Categories
EKOSOB SIPOL slide

Tolak Penggusuran Berdalih Revitalisasi Cagar Budaya Benteng Rotterdam

Press Release ALARM Tolak PENGGUSURAN

“Berpartisipasi dalam kehidupan budaya adalah HAM yang dilindungi oleh negara”
Tolak Penggusuran Berdalih Revitalisasi Cagar Budaya Benteng Rotterdam, Makassar!!!

Aliamin (51 tahun) menerima surat dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan (untuk selanjutnya disebut sebagai balai) pada tanggal 12 Februari 2019, Surat bernomor 0303/E22.1/TU/2019 tersebut berisi tentang permintaan pihak balai agar Aliamin dan keluarga segera mengosongkan lahan yang ia tempati paling lambat 14 hari setelah surat diterima.

Lahan ini sudah ditempati Aliamin selama kurang lebih 24 tahun. Di sini dia bersama keluarga menggantungkan hidup, sambil merawat taman seluas 60 x 29 m dengan hasil keringat sendiri dan tanpa uang dari negara. Aliamin saat ini telah memiliki 5 (lima) orang anak. Kelima anaknya lahir dan besar di tempat tersebut.

Pada tahun 1995 Aliamin mulai menempati lokasi di sisi kiri depan bangunan tembok Benteng Rotterdam (Taman Patung Kuda), ini atas permintaan Gabungan Pengusahan Konstrusi (GAPENSI) TK 1 Sul-sel, melalui surat tugas yang diterbitkan Badan Pimpinan Daerah Gapensi TK I Sul-sel tertanggal 15 April 1995, Aliamin diminta untuk merawat dan menjaga Taman Patung Kuda Benteng yang merupakan Binaan Gapensi. Gapensi pada tahun 1995 diberikan kewenangan oleh Pemerintah Kota Madya untuk mengelola Taman Patung Kuda.

Pada awal bekerja sebagai perawat taman, Aliamin mendapat upah sekitar Rp. 70.000 s/d Rp. 100.000 perbulan dari Gapensi. Namun pada tahun 1997 terjadi krisis, sehingga keuangan Gapensi ikut mendapat imbas, maka Drs. A. M. Mochtar meminta kepada Aliamin agar membuka usaha warung kedai kopi di area taman agar tetap bisa membiayai taman dan dapat bertahan hidup, karena Gapensi tidak lagi memiliki anggaran untuk mengupah Aliamin. Hasil dari penjualan kedai kopi digunakan Aliamin untuk menjaga dan merawat taman.

Pada tahun 1999 pernah dilakukan pengukuran lokasi situs oleh pihak balai, itu tanpa komunikasi kepada Aliamin sebagai pengelola taman. Hingga pada tahun 2010 terbit Sertifikat Hak Pakai (SHP) atas nama balai, tetap juga Aliamin tidak diajak komunikasi, paling tidak untuk memperjelas posisi Aliamin setelah terbitnya sertifikat.

Secara hukum, penguasaan Aliamin yang menjaga kelestarian dan keberlanjutan Cagar Budaya Benteng Rotterdam secara konsisten adalah sah dan bukanlah perbuatan melawan hukum. Apalagi penguasaan tersebut dilakukan jauh sebelum terbitnya SHP tahun 2010. Penguasa fisik (bezitter) haruslah dilindungi oleh hukum, tidak seorangpun yang dapat melakukan eksekusi pengosongan lahan tanpa melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Melalui penguasaan selama puluhan tahun, maka timbullah seperangkat hak Aliamin sebagai warga negara, antara lain ; hak atas pekerjaan termasuk mencari nafkah, hak atas pendidikan terhadap 5 (lima) orang anak Aliamin, hak atas tempat tinggal dan perumahan, hak atas keberlanjutan keluarga, dan hak atas kehidupan yang layak. Secara aktual, yang dilakukan Aliamin merupakan wujud penikmatan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 15 Ayat (1) huruf a UU Nomor 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya.

Seperangkat hak tersebut merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang wajib dihormati dan dilindungi oleh negara. Tidak seorangpun, termasuk pihak balai yang dapat menghilangkan/merampas HAM secara sewenang – wenang. Hal ini telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 28 I Ayat (4) dan Pasal 28 J Ayat (1) UUD 1945, menyatakan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Dan Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 71 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, menyatakan bahwa “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM…”

Di sisi lain, Aliamin yang selama puluhan tahun secara sukarela melakukan pelestarian secara konsisten dan keberlanjutan, seharusnya diberikan insentif oleh Pemda Sul-sel, bukan malah digusur. Berdasarkan ketentuan Pasal 36 Ayat (1) dan (2) PERDA Prov. Sulsel Nomor 2 tahun 2014 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya, menyatakan “setiap orang, kelompok masyarakat, atau badan yang memiliki dan/ atau menguasi Cagar Budaya dengan sukarela melakukan pelestarian secara konsisten dan berkelanjutan serta memenuhi kaidah pelestarian terhadap Cagar Budaya dapat diberi insentif dan/atau kompenasasi dari Pemerintah Daerah. Pemberian insentif sebagaimana dimaksud, dapat berbentuk bantuan advokasi, tenaga teknis, tenaga ahli, sarana dan prasarana, dan/atau pemberian tanda pengahargaan. Sedangkan pemberian kompensasi sebagaiamana dimaksud, dapat berbentuk uang, bukan uang, dan/atau tanda penghargaan.”

