Categories
SIPOL slide

Saksi Ahli Sebut Wartawan Asrul Tak Bisa Dijerat UU ITE

Sidang kasus UU ITE dengan terdakwa jurnalis media online Berita.News, Muhammad Asrul, kembali digelar di Pengadilan Negeri Palopo, Sulsel, Rabu (28/7). Agenda sidang menghadirkan saksi ahli UU ITE dari pihak Jaksa Penuntut Umum yakni Dr. Ronny.

Ronny yang hadir secara virtual menjelaskan, Asrul tidak dapat dijerat dengan UU ITE apabila Dewan Pers sudah menyatakan bahwa berita yang dibuat Asrul dan tayang di portal Berita.News merupakan produk jurnalistik.

“Apabila Berita.News punya legalitas sebagai media dan berita yang diperkarakan tersebut dinyatakan sesuai kaidah jurnalistik oleh Dewan Pers, maka hal itu tidak bisa diproses menggunakan UU ITE, melainkan UU Pers,” ujar Ronny.

Asrul dijerat UU ITE setelah lima berita yang dia tayangkan di Berita.News dilaporkan Kepala BKPSDM Kota Palopo, Farid Kasim Judas. Asrul dianggap mencemarkan nama baik eks Ketua KNPI Palopo itu karena diduga menyebarkan berita bohong melalui akun media sosialnya. Kasus ini telah bergulir sejak 2019 dan Asrul sempat ditahan.

Saat Majelis Hakim yang diketuai Hasanuddin mempertanyakan apakah berita yang dibuat Asrul memenuhi unsur ujaran kebencian dan penghinaan, Ronny mengaku tidak kapasitas untuk menilai hal tersebut.

Sementara, Penasehat Hukum Asrul dari LBH Makassar, Azis Dumpa, menilai Ronny tidak memiliki legal standing untuk menjadi saksi Ahli Kasus ITE. Alasannya, dia bukan merupakan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari Kementrian Kominfo.

“Padahal berdasarkan UU ITE, KUHP dan Peraturan Kominfo tentang Administrasi Penyidikan dan Pendakan Bidang ITE, harusnya ahli ITE adalah PPNS Kominfo saksi ahli JPU justru sarjana komputer dan Dosen di Sekolah Tinggi Ekonomi (STIE) Perbanas Surabaya,” kata Azis Dumpa.

Nama Ronny juga diketahui menjadi saksi ahli yang dimintai keterangan oleh penyidik Polda Sulsel saat membuat berita acara pemeriksaan (BAP) Muh. Asrul pada 2019 lalu.

Kasus Asrul Tak Mencerminkan Langgar Asas Peradilan Cepat

Sidang wartawan Asrul harus dengan agenda mendengar keterangan ahli harus ditunda hingga satu bulan lebih karena JPU dari Kejari Palopo tak bisa menghadirkan saksi. Laman SIPP PN Palopo mencatat, sidang dengan agenda keterangan ahli mulai dijadwalkan sejak 2 Juni 2021.

Selain ketidak siapan JPU, diketaui sidang kasus ini juga sempat ditunda karena Ketua Majelis Hakim yakni Hasanuddin sempat sakit dan PN Palopo punya agenda internal.

Azis Dumpa yang juga Wakil Direktur LBH Makassar menilai, berlarut-larutnya sidang UU ITE ini melanggar asas peradilan. Apalagi ia dan kliennya tersebut harus datang dari Kota Makassar yang jaraknya 360 Km dari lokasi persidangan.

“Kami menyoroti ketidaksiapan JPU menyiaplan ahli Dewan Pers sehingga sidangnya kembali ditunda menjadi semakin berlarut-larut dan melanggar asas peradilan cepat dan biaya murah,” tegas Azis.

Diketahui, JPU pada sidang tadi menghadirkan ahli dari Dewan Pers secara virtual. Namun yang bersangkutan belum bisa memberikan keterangan sebab belum mengantongi surat izin dari Dewan Pers. Sidang pun diijadwalkan berlanjut pada Kamis, 29 Juli besok.

 

 

Catatan: Berita ini telah terbit di media online kabarmakassar.com edisi 28 Juli 2021

Categories
SIPOL slide

Saksi Ahli Sebut Wartawan Asrul Tak Bisa Dijerat UU ITE

Sidang kasus UU ITE dengan terdakwa jurnalis media online Berita.News, Muhammad Asrul, kembali digelar di Pengadilan Negeri Palopo, Rabu (28/7/2021).

Agenda sidang menghadirkan saksi ahli UU ITE dari pihak Jaksa Penuntut Umum yakni Dr. Ronny.

Ronny yang hadir secara virtual menjelaskan, Asrul tidak dapat dijerat dengan UU ITE apabila Dewan Pers sudah menyatakan bahwa berita yang dibuat Asrul dan tayang di portal Berita.News merupakan produk jurnalistik.

