektual, sebagaimana diatur dalam UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Proses hukum ini akan menjadi parameter dalam melihat kinerja dan keberpihakan Kapolres Lutim yang baru, dalam menangani kasus kekerasan seksual.

Categories
EKOSOB

Upaya Penggusuran Paksa Warga Beroanging, Tindakan Aktif Pelanggaran HAM Pemkot Makassar

Makassar, 19 Desember 2023. Proses perundingan antara Pemkot Makassar dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Makassar terkait dengan sengketa lahan pemukiman dan lahan pekuburan dengan 2 Kepala Keluarga di Beroanging tidak menemui titik temu. Dalam perundingan yang dihadiri langsung oleh Warga, DLH bersikeras bahwa kedudukan warga Beroanging yang menempati lahan tersebut tidak memiliki dasar hukum sama sekali. 

Pihak DLH Kota Makassar tidak mengakui dan menghormati fakta bahwa warga telah hidup dan menguasai lahan dengan membangung rumah di wilayah tersebut sejak tahun 1981 dan terus menguasai dan memanfaatkan lahan di wilayah tersebut hingga saat ini.

Sejak diberikan surat himbauan pertama dari Dinas Lingkungan Hidup pada tanggal 1 November 2023, warga telah mendapatkan 2 kali surat peringatan dari Kelurahan Suangga untuk segera mengosongkan rumah tersebut untuk digusur. Setidaknya  terdapat  8 orang warga yang akan kehilangan tempat tinggal, 2 orang perempuan dewasa dan 5 orang pria dewasa dan 1 orang anak.  

Pilihan untuk tinggal di lahan yang diklaim pemerintah kota sebagai lahan pekuburan, tidak terlepas dari pengabaian pemenuhan hak atas tanah, hak atas pemukiman yang layak, hak atas pendidikan, Hak atas pekerjaan yang layak bagi warga yang telah hidup di wilayah tersebut selama lebih dari 20 tahun. 

Tempat tinggal yang layak merupakan hak dasar seorang warga yang pemenuhannya menjadi kewajiban dan tanggung jawab negara. Alih-alih hadir meningkatkan kualitas hidup warganya, kehadiran Pemkot Makassar justru hadir dengan mengancam akan melakukan penggusuran terhadap rumah warganya. Ini merupakan tindakan aktif pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pemkot Makassar.

Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) Pasal 27 ditegaskan bahwa: 

“Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia”.

Lebih lanjut dalam Pasal 40 UU HAM ditegaskan bahwa:

“Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”. 

Merujuk pada Standar Norma dan Pengaturan Komnas HAM No 11 Tentang Hak Atas Tempat Tinggal yang Layak, poin ke 92, ditegaskan bahwa kewajiban negara untuk menghormati, dengan tidak melakukan praktek Penggusuran paksa tanpa konsultasi yang nyata (genuine consultation), kompensasi, dan pemukiman kembali (resettlement) yang layak merupakan pelanggaran atas kewajiban negara untuk menghormati. 

Selanjutnya pada poin 95 dan 96 SNP Komnas HAM ini menegaskan bahwa tidak hanya menghormati, kehadiran negara juga wajib untuk melindungi HAM, dan menjamin pihak ketiga tidak boleh melanggar hak atas tempat tinggal layak. Dalam kasus warga Beroanging kehadiran Negara justru bertindak sebaliknya, bertindak aktif untuk menggusur secara paksa rumah warganya, membuat warganya akan kehilangan tempat  tinggal yang layak.

“Solusi yang diberikan oleh pihak Dinas Lingkungan Hidup (DLH) kota Makassar terkait hak atas tempat tinggal warga yang terdampak, sangat jauh dari layanan hak dasar yaitu mendapatkan tempat tinggal sesuai standar hidup yang layak sebagaimana mandat dari Pasal 27 UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Akibat penolakan warga dengan solusi tempat tinggal yang tidak layak diberikan, juga telah menggugurkan hak-hak dasar lainnya seperti Hak atas pendidikan bagi anak-anaknya, hak atas kesehatan dan pekerjaan jika mereka tergusur. Artinya DLH sebagai lembaga negara telah melanggar hak asasi dan abai terhadap warganya.” Tegas Melisa LBH Makassar.

Bahwa tindakan penggusuran paksa yang akan menghilangkan hak atas tempat tinggal layak bagi warga, akan berdampak pada hilangnya hak dasar yang lain seperti hak atas pendidikan, pekerjaan yang layak, hak atas kesehatan bagi warga, termasuk hak-hak anak, dan hak-hak dasar bagi perempuan. 