Rencana revitalisasi oleh pihak balai dilakukan secara diskriminatif, sebab di lain pihak terdapat banyak bangunan permanen yang berdiri di dalam kawasan cagar budaya Benteng Rotterdam. Ironisnya, pihak balai kehilangan nyali untuk menertibkan bangunan – bangunan tersebut. Dalam artian, pihak balai hanya bernyali terhadap masyarakat kecil dan lemah seperti Aliamin.

Olehnya itu, kami menilai rencana pengosongan oleh pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya Sul-sel terhadap rumah tempat tinggal Aliamin adalah tindakan diskriminatif, sewenang – wenang, melawan hukum, dan menimbulkan ancaman terjadinya pelanggaran HAM.

Untuk itu, kami dari Aliansi Rakyat dan Mahasiswa (ALARM) Tolak PENGGUSURAN menuntut dan mendesak kepada:

1. Presiden R.I. untuk menghentikan rencana penggusuran terhadap Aliamin;
2. Menteri Pendidikan & Kebudayaan R.I. Cq. Dirjen Kebudayaan R.I. Cq. Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Sulsel untuk menghentikan rencana penggusuran terhadap Aliamin;
3. DPRD Sulsel & DPRD Makassar untuk menghentikan rencana penggusuran terhadap Aliamin;
4. KOMNAS HAM R.I. untuk melakukan penyelidikan terkait ancaman terjadinya pelanggaran HAM;
5. OMBUDSMAN R.I. untuk melakukan penyelidikan terkait dugaan mall administrasi Surat dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Prov. Sulsel Nomor : 0303/E22.1/TU/2019, tanggal 12 Februari 2019

 

Makassar, 26 Februari 2019.

 

Narahubung:

    1. 1. 0853-9512-2233 (Edy Kurniawan/Kepala Divisi Tanah & Lingkungan Hidup LBH Makassar-YLBHI/Kuasa Hukum Aliamin)
    1. 2. 0877-8181-1313 (Mukhtar Guntur Kilat/Presiden Federasi Serikat Perjuangan Buruh Indonesia)
    1. 3. 0812-4264-9000 (Aliamin/korban rencana pengosongan kawasan Cagar Budaya Benteng Roterdam, Makassar)

 

Categories
EKOSOB SIPOL slide

Solidaritas untuk Juru Parkir Makassar Tolak Kenaikan Setoran

Salam perjuangan,

Sehubungan dengan surat edaran dari PD. Parkir Kota Makassar Raya yang dikeluarkan pada tanggal 10 Januari 2019 dengan nomor: 001/10.3/PD.PMR/I/2019, perihal Penyesuaian Target Setoran Titik Parkir dengan alasan “pertumbuhan kendaraan sebesar 7% yang memacetkan arus lalu lintas sehingga perlu penataan parkiran,” maka dinaikka target anggaran sebesar Rp. 27.054.420.000 (dua puluh tujuh miliar lima puluh empat juta empat ratus dua puluh ribu rupiah). Menelaah isi surat edaran tersebut yang sangat tidak masuk di akal, tidak manusiawi serta ketidak saling terhubungnya antara peningkatan volume kendaraan dengan pendapatan Juru Parkir sehingga kenaikan target setoran Juru Parkiran di Kota Makassar tidak dapat dibenturkan.

Peningkatan volume kendaraan terus bertumbuh, akan tetapi lahan milik Juru Parkir di Kota Makassar sama sekalai tidak mengalami perubahan. Meskipun volume kendaraan terus bertambah tetapi itu tidak berdampak pada pendapatan Juru Parkir. Seharusnya juga ketika PD. Parkir Kota Makassar Raya akan mengambil kebijakan kenaikan setoran terhadap Juru Parkir, ini dapat dikatakan bentuk ketidakpedulian dan tidak adanya pertimbangan terhadap nasib Juru Parkir.