“Apabila Berita.News punya legalitas sebagai media dan berita yang diperkarakan tersebut dinyatakan sesuai kaidah jurnalistik oleh Dewan Pers, maka hal itu tidak bisa diproses menggunakan UU ITE, melainkan UU Pers,” ujar Ronny.

Asrul dijerat UU ITE setelah lima berita yang dia tayangkan di Berita.News dilaporkan Kepala BKPSDM Kota Palopo, Farid Kasim Judas. Asrul dianggap mencemarkan nama baik eks Ketua KNPI Palopo itu karena diduga menyebarkan berita bohong melalui akun media sosialnya. Kasus ini telah bergulir sejak 2019 dan Asrul sempat ditahan.

Saat Majelis Hakim yang diketuai Hasanuddin mempertanyakan apakah berita yang dibuat Asrul memenuhi unsur ujaran kebencian dan penghinaan, Ronny mengaku tidak kapasitas untuk menilai hal tersebut.

Sementara itu, Penasehat Hukum Asrul dari LBH Makassar, Azis Dumpa, menilai Ronny tidak memiliki legal standing untuk menjadi saksi Ahli Kasus ITE.

Alasannya, dia bukan merupakan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari Kementrian Kominfo.

“Padahal berdasarkan UU ITE, KUHP dan Peraturan Kominfo tentang Administrasi Penyidikan dan Pendakan Bidang ITE, harusnya ahli ITE adalah PPNS.

Kominfo saksi ahli JPU justru sarjana komputer dan Dosen di Sekolah Tinggi Ekonomi (STIE) Perbanas Surabaya,” kata Azis Dumpa.

Nama Ronny juga diketahui menjadi saksi ahli yang dimintai keterangan oleh penyidik Polda Sulsel saat membuat berita acara pemeriksaan (BAP) Muh. Asrul pada 2019 lalu.

Kasus Asrul Tak Mencerminkan Langgar Asas Peradilan Cepat

Sidang wartawan Asrul harus dengan agenda mendengar keterangan ahli harus ditunda hingga satu bulan lebih karena JPU dari Kejari Palopo tak bisa menghadirkan saksi. Laman SIPP PN Palopo mencatat, sidang dengan agenda keterangan ahli mulai dijadwalkan sejak 2 Juni 2021.

Selain ketidak siapan JPU, diketahui sidang kasus ini juga sempat ditunda karena Ketua Majelis Hakim yakni Hasanuddin sempat sakit dan PN Palopo punya agenda internal.

Azis Dumpa yang juga Wakil Direktur LBH Makassar menilai, berlarut-larutnya sidang UU ITE ini melanggar asas peradilan. Apalagi ia dan kliennya tersebut harus datang dari Kota Makassar yang jaraknya 360 Km dari lokasi persidangan.

“Kami menyoroti ketidaksiapan JPU menyiaplan ahli Dewan Pers sehingga sidangnya kembali ditunda menjadi semakin berlarut-larut dan melanggar asas peradilan cepat dan biaya murah,” tegas Azis.

Diketahui, JPU pada sidang tadi menghadirkan ahli dari Dewan Pers secara virtual. Namun yang bersangkutan belum bisa memberikan keterangan sebab belum mengantongi surat izin dari Dewan Pers. Sidang pun dijadwalkan berlanjut pada Kamis, 29 Juli besok.

 

Catatan: Bertita ini telah terbit di media online onlineluwuraya.co.id edisi 28 Juli 2021

Categories
SIPOL slide

LBH: Polisi Mau Hentikan Kasus Penembakan Tiga Warga Barukang

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Makassar menerima informasi bahwa penyidik Direktorat Kriminal Umum Polda Sulsel bakal menghentikan kasus penembakan tiga warga di Jalan Barukang, Kecamatan Ujung Tanah.

Peristiwa penembakan terjadi pada 30 Agustus 2020. Satu dari tiga korban, yakni AJ, akhirnya meninggal karena luka tembak di kepala.

“Setelah sekian lama mandek, kini Polda Sulsel selaku penyidik mengklaim akan menghentikan perkara dengan dalih para pelaku sudah berdamai dengan para korban,” kata penasihat hukum keluarga korban Salman Aziz dalam keterangan tertulisnya, Selasa (27/7/2021).

1. Keluarga korban bantah telah berdamai dengan kepolisian

Dalam surat yang diterima LBH Makassar, Polda Sulsel memberikan klarifikasi bahwa kasus ini awalnya layak ditingkatkan dari tahap penyelidikan ke penyidikan karena terdapat bukti permulaan yang cukup. Mulai dari keterangan saksi dan alat bukti.

“Namun penyelidikan rencana akan dihentikan karena ketiga korban atau pelapor merasa tidak keberatan dan merasa tidak dirugikan lagi karena telah menempuh penyelesaian secara kekeluargaan,” ungkap Salman.

Salman menyatakan keluarga korban yang tewas membantah telah berdamai dengan kepolisian. Keluarga justru menuntut dan mendesak agar kasus tersebut dilanjutkan. Salman menilai, sejak awal telah ada indikasi kasus ini akan dihentikan dengan cara mengulur-ngulur waktu atau mendiamkan laporan korban (undue delay).

