Categories
EKOSOB

Serikat Tani Latemmamala Soppeng Ajukan Keberatan karena Pemancangan Batas Kawasan Hutan Tanpa Partisipasi Warga

Soppeng, 31 Oktober 2023. Warga yang tergabung dalam Serikat Tani Latemmamala mendatangi Kantor Kelurahan Botto dan Bila, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng dalam rangka mengajukan keberatan terkait dengan pemancangan batas sementara yang dilakukan oleh Petugas Pelaksana Pemancangan Batas Sementara terkait tindak-lanjut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulsel pada 30 Oktober 2023.

Serikat Tani dalam hal ini, Warga Abbanuange dan Ale Sewo, keberatan atas tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Petugas Pelaksana Pemancangan Batas Sementara di kebun mereka. Dimana dalam pengumuman yang ditempel di Kantor Lurah Botto dan Bila, tercatat pada saat pelaksanaan Pemancangan Batas Sementara Kawasan Hutan, warga diberikan hak untuk memeriksa tata batas tersebut dengan didampingi atau secara bersama-sama dengan petugas pelaksana pemancangan batas kawasan hutan,  untuk memastikan bahwa tidak ada kebun mereka yang dimasukkan dalam kawasan hutan. 

Namun, sejak 5 Oktober 2023 hingga warga mendatangi kantor kelurahan, petugas pelaksana tidak pernah memberikan informasi apalagi memanggil warga dalam proses pemasangan patok sementara. Saat ditemui oleh warga, Kepala Kelurahan Bila dan Kelurahan Botto kompak mengatakan belum ada kegiatan sosialisasi untuk memberikan kesempatan kepada warga jika terdapat indikasi kebun mereka masuk dalam kawasan hutan. 

Sudirman perwakilan dari Serikat Tani Latemmamala, menegaskan bahwa belum ada informasi sama sekali pasca pertemuan tanggal 5 Oktober. 

“Tidak ada pemberitahuan sampai sekarang, warga merasa ragu untuk berkebun, karena sebelumnya sudah ada petani yang dikriminalisasi. Kami meminta penyelesaian masalah ini, agar kebun kami yang lebih dahulu ada sebelum penetapan kawasan hutan, dapat dikeluarkan,” ujar Sudirman.

Sementara itu, Hasbi selaku Pendamping Hukum warga dari YLBHI-LBH Makassar mengatakan hal tersebut merupakan cerminan dari pemerintah yang tidak berpihak ke masyarakat. Jelas di dalam aturan bahwa berdasarkan pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011, pada poin 3.12.2 menegaskan bahwa, penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. 

“Tindakan petugas yang melaksanakan pemancangan batas sementara tanpa melibatkan warga jelas merupakan tindakan melawan hukum yang menunjukkan pengabaian hak warga yang telah berkebun secara turun temurun. Sesuai aturan, Pemerintah harus melaksanakan tata batas secara partisipatif agar tidak membuka ruang kriminalisasi terhadap petani,” tutur Hasbi Asiddiq.

Dalam pasal 53 ayat (4) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan serta Penggunaan Kawasan Hutan (PERMENLH Perencanaan Kehutanan). Ditegaskan bahwa salah satu kegiatan dalam pemancangan batas sementara adalah (e) Inventarisasi, Identifikasi dan Penyelesaian Hak Pihak Ketiga.

Kilas balik, tercatat dalam pantauan YLBHI – LBH Makassar sudah ada 6 orang petani yang menjadi korban kriminalisasi. Hal ini diakibatkan oleh proses penetapan kawasan hutan yang acap kali abai terhadap partisipasi Petani, yang mematok kebun petani secara sepihak. Atas dasar inilah Serikat Tani Latemmamala terus mendesak agar lahan milik warga segera dikeluarkan dari kawasan hutan.

Categories
EKOSOB

Pledoi Buruh PT. GNI: Berserikat Bukan Perbuatan Melawan Hukum, Buruh Korban Kriminalisasi PT GNI Morowali Utara Meminta Hakim Memutus Seadil-Adilnya

Pledoi Terdakwa Minggu Bulu – Pimpinan Serikat Buruh PSP SPN PT. GNI di PN Poso

 

Terima kasih Yang Mulia,

Perkenankanlah saya menyampaikan pembelaan pribadi kami melalui pledoi saat ini.

Yang Mulia yang terhormat,

Apa yang kami lakukan ditanggal 14 Januari 2023 melalui aksi dan mogok kerja itu, semata hanya menuntut perusahaan untuk memberikan hak-hak normatif bagi para pekerja di PT. GNI. Agar mereka mendapatkan perlindungan dalam bekerja dan beberapa tuntutan normatif lainnya, dan apa yang kami lakukan itu sudah kami lakukan sesuai dengan prosedur dan aturan undang undang yang berlaku.