Tindakan ini akan mencederai pemajuan capaian pembangunan berkelanjutan Indonesia yang dinilai paling progresif. Penghapusan Kemiskinan merupakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang disepakati oleh masyarakat Internasional pada tahun 2015. Indonesia turut sepakat dengan kebijakan ini dan telah diejawantahkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 111 tahun 2022 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Digusurnya rumah satu-satunya milik warga tanpa alternatif lain tentunya merupakan tindakan yang bertentangan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan, dan akan memperburuk keadaan warga yang kehilangan rumah tersebut.  

Atas situasi tersebut Warga Beroanging bersama YLBHI-LBH Makassar menuntut kepada Pemerintah Kota Makassar Menjalankan aturan hukum untuk, menghormati Hak Atas Tempat tinggal yang layak bagi warga Beroanging, melindungi Hak Atas tempat tinggal yang layak bagi warga dan Menghentikan upaya penggusuran paksa terhadap rumah satu-satunya milik warga.  

Categories
EKOSOB

Cegah Terjadinya Kerusakan Lingkungan, Pertemuan Warga Lintas Desa Tegas Menolak Tambang Sungai Saddang

Pinrang, 03 Desember 2023. Warga yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Lawan Tambang Sungai Saddang berkumpul di Dusun Babana Desa Bababinanga melakukan pertemuan sebagai bentuk perlawanan terhadap tambang yang berada di daerah aliran Sungai Saddang (3/12).

Warga yang hadir berjumlah kurang lebih 200 orang dan mengumpulkan tanda-tangan sebagai bentuk penolakan terhadap tambang pasir yang selama ini menjadi keresahan bersama akibat dampak yang ditimbulkan sepanjang sejarah penolakan tersebut. Warga yang terdiri dari beberapa desa di Kecamatan Cempa dan Duampanua yakni Salipolo, Cilallang, Jawi-Jawi, Wakka, Paria, Babana dan Botae.

Konflik agraria dan perjuangan warga dari  dua kecamatan dalam melawan tambang bukan hal yang baru. Tahun 2019, Warga Desa Salipolo dan Bababinanga bersama koalisi melakukan berbagai aksi perlawanan bahkan sampai di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Provinsi. Perlawanan warga tahun 2019 berhasil menggagalkan tambang PT. Alam Sumber Rezeki. Hingga tahun 2023 para pengusaha tambang kembali meresahkan warga desa dua kecamatan ini khususnya Bababinanga dan Salipolo. 

Bahkan di awal penolakan bulan Februari dan Maret sebanyak 21 warga Bababinanga dilaporkan atas dugaan pelanggaran pidana pemalsuan surat yang berisi tanda tangan warga menolak tambang. Lima bulan pasca ancaman kriminalisasi, aktivitas para pemburu rente pasir kembali mengoyak ketenangan warga hingga menyulut gerakan perlawanan yang semakin massif dan meluas. Dari data yang dimiliki KPA Sulsel ada 13 perusahaan yang telah memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 305,7 Ha dan Alokasi Ruang Tambang (ART) di RTRW Provinsi No. 03 Tahun 2022 seluas 182.2 Ha dengan total keseluruhan 488 Ha.

Untuk diketahui, zona tambang yang dialokasikan tersebut adalah Kawasan Perlindungan Setempat dan Kawasan Perikanan Tangkap Tradisional dan dalam Peta Inarisk Badan Nasional Penanggulangan Bencana – BNPB, Sungai Saddang dan sekitarnya ditetapkan zona high value atau wilayah rawan banjir tingkat tinggi serta bahaya likuifaksi sedang hingga tinggi. Selain itu dalam Peta Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung – BPDASHL, DAS Saddang masuk dalam klasifikasi Dipulihkan. Perlindungan dan Pemulihan DAS Saddang bahkan masuk sejak di RPJMN 2014-2019 sebagai bagian 15 DAS Prioritas dari 108 DAS kritis di Indonesia.

Penetapan wilayah konsesi tambang tersebut jelas mengindikasikan bahwa pihak-pihak yang terlibat memasukkan Sungai Saddang dalam Perda RTRW sengaja menempatkan warga dalam situasi yang berbahaya dan penuh ancaman. 

