Categories
Perempuan dan Anak

Unfair Trial dalam Kasus Pidana yang Melibatkan Perempuan di Gowa

Gowa, 28 Maret 2024. Upaya banding perkara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap putusan Majelis Hakim PN Sungguminasa dalam perkara Nomor 442/Pid.B/2023/PN Sgm dengan terdakwa Nurlaelah, melewati batas waktu permintaan banding yang selambat-lambatnya diajukan dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan dijatuhkan. 

Sidang putusan yang dilaksanakan pada tanggal 6 Maret 2024 di PN Sungguminasa, menjatuhkan vonis 1 bulan 10 hari terhadap Nurlaelah. Sedangkan, JPU diketahui baru mengajukan permintaan banding pada tanggal 21 Maret 2024. 

Hutomo Mandala Putra selaku Penasehat Hukum Nurlaelah menilai upaya banding yang diajukan JPU  menyalahi batas waktu yang telah diatur dalam Pasal 233 KUHAP ayat 2. JPU mengajukan permintaan banding terhitung 9 (sembilan) hari kerja setelah Sidang Putusan dibacakan. 

”Ini berpotensi menjadi tindakan yang melanggar prinsip Fair Trial (Unfair Trial), kami menyayangkan sikap Panitera PN Sungguminasa yang menerima permintaan banding JPU, sebab telah melewati batas 7 hari setelah putusan dibacakan. Jelas ini cacat formil sehingga Hakim pada Pengadilan Tinggi seharusnya menyatakan  permintaan banding JPU tidak dapat diterima dan menyatakan batal demi hukum,” tegas Hutomo.

Hutomo menambahkan jika sejak awal JPU telah memaksakan upaya tuntutan terhadap Nurlaelah. JPU mengabaikan situasi Nurlaelah yang merupakan seorang perempuan korban penganiayaan yang berupaya melakukan pembelaan diri, atas tindakan penganiayaan yang dilakukan Cowa Dg. Liwang  yang juga dituntut pidana atas peristiwa tersebut dengan registrasi perkara lain. 

Termasuk putusan Majelis Hakim PN Sungguminasa tidak mempertimbangkan dengan secara bijak, serta tidak melihat fakta jika Nurlaelah melakukan perlawanan (Noodwer) atau tindakan pembelaan diri dengan melempar Cowa Dg Liwang. JPU dan Majelis Hakim gagal melihat adanya relasi kuasa yang timpang antara Nurlaelah dengan Cowa Dg Liwang.

“Seharusnya Nurlaelah sejak awal dibebaskan dari segala tuntutan dan diputus bebas atau tidak bersalah karena fakta dan unsur pasal 351 ayat (1)  tidak terpenuhi, belum lagi dengan pembenaran atas perbuatan Nurlaelah saat melakukan pembelaan Terpaksa (Noodwer) sebagaimana merupakan Alasan Pembenar yang meniadakan sifat melawan hukum suatu perbuatan, yang termuat dalam pasal 49 ayat (1), dan unsurnya pasalnya pun terpenuhi,” terang Hutomo.

Sementara itu saat dimintai keterangan terkait hal tersebut, pihak PN Sungguminasa melalui Humas, Syahbuddin, S.H. menerangkan bahwa upaya banding JPU yang telah melewati batas waktu akan menjadi catatan untuk dikirimkan ke Pengadilan Tinggi.

“Ini seharusnya batal karena cacat Formil, dan akan menjadi catatan bagi kami yang akan kami lampirkan saat dikirim ke Pengadilan Tinggi. Jaksa seharusnya tidak mengajukan banding melebihi waktu yang telah ditetapkan dalam KUHAP,” ujar Syahbuddin saat ditemui di PN Sungguminasa, kamis (28/03/2024).

Dalam proses penuntutan, JPU seharusnya mengikuti pedoman Kejaksaan No. 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana, yang meminta agar penanganan perkara pidana yang melibatkan perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan dengan perspektif akses keadilan terhadap perempuan dan anak. 

Oleh karena itu, dituntutnya korban kekerasan yang melakukan upaya pembelaan diri menunjukan adanya tindakan JPU yang melanggar perlindungan terhadap perempuan sebagai kelompok rentan dan prinsip Fair Trial yang menjadi indikator terbangunnya sistem peradilan dan masyarakat yang adil.

“Aparat penegak hukum dalam hal ini panitera, jaksa, dan majelis hakim mengabaikan posisi rentan nurlaelah. Ia adalah Ibu Rumah Tangga yang menanggung hidup anaknya, kondisi Ibu Nurlaelah pada saat kejadian merupakan korban kekerasan dan tidak berdaya secara fisik. Ini merupakan alasan kuat majelis hakim untuk membebaskan Nurlaelah,” tambah Ian Hidayat Pendamping Hukum Nurlalelah

Proses persidangan telah mengaburkan fakta bahwa Nurlelah merupakan perempuan korban kekerasan, ditambah saksi yang dihadirkan JPU merupakan anak kandung dan istri dari Cowa Dg. Liwang. Anak Cowa Dg. Liwang memberikan keterangan yang menyudutkan Nurlaelah sebagai pelaku kekerasan, dimana keterangan yang diberikan patut dipertanyakan kebenarannya sebab memiliki hubungan darah dengan Pelaku, serta tidak terdapat saksi lain yang dapat memberatkan Nurlaelah. 