Selain itu, hak-hak Juru Parkir yang tidak terpenuhi oleh pihak PD. Parkir Kota Makassar Raya seperti jaminan kesehatan, kesejahteraan Juru Parkir, seragam Juru Parkir, ketersediaan kasrcis parkir dan ganti rugi ketika terjadi kehilangan baik itu berupa kendaraan hingga helm maupun barang lain yang dibebankan kepada Juru Parkir. Perlu diketahui behwa Juru Parkir menyumbang besar terhadap pemasukan APBD Kota Makassar.

Maka dari itu, kami dari Solidaritas untuk Juru Parkir Makassar dengan tegas menolak setoran terhadap Juru Parkir yang tidak berdasar dan menuntut:

  1. Batalkan kenaikan setoran Juru Parkir!
  2. Wujudkan transparansi anggaran PD. Parkir Kota Makassar Raya!
  3. Libatkan Juru Parkir dalam pengambilan kebijakan!
  4. Penuhi hak-hak Juru Parkir!
  5. Berikan jaminan keamanan kepada Juru Parkir!

(SERIKAT JURU PARKIR MAKASSAR (SJPM), FIK-ORNOP SULSEL, LBH MAKASSAR, ACC SULAWESI, FOSIS, KOMUNAL, PEMBEBASAN, PMII RAYON FAI UMI)

Categories
EKOSOB SIPOL slide

“Orang Kritis dan Miskin Dilarang Kuliah”

Press Release dan Legal Opini LBH Makassar terkait respon terhadap kampus Institut Agama Islam Muhammadiyah (IAIM) Sinjai yang mengeluarkan SK Skorsing dan D.O. terhadap empat (4) mahasiswanya yang diduga karena menggelar aksi mempertanyakan transparansi penggunaan uang pembayaran kartu ujian semester yang dianggap sangat memberatkan bagi mereka yang berasal dari keluarga tidak mampu. Silakan download filenya di sini!

Categories
SIPOL slide

Mahasiswa IAIM Sinjai di DO dan Diskorsing, LBH Lapor ke Ombudsman

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar melakukan pelaporan ke Ombudsman Rebuplik Indonesia Perwakilan Sulawesi Selatan, terkait kekerasan akademik yang menimpa 4 orang mahasiswa Institut Agama Islam Muhammadiyah (IAIM) Sinjai, Senin, (18/2/2019).

Koordinator Devisi Anti Korupsi dan Reformasi Birokrasi LBH Makassar, Andi Haerul Karim membenarkan hal itu. “Kami sudah memasukkan laporannya ke Ombdusman dan sudah diterima,” ungkapnya.

Hal yang sama dikatakan, Puji, selaku penerima laporan di kantor Ombudsman perwakilan Sulawesi Selatan. “Kami sudah terima laporannya dan akan diikutkan dulu dalam rapat untuk dibahas kemudian akan segera diproses, besok atau lusa” tuturnya.

Untuk diketahui, 4 mahasiswa IAIM Sinjai mendapat sanksi dari pihak kampus, Nuralamsyah dan Heri Setiawan di-DO, sementara Abdullah dan Sulfadli Diskorsing beberapa minggu yang lalu. (Sambar/BSS)

 

 

*Sebelumnya berita ini telah dimuat di media online Beritasulsel.com pada 18 Februari 2019

Categories
SIPOL slide

Polsek Ujung Pandang Melakukan Maladministrasi dalam Kasus Kematian Agung Pranata

Pada hari senin, 21 januari 2019 orang tua dari Agung pranata didampingi LBH Makassar mendatangi Ombudsman Perwakilan Sulawesi selatan. Kedatangan ke Ombudsman untuk melaporkan dugaan maladministrasi yang dilakukan Polsek Ujung Pandang saat melakukan penangkapan, penggeledahan dan penyitaan di rumah agung pranata pada tanggal 29 september 2016. Polisi dari Polsek Ujung Pandang melakukan tindakan tersebut terhadap agung dkk atas dugaan tindak pidana narkoba dan pencurian yang dilakukan oleh Agung Pranata. Namun pada saat Penangkapan, penggeledahan dan penyitaan, pihak kepolisian tidak dilengkapi dengan surat perintah dan dilakuakn dengan cara kekerasan. Adapun barang yang disita berupa 3 badik, 6 kartu atm, 1 buah alat uji detak jantung, 5 dompet, 1 steker sambungan tiga, 1 buah tas merk Tumi seharga Rp 11 Juta, 1 buah recorder, 2 unit samsung lipat, 1 unit Ipad, 3 Smartphone, 1 buah headphone, dan 1 buah handphone merk Sony Ericson berdasarkan keterangan Kapolsek Ujungpandang AKP Ananda Fauzi Harahap menggelar konferensi pers di Warkop Amanagappa, jl Amanagappa, Makassar, Kamis (6/10/2016) malam[1] dibeberapa media online. Selain itu Polsek Ujungpandang juga menyita 1 buah cincin, uang tiga juta dan 1 buah motor. Penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh Polsek Ujungpandang juga tidak disaksikan oleh pemerintah terkait padahal pihak agung menolak untuk dilakukan penangkapan, penggeledahan dan penyitaan karena tidak ada surat perintah dan tidak disaksikan oleh pejabat pemerintah setempat. Selain itu pada saat penangkapan agung pranata juga mengalami tindakan kekerasan hingga akhirnya meninggal.Keluarga agung juga meminta pihak KAPOLSEK Ujungpandang saat itu AKP Ananda Fauzi Harahap untuk bertanggung jawab selaku pimpinan terkait tindakan anggotanya dikasus agung pratama dan terkait komentarnya di media online , cetak dan elektronik terkait penyebab kematian agung dan barang bukti yang disita.