“Tambang adalah salah satu penyebab konflik agraria terbesar di Sulawesi Selatan selain Perkebunan, Reklamasi, Klaim Hutan Negara, Infrastruktur dan tentu saja Proyek Strategis Nasional – PSN. Ketimpangan agraria serta kerusakan ekologis akibat pertambangan telah menempatkan situasi warga negara yang mayoritas petani juga nelayan menjadi rentan, kehilangan lahan garapan, kampung dan tentu saja ancaman bencana tak berkesudahan. Konsesi tambang Sulawesi Selatan seluas 191.846,69 Ha adalah salah satu potret bagaimana ketimpangan sumber sumber agraria dikelola dan diberikan kepada pengusaha. UUD 1945, UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, TAP MPR IX/2001 menekankan Reforma Agraria Sejati sebagai amanat dan mandat Konstitusi yang harus dijalankan Negara tapi hingga hari ini justru diabaikan. Bahkan kebijakan yang dihasilkan seperti Undang-Undang Cipta Kerja semakin menempatkan Rakyat serta lingkungan dalam kondisi kritis dan memprihatinkan,” ujar Rizki Anggriana Arimbi Koordinator KPA Wilayah Sulsel.

Dalam pertemuan ini, warga mendapatkan informasi terkait konsesi, perusahaan yang akan beroperasi dan aturan yang digunakan tanpa mempertimbangkan dampak yang dialami oleh warga, serta tidak melibatkan warga dalam pengambilan keputusan. Melisa dari LBH Makassar menekankan, lakukan segala upaya yang kita bisa, selama tidak melanggar hukum

“Dalam pasal 66 UU PPLH No. 32 Tahun 2009 disebutkan bahwa setiap orang yang memperjuangkan lingkungan hidup sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Aksi penolakan warga terhadap tambang pasir, tidak boleh dikriminalisasi dan sudah jelas hak-hak warga telah dilindungi dalam Undang-undang. Jika kedepannya terjadi lagi kriminalisasi terhadap warga, mari kita hadapi bersama-sama. Jangan takut!” Tegas Melisa Koordinator Bidang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya LBH Makassar.

Rencana tambang pasir bila tetap dipaksakan berjalan hanya akan memicu pelanggaran HAM dan konflik agraria berkepanjangan. DAS Saddang adalah sumber kehidupan bagi ribuan warga di kabupaten Toraja, Enrekang juga Pinrang serta habitat perairan tawar lainnya. DAS Saddang berada dalam kondisi kritis yang harus direhabilitasi bukan dieksploitasi. Tambang Pasir akan mengulang bencana masa lalu dan menjadi bom waktu masa akan datang.

Koalisi Rakyat Lawan Tambang Sungai Saddang
(Warga Bababinanga – Salipolo, Konsorsium Pembaruan Agraria – KPA Wilayah Sulsel & YLBHI – LBH Makassar)

Narahubung:

+62 812-4252-9770 Melisa Ervina Anwar – Koordinator Bidang Hak Ekosob LBH Makassar

Categories
EKOSOB

Mendapatkan Perlawanan dari Warga, DLH Kota Makassar Tunda Rencana Penggusuran Rumah Sekitar Pemakaman Beroangin

Jum’at, 01 Desember 2023. Warga sekitar Pemakaman Beroangin didampingi penasehat hukumnya – LBH Makassar mendesak Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Makassar, agar tidak memaksakan upaya penggusuran terhadap rumah mereka.

Hal tersebut disampaikan saat digelar pertemuan dengan UPT Pemakaman DLH Kota Makassar di Posko Pemakaman Beroangin pada 1 November 2023. Dalam pertemuan tersebut turut hadir Tim Ahli DLH Kota Makassar, Ketua RT setempat, Babinsa dan Camat Kecamatan Tallo yang diwakili oleh Penasehat Hukumnya, serta beberapa warga setempat.

Sehari sebelumnya – kamis 30 November 2023 Sekretaris Lurah Suangga saat ditemui di Kantor Kelurahan menyampaikan informasi kepada penasehat hukum warga, jika penggusuran akan dilaksanakan pada sabtu, 02 Desember 2023

Rencana eksekusi akan dilaksanakan Sabtu, 02 Desember 2023 oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Makassar dan telah berkoordinasi dengan Polrestabes Makassar dan Koramil. Ada atau tidak LBH nya tetap akan dieksekusi” kata Aris selaku Sekretaris Lurah Suangga.

“Silahkan bertemu langsung dengan Kadis DLH Kota Makassar, kami hanya diperintahkan oleh pak Kadis”. tambahnya.

Jika penggusuran tersebut dipaksakan tanpa melalui jalur hukum, maka dapat dipastikan tindakan penggusuran tersebut merupakan pelanggaran hak warga negara atas properti miliknya termasuk hak atas tempat tinggal, yang mana hak tersebut merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang dijamin dan dilindungi oleh Konstitusi serta aturan turunan lainnya seperti Undang-undang No. 11 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekosob. Tidak hanya pelanggaran Hak Asasi Manusia, tetapi tindakan penggusuran  menunjukan pula watak arogan negara terhadap warga negaranya. 

