Categories
EKOSOB

Warga Bulukumba Gelar Rembuk Agraria Hadang Pembaruan HGU PT. Lonsum

Sabtu, 17 Februari 2024. Warga Bulukumba berkumpul di tengah kebun di Desa Tamatto, Ujung Loe dan menggelar Rembuk Agraria. Warga ini terdiri dari perwakilan 4 Desa yang berkonflik dengan PT. Lonsum yakni Desa Tamatto, Baleanging, Bontomangiring dan Desa Bontobiraeng. 4 Desa ini yang hadir merupakan Warga Bulukumba yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) di Bulukumba yang telah lama mendorong agar lahan mereka yang dahulunya di rampas oleh PT. Lonsum agar segera dikembalikan kepada warga. 

Dalam rembuk agraria ini, beberapa perwakilan dari warga yang hadir menyampaikan pandangan dan menegaskan sikap untuk pentingnya persatuan gerakan warga untuk menghadang pembaruan PT. Lonsum. Hasanuddin salah satu perwakilan warga menegaskan penting merangkul warga yang lain untuk sama sama berjuang menghadang pembaruan HGU PT.Lonsum. 

“Ini adalah bagian dari kita sama-sama bekerja, merangkul teman-teman yang hari ini tidak lagi bersama dengan kita. Kita mesti meyakinkan mereka bahwa mereka adalah korban hari ini dan bagaimana kita bisa merangkul kembali (untuk berjuang bersama),” ujar Hasanuddin selaku Pimpinan Ranting Baleanging

Nurdin, Pimpinan Agra Bulukumba menyampaikan kepada warga yang hadir bahwa situasi saat ini masih dalam proses Pembaruan HGU, dan hasil dari aksi warga kemarin pada 15 Januari 2024 yang berhasil menghalau peninjauan lokasi oleh Panitia B sebagai syarat pembaruan HGU.  

“Prosesnya sekarang sedang berlangsung, ada panitia B yang sedang bekerja yang menentukan HGU diperbarui atau tidak. Masa’ mauki menunggu sampai pembaruan ini selesai. Intinya seandainya tidak kita duduki BPN kemarin, tanggal 17 hingga 19 Januari 2024, selesaimi peninjauan lokasi kemarin. Tapi itu berhasil kemarin kita gagalkan karena kita aksi di dua titik, Makassar sama Bulukumba, itu yang penting disampaikan ke teman-teman,” ujar Nurdin.    

Selain itu perwakilan dari AGRA Sulsel, Zulkarnain Lolo, menegaskan bahwa pasca berakhirnya HGU Lonsum di 31 Desember 2023, menjadi momentum bagi warga untuk mengkonsolidasikan diri dalam perjuangan untuk mengembalikkan tanah mereka yang dirampas. 

“Perjuangan Gerakan Rakyat di Makassar telah berhasil mendesak Kanwil BPN untuk melakukan perundingan antara warga yang berkonflik dengan PT.Lonsum. Gerakan warga di-desa-desa yang berkonflik dengan Lonsum mesti lebih solid dan mendesak agar pemerintah segera mengembalikkan tanah warga yang sebelumnya dirampas,” ucap Lolo.

Dalam Rembuk Agraria ini hadir beberapa perwakilan dari Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah, seperti dari YLBHI-LBH Makassar, KontraS Sulawesi, dan KPA Sulsel dan AGRA Sulsel. Azis Dumpa Perwakilan dari YLBHI LBH Makassar menegaskan situasi saat ini dengan HGU yang sudah habis membuat posisi dari PT. Lonsum menjadi lemah. Dalam situasi ini penting bagi Warga untuk menguatkan dan memperbesar gerakan agar tanah mereka yang berkonflik dapat dikembalikan. 

“Perjuangan warga untuk menghadang Pembaruan HGU PT. Lonsum adalah perjuangan konstitusional yang dilindungi oleh Undang-Undang. Karena Tanah itu  diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, jadi bukan kepada kepentingan perusahaan. Dasar hukum warga jelas, sekarang HGU Lonsum sudah habis, kekuatan hukumnya lemah. Sekarang kekuatan ada di Warga, perjuangannya  sudah panjang, telah ada Verifikasi di tahun 2012, ada yang punya SHM, Tanah adat dan putusan Mahkamah Agung,” ujar Azis Dumpa. 

Untuk diketahui bahwa HGU PT. Lonsum telah berakhir di 31 Desember 2023. Saat ini prosesnya telah memasuki tahapan verifikasi oleh Panitia B. Warga melalui kuasa hukumnya dan aliansi telah mengirimkan surat keberatan terkait dengan pembaruan HGU. Hingga akhirnya surat tersebut telah direspon oleh BPN dengan melakukan perundingan untuk menyelesaikan konflik agraria tersebut dengan menghadirkan warga dan PT. Lonsum yang akan dilaksanakan pada 19 Februari 2024. Harapannya dalam perundingan ini dapat menyelesaikan konflik agraria yang terjadi, Pemerintah dapat menghormati hak hak warga dan dapat mengembalikkan lahan mereka yang telah dirampas oleh PT. Lonsum selama puluhan tahun.

Categories
EKOSOB

Menuntut Tindak Lanjut atas Rekomendasi Komnas HAM RI, Warga Beroanging Geruduk Kantor Wali Kota Makassar

Jumat, 16 Februari 2024. Menindaklanjuti surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM tertanggal 05 Januari 2024 dengan nomor surat: 5/K/MD.00.00/1/2024 perihal Penundaan Penggusuran yang bersifat Penting kepada Walikota Makassar dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota, warga bersama solidaritas datang ke Kantor Wali Kota Makassar untuk menuntut agar dilaksanakan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM.