Setelah putusan kasus narkoba agung dkk telah berkekuatan hukum tetap. Pihak keluarga dan LBH Makassar mengkonfirmasi kepihak jaksa dari Kejaksaan Negeri Makassar yang menagani kasus dugaan tindak pidana narkoba agung dkk terkait barang bukti yang dijadikan bukti di persidangan di Pengadilan Negeri Makassar  sekitar bulan 2018 mengatakan dirinya hanya diserahkan barang bukti berupa alat isab dan satu saset sabu. Pihak keluarga kembali mengkonfirmasi ke Polsekujung terkait barang bukti yang disita namun polisi kembali berkilah bahwa barang bukti itu masih tetap disita terkait kasus kematian agung pranata yang saat ini ditangani POLDA SULSEL. Saat dikonfirmasi ke POLDA SULSEL, pihak POLDA SULSEL mengatkan bahwa barang bukti tersebut tidak ada hubungan nya dengan kasus kematian Agung Pranata. Sehingga pihak keluarga kembali mengkonfirmasi ke POLSEK Ujung pandang namun pihak Polsek Ujung Pandang kembali memberi alasan berbeda bahwa penyitaan tersebut terkait adanya dua laporan terkait pencurian yang dilakukan oleh Agung Pranata.  Hingga akhirnya LBH Makassar selaku pendamping hukum dua kali bersurat meminta secara administratif alasan penyitaan dan pengembalian barang sitaan tersebut namun tidak ada balasan.

Baca Juga: Penggalian Fakta Kejanggalan Kematian, otopsi jenazah Agung dilakukan

Pihak keluarga akhirnya melaporkan ke OMBUDSMAN Perwakilan Sulawesi Selatan terkait tindakan maladministrasi dan tidak dikembalikanya barang bukti yang disita. Hingga akhirnya pihak keluarga di pertemukan dengan pihak POLSESK Ujung pandang yang diwakili KANITRESKRIM Polsek Ujung Pandang di POLRESTABES Makassar. Pihak Polsek mengatakan bahwa mereka baru akan melakukan gelar perkara untuk dasar penertiban SP3 atas kasus pencurian terduga Agung Pranata karena Ia telah meninggal dan akan mengembalikan barang bukti 1 motor dan 1 handphone yang disita padahal Agung Sudah meninggal sejak tanggal 31 september 2016. Terkait barang lainnya yang disita pihak Polsek Ujung Pandang lepas tangan. Sehingga setelah gelar perkara pihak keluarga agung menolak menerima 1 buah handphone dan 1 buah sepeda motor karena mereka hanya mau menerima ketika semuan barang yang disita itu dikembalikan semua. Selain itu adanya keterangan yang berbeda pihak polsek saat di POLRESTABES Makassar bersikeras mengatakan bahwa handphone Oppo adalah milik pelapor walau keluarga Agung membantah kalau handphone tersebut adalah milik istri Agung namun saat gelar perkara mengatakan bahwa handphone Oppo adalah milik istri Agung. Terkait hasil temuan OMBUDSMAN mengatakan bahwa tidak ada maladministrasi karena yang dilaporkan oleh keluarga agung adalah penegmbalian barang bukti bukan persoalan tidak adanya surat penengakapan, penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh pihak POLSEK Ujung Pandang. Kasus maladministrasi ini sebenarnya telah dilaporkan di PROPAM POLDASULSEL namun tidak mendapat respon dengan alasan bahwa menunggu hasil proses hukum laporan pidana meninggalnya Agung yang diduga dilakukan oleh lima orang anggota Polsek Ujung Pandang yang melakukan penangkapan saat itu.