Bahkan dalam  aksi kami berupaya untuk menghimbau semua teman-teman, untuk tidak melakukan hal-hal yang bisa merusak aksi damai yang kami lakukan, dan bahkan kami selalu mengingatkan teman-teman untuk tidak terprovokasi melakukan tindakan-tindakan yang anarkis atau perbuatan yang melawan hukum dan itu kami lakukan sampai aksi kami tutup bersama Kapolres Morowali Utara.

Jadi kalau kami didakwa melakukan penghasutan, kami secara pribadi pun bigung siapa yang telah kami hasut untuk melakukan hal-hal yang melawan hukum, sedangkan kami tidak pernah memberikan perintah apapun kepada teman-teman untuk melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum.

Yang Mulia yang terhormat,

Bukankah dalam undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang berserikat dan melakukan aksi mogok kerja, serta menyampaikan pendapat dimuka umum itu diberikan kebebasan dan dilindungi, tapi kenapa surat-surat pengajuan ijin mogok kerja dan aksi yang kami sampaikan ke Kepolisian dan bahkan SK pencatatan organisasi pun dijadikan alat bukti oleh Jaksa Penuntut Umum untuk mendakwa kami, telah melakukan penghasutan.

Jadi apakah sebenarnya berserikat itu melawan hukum? maaf yang mulia saya bertanya demikian karena saya orang awam yang belum terlalu paham semua itu dan saya pun bergabung ke dalam organisasi serikat pekerja karena berharap mendapatkan perlindungan untuk hak-hak dalam bekerja.

Yang Mulia yang terhormat,

Kami berharap semoga yang mulia mengadili perkara kami dengan seadil adilnya, karena sesungguhnya dalam ajaran keyakinanku dalam firman saya diajarkan dan diperintahkan untuk patuh dan taat serta hormat terhadap pemerintah dan para penegak hukum, karena mereka adalah wakil Tuhan yang dipilih oleh Tuhan untuk menjaga keamanan dan keutuhan Negara dan untuk mengadili manusia di dunia ini, dan saya pun yakin Tuhan tidak akan mungkin salah memilih. Jadi sekali lagi kami meminta kepada yang mulia sebagai wakil Tuhan di dunia ini untuk mengadili perkara kami seadil-adilnya dan takut akan Tuhan.

Yang Mulia yang terhormat,

Pembelaan ini adalah satu kesatuan dari pembelaan yang diajukan oleh penasehat hukum kami. Terima kasih yang mulia.

Saya secara pribadi berdoa semoga yang mulia beserta dengan keluarga selalu dalam lindungan Tuhan. Amin

 

Poso, 26 Oktober 2023

Categories
EKOSOB

Kasasi STIMI YAPMI Akui Terapkan Skema Dosen Bekerja Tanpa Upah

Makassar, 21 Oktober 2023. Proses hukum Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) seorang Dosen oleh STIMI YAPMI Makassar terus berlanjut. Pada 4 September 2023, Majelis Hakim untuk mengabulkan gugatan pekerja dan menghukum Yayasan untuk membayarkan upah pekerja yang belum terbayarkan.  Tidak terima dengan putusan tersebut, tertanggal 5 Oktober 2023, Kuasa Hukum Penggugat dari YLBHI – LBH Makassar, menerima Memori Kasasi yang diajukan oleh Pihak Yayasan tertanggal 26 September 2023.

Keberatan yang diajukan oleh Pihak Yayasan dalam Memori Kasasi menilai bahwa Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Pengadilan Negeri Makassar telah tidak tepat dalam menerapkan hukum sehingga meminta kepada Majelis Hakim di Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan tersebut. 

Dasar keberatan pihak Yayasan sejatinya bertumpu pada dua pokok argumentasi yakni, yang pertama terkait dengan skema pengupahan yang disepakati dalam SK Pengangkatan dan yang riil diterima oleh Pekerja, dan yang kedua terkait dengan kewenangan Majelis Hakim PHI PN Makassar untuk memeriksa, mengadili dan menghukum kepada Yayasan untuk membayar upah yang tidak dibayarkan oleh Penggugat. 

Merujuk pada argumentasi Yayasan dalam memori kasasinya terkait dengan skema tidak diupah pada dosen atau pekerjanya, menegaskan  tindakan yang terang dan jelas melanggar peraturan perundang – undangan terkait ketenagakerjaan. 

Argumen tersebut merupakan bentuk pengakuan dan penegasan adanya praktik eksploitasi kerja yang nyata melalui skema bekerja tanpa upah yang tegas melawan hukum yang dilakukan oleh pihak Yayasan. Bahwa keberatan tersebut sejatinya mencederai semangat pendidikan tinggi yang seharusnya bisa memberikan upah yang layak  dan manusiawi sesuai ketentuan perundang-undangan

Bahwa terkait dengan dalil Pihak Yayasan yang menilai bahwa majelis hakim PHI PN Makassar tidak memiliki kewenangan untuk menghukum Yayasan untuk membayarkan upah  yang tidak dibayar adalah dalil yang sesat dan keliru menurut hukum. Bahwa berdasarkan ketentuan  pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, jenis perselisihan hubungan Industrial yang menjadi kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial adalah : (a) perselisihan hak;  (b) perselisihan kepentingan; (c) perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan (d) perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

Bahwa yang dimaksud perselisihan hak menurut ketentuan aturan ini adalah, “perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.”

