Lembaga pers mahasiwa (LPM) Estetika Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar mengadakan diskusi “coffee break” bertema “Kebebasan Berpendapat Masih Relevankah ?”, pada Senin, 27 Februari 2017 di pelataran fakultas Bahasa dan Sastra. Tema diskusi tersebut diangkat dikarenakan fenomena kebebasan berpendapat saat ini sangat rentan berhadapan dengan masalah hukum terkhusus insan pers dalam menjalankan kerja jurnalistiknya. Hadir dua pembicara, Haerul karim perwakilan LBH Makassar dan Echa Panrita Lopi perwakilan jurnalis Media dan diramaikan oleh mahasiwa, pengurus LPM estetika serta sejumlah organisasi intra-kampus.
Sejumlah pertanyaan telah di floor-kan terlebih dahulu sebelum pembicara menyampaikan paparannya. Salah duanya, Apakah kebebasan berpendapat memiliki batasan? Apakah ada aturan terkait kebebasan berpendapat?
Haerul membuka paparannya berbasis pada kedua pertanyaan besar tersebut. Kebebasan berpandapat merupakan Hak asasi setiap manusia (HAM) dan diakui baik secara internasional maupun nasional. Dalam mekanisme aturannya di Indonesia, kebebasan berpendapat setiap warga negara dilindungi oleh sejumlah peraturan baik peraturan nasional maupun mekanisme internasional yang telah diakui dan diratifikasi oleh Indonesia. Baik secara aturan umum maupun secara khusus. Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 19 Deklarasi Internasional tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM), pasal 28E ayat (3) Kovenan Hak Sipil dan Politik yang mana mengatur tentang kebeasan untuk berpendapat. Kovenan inilah yang menjadi dasar pembatasan-pembatasan hak kebebasan berpendapat yang biasa disebut sebagai hak yang dibatasi (derogable rights). pembatasan dilakukan selama tidak mengkebiri kebebasan berpendapat itu sendiri dan harus diatur melaui perundang-undangan. Sementara dalam mekanisme internal, dapat dilihat di Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 dan 28 E Ayat 3, Ketetapan MPR Rl No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Rl No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang PERS. Namun bukan berarti banyaknya aturan yang menjadi payung hukum yang melindungi kebebasan berpendapat tidak menjadi tidak ada masalah dalam pemenuhannya. Diantaranya yang dianggap bentuk pembatasan yang bermasalah yaitu UU ITE NO 11 /2008 jo UU 19 /2016, Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/ 06 / X /2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) dan beberapa aturan dalam UU pers itu sendiri. Akibat adanya bentuk pembatasan tersebut yang dianggap masih melanggar arti dari kebebasan itu sendiri yang biasa disebut ‘Pasal Karet’ dimana selalu menjadi alat mengkriminalisasi orang-orang yang beraktifitas dan berjuang atas dasar kebebasan berpendapat. Semisal, Fadli Rahim di Gowa, Kadir Sijaya dan Yusniar di Makassar dan kekerasan terhadap wartawan di Makassar yang tidak jelas penyelesaiannya oleh Negara (red: Aparat Penegak Hukum).
Echa menambahkan dalam paparannya mengenani kondisi pers di Makassar. Media kini tidak terlepas dari pengaruh suasana politik yang berlangsung, sehingga mengakibatkan terganggunya independensi pemberitaan wartawan. Echa menegaskan, walaupun kondisi demikian wartawan sudah seharusnya tetap memberitakan dan menceritakan suatu peristiwa apa adanya sesuai dengan apa yang terjadi. Dalam kerja jurnalistiknya, wartawan telah dipayungi oleh UU Pers.
Peserta diskusi menimpali paparan kedua narasumber dengan sejumlah pertanyaan saat sesi tanya jawab dimulai. Diantaranya bertanya mengenai keberadaan Persma (Pers Mahasiswa) yang mana disamakan sebagai individu yang menjalankan kerja jurnalistik tanpa dinaungi oleh UU Pers selayaknya wartawan dan media nasional, sehingga sangat rentan menjadi korban kriminalisasi akibat penerapan pasal karet. Selain itu, peserta juga mempertanyakan mengenai hubungan kebebasan berpendapat dengan pers.
Menjawab pertanyaan tersebut, Haerul menyebutkan kerja pers (kerja jurnalistik) merupakan bagian dari menggunakan hak atas kebebasan berpendapat, sementara kebebasan berpendapat sendiri dapat digunakan dalam makna luas dan media yang digunakan untuk menyalurkan pendapat sangatlah variatif apalagi dengan perkembangan teknologi saat ini yang sangat cepat, Menggunakan media sosial misalnya, yang kemudian mem-posting sebuah pendapat atau mengomentari sebuah postingan namun postingan tersebut dianggap memuat konten pencemaran nama baik atau penghinaan maka yang memposting tersebut dapat dikenai UU ITE.
Sebagai penutup diskusi, kedua pembicara menyampaikan bahwa sebagai insan yang terdidik, posisi mahasiwa melihat potensi pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat serta rentannya mahasiswa sebagai orang yang sering meneriakan pendapat baik itu secara oral disetiap kehidupan sehari-hari dan serta tulisan-tulisan yang mengemukakan pemikiran yang bersifat kritis terhadap kondisi sosial yang terjadi. Dibutuhkan kerjasama partisipasi terkhusus mahasiswa sebagai agen perubahan harus mampu mengawal persoalan ini, mengingat begitu banyaknya aturan-aturan yang siap menjerat dan mengkriminalisasi.[]
Comments
No comment yet.