“Perlu diketahui bahwa Ibu Wati telah berpuluh – puluh tahun menempati rumahnya. Pihak DLH tidak bisa seenaknya melakukan penggusuran, sebab jika itu dilakukan maka dapat dipastikan DLH telah melakukan pelanggaran hak atas properti dan hak atas tempat tinggal, yang mana tersebut merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia tersebut merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang dijamin dan dilindungi oleh Konstitusi serta melanggar Pasal 11 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR). Tidak hanya itu, tindakan penggusuran menunjukan watak yang arogan dari Negara terhadap warga negaranya”. tegas Melisa Ervina, Koordinator Bidang Hak Ekosob LBH Makassar selaku penasehat hukum warga.

LBH Makassar selaku Penasehat Hukum Warga yang diwakili oleh Melisa Ervina dalam pertemuan menyampaikan posisi hukum dari Ibu Wati yang harus dilindungi bukan malah di gusur. Selain itu, Melisa mempertegas informasi terkait akan dilakukannya penggusuran terhadap rumah warga dan mendesak agar tidak dilakukan penggusuran sepihak sebagaimana informasi sebelumnya.

Namun, Rahman selaku KTU UPT Pemakaman DLH Kota Makassar menampik informasi yang disampaikan Sekretaris Lurah Suangga. Ia berdalih bahwa informasi tersebut hanya isu. Dalam pertemuan yang berlangsung selama kurang lebih 30 menit ini, para pihak bersepakat akan melakukan pertemuan lebih lanjut untuk melakukan mediasi dengan mengundang semua pihak – pihak terkait termasuk DLH Kota Makassar. Selain itu, Rahman mengatakan akan menyampaikan aspirasi dari warga ke pimpinannya, dan memastikan tidak akan ada penggusuran pada sabtu, 02 Desember 2023.

Tindakan penggusuran dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan, karena jelas dan nyata tindakan tersebut merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Olehnya itu LBH Makassar mendesak DLH Kota Makassar tidak melaksanakan penggusuran atas warga karena berpotensi besar terjadinya Pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Categories
EKOSOB

Langgar Asas Pemerintahan, BPN Makassar Enggan Beri Informasi Warkah Kepada Warga Bara-Baraya

Senin, 20 November 2023. Warga Bara-Baraya yang tergabung dalam “Aliansi Bara-Baraya Bersatu” mendatangi Kantor BPN Kota Makassar. Mereka menuntut agar BPN membuka informasi warkah tanah atas Sertipikat Hak Milik Nomor 4 Tahun 1965, dimana telah terbit Sertipikat Pengganti dengan Nomor 4 Tahun 2016 atas nama Moedhinoeng Daeng Matika. 

Tuntutan serupa juga telah dilakukan warga pada tahun 2017, saat salah seorang yang mendaku ahli waris secara mengagetkan menggugat warga Bara-Baraya menggunakan sertipikat pengganti yang terbit tahun 2016. Sementara warga telah bermukim puluhan tahun dengan membeli tanah dari ahli waris lainnya berdasarkan Sertipikat Hak Milik Nomor 4 Tahun 1965.

Namun BPN Makassar menutupi informasi yang dibutuhkan warga Bara-Baraya selaku pihak yang hendak menguji kebenaran dari terbitnya Sertipikat pengganti Nomor 4 Tahun 2016. Warga Bara-Baraya sebagai pihak Pembeli dalam jual-beli dengan Daniah Dg. Ngai (ahli waris Moedhinoeng Daeng Matika) sebagai Penjual. Oleh karena itu warga Bara-Baraya merupakan pihak yang berkepentingan sehingga berhak mengetahui dan memperoleh informasi publik.

Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 34 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menegaskan bahwa:

“Setiap orang yang berkepentingan berhak mengetahui data fisik dan yuridis yang tersimpan dalam peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, dan buku tanah.”

Lalu ada dalam penjelasan Pasal 34 ayat (1) PP Nomor 24 1997 tentang Pendaftaran Tanah, menegaskan juga bahwa:

“Sebelum melakukan perbuatan hukum mengenai bidang tanah tertentu para pihak yang berkepentingan perlu mengetahui data mengenai bidang tanah tersebut. Sehubungan dengan sifat terbuka data fisik dan data yuridis yang tersimpan dalam peta pendaftaran, daftar tanah, buku tanah dan surat ukur, siapapun yang berkepentingan berhak untuk mengetahui keterangan yang diperlukan. Tidak digunakannya hak tersebut menjadi tanggung jawab yang bersangkutan.”

Tuntutan Aliansi Bara-Baraya Bersatu tidak diindahkan, pihak BPN malah memberikan pernyataan yang sangat mencederai hak warga Bara-Baraya dan enggan untuk memberikan informasi terkait. Yakni BPN menjelaskan terkait prosedur permohonan pembukaan Warkah hanya bisa dilakukan di depan Pengadilan atau dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian.