Dalam kasus ini LBH Makassar melihat banyak pelanggaran dan tindak pidana dalam proses hukum dan administrasi saat di tangani POLRES Ujung Pandang Diantaranya :

  1. Tidak adanya surat perintah penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan dari phak POLSEK Ujung Pandang sampai saat ini
  2. Tidak adanya berita acara penyetiaan dari pihak POLSEK Ujung Pandang sampai saat ini.
  3. Tidak adanya kejelasan informasi barang bukti yang disita oleh POLSEK Ujung Pandang sampai saat ini.
  4. Proses penangkapan yang tidak prosedural karena menggunakan kekerasan yang mengakibatkan meninggalnya agung.
  5. Dugaan rekayasa kasus terkait kasus laporan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh agung pranata.

Untuk itu keluarga korban dan LBH Makassar selaku pendamping hukum meminta PIHAK POLDA SULSEL untuk menindak lanjuti kasus ini dan meminta pihak OMBUDSMAN untuk serius mengawal dan memperoses kasus ini.

 

 

Source:

[1]http://online24jam.com/2016/10/06/12903/alm-agung-ternyata-seorang-pelaku-kriminal-ini-barang-buktinya/

[2]http://news.rakyatku.com/read/23180/2016/10/06/pelaku-curat-meninggal-ini-kronologi-menurut-polsek-ujung-pandang

 

Categories
EKOSOB slide

PT. Lonsum; Perampas Tanah Rakyat yang Bebal

Kronologi Kasus Sengketa Tanah Ulayat Masyarakat Adat Ammatoa Kajang Vs. PT. LonsumPT. Lonsum sudah sejak lama terus merampas tanah rakyat Bulukumba, termasuk masyarakat Adat Ammatoa Kajang. Perjuangan Panjang yang dilakukan oleh Rakyat Bulukumba bersama Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Bulukumba mendapat setitik terang setelah diterbitkannya Perda Kab. Bulukumba No. 9 Tahun 2015 Tentang Pengukuhan, Pengakuan Hak dan Hak Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang.

Selain itu, pada 8 Agustus 2018 Pemerintah dalam Hal ini Kemendagri R.I. melakukan mediasi yang merupkn rekomendasi dari pemerintah Kabupaten Bulukumba yang telah berupaya menyelesaikan konflik yang terjadi, namun setiap keputusan yang dikeluarkan oleh Pemkab Bulukumba tidak pernah diindahkan oleh PT. Lonsum. Dalam mediasi tersebut diperolah kesepakatan bahwa Lonsum tidak boleh melakukan aktivitas apapun sebelum menyelesaikan masalah yang terjadi dalam area HGU milik PT. Lonsum, seperti luas HGU melebihi batas, tahan ulayat masyarakat Adat Ammatoa Kajang dan tanah bersertifikat yang diklaim PT. Lonsum.

Namun, ternyata semua itu tidak dapat menghentikan aktivitas Lonsum untuk terus merampas lahan milik masyarakat terkhusus masyarakat Adat Ammatoa Kajang.

Sejak tangal 31 Agustus 2018 , masyarakat di desa Bonto Mangiring, Kecamatan Bulukumpa dan masyarakat Desa Tamatto serta masyarakat Adat Ammatoa Kajang melakukan protes dengan melakukan penghadangan alat berat buldoser milik PT. Lonsum yang melakukan pengolahan di atas tanah yang terdapat pekuburan dan mata air yang menjadi sumber penghidupan warga di (Bukit Madu) Desa Bonto Mangiring dan (Bukit Jaya) Desa Tamatto. Dari Hasil survei yang dilakukakan AGRA Cabang Bulukumba, setidaknya terdapat 33 titik air (Bukit Madu) di Desa Bonto Mangiring dan beberapa sungai kecil dan 28 titik air (Bukit Jaya) di Desa Tamatto yang rusak dan hilang akibat aktivitas peremajaan perkebunan yang dilakukan oleh PT. Lonsum.

Pada perjalanannya PT. Lonsum tetap melakukan pengolahan dan peremajaan sehingga selang air yang digunakan masyarakat mengambil air dan sungai-sungai kecil banyak yang hilang (tertimbun) dan rusak. Sehingga pada tanggal 10 September 2018 masyarakat melakukan aksi dengan tuntutan utama PT. Lonsum harus menghentikan aktifitas pengolahaan di lahan yg terdapat pekuburan dan sumber air warga dan meminta mendatangkan pihak PT. Lonsum untuk berdialog dengan masyarakat.

Tanggal 12 September 2018 masyarakat berdialog dengan pihak PT. Lonsum yang difasililitasi oleh pemerintah daerah. Kesepakatan untuk tidak mengolah lahan yang di dalamnya terdapat sumber air dan pekuburan milik warga sekitar telah terbangun dengan pihak PT. Lonsum. Akan tetapi, faktanya, disaat dialog berlangsung, pihak PT. Lonsum sedang melakukan aktifitas pengolahan lahan dan baru diketahui warga setelah ada laporan dan mendapati buldoser PT. Lonsum sedang beroperasi di lahan yang menjadi kesepakatan bersama, sehingga pada tanggal 17 September 2018, Bupati Bulukumba mengeluarkan surat himbauan kepada PT. Lonsum untuk tidak melakukan aktifitas pengolahah sebelum tim dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bulukumba dan tim kecil turun melakukan survey lokasi serapan air dan perkuburan masyarakat di area HGU.