“Hal ini terbukti pada klarifikasi Polda Sulsel dalam surat hasil pemeriksaan Kompolnas dan Ombudsman RI kepada LBH Makassar,” Salman menjelaskan.

2. Keluarga korban ingin pelaku penembakan dihukum secara adil

LBH mengklarifikasi langsung klaim kepolisian kepada keluarga korban. Mereka disebut menyayangkan karena 11 terduga pelaku penembakan cuma dijatuhi sanksi disiplin.

“Sementara proses pidana justru akan dihentikan. Keinginan keluarga, pelaku dihukum sebagaimana hukum yang berlaku,” kata Salman menirukan pendapat keluarga korban.

“Ituji mauta. Masa mati anakta mati begituji? Tidak dihukum pelakunya? Tidak masuk akal,” dia melanjutkan.

3. Rencana SP3 dinilai sebagai tindakan melawan hukum

LBH menilai rencana SP3 Polda Sulsel dengan alasan penyelesaian secara kekeluargaan adalah tindakan melawan hukum. Pasalnya, kata Salman, perkara yang dilaporkan bukan delik aduan yang memungkinan penghentian proses hukum.

LBH juga menduga bahwa ke-11 terlapor anggota kepolisian turut serta berbuat pidana, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 338 KUHPidana subsidair 170 KUHPidana jucnto Pasal 351 juncto Pasal 55 juncto Pasal 56 KUHPidana.

“Sehingga bahkan pun ada pencabutan laporan, penyidik tetap berwenang dan berkewajiban untuk memproses perkara tersebut,” katanya.

Menurut Salman restorative justice hanya dapat diterapkan dalam kategori tindak pidana ringan (Tipiring). Aturan itu tertuang dalam Pasal 205 Ayat (1) KUHAP.

“Yang ancaman hukumannya tiga bulan penjara atau kurungan,” ucap Salman.

4. Polda Sulsel masih bungkam

Kepala Bidang Humas Polda Sulsel Kombes E Zulpan tidak merespons upaya konfirmasi dari jurnalis. Pesan singkat lewat pesan WhatsApp hanya dibaca dan tidak ditanggapi. Begitu juga saat konfirmasi berulangkali melalui sambungan telepon.

Menurut Salman, Polda Sulsel tak bersikap transparan dalam menangani perkara ini. LBH Makassar mendesak Kapolri mengevaluasi jajaran penyidik Polda Sulsel yang menangani kasus ini.

“Dikarenakan upaya yang ditempuh dalam kasus ini merupakan tindakan melawan hukum dan diduga kuat sebagai maladmanistrasi,” katanya.

 

Catatan: Berita ini telah terbit di media online sulsel.idntimes.com pada 27 Juli 2021.

Categories
SIPOL slide

Kasus Ditutup, Keluarga Korban Kecewa

Kelanjutan kasus penembakan di jalan Barukang terhenti. Padahal peristiwa yang terjadi di 30 Agustus 2020 lalu itu, telah menelan satu korban jiwa.

Kasus ini sempat mandek. Tetapi kini pihak Polda Sulsel memutuskan untuk menghentikan penyelidikan. Alasannya, pihak korban dan kekuarganya sudah legowo. Polda mengklaim, kedua belah pihak telah memutuskan untuk berdamai. Penghentian tersebut mengacu pada Surat Edaran Kapolri No. SN/8/VII/2008 tentang penerapan Keadilan Rastoratif dalam penyelesaian perkara pidana serta akan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan.

Ayah korban meninggal, Jawad, menyangkal telah berdamai dengan pelaku. “Balle-ballei (bohong itu), tidak pernah saya itu datang (untuk damai). Pernah itu saya datang sama mamanya, na (mereka) tanya bagaimana kejadiannya, jadi ku tanyami (saya jelaskan bagaimana) kejadiannya,” ujar jawad, Senin 26 Juli.

Selain itu, Ibunda Korban meninggal, Hasbiah meminta agar pelaku tetap dihukum setimpal sesuai dengan hukum yang berlaku. “Harus dihukum pelakunya toh, sebagaimana hukum yang berlaku. Ituji mauta. Masa mati anakta mati begituji? Tidak dihukum pelakunya? Tidak masuk akal” tegas Hasbiah.

Koordinator Dokumentasi dan Publikasi LBH Makasssar, Salman Azis mengatakan, pihak Polda Sulsel ssempat memberi klarifikasi, hasil penyelidikan berdasarkan keterangan saksi-saksi, bukti dan/atau petunjuk, ada petunjuk permulaan perkara tersebut  dinaikan ke proses penyidikan. Ini tertuang dalam hasil pemeriksaan Kompolnas dan Ombudsman RI kepada LBH Makassar.