Sementara BPN lupa pada saat menerbitkan SHM pengganti Nomor 4 tahun 2016 tersebut, seharusnya melakukan pengecekan ulang di lapangan mengenai kebenaran data fisik dan yuridis mengenai sebidang tanah yang akan diterbitkan sertipikatnya.

Mengingat sertipikat yang sangat disakralkan sebagai alat bukti yang kuat dalam UUPA, seharusnya penerbitan sertipikat harus diperketat. Tetapi dalam hal ini BPN memperlihatkan bagaimana lembaga ini bekerja sebagai lembaga negara yang tidak berpihak ke kepentingan warga negara.

Sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2020 tentang Badan Pertanahan Nasional, BPN mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan. Sebut saja, serangkaian tugas yang harus dilakukan oleh BPN terhadap seluruh warga negara salah satunya adalah Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak tanah, pendaftaran tanah, dan pemberdayaan masyarakat. 

Penting untuk digaris bawahi, Kantor Pertanahan Kota Makassar sebagai lembaga publik, harus membuka dokumen buku tanah serta warkah Sertipikat No. 4 Tahun 1965 yang diterbitkan penggantinya pada tahun 2016, sebagai perwujudan prinsip pengelolaan pemerintahan yang baik yakni prinsip transparansi dan akuntabilitas serta penghormatan atas hak atas informasi sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).

Ansar selaku Kuasa Hukum Warga Bara-Baraya menjelaskan kalau sikap BPN telah melanggar asas pemerintahan yang baik yang baik, dimana seharusnya tidak ada alasan yang dibenarkan menurut hukum bagi Pejabat Pengelola Informasi Publik (PPID) Kantor Pertanahan Kota Makassar untuk tidak memberikan informasi publik yang diminta. Hal ini dapat menjadi dugaan jika BPN Kota Makassar telah menyalahi asas keterbukaan dan asas ketidakberpihakan, sebagaimana asas umum pemerintahan yang baik.

“Tidak dibukanya warkah tanah oleh BPN sesuai permintaan warga membuktikan bahwa BPN tidak transparan dan akuntabel, dengan kata lain, BPN tidak menerapkan asas – asas pemerintahan yang baik, yaitu transparansi dan akuntabel. Selain itu, BPN telah mencederai Hak atas Informasi yang mana Hak atas informasi adalah bagian dari Hak Asasi Manusia,” jelas Ansar.

BPN menjanjikan akan memberikan informasi Warkah yang diminta pada saat proses mediasi dilakukan oleh perwakilan warga, kuasa hukum warga, dan beberapa media di dalam Kantor BPN. Namun BPN pada saat proses mediasi malah melakukan aktivitas sosialisasi dan mengatakan kalau Warkah bukanlah bagian dari informasi publik.

Yuli selaku warga Bara-Baraya mengatakan sangat kecewa dengan sikap BPN yang tidak berpihak ke warga.

“Kecewa, karena katanya mau dibukakan pada saat disuruh masuk mediasi di dalam. Tetapi ternyata tidak dibukakan Warkahnya,” ujar Yuli.

Di sisi lain, Informasi Publik yang diminta oleh warga Bara-Baraya bukanlah informasi yang dapat dikecualikan karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (4) dan 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Selain sebagai pihak yang berkepentingan, warga Bara-Baraya juga memiliki kedudukan hukum untuk meminta dan menerima Informasi Publik sebagaimana yang dimintakan tersebut.

Dimana warga Bara-Baraya merupakan warga negara Indonesia yang ditunjukan dengan adanya KTP. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) menyebutkan:

“Pemohon Informasi Publik adalah Warga Negara dan atau Badan Hukum Indonesia yang mengajukan permintaan Informasi Publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”

Sementara itu, sekalipun Warkah masuk dalam kategori informasi publik yang dikecualikan, ada Pasal 10 UU KIP juga yang mengatur soal Informasi yang Wajib Diumumkan secara Serta-merta yang bunyinya:

“Badan Publik wajib mengumumkan secara serta-merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum.”

Sejak 2016 hingga hari ini lebih dari 300 jiwa warga Bara-Baraya berjuang atas tanah yang menjadi hak hidup mereka dari mafia tanah dan BPN sebagai representasi negara telah gagal melindungi warga negaranya.

Aksi massa berakhir sekitar pada pukul 17.00 WITA. Pulang dalam genggaman kosong, BPN tidak memberikan sedikitpun informasi sesuai dengan tuntutan warga. Kasus ini terus bergulir dan warga terus berjuang untuk mempertahankan ruang hidup dan kampung mereka, dan hingga saat ini tidak henti warga masih terus bertarung di meja pengadilan.