Atas putusan Majelis Hakim dalam Perkara yang mengadili Nurlaela, dengan menjadi dasar penasehat hukum untuk mengajukan upaya banding. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi harus lebih cermat memeriksa perkara ini dalam mengadili dan membebaskan Nurlaelah dari segala tuntutan.

Categories
Perempuan dan Anak

Keluarga Korban Pemerkosaan Perempuan Disabilitas Tuntut Pelaku Segera Ditetapkan sebagai Tersangka

Luwu Timur, 21 Februari 2024. Keluarga disabilitas korban pemerkosaan melakukan aksi demonstrasi di Kantor Polres Luwu Timur. Aksi ini dilakukan untuk mendesak penyidik Polres Luwu Timur untuk segera menetapkan tiga orang terduga pelaku  sebagai Tersangka atas dugaan tindak pidana kekerasan seksual.

Dalam orasinya, N selaku paman korban menyoroti proses pemeriksaan yang dilakukan terkesan melindungi terduga pelaku. Menurutnya, tiga orang terduga pelaku tidak pernah dibahas penyidik dalam proses pemeriksaan. N juga mempertanyakan dasar dari kepolisian menyatakan kasus yang dialami keponakannya bukanlah pemerkosaan, melainkan persetubuhan.

“Pada saat saya diperiksa sebagai saksi, dalam pertanyaan yang diajukan penyidik, mengarah pada hubungan persetubuhan antara keponakan saya dengan salah satu pelaku. Bukan peristiwa pemerkosaan. Padahal, penyidik sendiri tahu dengan jelas, setelah melapor kami melarikan Korban ke Rumah Sakit. Dari rekam medik yang kami pegang, ada luka di organ vital dan bagian tubuh lainnya,” tegas N.

Sejak melaporkan peristiwa ini pada 16 November 2023, pihak keluarga korban kerap sulit mendapatkan informasi perkembangan perkara. 

“Sejak awal penyelidikan, kami merasa bahwa ada hal yang sengaja ditutup-tutupi oleh penyidik. Misalnya, di awal sebelum kami didampingi oleh LBH Makassar, kami sulit memperoleh informasi perkembangan proses hukum dari penyidik. Kami bahkan tidak diberi kabar terkait olah TKP yang dilakukan penyidik. Padahal lokasinya sangat dekat dari rumah. Yang lebih menyakitkan lagi, saya bahkan dilaporkan ke Polisi,” tambahnya.

Nur Alisa, Tim Kuasa Hukum Korban dari LBH Makassar membenarkan pernyataan tersebut.

“Sejak awal pemeriksaan kami menemukan beberapa kejanggalan. Misalnya, pada pemeriksaan pertama korban, keluarga dilarang untuk mendampingi. Kemudian, adanya upaya kriminalisasi terhadap keluarga korban dalam bentuk laporan polisi oleh salah satu karyawan Hotel yang namanya masuk sebagai daftar terduga pelaku yang ikut serta berperan dalam terjadinya tindak pidana pemerkosaan. Bahkan, pihak korban tidak diberi informasi apapun terkait olah tempat kejadian perkara yang dilakukan penyidik,” jelasnya.

Menurutnya, dari rangkaian kejanggalan diatas menunjukkan keberpihakan penyidik tidak pada korban. Pihaknya, kemudian melakukan upaya keberatan dengan bersurat ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk mendesak dilakukan evaluasi dan supervisi atas hasil gelar perkara yang dilakukan Polda Sulsel dan Polres Lutim yang justru mengaburkan fakta tindak pidana yang terjadi.

“Kami juga sudah melakukan koordinasi dengan Kejaksaan Negeri Luwu Timur, terkait proses hukum perkara ini. Kami ingin memastikan bahwa penyidikan yang dilakukan Polres Luwu Timur mengedepankan fakta dan mampu menyeret semua pelaku ke meja pengadilan. Persetubuhan yang didalilkan oleh penyidik justru rentan membuat pelaku lainnya lolos dari jeratan hukum. Selain itu, fakta kekerasan dan luka pada organ vital korban akan terabaikan,” tegas Mira Amin, Kepala Divisi Hak Perempuan, Anak dan Disabilitas LBH Makassar.

Massa aksi kemudian melakukan orasi di depan kantor Polres Luwu Timur. Namun, belum lama menyampaikan pendapat, pihak Polres mendatangi massa aksi dan memaksa untuk bubar. Sempat terjadi perdebatan antara pihak keluarga korban, pendamping hukum dan Polres Lutim. Upaya intimidatif dilakukan untuk menghentikan aksi, dengan cara merampas alat pengeras suara yang digunakan massa aksi.

Kapolres Lutim merespon aksi tersebut dengan meminta massa aksi untuk bertemu secara langsung. Pihak keluarga korban yang sejak awal tidak pernah bertemu Kapolres Lutim mengiyakan permintaan tersebut. Pertemuan yang dilakukan di Aula Tribrata, menghadirkan pihak keluarga korban, Tim Kuasa Hukum LBH Makassar, Media, Kapolres, Wakapolres, Kasat Reskrim, Kasat Intel, Propam, Kanit PPA dan penyidik lain Polres Lutim.

Dalam penyampaiannya, Kapolres Lutim mengakui tidak mengetahui secara detail terkait proses hukum yang dilakukan, termasuk fakta sumber uang dua ratus ribu rupiah yang diklaim penyidik sebagai barang bukti transaksi antara pelaku dan korban. Pihaknya akan melakukan penyelidikan dan pengawasan lebih lanjut terhadap penyidik yang menangani perkara tersebut.