Bahwa karena upah yang tidak dibayarkan merupakan kategori tidak dipenuhinya hak  Pekerja, maka upah yang tidak dibayarkan masuk dalam kategori Perselisihan Hak dan merupakan sengketa hubungan industrial. Sehingga berdasarkan hal tersebut yang telah diuraikan dalam Kontra Memori Kasasi yang diajukan oleh Kuasa Hukum Pekerja, Pihak Yayasan sebaiknya membayarkan hak pekerja.

Fatalnya, dalam poin keberatan yang tertuang dalam Memori Kasasi Yayasan, secara terang mengakui bahwa dalam poin 3 yang menjelaskan bahwa ada beberapa Dosen diberikan SK sebagai Dosen tetap namun tidak menerima gaji pokok, tapi hanya menerima honor setiap semester tergantung jumlah mata kuliah yang diampunya. 

Alih-alih terus berkelit dan menunjukkan watak dari Yayasan yang enggan memenuhi hak pekerjanya dan melanggengkan praktik eksploitasi Pekerja di dunia pendidikan. 

Categories
EKOSOB

STIMI YAPMI Terbukti Melakukan Eksploitasi Kerja, Wajib Membayar Hak Dosen Sesuai dengan Putusan Pengadilan

Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial melalui Pengadilan Negeri Makassar yang mengadili Perkara No. 18/Pdt.Sus-PHI/2023/PN Mks telah menetapkan bahwa STIMI YAPMI telah melanggar hak Penggugat yakni Dosen Hendrayani.

“Kita mengapresiasi Putusan hakim yang mengabulkan gugatan, memberikan keadilan bagi Penggugat. Putusan Pengadilan membuktikan STIMI YAPMI telah mengeksploitasi dosennya dengan tidak membayar upah selama bertahun-bertahun,” ujar Abdul Azis Dumpa selaku kuasa hukum Penggugat

Dalam sidang putusan yang digelar pada 4 September 2023, Majelis Hakim mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dalam hal ini Ketua STIMI YAPMI selaku tergugat wajib membayar upah yang tidak dibayarkan kepada Dosen Hendrayani.   Lebih lanjut Tergugat juga diwajibkan untuk membayar sejumlah hak lain oleh Penggugat berupa Uang Pesangon, Uang Penghargaan masa Kerja, Penggantian Hak Cuti.

Selaras dengan putusan, bahwa telah terbukti pihak birokrasi STIMI YAPMI telah melanggar hak dosen Hendrayani dimana telah memecat dan tidak membayar upah sesuai dengan Surat Keputusan Pengangkatan Dosen dimulai sejak tahun 2018 hingga 2021.

Sebelum agenda sidang putusan, pada tanggal 21 Agustus 2023 Penggugat telah menghadirkan saksi yang merupakan salah seorang mantan Dosen yang menjelaskan bahwa Penggugat tidak ada proses sidang etik atau rapat pimpinan STIMI YAPMI terkait dengan pelanggaran kode etik. Fatalnya tidak hanya Dosen Hendrayani saja yang mendapatkan masalah serupa melainkan Saksi itu sendiri yang dulunya merupakan Ketua III di Kampus STIMI YAPMI. Lebih terang, Saksi menjelaskan bahwa tidak mendapatkan upah bulanan dan tunjangan khusus selaku Ketua III.

Saksi selanjutnya yang merupakan Staf Administrasi Umum dan Operator dalam hal ini menjalankan tugas membuat surat dan membuat draft keuangan menekankan dalam persidangan bahwa Penggugat hanya menerima gaji honor hanya sebesar Rp. 600.000.

Hasbi Assidiq selaku tim kuasa hukum Dosen Hendrayani berpendapat bahwa praktik upah murah diduga perkara lazim yang terjadi di STIMI YAPMI, pasalnya dalam persidangan terkuak fakta bahwa tidak hanya Dosen Hendrayani yang diupah dibawah UMR.

“Kita tidak ingin mendengar lagi, ada dosen atau buruh yang diberikan upah dibawah UMR, seharusnya pihak Kampus harus mempertanggungjawabkan hal tersebut secara kemanusiaan,” tambah Hasbi Assidiq selaku Pengabdi Bantuan Hukum LBH Makassar

Pasca putusan, ini seharusnya menjadi titik awal agar pihak Kemenristek Dikti dan secara khusus segera mengambil tindakan untuk mengevaluasi STIMI YAPMI dan memberikan sanksi berat, praktik eksploitasi kerja di dunia pendidikan harus segera dihentikan.