Categories
EKOSOB

Upaya Mediasi Tidak Relevan, Polrestabes Makassar Gagal Melihat Motif Kriminalisasi Terhadap Pekerja Perempuan

Makassar, 13 November 2023. Rentang perjalanan kasus Suriati dalam menuntut hak sebagai Pekerja di Klinik Pediatrica Husada, berujung kriminalisasi dan telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana pengaduan atau pemberitaan palsu oleh Polrestabes Makassar. Penyidik dalam hal ini AKP Hamka S.H., selaku Kepala Unit III (Kanit III) Polrestabes Makassar yang menangani perkara laporan polisi yang dibuat oleh Dr. dr. Bob Wahyudin., Sp AK., CIMI, menyarankan agar Pelapor dan Suriati melakukan mediasi.

Saran agar dilakukan mediasi disampaikan langsung oleh AKP Hamka, S.H pada saat Tim Hukum yang mendampingi Suriati menyerahkan surat tembusan Permintaan Salinan Turunan Berita Acara Pemeriksaan lengkap terhadap Laporan Polisi Nomor: LP/2230/XII/2022 Polda Sulsel/Restabes Mks, tertanggal 15 Desember 2022.

“Saya akan tetap mengikuti proses hukum yang sudah berjalan, dengan didampingi oleh kuasa hukum saya,” tegas Suriati

Menanggapi upaya yang dilakukan Penyidik, Muhammad Ansar selaku Tim Kuasa Hukum LBH Makassar menilai langkat tersebut tidak relevan, hal ini ditekankan pada saat mendatangi Polrestabes pada Jumat (9/11/202).

“Saran agar Suriati dan Pelapor bermediasi, kami menilainya bukan bertujuan untuk kepentingan keadilan melainkan untuk menghentikan upaya Suriati memperjuangkan hak – haknya sebagai buruh untuk memperoleh keadilan, artinya saran bermediasi itu tidak relevan,” tegas Muhammad Ansar 

Lantaran kriminalisasi ini harus dilihat sebagai peristiwa hukum yang berkaitan erat dengan upaya yang sedang diperjuangkan oleh Suriati selaku pekerja. Ia sedang menuntut haknya setelah di PHK dalam kondisi sedang melahirkan. Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh tim hukum bahwa upaya mediasi ini sebagai jalan tengah yang diambil untuk melemahkan sikap Suriati dalam menuntut hak.

“Kami menduga, dalam bermediasi, Pelapor akan menawarkan mencabut laporannya dengan catatan Suriati tidak lagi atau berhenti menuntut hak – haknya sebagai buruh yang diduga telah dilanggar oleh Pelapor. Sejak awal, kami menduga bahwa pelaporan Suriati ke Polrestabes Makassar oleh Pelapor merupakan upaya menggunakan hukum dengan niat jahat, karena itu kami mengingatkan agar dalam prosesnya nanti Kejaksaan dan Pengadilan lebih berhati – hati mempelajari dan memeriksa perkara ini secara imparsial, sehingga tidak terjerumus dalam kubangan upaya penggunaan hukum dengan itikad buruk tersebut,” tegas Muhammad Ansar.

Dilaporkannya Suriati ke Polrestabes Makassar oleh Dr. dr. Bob Wahyudin., SpAK., CIMI selaku pemilik Klinik Pediatrica Husada adalah buntut dari Surat Pengaduan yang dibuat dan diajukan oleh Suriati ke Disnaker Kota Makassar pada 20 November 2022. Tertera dalam surat dengan perihal terkait Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), Suriati pada pokoknya meminta agar Disnaker Kota Makassar dapat menguraikan hak – hak yang seharusnya diperoleh akibat adanya PHK.

Demi kepentingan pembelaan, Suriati melalui Tim Hukum dari LBH Makassar meminta agar pejabat terkait dalam hal ini Polrestabes Makassar agar memberikan salinan turunan berkas acara pemeriksaan lengkap.

Salinan berkas perkara merupakan hak yang wajib dipenuhi oleh pejabat terkait atas permintaan langsung Tersangka maupun melalui penasihat hukumnya untuk kepentingan pembelaannya. 

“Selain diatur melalui Pasal 72 KUHAP, hak Tersangka memperoleh berita acara pemeriksaan sebagai jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, diatur pula melalui Pasal 18 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Artinya, tidak dipenuhinya permintaan atas berita acara pemeriksaan lengkap, tidak hanya pelanggaran terhadap Pasal 72 KUHAP, tetapi juga Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang telah dijamin oleh UUD 1945, dan UU No. 39 Tentang Hak Asasi  Manusia (HAM) serta UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik,” pungkas Nurwahidah salah seorang Tim Hukum LBH Makassar.