Berdasarkan penjelasan tersebut, Tim Kuasa Hukum LBH Makassar menuntut :

  1. Kapolres Lutim untuk menangkap dan mengadili semua pelaku pemerkosaan;
  2. Kapolres Lutim untuk memberikan keadilan bagi korban dengan melakukan penyidikan secara adil, terbuka dan menyeluruh;
  3. Berikan hak pemulihan terhadap korban;
  4. Kapolres Lutim untuk mempercepat proses hukum terhadap laporan korban;
  5. Kapolres Lutim Membuka rekaman CCTV Hotel kepada pihak keluarga korban;
  6. Kompolnas untuk segera lakukan evaluasi dan supervisi terhadap Kapolda Sulsel dan Kapolres Luwu Timur.

 

Narahubung : LBH Makassar: 085342589061

Categories
Perempuan dan Anak

Ingkari Pedoman Kejaksaan, JPU Tuntut Perempuan Korban Penganiayaan Dua Bulan Penjara

Makassar, 12 Februari 2024. Sidang Penganiayaan terhadap Terdakwa Nurlaelah dilaksanakan di Pengadilan Negeri Sungguminasa, Gowa. Agenda sidang tersebut (7/2) adalah pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) .

Nurlaelah  merupakan seorang Ibu Rumah Tangga berumur 47 tahun yang dalam fakta persidangan terbukti  menjadi korban penganiayaan yang diduga dilakukan oleh Cowa Dg. Liwang. Akibat dari penganiayaan tersebut Nurlaelah mengalami luka robek di kepala bagian  belakang dengan 15 (lima belas) jahitan karena dilempar dengan batu oleh pelaku. Setelah dilempar, pelaku Cowa Dg. Liwang juga merebut sekop dari tangan Nurlaelah dan memukulkan sekop tersebut ke lengan dan Punggung Nurlaelah, sehingga lengan dan punggungnya mengalami memar. 

Sebelum dipukul Nulaelah sempat  melakukan pembelaan diri dengan mencoba mempertahankan sekop di tangannya yang terus ingin direbut oleh pelaku. Ironisnya, dari pembelaan diri yang dilakukannya, Nurlaelah malah  dikenakan delik tindak pidana penganiayaan sebagaimana Pasal 351 ayat (1) KUHPidana.

Parahnya lagi dalam agenda sidang tuntutan tersebut, Nurlaelah dituntut pidana selama 2 bulan penjara. Sedangkan, Cowa Dg. Liwang hanya dituntut pidana penjara selama  4 bulan. Nurlaelah dengan mata berbinar menyayangkan tuntutan jaksa tersebut.

Saya hampir mati, dilempar di bagian kepala saya hingga robek. Kenapa Cowa Dg. Liwang hanya dituntut 4 bulan. Sedangkan, saya sebagai korban  juga dituntut penjara?” Kata Nurlaelah di depan Majelis Hakim

Dalam hal ini, tindakan Penyidik dari Polsek Bontonompo yang menetapkan status tersangka sampai didakwa melakukan tindak pidana penganiayaan oleh (JPU) adalah tindakan yang abai terhadap fakta bahwa Nurlaleh adalah seorang perempuan (kelompok rentan) yang menjadi korban kekerasan. Apalagi pada saat terjadi kekerasan, Nurlaelah menggunakan rok panjang yang menyulitkan dirinya untuk melarikan diri dari serangan pelaku, bahkan saat itu, Nurlaelah tidak langsung memperoleh pertolongan, karena saksi yang melihat jauh dari tempat kejadian, sehingga Nulaelah hanya bisa berteriak meminta tolong karena ketakutan. 

JPU seharusnya mengikuti pedoman Kejaksaan No. 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana, yang meminta agar penanganan perkara pidana yang melibatkan perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan dengan perspektif akses keadilan terhadap perempuan dan anak. Oleh karena itu, dituntutnya korban kekerasan yang melakukan upaya pembelaan diri ini menunjukan adanya tindakan JPU yang melanggar perlindungan terhadap perempuan sebagai kelompok rentan dan prinsip peradilan fair and Trial (peradilan yang adil) yang menjadi indikator terbangunnya sistem peradilan dan masyarakat yang adil.

Karena JPU bersikeras untuk menuntut korban, maka Majelis hakim yang mengadili perkara ini, seharusnya benar-benar melihat fakta sebenarnya dan memperhatikan kondisi terdakwa sebagai perempuan korban kekerasan akibat ketidakberdayaan fisik maupun psikis saat kekerasan terjadi. Hal ini sebagaimana ketentuan pasal 4 huruf (e) Perma No. 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.