Categories
EKOSOB

Dosen Tidak Diupah Selama Bekerja, STIMI YAPMI Langgengkan Praktik Perbudakan di Dunia Pendidikan

Makassar, 14 Agustus 2023. Proses hukum Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) seorang Dosen oleh STIMI YAPMI Makassar, telah memasuki tahap pembuktian di PN Makassar. Sebelumnya pada agenda sidang Jawaban Tergugat, melalui kuasa hukum menyampaikan bahwa Hendrayani Kadir selaku Tenaga Pengajar telah mendapatkan upah sesuai dengan SK Pengangkatan Dosen Tetap.

Dalam jawabannya terhadap gugatan pekerja, Yayasan berpegang teguh pada perjanjian Kerja, atau Surat Keputusan yang menjadi kesepakatan awal antara pekerja dengan Yayasan yang memberikan upah yang tetap dan tidak meningkat mengikuti perkembangan upah Minimum Kota Makassar.

Namun pada faktanya penggugat hanya menerima tunjangan senilai Rp. 670.000 per semester atau Rp. 111.000 perbulan berdasarkan dengan mata kuliah yang diajarkan. Hal ini bertolak belakang, jika mengacu pada SK Pengangkatan Dosen, Hendrayani digaji sebesar Rp. 2.750.000 Sikap Yayasan yang bertahan pada kesepakatan awal, menunjukkan sikap Yayasan yang secara terang melanggar hukum dan enggan memenuhi hak-hak pekerja.

Terkait dengan perjanjian kerja dalam UU Ketenagakerjaan secara khusus pada pasal 54 ayat (2) ditegaskan bahwa besarnya upah yang diterima cara pembayarannya terkait dengan syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, Perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bahwa berdasarkan ketentuan poin ke 28 dalam Pasal 81 UU Cipta Kerja, terkait dengan perubahan UU Ketenagakerjaan, yang menyisipkan Pasal 88A ayat (4) menegaskan bahwa Pengaturan Pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Selanjutnya pada ayat (5) pasal ini ditegaskan bahwa dalam hal kesepakatan pengupahan antara pengusaha dan pekerja lebih rendah atau bertentangan peraturan perundang-undangan maka kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengaturan pengupahan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Norma ini sangat penting untuk memastikan bahwa pekerja dilindungi dari praktik eksploitasi dan dapat diberikan upah yang layak bagi kemanusiaan. Sehingga atas dasar hal tersebut, skema pengupahan harus merujuk pada Upah Minimum Kota Makassar yang berlaku, agar pekerja dapat memperoleh upah yang layak bagi kemanusiaan.

Sehingga tindakan Yayasan melalui jawaban atas surat gugatan penggugat yang tetap mempertahankan skema pengupahan sesuai perjanjian yang memberikan upah lebih rendah dari upah minimum Kota Makassar adalah tindakan yang bertentangan dengan hukum, dan menunjukkan itikad buruk dari Yayasan yang tidak memberikan upah yang layak bagi tenaga pengajarnya. Hal ini menjadi sebuah ironi ketika ini terjadi di dunia pendidikan tinggi yang seharusnya suatu Yayasan atau Institusi Pendidikan harus mampu memberikan upah yang layak bagi kemanusiaan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga tidak salah jika tindakan Yayasan tersebut merupakan praktik melanggengkan perbudakan di dunia Pendidikan.

Categories
EKOSOB

KOBAR: Dakwaan Jaksa Memberangus Serikat Pekerja, Melanggengkan Kejahatan GNI

Poso, 11 Juli 2023. Koalisi Bantuan Hukum Rakyat mengajukan eksepsi atas Surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang dibacakan dalam persidangan sebelumnya terrhadap dua orang buruh PT. Gunbuster Nickel Industri (GNI). Koalisi menilai Dakwaan JPU prematur dan tidak jelas. JPU keliru dalam menarik sebuah kesimpulan bahwa aksi mogok kerja merupakan penyebab terjadinya kerusuhan.

Jaksa Penuntut Umum mencantumkan pasal 160 ayat (1) Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana dan Pasal 14 ayat (1) undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana, namun dalam Surat Dakwaan tidak menguraikan unsur-unsur delik yang dimaksud dalam pengenaan Pasal tersebut diatas, dikaitkan dengan peristiwa hukum yang didakwakan oleh JPU kepada terdakwa. Lebih lanjut JPU mencantumkan nilai Kerugian Rp.52.000.000. Lima Milyar Rupiah) tapi tidak menguraikan nilai kerugian itu apa saja, kerusakan apa saja, dan berdasarkan Uraian Surat Dakwaan tidak ada kesesuaian (kausalitas) antara kronologis peristiwa dan nilai kerugian yang harus ditimpakan kepada Terdakwa.

