Begal, jika ditinjau secara sosio-kriminologis adalah jenis kejahatan jalanan yang menyasar pengguna jalan. Begal identik dengan tindakan perampasan disertai todongan senjata tajam kepada korban, pada keadaan tertentu, bahkan disertai pembunuhan. Pelaku kejahatan ini rata-rata adalah kelompok miskin kota (lumpen proletariat) yang tidak mendapatkan tempat atau tersisih dari pertarungan memperebutkan ruang-ruang hidup di kota—ruang hidup dalam pengertian yang luas, termasuk pekerjaan sebagai sandaran hidup.

Pada konteks bernegara, terminologi begal, setidaknya dalam dua tahun terakhir ini, mulai digunakan untuk menggambarkan perilaku korup penyelenggara negara. Begal anggaran negara, misalnya, adalah istilah yang kerap diasosiasikan kepada para pemburu rente yang menggerogoti dana APBN/APBD. Maka istilah begal, yang sebelumnya dimaknai sebagai kejahatan kelas lumpen, perlahan-lahan mulai “naik kelas”. Ini semacam emansipasi dalam pemaknaan istilah kejahatan. Bahwa begal bukan saja jenis kejahatan lumpen, tapi juga kejahatan kerah putih. Dan faktanya, bila dilihat implikasinya, begal kerah putih justru berkali-kali jauh lebih berbahaya dibanding begal lumpen.

Sebaran para pembegal kerah putih ini lintas sektor dan profesi. Mereka tersebar dan memimiliki “kaki-tangan” di hampir semua lembaga negara, partai politik, media masa, lembaga pendidikan, dan bahkan (mungkin?) sampai ke institusi keagamaan. Para pembegal atau kaki-tangannya yang bercokol di lembaga agama biasanya aktif memberikan seruan-seruan moral sebagai pembenar terhadap ketimpangan penegakan hukum. Kasus ’65 dan pelanggaran HAM masa lalu lainnya, misalnya, adalah contoh ketimpangan penegakan hukum yang banyak mendapat sokongan moral dari institusi agama.

Dengan demikian, lebih satu tahun Pemerintahan Jokowi-JK, adalah pemerintahan yang dikuasi atau melanjutkan kekuasaan para pembegal kerah putih. Hal ini bisa terbaca, misalnya, mulai dari kisruh KPK vs Polri di awal Pemerintahan ini menjabat, kemudian berlanjut ke kasus Asap di Sumatera dan Kalimantan, dan yang terakhir adalah “Papa minta saham”. Semua kasus-kasus teresebut berakhir anti-klimaks, menandakan supremasi pembegal kerah putih di atas hukum dan aspirasi warga negara.

Kelompok pembegal, jika dilihat dalam pendekatan teori, bisa disinonimkan atau didekatkan pengertiannya dengan oligark (lihat misalnya, Robison: 1986 atau Winters: 2012). Pada konteks pengakan hukum dan hak asasi manusia, Pembegal kerah putih ini pula lah yang membajak penegakan hukum, aktif melanggar dan merampas hak-hak warga negara, kemudian menggunakannya sebagai sarana melidungi diri dan kelompok. Mereka mengokupasi perangkat hukum yanga ada, membalik 180 derajat arahnya. Jadilah ia hukum yang tajam ke bawa dan tumpul ke atas.

Nasib Penegakan Hukum

Seperti apa penegakan hukum di tahun-tahun akan datang di bawah kepemimpinan Jokowi-JK? Untuk menjawab pertanyaan ini, situasi penegakan hukum di bawa Pemerintahan Jokowi adalah basis proporsional yang bisa digunakan sebagai variabel analisa. Bahwa penegakan hukum sepanjang tahun 2014-2015 besandar pada selerah para pembegal. Puncaknya adalah supperioritas Kepolisian ditamba blunder Hakim Sarpin. Kedua hal tersebut cukup mempengaruhi situasi penegakan hukum di bawah Pemerintahan Jokowi-JK. Kedua blunder ini lalu dibungkus dalil non-intervensi dalam penegakan hukum serta ‘putusan hakim harus (selalu) dianggap benar (res judika pro verita te habetur)’.

Para penganut kedua dalil di atas—penegakan hukum tidak boleh diintervensi dan putusan hakim harus (selalu) dianggap benar—lupa bahwa sejak zaman SBY, KPK telah berkali-kali menjebloskan Hakim ke penjara karenah teribat kasus korupsi, mulai dari hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Administrasi, sampai Hakim Mahkama Konstitusi pernah dieksekusi KPK.

Lagi pula, putusan Hakim adalah sinthesa antara fakta-fakta (termasuk di dalamnya kesaksian dan bukti-bukti) yang dikonstruksi para pihak saat berhadapan di persidangan—JPU vs Pembela/Penasihat Hukum Terdakwa; Tergugat/Kuasa Hukum Tergugat vs Penggugat/Kuasa Hukum Penggugat—sesuai kepentingan hukum masing-masing. Fakta-fakta tersebut, oleh Hakim, kemudian “dicocokan” dengan dalil-dalil yuridis-normatif yang ada (misal: pasal-pasal KUHP/KUH Perdata/UU), lalu ditambah keyakinan Hakim, jadilah sebuah putusan Hakim. Maka kalau boleh dirumuskan, putusan hakim adalah: F1 (Fakta 1) + F2 (Fakta 2) + DY (Dalil Yuridis) + KH (Keyakinan Hakim) = Putusan Hakim.

Dengan demikian, putusan Hakim adalah produk intelektual Si Hakim yang besangkutan. Pada titik ini, putusan Hakim, sebagai sebuah produk intelektual sama derajatnya dengan karya-karya intelektual pada umumnya yang sangat boleh untuk dikritik dan diperdebatkan, sejauh kritik dan perdebatan tersebut kredibel. Maka wajar bahkan perlu untuk memperdebatkan sebuah putusan Hakim.

Kembali ke nasib penegakan hukum di bawah Jokowi-JK, bagi saya, sepanjang perangkat politik masih dikuasai para pembegal kerah putih, penegakan hukum rasanya masih akan bernasib sama. Lalu apakah ini berarti pesimis? Saya kira optimistis itu perlu, hanya saja optimisme haruslah bersandar pada keinginan politik Pemerintah khususnya dalam hal penegakan hukum. Sementara realitas penegakan hukum sepanjang tahun 2015 tidak karu-kauran, maka optimisme di tengah situasi politik-penagakan hukum yang tidak karu-karuan ditamba supra struktur politik yang dikuasi para pembegal adalah fanatisme yang tidak perlu.

Lalu apa parameter alternatifnya, atau adakah alternatif? Bagaimana dengan Nawacita? Nawacita bagi saya tidak lebih dari sekedar retorika lima tahunan pemilu. Nawacita, meminjam istilah orang kebanyakan, sejak kisruh KPK-Polri telah berubah menjadi dukacita.

Penulis : Moh. Alie Rahangiar (Pekerja Bantuan Hukum LBH Makassar)

Tulisan sebelumnya pernah dipublikasi oleh koran harian Tribun Timur, terbitan 14 Januari 2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content