Meski demikian, PT. Lonsum tetap bertindak bebal. Atas kebebalan itu, Masyarakat Adat Ammatoa Kajang melakukan aksi reklaiming berupa pendudukan dan penanaman serentak di area HGU yang berada dalam wilayah Adat Ammatoa Kajang.

Tanggal 14 Desember 2018, Pemkab Bulukumba kembali meminta PT. Lonsum untuk tidak melakukan aktivitas peremajaan di area konflik yang juga merupakan wilayah resapan air yang dibatasi oleh tanaman jagung milik masyaraka Adat Ammatoa Kajang. Tak lama kemudian, pada 20 Desember telah terbit surat kesimpulan terkait penyelesaian konflik pertanahan di Bulukumba yang diterbitkan oleh Kemendagri. Inti dari surat tersebut adalah bagaimana upaya penyelesaian konflik harus diselesaikan secepat mungkin, dan selama upaya penyelesaian Pemda harus menjamin keamanan dan kondusifitas di area konflik.

Bukannya patuh dan mejalankan semua perintah, Pada 9 Januari 2019, PT. Lonsum malah kembali melakukan aktivitas peremajaan di area konflik. Namun, upaya tersebut kembali dihadang oleh masyarakat yang tengah melakukan pendudukan.

Merespon hal tersebut, pada 10 Januari 2019 Polres Bulukumba menginisiasi untuk mengadakan rapat koordinasi di area konflik. Rapat koordinasi tersebut dihadiri oleh Kapolres dan Wakapolres Bulukumba beserta jajarannya. Rapat ini juga dihadiri oleh pihak Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, PT. Lonsum serta AGRA Cabang Bulukumba. Ada tiga poin kesepakatan dalam rapat koordinasi tersebut yaitu pertama, Pihak PT. Lonsum tidak diperkenankan menanam karet di atas lokasi yang sedang dalam klaim masyarakat adat, dimana batasannya adalah semua lahan yang ditanami jagung oleh Masyarakat Adat. Kedua, Masyarakat adat tidak diperkenankan menambah lahan untuk penanaman jagung. Masyarakat adat juga tidak membuat rumah permanen di atas area reclaiming, cukup dengan rumah kebun semantara. Ketiga, Kedua belah pihak tidak diperkenankan saling mengintimidasi.

Namun, pada 11 Januari 2019/sehari pasca rapat koordinasi, PT. Lonsum kembali melakukan aktivitas peremajaan di area konflik. Ini sudah cukup menggambarkan kepada kita bagaimana karakter PT. Lonsum sebenarnya yang sewenang-wenang dan tidak menghargai kesepakatan bahkan perintah. Bukan hanya permintaan dan perintah Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, Kapolres Bulukumba, Pemerintah Kabupaten Bulukumba hingga Pemerintah Pusat dalam hal ini Mendagri tidak dihiraukan oleh PT. Lonsum dan tidak menjadi penghalang bagi PT. Lonsum untuk terus merampas tanah rakyat.

Lonsum ternyata tak pernah memperlihatkan itikad baiknya dan tak pernah menaati kesepakatan yang telah dibangun bersama pihak Pemkab dan Polres Bulukumba, bahwa tidak boleh ada penanaman apapun di area konflik termasuk Karet dan Jagung.

Senin, 14 Januari 2019. Lonsum kembali melakukan penanaman karet dan semakin memperluas areal peremajaan tanaman karet, sehingga saat ini proses peremajaan sudah mulai mendekati kawasan tanaman jagung masyarakat adat kajang.

Selasa, 15 Januari 2019, Lonsum kembali merencanakan perluasan area peremajaan. Dan berkemungkinan besar akan memasuki area konflik yang dibatasi tanaman Jagung.

Berdasar pada perintah Kapolres dan Bupati Bulukumba kepada pihak PT. Lonsum untuk tidak menanam di atas lokasi tanaman jagung masyarakat adat, maka masyarakat Adat Ammatoa Kajang pun akan senantiasa mengingatkan PT. Lonsum untuk tetap tunduk pada perintah tersebut. Pengabaian pihak PT. Lonsum terhadap perintah tersebut sebagai keputusan dari upaya penyelesaian konflik adalah bentuk provokasi dan bukti bahwa tidak ada itikat baik dari pihak PT. Lonsum untuk taat pada proses dan upaya-upaya penyelesaian konflik yang diinisiasi oleh kapolres dan bupati, artinya tidak ada penghormatan PT. Lonsum terhadap keduanya.