Dakwaan JPU yang ditujukan kepada Terdakwa sebagai Anggota Pimpinan PSP SPN PT. GNI atas aktivitasnya dalam hal ini mogok kerja dalam memperjuangkan hak-hak Pekerja di PT GNI justru merupakan bentuk   pemberangusan Serikat Pekerja (union busting). JPU jelas keliru dan tidak melihat situasi yang sedang dihadapi oleh Buruh PT. GNI yang dimana sekelumit masalah harian yang terus dialami. Dalam Surat Pemberitahuan aksi pada tanggal 11 s/d 14 Januari 2023 menuntut Hak kerja Layak Kebebasan berserikat, union busting, kepastian kerja, kelangsungan kerja, sistem PKWT, upah yang sering dipotong, tunjangan skill dipotong, sistem K3 yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Sebelumnya telah terjadi sejumlah peristiwa berujung hilangnya nyawa mulai dari Crew Smelter yang terjepit conveyor dan jatuh ke dalam kolam slag, Karyawan terlindas Dump Truk, hingga ledakan Tungku yang menewaskan 2 Pekerja Hoist Crane yang hangus terbakar yakni Alm Nirwana Selle dan Alm. Made.

Hal-hal yang disebut di atas adalah alasan yang berdasar kuat mengapa PSP SPN PT. GNI melakukan aksi mogok. Fatalnya Framing yang digunakan dalam dakwaan JPU yang mengaitkan seolah-olah bentrokan antara Pekerja Indonesia dan pekerja Asing adalah diakibatkan oleh Terdakwa dan oleh aktivitas mogok kerja adalah framing yang “berbahaya”. Sebab Apa yang diperjuangkan dan dituntut oleh Terdakwa dan PSP SPN PT GNI berlaku untuk seluruh pekerja PT GNI baik pekerja Indonesia maupun Pekerja Asing yang memiliki kepentingan yang sama terkait kondisi kerja yang layak dan manusiawi.

Bahwa Proses Hukum dan Dakwaan yang ditujukan kepada Terdakwa justru telah mengaburkan akar masalah sesungguhnya dari bentrokan yang terjadi di PT GNI Pada yang justru diakibatkan oleh Kejahatan Ketenagakerjaan dan buruknya manajemen PT GNI yang terus melakukan pelanggaran undang-undang ketenagakerjaan mengabaikan hak-hak serta kesehatan dan keselamatan kerja (K3) melanggengkan kondisi kerja yang tidak layak dan tidak manusiawi.

Dalam perkara a quo surat dakwaan jaksa penuntut umum bertentangan dengan kewenangan absolut dari Pengadilan Negeri Poso. Sebab perbuatan-perbuatan dituduhkan dan diuraikan dalam dakwaan, adalah murni merupakan wilayah Hukum Perselisihan Hubungan Industrial, hal ini dikuatkan dengan Bukti-bukti yang diajukan JPU yang merupakan bukti surat terkait dengan ketenagakerjaan atau perselisihan hubungan industrial sehingga sepatutnya majelis hakim yang memeriksa perkara ini menyatakan Surat Dakwaan JPU layak untuk ditolak atau setidaknya tidak dapat diterima.

Dari uraian fakta atau kondisi kerja yang dialami oleh Buruh PT. GNI serta bukti yang diajukan oleh JPU hanya sebatas dokumen ketenagakerjaan. Terang bahwa JPU gagal melihat peristiwa secara utuh dan mendakwa Minggu Bulu dan Amirullah yang sejak awal menuntut hak-hak buruh dan melihat konteks peristiwa kerusuhan itu sama sekali tidak ada kaitan antara aktivitas mogok kerja dan kerusuhan yang dimana terjadi dalam waktu yang berbeda.

Bahkan ketika perkara ini telah dilimpahkan Ke Pengadilan Negeri Poso pada Tanggal 26 Juni 2023, 7 Karyawan PT GNI kembali mengalami kecelakaan kerja, 1 Orang Meninggal dan 6 lainnya Luka-luka akibat Semburan Api dari pabrik Smelter. Sehingga wajar Adanya kami menilai bahwa Dakwaan Jaksa Penuntut Umum telah memberangus Serikat Pekerja dan Melanggengkan Kejahatan PT GNI.

Dalam sidang pembacaan eksepsi, tim kuasa hukum sampai detik ini belum mendapatkan salinan dokumen lengkap perkara dari JPU serta tidak menghadirkan Terdakwa dalam persidangan. Sebelumnya dalam sidang perdana 4 Juli 2023 sudah meminta namun tidak dipenuhi oleh Jaksa Penuntut Umum. Sidang lanjutan akan dilaksanakan pada tanggal 18 Juli 2023 dengan agenda Tanggapan Eksepsi dari Jaksa Penuntut Umum.

11 Juli 2023
Koalisi Bantuan Hukum Rakyat (Kobar)

 

Narahubung:

Ridwan – LBH Makassar (0852-5555-3776) Rizal – PBH Peradi (0852-9807-0897)

Sirul Haq – LKBH Makassar (0853-4010-0081)

Abdul Azis Dumpa – LBH Makassar (0852-9999-9514)

Categories
EKOSOB

Buruh PT. GNI Didakwa Karena Memperjuangkan Hak Pekerja, Ancaman Serius bagi Pembela HAM

Poso – 4 Juli 2023. Kedua korban kriminalisasi atas terjadinya peristiwa kerusuhan di PT. Gunbuster Nickel Industri (GNI), Morowali Utara pada 14 Januari 2023 lalu, mulai menjalani sidang perdana pada 04 Juni 2023 di Pengadilan Negeri Poso. Mereka adalah Minggu Bulu dan Amirullah. Sidang dengan register perkara nomor 202/Pid.B/2023/PN Pso dan 201/Pid.B/2023/PN Pso dengan mendudukan Minggu Bulu dan Amirullah yang merupakan korban kriminalisasi sebagai terdakwa dilangsungkan secara daring (online). Keduanya mengikuti persidangan dari ruangan LAPAS Kelas III Kolonodale, Morowali.