“Dari awal kasus ini seharusnya dihentikan dan tidak dituntut oleh JPU, mengingat memang faktanya Nurlaelah adalah korban kekerasan (penganiayaan) yang melakukan upaya pembelaan diri. Dituntutnya Nurlaelah, menunjukan tidak adanya keberpihakan JPU terhadap hak-hak perempuan sebagai kelompok rentan. Apalagi kerentanan itu semakin terlihat ketika pelaku menganiaya korban (Nurlaelah), saat kepala korban sudah berlumuran darah dan saat itu tidak ada sama sekali pertolongan terhadap korban,” ungkap Hutomo M.P., Penasehat hukum Korban

Termaktub dalam pasal 4 huruf (e) Perma No. 3 Tahun 2017, bahwa “dalam pemeriksaan perkara, hakim agar mempertimbangkan Kesetaraan Gender dan non-diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta persidangan: (e) . ketidakberdayaan fisik dan psikis korban”

Melihat fakta persidangan ini, khususnya tindakan Cowa Dg. Liwang yang melakukan kekerasan dan ketidakberdayaan fisik dan psikis yang dialami Nurlaelah sebagai korban kekerasaan pada saat kejadian, maka majelis hakim seharusnya membebaskan Nurlaelah. Nurlaelah adalah Korban,” tambahnya Hutomo.

***


Penulis: Muhammad Ian Hidayat

Categories
Perempuan dan Anak

Berkas Kasus Briptu S Dikirim Ke Kejaksaan, LBH Makassar Desak Tersangka Ditahan!

Makassar, 12 Februari 2024. Laporan Polisi: LP/B/747/VII/2023/SPKT/ POLDA Sulsel, tertanggal 22 Agustus 2023 yang dilakukan oleh F, korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh Anggota Polri di Rumah Tahanan Polda Sulsel menuai babak baru. Pada 21 Desember 2023, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin.Sidik/2886/XII/RES.1.24/2023/ KRIMUM, laporan saksi korban telah dinaikkan ke tahap penyidikan. 

Pada 28 Desember 2023, Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum menetapkan Briptu S, sebagai Tersangka dugaan tindak pidana kekerasan seksual,  sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf c Jo. Pasal 15 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Berdasarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP), tertanggal 29 Januari 2024, Penyidik Polda Sulsel telah mengirimkan berkas perkara Tersangka ke Kejaksaan Negeri Makassar, sesuai Surat Pengiriman Berkas Perkara Nomor: C.1/06/I/RES.1.24/2023 Ditreskrimsus, tanggal 11 Januari 2024. Surat ini baru diterima oleh Tim Kuasa Hukum korban pada 6 Februari 2024.

Untuk memastikan percepatan proses hukum terhadap Tersangka, pada 29 Januari 2024, Tim Kuasa Hukum LBH Makassar bersurat ke POLDA Sulawesi Selatan  mendesak Kapolda Sulsel untuk menetapkan pembatasan gerak pelaku dengan melakukan penahanan. Namun, hingga detik ini Tersangka masih bebas berkeliaran.

Mirayati Amin, S.H., selaku Kuasa Hukum korban menilai kasus ini patut mendapatkan atensi publik. Pasalnya, kasus seperti ini jarang terexpose atau diketahui khalayak umum. Karena, bagi korban butuh waktu untuk akhirnya berani melaporkan pelecehan seksual yang dialami. Mengingat, tidak mudah menyeret anggota Polri ke Pengadilan atas tindak pidana yang dilakukan.

“Berdasarkan laporan LBH Makassar, sejak pengesahan Undang-Undang TPKS, hampir tidak ada kasus yang sampai ke persidangan dan korban mendapatkan keadilan. Saat melapor Korban justru mengalami reviktimisasi dan diminta untuk membuktikan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, yang seharusnya menjadi fokus aparat penegak hukum dalam mencari pembuktian unsur pasal,” tegas Mirayati Amin.

Kasus ini seharusnya menjadi sorotan publik dan patut untuk diberikan atensi penuh. Hal ini beralasan dengan melihat sederet kasus serupa yakni Anggota Polri yang diduga melakukan tindak pidana sangat sulit untuk dimintai pertanggungjawaban. Praktik undue delay yang berujung pada menebalnya Impunitas ditubuh Polri.

Sejak awal, sangkaan kasus ini akan menemui aral dan menambah daftar kasus impunitas dan undue delay pada institusi kepolisian. Hal ini merujuk pada kasus-kasus yang terjadi sebelumnya yang juga kami dampingi, misalnya kasus Agung, Anjasmara, Sugianto dan Nuru Saali, yang mana hingga saat ini proses hukumnya masih gelap. Kasus-kasus ini menggambarkan proses hukum yang busuk yang dilakukan oleh Institusi Kepolisian,” tegas Muhammad Ansar.

***

Penulis: Mirayati Amin

Categories
Perempuan dan Anak

Proses Penyelidikan Polres Lutim Mengaburkan Fakta Kekerasan Korban Pemerkosaan

Luwu Timur, 11 Januari 2024. Tim Penasehat Hukum LBH Makassar bersama Pelapor/Saksi korban menghadiri panggilan pemeriksaan saksi oleh penyidik Polres Luwu Timur. Pemeriksaan dilakukan terhadap Korban (AF) yang merupakan penyandang disabilitas intelektual, ditemani oleh M (Tante/Wali Korban) dan N (Paman Korban) di Polres Luwu Timur.

Namun dalam proses pemeriksaan N, diketahui bahwa penyidik Unit PPA Polres Luwu Timur sama sekali tidak memasukkan unsur pemerkosaan sebagai tindak pidana yang dilakukan pelaku terhadap korban, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 KUHP. Padahal, diketahui pasca melaporkan peristiwa tersebut, korban sempat dilarikan ke Rumah Sakit karena mengalami pendarahan pada organ vitalnya.

Tak hanya itu, pada proses pemeriksaan diketahui, penyidik Polres Luwu Timur juga telah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) tanpa pemberitahuan dan pelibatan pihak korban. 