Salman menilai tindakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang tidak boleh dihentikan proses penyelidikannya. “ini tidak bisa dihentikan. Karena kan ini menghilangkan nyawa orang. Ini bukan tindak pidana ringan. Kalau ini dihentikan, artinya Polda memang tidak paham. Ini lucu, karena menyalahi aturan. Jelas Salman kepada FAJAR, senin 26 Juli.

Salah satu korban, Faisal yang mengaku terkena badik oleh oknum polisi saat itu juga menyayangkan. Bahkan laporannya sebagai korban juga diakui tidak direspon. “Saya juga sebenarnya ini korban tapi kenapa laporan saya ditutup,” kata Faisal kemarin.

Sementara itu, Kabid Propam Polda Sulsel Kombes Pol Agoeng Adi Koernawan, saat dihubungi FAJAR beberapa kali tak memberikan respon. Namun sebelumnya dia mengatakan 12 oknum polisi yang melakukan penembakan sudah menjalani sidang disiplin hingga sanksi berupa kurungan selama 21 hari.

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di koran harian FAJAR edisi 27 Juli 2021.

 

 

Categories
SIPOL slide

Polrestabes Kota Makassar Tidak Hadiri Sidang Praperadilan Ijul, YLBHI-LBH Makassar Anggap Tidak Profesional

Sidang Praperadilan kasus salah tangkap Supianto yang kerap disapa Ijul yang jadwalkan pada hari Rabu,18/11/2020, pukul 09.00 Wita di Pengadilan Negeri Makassar dengan registrasi perkara dengan nomor: 23 Pid.Pra/2020/PN. Mks. Sidang praperadilan hari ini menghadirkan Ijul selaku Pemohon diwakili oleh kuasa hukumnya LBH Makassar melawan Polrestabes Makassar selaku Termohon. Sidang pertama mengagendakan pembacaan permohonan gugatan.

Bahwa sidang yang sebelumnya diagendakan pada pukul 09.00Wita akhirnya dilakasanakan sekitar pukul 11.30 Wita. Hal ini disebabkan karena tidak ada informasi pasti kehadiran termohon, saat pembukaan sidang pihak termohon masih tidak hadir, akibatnya sidang ditunda sampai pada 25/11/2020 dengan agenda pembacaan permohonan gugatan. Ketidak hadiran termohon dikarenakan alasan belum ada penunjukan SK untuk menghadiri sidang, berdasarkan info dari hakim tunggal dari pihak termohon.

Ketidak hadiran termohon dalam sidang ini dengan alasan tersebut menurut LBH Makassar selaku lembaga yang mendampingi Ijul adalah bentuk sikap tidak professional sebagai lembaga penegak hukum karena alasan yang diajukan tidak masuk akal dan tidak berdasar hukum. Hal ini diungkapkan karena sebelum sidang praperadilan pihak Pengadilan telah mengirim surat pemberitahuan jadwal sidang yang rentan waktunya sekitar satu minggu sehingga ada selang waktu yang lama untuk memberikan surat tugas.

Selain itu ketidakhadiran termohon juga menimbulkan kesan bahwa pihak termohon tidak siap dengan konsekuensi hukum atas penetapan tersangka yang telah ditetapkan terhadap pemohon, serta kuat dugaan bahwa upaya penundaan agar berkas pokok perkara pemohon bisa segera dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Makassar sehingga menggugurkan praperadilan termohon. Akibat dari gugurnya praperadilan termohon seluruh kejanggalan kejanggalan dan maladministrasi penangkapan, penahanan serta penetapan tersangka Ijul selaku termohon tidak akan diketahui oleh halayak ramai. Oleh karena banyaknya dugaan dugaan yang bisa timbul karena ketidak hadiran termohon , agar kiranya KAPOLRI dan KAPOLDA SUL-SEL mengevaluasi termohon sebagai atasan langsung.

Penundaan sidang praperadilan ini juga melanggar prinsip prisip hukum acara peradilan pidana yaitu peradilan sederhana, cepat,dan biaya ringan. Selain itu penundaan ini juga berdampak pada hak hak tersangka terkait kepastian hukum penanganan kasus termohon, dimana seharusnya jika termohon profesional maka tanggal 25 November 2020 sesuai hukum acara praperadilan pihak termohon sudah memperoleh kepastian hukum. LBH Makassar berharap agar majelis hakim memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal tersebut dalam lanjutan proses praperadilan ini.

Makassar 18 November 2020

Narahubung:
Andi Haerul Karim, S.H.(Kadiv Sipol LBH Makassar) /0813-4398-5796
Muh. Fitrah Al Qadri (Volunter LBH Makassar) /08114609996

Categories
EKOSOB slide

Saksi dalam Sidang Kasus UU P3H Soppeng Katakan Bahwa Tidak Ada Sosialisasi ke Masyarakat Mengenai Batas-Batas Kawasan Hutan

Sidang Tiga petani Ale Sewo Kabupaten Soppeng yaitu Natu bin Takka, Aryo Permadi dan Sabang yang dijerat Undang-undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan (UU P3H) kembali digelar dengan agenda pemeriksaan saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Kali ini JPU menghadirkan Lurah Kelurahan Bila yaitu Nurul Azmi, S.Ip., M.M sebagai saksi.

