Sejarah
LBH Makassar (awalnya LBH Ujung Pandang ) didirikan pada tanggal 23 September 1983 oleh para Pengacara dan Advokat PERADIN (Persatuan Advokat Indonesia) dan kemudian bergabung dengan YAYASAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM INDONESIA (YLBHI) yang berkantor pusat di Jl. Diponegoro No. 74 Jakarta Pusat. Ide pembentukan LBH Makassar ketika itu dikerjakan sebuah tim yang terdiri atas beberapa advokad senior seperti M.Ilyas Amin SH, Harry Tio, SH., H..M. Arsyad Ohoitenan SH, Fachruddin Solo SH serta Sakurayati Trisna SH.
Pemberian nama “LBH Makassar” merupakan satu kesatuan, dimana pencantuman nama ibukota propinsi (“Makassar”) adalah suatu identitas dari kantor LBH yang merupakan cabang dari YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) yang saat ini telah memiliki 15 (lima belas) kantor cabang yang berkedudukan di beberapa ibukota provinsi dan diberi nama sesuai dengan ibukota propinsi. Kepemimpinan LBH Makassar dimulai dari M. Ilyas Amin SH sebagai Direktur Pertama untuk periode 1983-1986. A.Rudiyanto Asapa selama dua periode, yakni periode 1986-1989 dan periode 1989-1992. Direktur ketiga adalah Nasiruddin Pasigai SH untuk periode 1993-1996, Mappinawang SH, 1997-2003 dan M. Hasbi Abdullah, SH. Periode 2004 – 2007, Abdul Muttalib, SH 2007-2011, Abdul Azis, SH 2011-2015, dan Haswandy Andy Mas, SH 2016-sekarang.
Sebagai kantor cabang Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Makassar memiliki visi dan misi yang sama dengan YLBHI sebagai sebuah organisasi masyarakat sipil memandang bahwa penyelenggaraan negara harus melindungi dan menjamin rakyat dalam memenuhi hak-hak ekonomi, social dan budaya serta kebebasan-kebebasan dasar manusia. Untuk itu, negara perlu merumuskan dan menetapkan aturan hukum yang adil dan berpihak kepada masyarakat. Institusi-institusi negara juga berkewajiban untuk melindungi dan meneggakan kebebasan-kebebasan dan hak-hak asasi manusia di tengah tekanan liberalisasi ekonomi dan globalisasi Liberalisasi ekonomi dan globalisasi berdampak para perubahan tatanan dan perilaku masyarakat ditingkat local. Arus modal yang didominasi oleh perusahaan besar (MNCs/TNCs) telah menembus batas-batas wilayah negara. Dalam fase berikutnya, agenda liberalisasi ekonomi dan globalisasi akan menyeret dan terjebaknya negara dalam peran-peran sebagai fasilitator kepentingan modal.
Kebijakan negara tidak seuruhnya ditentukan oleh negara, melainkan juga hasil dari penetrasi dan aturan-aturan internasional seperti WTO dan kebijakan lembaga keuangan internasional (World Bank group dan IMF) Skenario global tersebut merepresi masyarakat ditingkat akar rumput.
Membanjirnya produk komoditi pertanian dari dunia internasional yang mematikan petani, perputaran buruh murah dan berpenghasilan rendah merupakan dampak dari agenda ini. Agenda perdagangan internasional mencakup seluruh aspek perdagangan komoditi dan jasa. Operasionalisasi dari scenario global akan melibatkan aktor-aktor ditingkat domestik terutama institusi-institusi negara yang berkolaborasi dengan pemilik modal.
Masalah arus modal di atas, parallel beriringan dengan problem-problem khas masyarakat di era transisi yakni dengan terbelahnya masyarakat berdasarkan agama, ras, etnis, identitas dan gender. Konflik horizontal yang merebak dan meluas saat ini dapat dibaca sebagai produk dari pergesekan kepentingan faksi modal domestik versus faksi modal internasional yang memoerebutkan sumber- sumber ekonomi local. Solusi dari konflik horizontal mesti menjawab akar masalah yang muncul : ketidakadilan ekonomi, social, politik, budaya, hukum, dan gender.
Proses transisi sekarang mesti dapat meletakkan dasar pijakan sekaligus melaksanakan kewajiban memproteksi rakyat. Proses ini tidak mungkin terlaksana tanpa partisipasi masyarakat. LBH Makassar memandang kekuatan-kekuatan masyarakat mesti diposisikan sebagai subjek perubahan. Petani, nelayan, buruh dan kaum miskin kota menjadi kelompok-kelompok masyarakat yang mesti dibela.
Kelompok inilah yang paling dirugikan akibat liberalisasi ekonomi dan globalisasi. Penguatan negara hanya dalam lingkup perlindungan bagi rakyat dari ancaman scenario global.
Comments
No comment yet.