Pengabaian terhadap luka dan rekam medik korban, serta proses penyelidikan yang tertutup semakin memperkuat dugaan adanya indikasi upaya mengaburkan fakta pemerkosaan yang dilakukan oleh Penyidik.

Atas pertimbangan di atas, Tim Penasehat Hukum LBH Makassar, mengajukan keberatan atas dalil pasal yang digunakan oleh Polres Luwu Timur. Penggunaan Pasal persetubuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 KUHP adalah pengabaian terhadap fakta bahwa telah terjadi pemaksaan dengan kekerasan untuk berhubungan badan, sebagaimana diterangkan dalam hasil visum korban.

“Dengan tidak dimasukkannya pasal pemerkosaan oleh penyidik, mengakibatkan kaburnya fakta bahwa Korban mengalami kekerasan dan pemaksaan berhubungan badan. Luka-luka yang dialami korban pasca peristiwa, yang menyebabkan Korban harus dirawat di rumah sakit, ternyata tidak cukup bagi penyidik untuk membuktikan adanya peristiwa kekerasan tersebut,” jelas Lisa, selaku pendamping hukum LBH Makassar.

“Kami juga menyayangkan karena tidak dimasukkannya Pasal 55 KUHPidana Jo. Pasal 56 KUHPidana pada Kasus tersebut. Padahal, berdasarkan keterangan korban terdapat 3 orang terduga pelaku utama dan 1 orang pelaku sebagai orang yang ikut membantu terduga pelaku dalam melancarkan aksinya,” tutur Nunuk yang juga merupakan pendamping hukum LBH Makassar

Selanjutnya, pada 12 Januari 2024, tim LBH Makassar bersama M, N, dan Korban kembali mendatangi Polres Luwu Timur untuk menghadiri panggilan dari Kasat Reskrim Polres Luwu Timur, terkait keberatan yang dilakukan oleh kuasa hukum. Pertemuan tersebut ikut dihadiri oleh empat orang kanit dan satu orang perwakilan UPTD PPA Luwu Timur. 

M kemudian mengatakan kalau pihak Korban merasa kecewa terhadap pihak kepolisian atas proses yang sementara berjalan.

“Sangat kecewa, saya saat membuat laporan BAP yang pertama itu, di situ saya mengatakan kalau ini adalah pemerkosaan. Tapi setelah dilakukan lagi laporan kedua, di situ sudah dihilangkan tentang pemerkosaan, malah yang diangkat itu tentang persebutubuhan. Jadi sangat-sangat kecewa dan merugikan kami dari pihak korban.” Tutup M.

Categories
Perempuan dan Anak

Lagi, Polres Luwu Timur Lamban Dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual

Perempuan disabilitas intelektual AF (21) jadi korban kekerasan seksual pada 15 November 2023, yang diduga dilakukan oleh 3 orang tamu hotel Mireya, dibantu oleh salah satu petugas Hotel. Pihak keluarga kemudian melaporkan peristiwa tersebut ke Polres Luwu Timur, sebagaimana Laporan Polisi Nomor : LP/B/87/XI/2023/SPKT/Polres Luwu Timur/Polda Sulawesi Selatan, tanggal 16 November 2023.

Saat ini proses hukum yang dilakukan oleh Polres Lutim masih dalam proses penyelidikan. Namun, terkait perkembangan penyelidikan, pihaknya belum menerima informasi detail dari penyidik. Pelapor terakhir menerima perkembangan hasil penyelidikan pada 16 November 2023, tanggal yang sama dengan laporan dimasukkan.

Bersama dengan pihak keluarga selaku pelapor, Tim Penasehat Hukum LBH Makassar mendatangi Polres Lutim, pada 21 November 2023, meminta informasi perkembangan penyelidikan. Namun, saat tiba Kanit PPA yang menangani perkara tidak berada di tempat. Tidak ada satupun dari Unit PPA yang bisa dimintai keterangan.

N, selaku tante korban mengaku bingung terhadap proses penyelidikan yang terkesan lamban. Dirinya dan pihak keluarga merasa kesulitan dalam mengakses informasi perkembangan laporan.

“Saya merasa penyidik tidak terbuka kepada kami pihak keluarga terkait proses penyelidikan. Sudah lebih sebulan sejak kami melapor, tidak ada satupun informasi kami terima. Kami bahkan tidak tahu, siapa saja yang sudah diperiksa, bukti apa saja yang sudah terkumpul. Kami hanya diminta untuk  sabar dan menunggu”. Jelasnya.

N selaku om korban menambahkan bahwa keluarga korban sudah melakukan visum secara mandiri. Nurdin juga meminta Polres Lutim untuk terbuka dengan proses penyelidikan yang dilakukan. 

“Setelah memasukkan laporan ke Polres Lutim, kami secara mandiri melakukan pemeriksaan visum  di Rumah Sakit Primaya Inco Sorowako dan hasilnya sudah diambil langsung oleh penyidik Unit PPA. Rekaman cctv hotel juga kemungkinan sudah diamankan penyidik, tapi kenapa proses hukumnya seperti jalan di tempat. Pelakunya masih bebas berkeliaran. Sementara setiap hari kami harus menghadapi cerita-cerita pemerkosaan yang dialami keponakan saya. Bagaimana kami bisa tenang”. tambahnya.