Dalam sidang lanjutan pemeriksaan saksi JPU, para terdakwa didampingi oleh Ridwan, S.H. dan Ady Anugrah Pratama, S.H. sebagai Penasehat Hukum dari YLBHI – LBH Makassar.

Saat proses pemeriksaan dilakukan, Penasehat Hukum terdakwa mengajukan keberatan kepada Majelis Hakim terkait saksi yang dihadirkan oleh JPU dengan alasan bahwa keterangan saksi tidak objektif dikarenakan saksi sebelumnya telah hadir mengikuti persidangan pemeriksaan saksi yang dihadirkan JPU, yang pada saat itu menghadirkan pihak Kehutanan Kabupaten Soppeng sebagai saksi.

 

Baca Juga:

Dituduh Merusak Hutan, Satu keluarga Disidangkan

Simalakama UU P3H dan Penetapan Kawasan Hutan Soppeng Kembali Menjerat Petani Kecil

 

Keberatan yang diajukan oleh penasehat hukum ditampung oleh Majelis Hakim dan setelahnya, Majelis Hakim kemudian melanjutkan proses pemeriksaan.

Dalam keterangan saksi, ia menjelaskan bahwa tidak pernah ada sosialisasi mengenai batas-batas kawasan hutan yang disampaikan kepada masyarakat. Selain itu, Ia (saksi) yang merupakan pejabat setempat juga tidak mengetahui mengenai batas-batas kawasan hutan dan jenis kawasan hutan yang tersebar di daerah Kelurahan Bila.

Dari penyampaian keterangan oleh Saksi, memuat fakta bahwa proses pemidaan ketiga terdakwa sangatlah dipaksakan dan juga menambah jejak kriminalisasi terhadap rakyat kecil yang berupaya untuk melakukan pemenuhan terhadap hak-hak dasar mereka. Menampilkan penegakan hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas.

Sebelumnya pada tahun 2018, juga terdapat tiga orang petani Soppeng, yaitu Sukardi, Jamadi dan Sahidin yang dikriminalisasi dengan Undang-undang yang sama. Mereka dituduh melakukan pengrusakan dengan menebang pohon dalam kawasan hutan lindung. Namun, ketiga petani tersebut melakukan penebangan pada kebun masing-masing (yang dianggap masuk dalam kawasan hutan lindung) hanya sebatas untuk keeperluan pemenuhan kebutuhan sandang, papan dan pangan. Sehingga Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Watansoppeng memvonis bebas para terdakwa. Kemudian, Jaksa mengajukan Kasasi, dan putusan Kasasipun menguatkan Putusan Hakim di PN Watansoppeng. Seharusnya, kasus ini menjadi preseden kepada para penegak hukum agar tidak asal melakukan kriminalisasi masyarakat kawasan hutan.

Categories
SIPOL slide

Mahasiswa Mengaku Alami Kekerasan dan Sangkali Keterangan BAP di Kepolisian dalam Sidang Kasus Vandalisme di Pinrang

 

Didampingi Tim Penasehat Hukum YLBHI LBH Makassar, Empat Mahasiswa yang ditangkap Polres Pinrang pada momentum perayaan hari Pendidikan Nasional dan Hari Buruh – Mei 2020 yang lalu, dalam dugaan kasus Vandalisme kembali menjalani persidangan di PN Pinrang, dengan agenda pemeriksaan terdakwa, Rabu (30/09/2020).

Mereka diantaranya Adnan Rahman, Arfandi, Ahmad Arfandi, dan Alif, pada perayaan aksi May Day tahun ini, menyampaikan aspirasinya dengan membuat Mural (tulisan dinding), akibatnya mereka ditangkap dengan tuduhan telah membuat dan menyiarkan berita bohong, serta membuat keonaran dan penghasutan berdasarkan pasal 14 no 1 tahun 1946 subsider pasal 15 uu no 1 tahun 1946 subsider 160 KUHP Jo 55 KUHP subsider pasal 207 KUHP Jo 55 KUHP.

Mereka mengakui telah melakukan pencoretan dengan menggunakan Cat semprot (Pilox) dibeberapa titik di Kota Pinrang, sebagai bagian dari kampanye atas siatusi yang dialami buruh dan carut marut pendidikan di Indonesia. Tulisan yang mereka buat secara terpisah diantaranya : “KAPITALIS” di dinding KFC, “SEJAHTERAKAN BURUH” di Indomaret, Alfamart, Gedung Golkar, juga tulisan “PENDIDIKAN MAHAL” di Kantor Dinas PU.

Dari keterangan Adnan di Persidangan bahwa peristiwa ini berawal dari sebelum hari Buruh, dia mengajak beberapa temannya untuk berdiskusi mengenai peringatan hari buruh. Setelah disepakati beberapa temannya, diskusi kemudian dilakukan di Kampus Cokroaminoto dan dihadiri sekitar kurang 15 orang untuk melakukan aksi kampanye peringatan hari buruh.