Penulis : Al Iqbal (Dept. Pendidikan dan Propaganda FMN Makassar)

Categories
EKOSOB slide

Proyek Pembangunan Pasar, Pemkab Wajo Caplok Tanah Warga Tanpa Ganti Rugi

Setelah mendapatkan laporan pengaduan dari masyarakat Bontouse Desa Pincengpitu Kec. Tanasitolo, Kab. Wajo, terkait pembangunan Pasar Tancung, LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Makassar menurunkan tim investigasi ke lokasi pada Ju’mat, 04 Januari 2019. Pasar Tancung yang berlokasi di Desa Pincengpitu Kec. Tanasitolodibangun pada tahun 2016 melalui Dana Tugas Pembantuan Kementerian Perdagangan, dengan pagu anggaran pembangunan fisik sebesar Rp 5.4 M, dan Pasar Tanjung telah dihibahkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Wajo.

Berdasarkan temuan tim investigasi di lapangan, lokasi pembangunan Pasar Tancung berada di atas tanah warga. Terdapat tiga objek tanah milik warga yang diklaim oleh Pemerintah Daerah Wajo, diantaranya tanah milik Abd. Hamid, H. Amir dan Darmi dengan luas total yang diklaim seluas 8.297 m2. Objek lahan ini sebelumnya merupakan area persawahan yang diwariskan dari orang tua mereka dengan bukti alas hak kepemilikan sah berdasarkan hukum yang berlaku.

Tanah ini sudah lama dikuasai secara turun terumun, pada tahun 1975 lahan sawah milik orang tua mereka diantaranya Parojai, Letnan H. Gontang, dan Abu Dg. Manai dipinjamkan untuk menjadi lapangan sepak bola di lingkungan Bontouse, ini atas inisiasi dari Letnan H. Gontang (orang tua dari H. Amir). Pada tahun 2005 lahan tersebut dikembalikan kepada keluarga pemilik bersangkutan, karena tidak lagi difungsikan sebagai tempat acara pertandingan sepak bola.

Abd. Hamid sebagai salah satu pemilik tanah, kembali mengelolahnya menjadi lahan sawah garapan. Namun menjelang 3 tahun setelah digarap olehnya, dia mendapat surat panggilan oleh pemerintah setempat dengan tuduhan penyerobotan tanah negara. Ternyata tanpa dia ketahui, Pemerintah telah menerbitkan Sertifikat Hak Pakai No. 00004 atas nama Pemerintah Kabupaten Wajo yang dipergunakan untuk lapangan sepak bola Bontouse yang terbit pada tahun 2011. Objek tanah yang dimaksud dalam sertifikat adalah lokasi Lapangan Bontouse yang merupakan tanah warisan milikAbd. Hamid, H. Amir dan Darmi.

Menurut keterangan Abd. Hamid bahwa adanya sertifikat Hak Pakai atas nama Pemeritah Daerah Wajo tersebut, sama sekali tanpa sepengetahuan dan seizin dirinya dan dua orang pemilik lainnya. Pemerintah Daerah tidak ingin memberikan ganti rugi atas lahan seluas 8.297 m2 yang diatasnya telah berdiri bangunan Pasar Tancung. Sejak di resmikan pada 13 Juni 2017 oleh Bupati Wajo H. A. Burhanuddin Unru, sampai saat ini Pasar Tancung masih difungsikan tanpa penyelesaian sengketa dan ganti rugi kepada para pemiliknya.

Categories
Berita Media

Rilis Catahu 2018, LBH Makassar Terima Pengaduan Luar Sulsel

Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Makassar mencatat, selama tahun 2018 ada 166 laporan warga yang diproses.Catatan itu adalah Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2018, dirilis LBH Makassar di kantor LBH Jl Pelita Raya 6, Rappocini, Makassar, Senin (31/12/2018) siang.

Kepala Operasional LBH, M Fajar Akbar mengaku, tahun 2018 ada 175 pemohon tapi diterima hanya ada 166, termaksud juga laporan dari media sosial (Medsos). “Untuk media sosial ada 49 pemohon, pemohon yang melalui media sosial ini berasal dari luar sulsel. Seperti Polman Sulawesi Barat (Sulbar),” kata M. Fajar.

Lalu, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Bukit Tinggi Sumatera Barat, Kendari Sulawesi Utara (Sultra), Palu Sulawesi Tengah, Denpasa Bali, dan DKI Jakarta. Sementara itu, untuk 13 Kabupaten dan Kota yang berada di Sulsel diantaranya, Makassar, Gowa, Maros, Takalar, Sidrap, Parepare, Enrekang, Bone dan Seppeng.