Sementara itu, Mirayati Amin selaku penasehat hukum korban mengatakan Timnya telah melakukan upaya desakan percepatan penanganan perkara terkait kasus yang dialami AF. 

“Sejak awal pendampingan, kami sudah mencoba berkoordinasi dengan Kanit PPA Polres Lutim, baik melalui surat maupun menghubungi langsung via telepon. Namun, tidak ditanggapi. Sehingga, kami kemudian bersurat ke beberapa instansi seperti Komnas Disabilitas, Komnas Perempuan, Kompolnas dan Mabes Polri. Tujuannya, agar instansi ini memberikan desakan dan mengawal jalannya proses hukum terhadap pelaku.” 

“Hari ini kami mendatangi Polres Lutim untuk mendapatkan perkembangan informasi penyelidikan. Berdasarkan penjelasan Kasat Reskrim, saat ini pihaknya masih menunggu hasil asesmen psikolog Rumah sakit Bhayangkara, untuk selanjutnya dilakukan gelar perkara” terangnya.

LBH Makassar mengingatkan penyidik Polres Lutim, bahwa tindak pidana pelecehan seksual fisik memiliki ancaman pidana penjara paling lama 12 tahun, ditambah 1/3 mengingat korban adalah seorang disabilitas intelektual, sebagaimana diatur dalam UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Proses hukum ini akan menjadi parameter dalam melihat kinerja dan keberpihakan Kapolres Lutim yang baru, dalam menangani kasus kekerasan seksual.

Categories
Perempuan dan Anak

Jaksa Penuntut Umum Gagal Memahami Kekerasan Berbasis Gender (KBG) dalam Melakukan Penuntutan

Dalam Duplik Penasehat Hukum R (Terdakwa) yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Makassar pada tanggal 8 Mei 2023. Kuasa Hukum R menyampaikan beberapa pandangan bahwa fakta peristiwa yang terungkap dalam persidangan adalah respons yang diberikan oleh Terdakwa akibat adanya relasi kuasa yang timpang dimana Terdakwa berada dalam relasi kuasa yang inferior. Terdakwalah yang telah kerap kali mengalami kekerasan dalam Rumah Tangga,  yang membuat kondisi mental dan psikisnya  tertekan dan labil, sehingga mempengaruhi responnya terhadap situasi yang dialami. 

Yang dimaksud dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum gagal dalam memahami konteks masalah yakni adanya kekerasan berbasis gender yang titik berangkatnya ada relasi kuasa yang timpang yang dialami oleh R.

Bahwa dalam Peraturan MA No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan berhadapan dengan Hukum, harus pula melihat Relasi Kuasa di mana relasi kuasa diartikan sebagai relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/ atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan pendidikan dan/ atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya dalam konteks relasi antar gender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah.

Terlebih lagi JPU abai terhadap Pedoman Kejaksaan No. 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana. Secara khusus pada bagian D angka 1 huruf c, d, e yang menyatakan bahwa:

c. untuk perempuan pelaku dan/ atau anak yang melakukan tindak pidana namun terdapat keadaan seperti:

  1. Riwayat kekerasan yang pernah dialami pada waktu melakukan atau pada saat tindak pidana terjadi;
  2. Keadaan psikologi/jiwa pada waktu melakukan atau sebagai akibat tindak pidana;
  3. Kondisi stereotip gender yang membuat terikat pada posisi atau kedudukan tertentu dalam keluarga dan/atau masyarakat;
  4. Hubungan dominasi yang menempatkan sebagai subordinasi dan/atau;
  5. Kondisi lain yang melatarbelakangi melakukan tindak pidana atau bereaksi terhadap tindak pidana

Penuntut umum membangun kausalitas antara keadaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai angka 5 dengan didukung oleh keterangan, laporan ahli, keterangan pekerja sosial, dan/atau laporan sosial, serta persesuaian alat bukti sesuai dengan fakta hukum dihubungkan dengan tindak pidana.

d. Dalam hal terdapat kausalitas antara huruf c maka tindak pidana yang dilakukan oleh perempuan pelaku dan/atau anak dapat menjadi alasan pembenar atau alasan yang meniadakan kesalahan

e. Dalam hal terdapat kausalitas antara huruf c , tapi terdapat alasan pembenar atau alasan yang meniadakan kesalahan maka penuntut umum mempertimbangkan sebagai keadaan yang meringankan.

Berdasarkan PERMA diatas, sepatutnya JPU mengurai Fakta secara detail, dan dengan tidak melihat respon Terdakwa dalam peristiwa adalah merupakan kejadian tunggal melainkan akumulasi peristiwa kekerasan yang dialami R selama menjalankan hubungan rumah tangga.

Categories
Perempuan dan Anak

Polisi yang Todong Anak dengan Senjata Api Dituntut Ringan, Abaikan Keadilan Anak dan Langgengnya Kultur Kekerasan Polri

Polisi yang todong anak 13 tahun di Bone dengan senjata api pada 18 November 2021 lalu dituntut 6 bulan penjara oleh jaksa penuntut umum. Di tengah sorotan publik terhadap kultur kekerasan di institusi Polri, penuntut umum tidak mempertimbangkan status terdakwa yang merupakan anggota Polri sebagai alasan yang memberatkan. Sidang dengan agenda pembacaan tuntutan berlangsung pada 16 Agustus 2022 di Pengadilan Negeri Watampone. Perkara tindak pidana kekerasan terhadap anak yang dilakukan Terdakwa Ilham Usfar Bin Usman disidangkan sejak 14 Juli 2022.