Bermula dari adanya end contract yang dilakukan PT. GNI terhadap beberapa karyawan dengan alasan ikut bergabung menjadi anggota serikat dan melakukan mogok kerja, Minggu Bulu dan Amirullah bersama anggota PSP SPN PT. GNI dan buruh PT. GNI lainnya melakukan aksi mogok kerja lanjutan pada 14 Januari 2023.

Selain menuntut PT. GNI mempekerjakan kembali karyawan yang di and contract, aksi mogok kerja tersebut menuntut pula PT. GNI agar menerapkan prosedur Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), menolak pemotongan upah sepihak oleh PT. GNI serta menuntut pertanggungjawaban PT. GNI atas terjadinya kecelakaan kerja dalam kerja perusahaan yang menyebabkan hilang nya nyawa. Aksi mogok kerja berlangsung secara damai dan berakhir pada pukul 17.00 waktu setempat. Bersamaan dengan selesainya aksi mogok kerja tersebut, Minggu Bulu dan Amirullah langsung pulang ke tempat tinggalnya. Berakhirnya aksi mogok kerja tersebut ikut disaksikan oleh Kapolres Morowali beserta beberapa anggota kepolisian setempat.

Merujuk pada surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Minggu Bulu dan Amirullah didakwa secara terpisah dengan menggunakan pasal yang sama, yaitu Pasal 160 ayat (1) Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke 1 KUHPidana atau Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana.

Tim Pendamping Hukum menilai bahwa proses hukum dan dakwaan terhadap Minggu Bulu dan Amirullah merupakan upaya kriminalisasi aktivis pembela Hak Asasi Manusia (HAM) dalam bentuk pemberangusan kebebasan menyampaikan pendapat. Selain itu, aksi mogok kerja yang dilakukan oleh Minggu Bulu dan Amirullah bersama dengan anggota anggota PSP SPN PT. GNI lainnya dengan tuntutan yang dibawanya adalah bagian dari memperjuangkan hak – hak buruh yang dijamin dan dilindungi oleh undang – undang yang diduga telah dilanggar oleh PT. GNI.

Di sisi lain, tim Pendamping Hukum melihat upaya kriminalisasi tersebut semakin tampak jelas jika dihubungkan dengan fakta dilapangan. Pada faktanya, aksi mogok kerja sebagaimana disinggung di atas, berakhir pada pukul 17.00 waktu setempat, bersamaan berakhirnya aksi mogok kerja, Minggu Bulu dan Amirullah langsung meninggalkan lokasi aksi. Lagi pula berakhirnya aksi mogok tersebut disaksikan oleh langsung Kapolres Morowali bersama beberapa anggota kepolisian setempat. Sedangkan, dengan mengacu pada uraian surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum, disebutkan bahwa peristiwa kerusuhan terjadi pada sekitar pukul 20.00 WITA hingga pukul 23:00 WITA. Artinya, kerusuhan tersebut terjadi setelah berakhirnya aksi mogok kerja, ditambah lagi Minggu Bulu dan Amirullah tidak berada di lokasi terjadinya kerusuhan tersebut bahkan Minggu Bulu dan Amirullah baru mengetahuinya setelah terjadinya kerusuhan.

Berdasarkan hal – hal tersebut diatas, maka penggunaan Pasal 160 ayat (1) Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke 1 KUHPidana atau Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana untuk mendakwa Minggu Bulu dan Amirullah sangat dipaksakan, oleh karena tidak ada sama sekali hubungan kausalitas antara aksi mogok kerja dan Minggu Bulu serta Amirullah melakukan hasutan sebagai causa terjadinya peristiwa kerusuhan.

Persidangan akan dilanjutkan pada 11 Juli 2023 dengan agenda eksepsi dari Tim Penasehat Hukum. Dalam kesempatannya di persidangan, Tim Penasehat Hukum yang mendampingi Minggu Bulu dan Amirullah yang tergabung dalam Koalisi Bantuan Hukum Rakyat (KOBAR) dalam persidangan meminta agar sidang dilangsungkan secara luring (luar jaringan/offline) agar persidangan berlangsung maksimal tanpa adanya hambatan, terutama hambatan jaringan/sinyal.