Selanjutnya melalui persidangan ini, mereka menerangkan bahwa keterangan yang mereka sampaikan pada saat proses introgasi/BAP sebagian benar dan sebagian lagi tidak benar. Arfandi membantah salah satu tulisan yang mejadi bukti yaitu “JANGAN PERCAYA PEMERINTAH”, ia mengatakan jika tidak pernah membuat tulisan. Arfandi mengaku jika saat diinterogasi, ia dipaksa untuk mengakui tulisan tersebut oleh Penyidik. Salah satu alasan Penyidik memaksa Arfandi, karena warna Pilox yang digunakan sama/mirip.

Saat diperiksa oleh Penyidik, keempat Mahasiswa ini, sebanyak dua kali melakukan permintaan untuk mengubah BAP yang tidak sesuai dengan keterangan mereka, namun tidak digubris oleh Penyidik dan langsung diminta menandatangani BAP.

Dihadapan majelis hakim, keempat mahasiswa ini juga mengaku mengalami intimidasi dalam bentuk kekerasan fisik oleh Pihak Aparat dihalaman Kantor Polres Pinrang, sesaat setelah ditangkap.

Categories
EKOSOB slide

Dituduh Merusak Hutan, Satu Keluarga Resmi Disidangkan

Tiga orang petani Ale Sewo Kabupaten Soppeng resmi disidangkan (Selasa/29/09/2020). Ketiganya dikriminalisasi dengan tuduhan menebang pohon dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat berwenang, sebagaimana ketentuan dalam pasal 82 ayat 1 dan 2 junto pasal 12 hurup B Undang-undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan (UU P3H).

Ketiga petani tersebut adalah Natu bin Takka, Aryo Permadi dan Sabang. Ketiganya adalah keluarga. Natu adalah orang tua dari Aryo Permadi. Sedangkan Sabang adalah ipar dari Natu.

Sidang pertama ini dengan agenda pembacaan dakwaaan dari penuntut umum. Pembacaan dakwaan dilakukan di gedung sidang utama Pengadilan Negeri Watansoppeng. Sidang selanjutnya akan dilanjutkan selasa pekan depan dengan agenda pembuktian.

Persidangan ini dipimpin langsung oleh Ketua Pengadilan Negeri Soppeng, Muhammad Ismail sebagai hakim ketua dan Fitriani dan Willfrid sebagai anggota.

Ahmad Ismail dan Fitriani adalah hakim yang sama yang pernah mengadili perkara tarkait pengerusakan hutan di Kabupaten Soppeng. Sukardi, Sahidin dan Jamadi adalah petani Soppeng yang pernah dikriminalisasi dengan UU yang sama. Ismail dan fitriani memutus bebas ketiganya.

Natu adalah seorang petani berusia lanjut. Umurnya kini memasuki usia 75 tahun. Ia berniat membangun rumah untuk anak laki-lakinya, Aryo Permadi. Natu kemudian menebang jati yang ia tanam di kebun milikinya yang lokasinya tak jauh dari tempat tinggalnya. Jati tersebut untuk dijadikan bahan membangun rumah.

Di lokasi tersebut, Natu menanam jahe, lengkuas, kemiri dan pangi. Kebun tersebut sudah ia kuasai secara turun temurun dari keluarganya. Setiap tahunnya ia membayar pajak atas tanah tersebut. Natu kaget, tiba-tiba ia dipanggil Polisi karena menebang jati yang ia tanam sendiri.

Natu , Aryo dan Sabang tak tahu kalau kebun Natu masuk dalam kawasan hutan. Jadi ketiganya benar-benar tak menyangka diproses gara-gara menebang jati yang ditanamnya sendiri.

Categories
EKOSOB slide

Simalakama UUP3H dan Penetapan Kawasan Hutan Soppeng Kembali Menjerat Petani Kecil

Natu’, Ario dan Sabang didampingi Penasehat Hukum di Kantor Kejaksaan Negeri Watansoppeng

 

Setelah enam bulan berproses di Kantor Kepolisian Resort (Polres) Soppeng, kini berkas perkara Satu Keluarga Petani asal Kampung Ale Sewo, Kelurahan Bila, Kecamatan Lalabata, yang dijerat UUP3H telah diserahkan atau dilimpahkan ke tahap 2 (P21) ke Kejaksaan Negeri Watansoppeng, Selasa (01/09/2020).

Mereka adalah Wa’ Natu (75), Ario Permadi (31), Sabang (47), warga kampung Ale Sewo yang sehari-hari bekerja sebagai petani, dilaporkan oleh Dinas Kehutanan Kab. Soppeng atas dugaaan tindak Pidana “melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang”, sebagaiman dalam rumusan Pasal 82 Ayat (1) huruf b Jo Pasal 12 huruf b dan/atau Pasal 82 Ayat (2) Undang-Undang RI No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (UUP3H).