“Ada juga Wajo, Luwu Timur, Pinrang, Bulukumba dan Selayar. Berdasar sifat kasus 76 adalah kasus struktural, dan non struktural 90 kasus,” lanjut Fajar. Rilis Catahu 2018 ini, dihadiri Kepala Divisi Hak Sipil dan Keberagaman LBH, Abdul Azis Dumpa, dan Kepala Divisi Perempuan Anak LBH Ratna Kahali. (*)

(sebelumnya berita ini telah di muat di media online trinunnews.com pada 31 Desember 2018)

Categories
SIPOL

2018, 13 Kasus Kekerasan Warga Sipil Terjadi di Sulsel, 3 Meninggal Dunia

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mencatat sebanyak 13 kasus kekerasan terjadi terhadap masyarakat sipil dari Januari hingga Desember 2018.

Bentuk tindakan kekerasan oleh aparat institusi sektor keamanan berupa penangkapan dan penahanan sewenang-wenang sebanyak 5 kasus yang terjadi di Makassar, Gowa, Barru.

Lalu, terkait intimidasi sebanyak 2 kasus yang terjadi di Barru dan Makassar. Pada bidang pembiaran sebanyak 2 kasus yang terjadi di Enrekang dan Makassar. Dan kasus penembakan sebnayak 3 kasus yang terjadi di Makassar, Gowa, dan Barru. Serta kasus penganiayaan sebanyak 1 kasus di Kota Makassar.

Dari sekian banyak kasus kekerasan tersebut, terdapat 3 korban meninggal dunia. 2 di antara Korban yang meninggal mengalami penyiksaan setelah ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang.

Kepala Divisi LBH Makassar Abdul Azis Dumpa mengatakan, kerap kali menggunakan kekuatan sebagai yang utama, mengabaikan kewajiban dalam memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap kebebasan sipil.

“Upaya untuk mereformasi institusi kepolisian tak ubahnya hanya narasi,” katanya.

Meski memiliki instrumen Internal yakni Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi manusia dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisan, namun tak pernah terimplemntasi sebagaimana mestinya.

Polri tak kunjung menunjukkan wajah yang menghormati, memenuhi, dan melindungi Hak Asasi Manusia (HAM). Polisi yang notabene penegak hukum justru sebagai aktor pelanggaran HAM yang terus represif terhadap warga sipil.

“Melakukan kekerasan, penyiksaan, penembakan, dan penangkapan sewenang-wenang,” ungkap Azis

(sebelumnya berita ini telah di muat di media online pojoksulsel.com pada 31 Desember 2018)

Categories
Perempuan dan Anak

LBH Terima 20 Aduan Terkait Kekerasan pada Anak dan Perempuan

Sepanjang 2018, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menerima sebanyak delapan pengaduan tentang kasus kekerasan terhadap anak dan 12 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Dari laporan yang masuk tersebut, LBH Makassar juga mendampingi setidaknya enam kasus, dengan spesifikasi kekerasan seksual terhadap perempuan baik dewasa maupun anak perempuan dan empat kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang dilakukan suami/laki-laki.

Staf Divisi Perlindungan Anak dan Perempuan LBH Makassar Rezky Pratiwi, menyatakan, pihaknya masih menemukan adanya persoalan berupa korban yang takut melapor.

Persoalan lain adalah aparat penegak hukum belum memiliki perspektif yang memadai dalam hal memenuhi hak-hak korban kekerasan seksual, kemudian memberikan beban pembuktian pada korban, dan kurangnya dukungan untuk pemulihan korban.

“Berdasarkan data hambatan-hambatan yang ada yakni korban takut melapor karena adanya intimidasi dari pelaku maupun lingkungan yang tidak mendukung korban untuk melapor,” ungkapnya saat merilis Catatan Akhir Tahun 2018 di kantornya, Jl. Pelita Raya, Senin (31/12/2018).

Hal lain yang menjadi perhatian LBH Makassar adalah terkait masih rendahnya kesadaran hukum masyarakat dalam membantu pengungkapan kasus, pihak kepolisian juga belum memiliki perspektif yang memadai.

“Aparat kepolisian belum responsif terhadap kondisi korban ataupun tidak secara cepat memberikan perlindungan,” tegasnya.

Dia menilai, hingga saat ini, perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum, masih sulit mendapatkan haknya untuk diperlakukan sama di depan hukum.

“Seperti kasus yang kami tangani yang terjadi di salah satu kampus ternama, korbannya seorang cleaning service. Korban mendapatkan intimidasi berupa ancaman untuk diberhentikan,” terangnya.

Melihat semua hal tersebut, LBH Makassar mendesak untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai instrumen hukum yang responsif terhadap korban.

(sebelumnya berita ini telah di muat di media online sinarkata.media pada 31 Desember 2018)