 

Narahubung:

Sirul Haq – LKBH Makassar (0853-4010-0081)
Abdul Jamil – PBH Peradi (0813-4250-6409)
Rangga Cahyadi Maulyda – PBH Peradi (0852-9988-8544)
Mirayati Amin – LBH Makassar (0853-4258-9061 )

Categories
EKOSOB

Hakim Pengadilan Negeri Keliru dalam Memutus Perkara, Warga Barabaraya Ajukan Banding

Pada 13 Juni 2023, Majelis Hakim telah memutus perkara dalam hal ini gugatan pihak ketiga (derden verzet) yang diajukan oleh Warga Bara-baraya. Sebelumnya jadwal putusan yang ditetapkan 30 Mei telah ditunda sebanyak dua kali.

Tertuang dalam putusan, Majelis Hakim pada pokoknya telah mengurai beberapa alasan pertimbangan dan memutuskan bahwa menilai Pelawan yakni Warga Bara-baraya adalah bukan Pihak yang sah dalam perkara ini.

Berdasarkan amar dalam putusan perkara No 479/Pdt.Bth/2022/PN Mks dimuat dua poin yakni 1. Menolak perlawanan Pelawan; 2. Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang tidak benar. Dengan melihat pertimbangan Majelis Hakim dan Putusan, maka Warga Bara-baraya bersama jaringan solidaritas termasuk kuasa hukum menempuh upaya hukum berupa banding atas putusan.

Majelis Hakim menimbang bahwa Pelawan bukanlah pihak ketiga yang dimaksud dalam Pasal 195 ayat (6) HIR/Pasal 206 ayat (6) R.Bg, oleh karena Pelawan adalah ahli waris dari Yosef Nago yang merupakan pihak Tergugat dalam perkara a quo.

Namun yang patut untuk diketahui bahwa Perlawanan yang dilayangkan oleh Warga jelas berdasarkan gugatan perkara asal yang menarik Pewaris yang telah meninggal dunia. Dengan kata lain meninggalnya Pewaris tersebut, maka subjek hukum keperdataan yang melekat pada dirinya beralih ke PEMBANDING selaku ahli waris.

Fakta lain adalah, tertera dalam putusan bahwa Majelis Hakim keliru dalam menilai dan mempertimbangkan bukti Pelawan dengan bukti yang telah diajukan oleh Terlawan.

Terakhir, Majelis Hakim keliru dan tidak secara utuh mempertimbangkan seluruh fakta yang terungkap dalam persidangan in casu, khususnya fakta yang menunjukkan tentang penguasaan PEMBANDING terhadap objek sengketa secara turun temurun dengan itikad baik.

Termaktub dalam ketentuan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria jo. Pasal 24 ayat (2) a PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mengatakan bahwa:

“Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembuktian hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahuluan-pendahulunya, dengan syarat: a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya”.

Categories
EKOSOB

Reklamasi Pulau Lae-lae Mewarisi Derita CPI

Pada tahun 2014 Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memberikan izin reklamasi Center Point of Indonesia (CPI) kepada KSO PT Ciputra – PT Yasmin Bumi Asri dengan luas reklamasi mencapai 157,23 hektar. Hasil reklamasi tersebut rencananya dibagi dua antara Pemprov Sulawesi Selatan dan KSO Ciputra-Yasmin Bumi Asri. Pemprov Sulawesi Selatan memperoleh bagian 50,47 hektar, sementara pihak pengembang proyek CPI mendapatkan 106,76 hektar.

Sejak awal perencanaan proyek reklamasi CPI telah mendapat penolakan namun tetap dipaksakan berjalan dengan menggusur 43 keluarga nelayan dan menghancurkan wilayah tangkap komunitas nelayan di Pulau Lae-Lae, Panambungan, Lette, Mariso, Bontorannu. Reklamasi CPI bukan hanya memberikan penderitaan bagi warga yang tergusur, tetapi juga masyarakat nelayan pesisir Galesong Kabupaten Takalar yang wilayah tangkapnya dijadikan sebagai lokasi penambangan pasir laut untuk kebutuhan material reklamasi.

Dampak buruk reklamasi dan tambang pasir laut membuat penolakan masyarakat semakin membesar, sehingga pada akhirnya proyek CPI gagal diselesaikan sesuai dengan perencanaan. Kegagalan reklamasi ini kemudian memberikan konsekuensi terhadap perjanjian antara pemerintah provinsi dan KSO Yasmin-Ciputra terkait dengan pembagian lahan hasil reklamasi.

Agustus 2020, pemerintah dalam hal ini Gubernur Sulawesi Selatan mengeluarkan surat 593.6/5522/BKAD perihal penetapan lahan penganti 12,11 hektar. Lalu pada Januari 2023, Pemprov Sulawesi Selatan dan PT Yasmin Bumi Asri melakukan addendum IV atas perjanjian terkait bagi lahan hasil reklamasi. Keduanya bersepakat, atas kekurangan lahan pemerintah di CPI akan dipindahkan di Pulau Lae-lae. Namun, perjanjian ini sama sekali tidak pernah dikonsultasikan kepada masyarakat Pulau Lae-lae yang notabene merupakan pihak yang paling terdampak dan berkepentingan atas segala kegiatan pembangunan di pulau tersebut.