Pada bulan januari 2020 Wa’ Natu bersama anaknya – Ario Permadi menebang pohon jati di bantu oleh seorang paman Ario yaitu Sabang, dikebun seluas ±26 are yang diwariskan oleh orang tuanya – Takka. Pohon jati ini ditanam oleh Takka sewaktu masih hidup. Kebun ini dulunya pernah ditanami padi ladang dan jenis tanaman lainnya, namun karena struktur tanah yang berbatu membuat hasilnya kurang produktif, sehingga Almarhum Takka memutuskan menanan pohon Jati. Dari kebun jati inilah, keluarga Takka mengambil kayu bakar untuk keperluan acara hajatan seperti pernihanan, khitaman dll, termasuk 2 (dua) saudara Natu membangun rumah dari hasil kayu yang bapaknya tanam.

Ario Permadi sejak menikah masih tinggal dirumah Natu’, yang berada di Kampung Ale Sewo, Kelurahan Bila. Rumah berdinding bambu yang ia tempati sudah dibangun sejak tahun 1982, bahkan Ario lahir dirumah tersebut pada tahun 1988, di sebelah utara sekitar 20 m, masih terdapat Rumah kayu kecil peninggalan Kakeknya –Takka. Di rumah tersebut masih tinggal 2 adik laki-lakinya yang belum berkeluarga. Merasa sudah harus lebih mandiri, terlebih telah memiliki 2 anak perempuan, Ario berencana membangun rumah di sebelah rumah Kakaknya, yang juga masih merupakan tanah kebun peninggalan kakeknya.

Sebagaimana kebiasaan orang Bugis Soppeng, dengan ciri khas rumah kayu. Kayu Jati yang ditanam Kakeknya rencananya akan diolah menjadi bahan perkakas rumah. Pada Bulan Januari ia bersama bapaknya – Natu’ bin Takka kemudian mengerjakan bahan-bahan rumah Ario, mulai dari membuat tiang rumah, pasak, balok dll. Kayunya diambil dari menebang Jati di kebun yang berada di pinggir jalan Ale Sewo yang belum lama di beton melalui program PMPN Mandiri. Jarak kebun ke lokasi rencana rumah akan didirikan berjarak sekitar 50 m, dan sekitar 100 dari rumah Natu’.

Natu’ (75) menandatangani Berita Acara Penyerahan Berkas Perkara Tahap 2 (P21) di Kantor Kejaksaan Negeri Watansoppeng

 

Natu’ termasuk warga Negara yang taat membayar pajak, termasuk pajak kebun Jati yang ia tebang kayunya. Dari bukti SPPT yang tersimpan, tercatat sejak tahun 1997 hingga terakhir 2020, pajaknya masih aktif dibayarkan. Makanya ia sangat kaget saat mendapat panggilan oleh Polres Soppeng dan dituduh melakukan perbuatan Pidana. Apalagi selama ini ia memang tidak mengetahui bahwa wilayah tersebut telah ditetapkan sebagai kawasan Hutan lindung. Pun mendengar kebun dan rumahnya masuk kawasan hutan sontak membuatnya heran dan bertanya-tanya.

Jika dicek Peta kawasan Hutan Kab. Soppeng melalui GPS, berdasarkan perubahan peruntukan fungsi kawasan hutan dan penunjukan bukan kawasan menjadi Kawasan hutan di provinsi Sulawesi Selatan dalam SK 362 /Menlhk/setjen PLA.0/ 05/ 2019, kebun Natu dan Rumah-rumah di Kampung Ale Sewo termasuk rumah Natu dan keluarganya telah masuk klaim kawasan hutan. Sementara itu, mereka tidak pernah mengetahui dan diberi tahu bahwa kebun dan tanah-tanah mereka kuasai secara turun temurun telah dimasukkan klaim kawasan hutan.

Perkara yang dialami Keluarga Wa’ Natu ini, bukan kasus pertama yang terjadi di Soppeng. Pada Tahun 2017, 3 Petani asal Desa Umpungeng yaitu Jamadi, Sukardi, dan Sahidin juga dijerat oleh UUP3H dengan pasal yang sama dan ditangkap dikebun masing-masing. Namun pada tahun 2018, mereka dinyatakan tidak bersalah dan bebas oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Watansoppeng, karena ketiganya telah mengusai dan mengelolah kebun secara turun temurun dan memanfaatkan hasilnya untuk kebutuhan sehari-hari dan berbagai macam hajatan keluarga.

Dalam putusannya, Hakim menyatakan bahwa ketiganya tak bisa dijerat dengan UUP3H, karena merupakan petani tradisional yang sudah turun temurun mengelola kebun yang diklain masuk kawasan hutan dan memanfaatkan hasil kebun untuk keperluan sehari-hari. Penuntut umum kemudian mengajukan kasasi dan pada bulan Februari 2019 Mahkamah Agung menjatuhkan putusan yang isinya menguatkan putusan PN Watansoppeng.