LBH Makassar menilai tuntutan penuntut umum mengesampingkan asas perlindungan dan keadilan bagi anak, serta kontribusi lemahnya penegakan hukum bagi polisi pelaku kekerasan pada langgengnya kultur kekerasan di institusi Polri. Beberapa catatan LBH Makassar atas proses persidangan adalah sebagai berikut:

  1. Perbuatan terdakwa dilakukan dengan senjata api yang diperoleh karena statusnya sebagai anggota Polri dapat memenuhi ketentuan pemberatan Pasal 52 KUHPidana dimana hukumannya ditambahkan Namun dalam tuntutannya penuntut umum tidak menyertakan ketentuan tersebut. Tuntutan 6 bulan penjara penuntut umum bahkan jauh dari ancaman pidana maksimal tindak pidana yang didakwakan. Pasal 80 ayat (1) Jo. 76C UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, memberikan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Tuntutan 6 bulan penjara bagi terdakwa juga menunjukkan penuntut umum tidak melihat kekerasan terhadap anak sebagai persoalan serius sehingga perlu dijatuhi sanksi tegas.
  2. Sebelumnya dalam sidang tanggal 19 Juli 2022 dengan agenda pemeriksaan saksi Hakim dan penuntut umum masih menggunakan atribut lengkap. Sementara Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak menentukan bahwa “Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan petugas lain dalam memeriksa perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi tidak memakai toga atau atribut kedinasan”. Penyimpangan atas ketentuan ini pun menjadi dasar pengajuan pemantauan sidang oleh Komisi Yudisial.

Demikian jaminan perlindungan terhadap anak tertuang dalam Pasal 28B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimana “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Untuk itu LBH Makassar meminta agar:

  1. Hakim dalam perkara dapat mempertimbangkan untuk menjatuhi terdakwa hukuman maksimal dan pemberatan berupa hukuman penjara beserta denda;
  2. Kejaksaan Negeri Bone mengevaluasi penuntutan atas terdakwa dan melakukan pemeriksaan terhadap penuntut

 

YLBHI-LBH Makassar
Makassar, 17 Agustus 2022

 

Narahubung:

Ridwan, S.H., M.H. – LBH Makassar – YLBHI (085255553776)

Mirayati Amin, S.H. – LBH Makassar – YLBHI (085342589061)

Muhammad Ansar, S.H – LBH Makassar – YLBHI (081241163839)

Categories
Perempuan dan Anak SIPOL

LBH Makassar Desak Polisi Percepat Proses terhadap Anggota Polisi yang Todong Anak dengan Pistol

Sejak dilaporkan pada tanggal 26 November 2021, laporan polisi orang tua korban A (13) Anak Korban di Kab. Bone yang ditodong pistol oleh anggota polisi masih berproses di Kepolisian. Info terakhir yang diterima pihak korban, berkas dengan tersangka Bripka Ilham Uspar telah dikirim ke jaksa penuntut umum.

Polisi menyatakan laporan dinyatakan telah diproses dan ditemukan bukti yang cukup untuk menyatakan bahwa tersangka telah melakukan tindak pidana Kekerasan terhadap Anak sebagaimana Pasal 80 ayat (1) Jo. 76 C UU RI No.35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Hal ini berdasarkan surat pemberitahuan dari Kepolisian Resor Bone tertanggal 2 Juni 2022, dimana proses penanganan perkara telah dilakukan pengiriman berkas ke Kejaksaan Negeri Bone. Selanjutnya berkas perkara masih harus dinyatakan lengkap oleh Jaksa Penuntut Umum untuk penanganan perkaranya dilimpahkan ke Kejaksaan.

Meski dinyatakan tersangka dalam laporan tindak pidana kekerasan terhadap anak, proses sidang disiplin terhadap Bripka Ilham Uspar belum dilakukan. Sebelumnya Propam Polda Sulsel melakukan penyidikan terhadap pelanggaran disiplin terhadap yang bersangkutan. Selanjutnya dalam Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Pemeriksaan Propam, tindak lanjutnya dilimpahkan kepada Kapolrestabes Makassar selaku Ankum untuk dilakukan sidang disiplin. Namun Polrestabes Makassar menunda pelaksanaan Sidang Disiplin dengan dalih proses belum bisa diagendakan dikarenakan menunggu selesainya proses pidana terlebih dahulu, atau perkara tindak pidana memiliki kekuatan hukum tetap.

Penjatuhan tindakan disiplin melalui sidang disiplin semestinya dilaksanakan seketika dan langsung pada saat diketahuinya pelanggaran disiplin. Terlebih jika didukung dengan telah dilakukannya pemeriksaan awal di Polda Sulsel, serta dalam perkara tindak pidana telah ada penetapan tersangka.

Dalam perkara lain misalnya pemerkosaan terhadap anak berumur 13 tahun di Kabupaten Gowa yang juga sempat ramai beberapa waktu lalu. AKBP M langsung diproses dalam sidang disiplin dan dinyatakan terbukti melanggar pasal 7 ayat (1) peraturan kapolri nomor 14 tahun 2011, dengan sanksi Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH). Sidang ini dilakukan tanpa adanya putusan peradilan terlebih dahulu.