Patut untuk ditegaskan, tindakan yang dilakukan oleh Penyidik jelas abai melihat  permasalahan pokok dan gagal melihat adanya motif kriminalisasi terhadap pekerja perempuan yang sedang memperjuangkan haknya sebagai pekerja. Tawaran mediasi ini tentu semakin melanggengkan itikad buruk pihak Klinik Pediatrica Husada dengan menggunakan hukum sebagai tameng dalam memberangus hak pekerja.

Categories
EKOSOB

Warga Pulau Lae-Lae Konsisten Tolak Reklamasi, Hadang Ambisi Pemprov Sulsel yang Rancang Aturan Baru

Makassar, 8 November 2023. Perjuangan warga Pulau Lae-Lae untuk mempertahankan ruang hidupnya dari rencana reklamasi  terus berlanjut. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) kembali mendorong rencana reklamasi, dengan melaksanakan Konsultasi Publik; “Penyusunan Kajian Penetapan Kebijakan Pulau Lae-Lae Kota Makassar” pada Dinas Sumber Daya Air, Cipta Karya dan Tata Ruang, yang dilaksanakan di Fave Hotel Makassar (7/11/2023).

Dalam pertemuan tersebut, diundang 13 Dinas atau Lembaga dalam lingkup Pemprov Sulsel, dan 10 Dinas atau lembaga di Pemerintah Kota Makassar, serta 8 orang perwakilan dari Warga dan PT.Yasmin Bumi Putra selaku Perusahaan yang akan mengejakan proyek reklamasi di sisi barat Pulau Lae-Lae.

Surat undangan konsultasi publik ini, diterima warga secara tiba-tiba – sehari sebelum kegiatan, yakni pada Senin 6 November 2023. dan hanya mengundang beberapa perwakilan warga. Akhirnya warga memutuskan untuk tidak ikut dalam kegiatan tersebut. Warga lalu mempercayakan kepada Lurah Lae-Lae yang menghadiri kegiatan tersebut, dengan catatan jika terdapat pembahasan terkait reklamasi, maka warga dengan tegas menolak reklamasi tanpa negosiasi.

Selain itu, untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang mengatasnamakan warga Lae-Lae dan menerima reklamasi tersebut, maka salah seorang warga bersama perwkilan KAWAL PESISIR diminta untuk hadir mengetahui agenda kegiatan tersebut, dan jika terdapat pembahasan terkait reklamasi maka, utusan warga tersebut dapat menegaskan sikap warga menolak reklamasi.

Pada faktanya konsultasi publik tersebut memang membahas rencana reklamasi. Dalam pertemuan, Pemprov menghadirkan konsultan dari PT. Angkasa Global Consultant yang mensosialisasikan terkait perangkat pengendalian Kawasan wisata Pantai dan air Pulau Lae-Lae. Konsultan yang hadir menjelaskan secara detail rencana-rencana pembangunan dalam wilayah reklamasi dan penataan wilayah eksisting atau Pemukiman warga.

Konsultan PT. Angkasa Global Consultant menawarkan untuk mengatur ulang pemukiman untuk membantu tercapai tujuan dari Pembangunan seperti pelebaran jalan, penataan rumah  warga dengan mengecat rumah warna warni. Rumah warga juga akan dikerjasamakan dengan Hotel-Hotel yang ada di sekitar Pantai Losari untuk mendorong tiap rumah punya kamar yang  bisa disewakan sebagai tempat tinggal.

Sementara itu, perwakilan dari Pemprov Sulsel juga membahas soal status kepemilikan terhadap tanah. Mereka menilai bahwa dengan menawarkan sertifikat tanah kepada warga maka itu akan meluluhkan hati warga untuk menerima proyek reklamasi. Namun ada syarat yaitu pemukiman harus ditata ulang dan dirapikan (bisa jadi dirubuhkan dulu kemudian di bangun Kembali). Dalam forum ini Lurah Pulau Lae-Lae menyampaikan sikap bahwa dia mendukung agenda dan rencana Pemprov. Sejalan dengan itu PT. Yasmin yang juga hadir dalam forum menyatakan siap untuk menjalankan agenda reklamasi.

Warga Pulau Lae-Lae langsung menggelar “Rapat Akbar” pada malam harinya, untuk merespon konsultasi publik yang diadakan oleh Pemprov. Dalam rapat ini, meraka secara tegas menegaskan kembali sikap warga Pulau Lae-Lae menolak proyek reklamasi tanpa negosiasi. Terkait dengan tawaran sertifikat tanah, hal tersebut menurut warga adalah iming-iming semata dari Pemprov agar warga menerima reklamasi. Jika sertifikat tanah tersebut menjadi syarat untuk menerima reklamasi, maka dengan tegas tetap akan ditolak oleh warga.