Sejatinya UU P3H dibuat untuk menjerat pelaku kejahatan pembalakan liar dari kelompok atau korporasi dengan modus operandi canggih untuk kepentingan komersial. Selain itu Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 95/PUU-XII/2014 tertanggal 10 Desember 2015 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Ketentuan pidana Kehutanan dikecualikan terhadap masyarakat yang secara turun–temurun hidup didalam kawasan hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersil.

Natu’, Ario dan Sabang didampingi Penasehat Hukum di Kantor Kejaksaan Negeri Watansoppeng

 

Wa’ Natu, Ario Permadi dan Sabang adalah petani kecil di kampung Ale Sewo, dusun Sewo, Kelurahan Bila, Kecamatan Lalabata, kab. Soppeng yang menggantungkan kehidupannya pada hasil hutan dan tanah yang digarapnya secara turun-temurun sejak bertahun tahun lampau.

Sejak awal dipanggil pada bulan Februari 2020, Wa’ Natu, Ario Permadi dan Sabang dihadapan penyidik sudah menerangkan bahwa mereka menabang pohon semata-mata untuk membangun rumah dan lokasi penebangan pohon dilakukan  di kebun milik wa’ Natu sendiri yang telah dikuasai dan dikelolanya secara turun-temurun sementara pohon yang ditebangnya adalah pohon yang ditanam oleh wa’ Natu bersama orang tuanya puluhan tahun lampau.

Tetapi kenyataan tersebut tidak membuat penyidik Polres Soppeng berhenti melakukan penyelidikan/penyidikan dan tetap saja secara terus-menerus melayangkan panggilannya ke Wa’ Natu, Ario Permadi dan Sabang, bahkan ketiganya malah ditetapkan sebagai tersangka menggunakan UU P3H ini. Saat pamanggilan pertama dilayangkan oleh Penyidik Polres Soppeng, bersamaan dengan itu Wa’ Natu, Ario Permadi dan Sabang mulailah dirundung kekhawatiran akan nasibnya, sebab selama ini Wa’ Natu, Ario Permadi dan Sabang tidak pernah berhadapan dengan hukum.

Melihat kenyataan yang dialami oleh Jamadi, Sahidin serta Sukardi dan proses hukum yang menimpa Latu’ Natu, Ario Permadi dan Sabang semakin menguatkan pameo bahwa hukum itu tumpul ketas, tajam kebawah. Hukum yang seyogyanya lahir untuk memberi perlindungan dan mengokohkan Hak Azasi Manusia (HAM), lebih-lebih masyarakat kecil dan rentan, tetapi kenyataannya menjadi alat delegitimasi atas HAM, seratus delapan puluh derajat terbaliknya untuk perlindungan HAM.

Categories
EKOSOB slide

LBH Makassar Ajukan Praperadilan Penangkapan Nelayan “Pak Manre”

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mengajukan praperadilan atas penangkapan dan penetapan tersangka neyalan Pulau Kodingareng, Manre, oleh Direktorat Polisi Air Polda Sulawesi Selatan.

Pendamping Hukum Manre dari LBH, Edy Kurniawan mengatakan, surat praperadilan telah dilayangkan ke Pengadilan Negeri (PN) Makassar pada Jumat (28/8/2020).

“Suratnya sudah kita layangkan langsung ke Pengadilan Negeri (PN) Makassar,” jelas Edy yang ditemui sejumlah wartawan di kantornya, Jumat.

Dit Polair Polda Sulsel menetapkan Manre sebagai tersangka setelah merobek amplop berisi uang karena menolak aktivitas penambangan pasir laut. Ia dijerat pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Edy menjelaskan, praperadilan ditempuh karena LBH menilai proses penahanan tersangka Manre dianggap janggal sejak polisi menyelidiki kasus ini.

“Ditahap penyidikan, seharusnya Pak Manre ini dipanggil dulu dua kali. Nanti setelah tidak memenuhi panggilan, baru ada upaya yang dilakukan untuk dijemput paksa,” ujarnya.

Penyidik Polair telah menahan nelayan berusia 60 tahun tersebut sesaat setelah penangkapan pada Jumat, 14 Agustus 2020 di kawasan Dermaga Kayu Bangkoa, Jalan Pasar Ikan, Kota Makassar.

Saat itu, Manre dikabarkan hendak ke kantor LBH Makassar untuk berkonsulitasi dengan penasihat hukum.

Terpisah, Direktur Polair Polda Sulsel Kombes Pol Hery Wiyanto menyatakan kesiapan pihaknya menghadapi gugatan yang dilayangkan LBH Makassar.

“Sudah benar jalurnya melalui praperadilan kalau mereka anggap penyidikan kita salah. Itu tidak masalah bagi kami,” kata Hery.

Kata Hery, prosedur penyidikan yang dilakukan pihaknya untuk tersangka Manre diklaim sudah sesuai aturan perundang-undangan. “Kita juga punya ahli dalam pembinaan hukum yang akan menghadapi,” pungkasnya.

 

 

Catatan: Berita ini telah dimuat di media online kabar.news pada 28 Agustus 2020