Penanganan berlarut dan pembiaran laporan menjadi pola yang kerap dilakukan dalam proses hukum terhadap polisi yang melakukan kekerasan terhadap warga sipil, sehingga praktek impunitas terus mengakar di institusi Polri. Sebagai korban kekerasan, anak pun berhak atas perlindungan khusus berupa penanganan cepat dari aparat penegak hukum. Kepolisian harus lebih tegas dan transparan dalam penanganan kasus yang dilakukan anggotanya. Untuk itu LBH Makassar mendesak agar Polres Bone dan Kejaksaan Negeri Bone melakukan percepatan penanganan perkara dengan segera melakukan pelimpahan perkara sebagai wujud perlindungan terhadap anak korban. Selain itu, LBH Makassar juga menesak Polrestabes Makassar segera melaksanakan sidang disiplin atas anggotanya dan memberikan sanksi tegas.

Categories
Perempuan dan Anak slide

LBH Desak Polda Gelar Perkara Kasus Pencabulan 3 Bocah Asal Lutim

Tim pendamping hukum menyoroti kinerja Polda Sulawesi Selatan (Sulsel) dalam menangani tindak lanjut visum pembanding kasus dugaan pencabulan tiga bocah asal Luwu Timur (Lutim) oleh ayah kandungnya sendiri.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Haswandy Andi Mas selaku koordinator tim pendamping hukum menilai, Polda Sulsel terkesan mengulur-ulur waktu terkait pelaksanaan gelar perkara hasil visum pembanding.

“Polda harus betul-betul memberikan atensi kasus ini. Jangan sampai polda misalnya nanti disoroti oleh pemerintah pusat. Ini perhatian besar, apalagi ada perintah Presiden Jokowi terkait kasus-kasus yang menjadi sorotoan khususnya kasus kekerasan perempuan dan anak harus dituntaskan,” kata Haswandy kepada SINDOnews, Senin (20/1/2020).

Baca Juga:

Kasus Tiga Anak di Lutim Diduga Diperkosa Ayah Kandung Segera Digelar Kembali

Apa Kabar Kasus Dugaan Ayah Cabuli Anak di Lutim?

Haswandy mendesak Polda Sulsel khususnya Direktorat Reserse Kriminal Umum, untuk sesegera mungkin, menggelar perkara hasil visum pembanding yang telah dilayangkan pihaknya sejak Desember 2019 lalu.

“Kita sebenarnya dari lawyer, mengutamakan bagaimana mekenisme internal Polda Sulsel yang sudah diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019. Syarat-syaratnya itu sudah pasti, sudah jelas memenuhi unsur untuk digelar,” tegasnya.

Terlebih, menurutnya kasus ini sudah jadi pantauan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) RI. Sehingga kata Haswandy konteks perjalanan  kasus sudah menyentuh level nasional. Didiamkannya kasus ini, menurut dia akan menjadi catatan buruk kepolisian.

Baca Juga:

Sejumlah Ahli Dilibatkan Advokasi Kasus Pencabulan 3 Bersaudara di Lutim

Difasilitasi LBH, Kasus Dugaan Sodomi Ayah Kandung Diambil Alih Polda Sulsel

“Kasus ini juga sudah menjadi perhatian publik bukan hanya di level Sulsel tapi juga di level nasional. Dan kasus ini juga dipantau oleh Kementerian. Agar Polda Sulsel melakukan juga gelar perkara internal kemudian, untuk memastikan juga bagaimana prosedur tindak lanjut kasus ini berjalan,” ungkapnya.

Dia melanjutkan, pihaknya tidak menutup kemungkinan, bakal menempuh upaya hukum lanjutan apabila gelar perkara belum juga dilakukan Polda Sulsel. Praperadilan dianggap Haswandy, menjadi jalur yang tepat untuk ditempuh korban.

“Kalau praperadilan kan pasti akan terungkap, dipublish dan langsung dilihat ada apa ini kemudian kasus ini ditutup. Nah kami menghindari sebenarnya itu. Karena kami menghargai mekanisme dari Polda apalagi hanya karena persoalan waktu,” ucapnya.

Sementara itu, Direktur Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sulsel, Kombes Pol Andi Indra Jaya menegaskan pihaknya tidak bakal melakukan gelar perkara hasil visum pembanding, kasus dugaan pencabulan yang dilakukan oleh ayah kandung terhadap anaknya di Kabupaten Luwu Timur.

Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3), yang diterbitkan Polres Lutim pada 10 Desember 2019 lalu, menjadi dalih gelar perkara tidak dilakukan.

“Tidak ada rencana gelar. Kasusnya sudah dihentikan di Polres (Lutim) karena tidak cukup bukti,” tegas dihubungi SINDOnews melalui pesan WhatsApp, Senin (20/1/2020).

Pernyataan Indra Jaya ini berbanding terbalik dengan Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Ibrahim Tompo yang mengatakan agenda gelar perkara untuk membuka kasus itu kembali sudah ada. Hanya saja gelar perkara oleh penyidik krimum berbenturan dengan sejumlah agenda internal.

“Sampai sekarang belum digelar, tidak ada kendala teknis cuman agendanya yang terlambat. Karena kesibukan Krimum, akan diusahakan secepatnya. Kita tunggu saja pastinya dari krimum, kemarin itu malah dijadwalkan minggu lalu,” tutur Ibrahim melalui sambungan telepon.

 

 

Catatn: Berita ini telah dimuat di media online makassar.sindonews.com pada 20 Januari 2020