Masyarakat nelayan Pulau Lae-lae menolak rencana reklamasi ini karena wilayah rencana reklamasi merupakan daerah tangkap. Mereka juga menganggap bahwa sejak awal proyek yang tidak pernah dikonsultasikan ini penuh dengan manipulasi. Contohnya, dalam isi draft AMDAL, penyusun mengatakan bahwa 99 persen masyarakat setuju dengan rencana reklamasi ini. Faktanya masyarakat tidak pernah setuju. Olehnya itu, pada 17 Mei 2023, ratusan nelayan melakukan aksi penolakan di DPRD Provinsi dan Kantor Gubernur.

Terbaru, pada 15 Juni, pemerintah provinsi yang dikawal oleh Polrestabes Kota Makassar mencoba melakukan kunjungan ke lokasi rencana reklamasi Pulau Lae-lae. Rombongan pemerintah tersebut dihadang oleh masyarakat Pulau Lae-lae yang menjadi bukti kuat bahwa masyarakat pulau lae-lae tegas menolak rencana reklamasi.

Aksi tanpa kekerasan oleh masyarakat ini justru direpresi oleh aparat kepolisian. Satu nelayan dan dua mahasiswa ditangkap tanpa alasan yang jelas. Aparat kepolisian harus menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap warga Pulau lae-lae yang saat ini sedang memperjuangkan Hak-nya.

Reklamasi Pulau Lae-lae bila tetap dipaksakan berjalan hanya akan memicu pelanggaran HAM dan konflik sosial berkepanjangan antara masyarakat dengan pemerintah dan pihak pengembang. Masyarakat merasa telah cukup sejahtera dengan cara mengelola SDA yang saat ini berjalan. Bilapun pemerintah punya keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan melalui kegiatan pembangunan dalam bentuk apapun, maka sudah seharusnya setiap rencana tersebut dibicarakan secara terbuka dan partisipatif dengan masyarakat dan menghormati hak-hak mereka yang selama ini mengelola dan memanfaat laut sebagai sumber kehidupannya.

Atas situasi tersebut di atas, Masyarakat Pulau Lae-Lae bersama Koalisi Lawan Reklamasi (KAWAL) Pesisir menuntut:

  • Kepolisian untuk menghentikan segala bentuk intimidasi dan represi terhadap perjuangan masyarakat Pulau Lae-Lae;
  • Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan segera membatalkan rencana proyek reklamasi di Pulau Lae-Lae;
  • Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk menghentikan segala proses perizinan terkait rencana reklamasi Pulau Lae-lae;
  • Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menghormati hak-hak Masyarakat Pulau Lae-Lae.
Categories
EKOSOB

Mencoreng Nama Institusi Pendidikan, STIMI YAPMI Makassar Melanggar Hak Dosen

Hendrayani Kadir adalah seorang tenaga pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIMI) Makassar, institusi pendidikan dibawah YAPMI Makassar. Hal ini tertuang dalam Surat Keputusan No. 51/SK/YAPMI/V/2018 tentang Pengangkatan Dosen Tetap STIMI YAPMI Makassar Tertanggal 14 Mei 2018.

Dalam Surat Keputusan, Hendrayani Kadir diupah sebesar Rp. 2.750.000 (Dua Juta Tujuh Ratus Lima Puluh Rupiah) dan mengajar mata kuliah Studi Kelayakan Bisnis, Strategi Pemasaran, Perilaku, Konsumen, dan Keselamatan Kerja.

Selama bekerja sebagai dosen tetap di STIMI Makassar, ia hanya mendapatkan tunjangan mengajar sebagai dosen sebesar Rp. 600.000,00 untuk Satu Mata kuliah setiap Semester (6 bulan).

Masalah yang menimpa Hendrayani tidak berhenti sampai disitu. Pada tanggal 26 Agustus 2021, ketua Yayasan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak kepada Hendrayani berdasarkan Surat Keputusan No.03/SK/YAPMI/VIII/2021 tentang Pemberhentian Dosen Tetap Yayasan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Indonesia (STIMI) Makassar, dengan alasan melanggar kode etik.

Tidak ada penjelasan terkait pelanggaran kode etik yang telah dilakukan Hendrayani. Hendrayani telah mengupayakan penyelesaian masalah ini dan bertemu dengan Pihak Yayasan (Bipartit) hingga Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar telah mengeluarkan anjuran No. 1477/Disnaker/565/VII/2022 tertanggal 11 Juli 2022 agar pihak kampus mengembalikan data base Dosen, merehabilitasi nama baik, dan membayarkan hak-hak pekerja sesuai UU Ketenagakerjaan, namun anjuran tersebut tidak dilaksanakan oleh Pihak Kampus.

Tertanggal 7 Juni 2023, Hendrayani melalui kuasa hukum LBH Makassar telah mengajukan upaya gugat di Pengadilan Hubungan Industrial dan telah terdaftar dengan nomor perkara 18/Pdt.Sus-PHI/2023/PN Mks.