Selain hal diatas, dalam “Rapat Akbar” warga juga menilai bahwa tindakan Pemprov yang melaksanakan “Konsultasi Publik” yang membahas reklamasi Pulau Lae-Lae merupakan wujud nyata tindakan Pemprov yang hendak memaksakan reklamasi, meskipun telah mendapat penolakan dari warga dan menuai protes dari berbagai kalangan.

“Intinya ini persatuannya warga – Sudah tiga tahun reklamasi direncanakan tapi sampai sekarang belum dibangun karena persatuan warga untuk menolak” seru Dg. Rahman – Warga Pulau Lae-Lae

Categories
EKOSOB

Serikat Tani Latemmamala Soppeng Ajukan Keberatan karena Pemancangan Batas Kawasan Hutan Tanpa Partisipasi Warga

Soppeng, 31 Oktober 2023. Warga yang tergabung dalam Serikat Tani Latemmamala mendatangi Kantor Kelurahan Botto dan Bila, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng dalam rangka mengajukan keberatan terkait dengan pemancangan batas sementara yang dilakukan oleh Petugas Pelaksana Pemancangan Batas Sementara terkait tindak-lanjut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulsel pada 30 Oktober 2023.

Serikat Tani dalam hal ini, Warga Abbanuange dan Ale Sewo, keberatan atas tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Petugas Pelaksana Pemancangan Batas Sementara di kebun mereka. Dimana dalam pengumuman yang ditempel di Kantor Lurah Botto dan Bila, tercatat pada saat pelaksanaan Pemancangan Batas Sementara Kawasan Hutan, warga diberikan hak untuk memeriksa tata batas tersebut dengan didampingi atau secara bersama-sama dengan petugas pelaksana pemancangan batas kawasan hutan,  untuk memastikan bahwa tidak ada kebun mereka yang dimasukkan dalam kawasan hutan. 

Namun, sejak 5 Oktober 2023 hingga warga mendatangi kantor kelurahan, petugas pelaksana tidak pernah memberikan informasi apalagi memanggil warga dalam proses pemasangan patok sementara. Saat ditemui oleh warga, Kepala Kelurahan Bila dan Kelurahan Botto kompak mengatakan belum ada kegiatan sosialisasi untuk memberikan kesempatan kepada warga jika terdapat indikasi kebun mereka masuk dalam kawasan hutan. 

Sudirman perwakilan dari Serikat Tani Latemmamala, menegaskan bahwa belum ada informasi sama sekali pasca pertemuan tanggal 5 Oktober. 

“Tidak ada pemberitahuan sampai sekarang, warga merasa ragu untuk berkebun, karena sebelumnya sudah ada petani yang dikriminalisasi. Kami meminta penyelesaian masalah ini, agar kebun kami yang lebih dahulu ada sebelum penetapan kawasan hutan, dapat dikeluarkan,” ujar Sudirman.

Sementara itu, Hasbi selaku Pendamping Hukum warga dari YLBHI-LBH Makassar mengatakan hal tersebut merupakan cerminan dari pemerintah yang tidak berpihak ke masyarakat. Jelas di dalam aturan bahwa berdasarkan pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011, pada poin 3.12.2 menegaskan bahwa, penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. 

“Tindakan petugas yang melaksanakan pemancangan batas sementara tanpa melibatkan warga jelas merupakan tindakan melawan hukum yang menunjukkan pengabaian hak warga yang telah berkebun secara turun temurun. Sesuai aturan, Pemerintah harus melaksanakan tata batas secara partisipatif agar tidak membuka ruang kriminalisasi terhadap petani,” tutur Hasbi Asiddiq.

Dalam pasal 53 ayat (4) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan serta Penggunaan Kawasan Hutan (PERMENLH Perencanaan Kehutanan). Ditegaskan bahwa salah satu kegiatan dalam pemancangan batas sementara adalah (e) Inventarisasi, Identifikasi dan Penyelesaian Hak Pihak Ketiga.

Kilas balik, tercatat dalam pantauan YLBHI – LBH Makassar sudah ada 6 orang petani yang menjadi korban kriminalisasi. Hal ini diakibatkan oleh proses penetapan kawasan hutan yang acap kali abai terhadap partisipasi Petani, yang mematok kebun petani secara sepihak. Atas dasar inilah Serikat Tani Latemmamala terus mendesak agar lahan milik warga segera dikeluarkan dari kawasan hutan.