Pada 14 Januari 2024, sebagaimana yang telah diketahui bahwa DLH dan Wali Kota Makassar telah menerima surat tersebut. Celakanya, sebulan sejak surat diterima, DLH dan Wali Kota Makassar masih terkesan abai terhadap perlindungan hak atas tempat tinggal yang layak dan pemenuhan hak  atas tempat yang layak bagi warga beroangin.

Komnas HAM menerbitkan surat rekomendasi ke DLH dan Wali Kota Makassar untuk tidak melakukan penggusuran dan tindakan yang dapat menimbulkan konflik fisik hingga tercapai solusi bersama yang diterima  kedua  pihak.

“Jelas ini merupakan sikap yang arogan dari kekuasaan dalam hal ini Pemerintah Kota Makassar, sekaligus merupakan tindakan yang sama sekali tidak menghormati Hak Asasi Manusia. Hari ini kami datang ke Balai Kota Makassar bermaksud untuk memberikan peringatan dan menuntut Pemerintah Kota agar segera mungkin menindaklanjuti atas rekomendasi dari Komnas HAM RI,” ujar tegas Hasbi selaku tim hukum LBH Makassar. 

Termuat dalam surat rekomendasi Komnas HAM, DLH Kota Makassar harus menunda rencana penggusuran dan tindakan yang dapat menimbulkan konflik fisik, sampai dengan dicapainya solusi atau penyelesaian bersama yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Lalu mengupayakan penyelesaian bersama atas permasalahan sebagaimana perwujudan dari kewajiban Pemerintah dalam rangka perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia sebagaimana ketentuan Pasal 28 I ayat (4) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 8 jo. Pasal 71 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Tindakan Warga Beroangin bersama Tim Hukum LBH Makassar dan Aliansi yang ikut bersolidaritas ke  Balaikota Makassar ini sekaligus bertujuan untuk memasukkan surat perihal Tindak Lanjut Permintaan Komnas HAM RI. Hal ini jelas berangkat dari sikap Pemerintah Kota yang abai dan tidak memberikan tanggapan sama sekali atas rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM

Sesegera mungkin, DLH dan Wali Kota Makassar untuk menanggapi surat tersebut. DLH dan Wali Kota Makassar juga harus menghormati dan melindungi hak atas tempat tinggal yang layak, hal-hal yang selama ini selalu diabaikan dalam perencanaan tata ruang Makassar,” kata Ian Hidayat, pendamping hukum warga

Tertuang dalam surat yang dilayangkan Warga, agar DLH dan Pemerintah Kota Makassar agar Mengindahkan permintaan dari Komnas HAM dengan menunda rencana penggusuran warga Beroangin hingga tercapai solusi atau penyelesaian bersama dengan melibatkan Pemerintah Kota, Komnas HAM dan warga terdampak. Termasuk dalam hal ini memberikan jaminan pemenuhan hak dan perlindungan bagi warga terdampak sebagaimana ketentuan Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 8 jo. Pasal 71 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Categories
Perempuan dan Anak

Ingkari Pedoman Kejaksaan, JPU Tuntut Perempuan Korban Penganiayaan Dua Bulan Penjara

Makassar, 12 Februari 2024. Sidang Penganiayaan terhadap Terdakwa Nurlaelah dilaksanakan di Pengadilan Negeri Sungguminasa, Gowa. Agenda sidang tersebut (7/2) adalah pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) .

Nurlaelah  merupakan seorang Ibu Rumah Tangga berumur 47 tahun yang dalam fakta persidangan terbukti  menjadi korban penganiayaan yang diduga dilakukan oleh Cowa Dg. Liwang. Akibat dari penganiayaan tersebut Nurlaelah mengalami luka robek di kepala bagian  belakang dengan 15 (lima belas) jahitan karena dilempar dengan batu oleh pelaku. Setelah dilempar, pelaku Cowa Dg. Liwang juga merebut sekop dari tangan Nurlaelah dan memukulkan sekop tersebut ke lengan dan Punggung Nurlaelah, sehingga lengan dan punggungnya mengalami memar. 

Sebelum dipukul Nulaelah sempat  melakukan pembelaan diri dengan mencoba mempertahankan sekop di tangannya yang terus ingin direbut oleh pelaku. Ironisnya, dari pembelaan diri yang dilakukannya, Nurlaelah malah  dikenakan delik tindak pidana penganiayaan sebagaimana Pasal 351 ayat (1) KUHPidana.

Parahnya lagi dalam agenda sidang tuntutan tersebut, Nurlaelah dituntut pidana selama 2 bulan penjara. Sedangkan, Cowa Dg. Liwang hanya dituntut pidana penjara selama  4 bulan. Nurlaelah dengan mata berbinar menyayangkan tuntutan jaksa tersebut.

Saya hampir mati, dilempar di bagian kepala saya hingga robek. Kenapa Cowa Dg. Liwang hanya dituntut 4 bulan. Sedangkan, saya sebagai korban  juga dituntut penjara?” Kata Nurlaelah di depan Majelis Hakim

Dalam hal ini, tindakan Penyidik dari Polsek Bontonompo yang menetapkan status tersangka sampai didakwa melakukan tindak pidana penganiayaan oleh (JPU) adalah tindakan yang abai terhadap fakta bahwa Nurlaleh adalah seorang perempuan (kelompok rentan) yang menjadi korban kekerasan. Apalagi pada saat terjadi kekerasan, Nurlaelah menggunakan rok panjang yang menyulitkan dirinya untuk melarikan diri dari serangan pelaku, bahkan saat itu, Nurlaelah tidak langsung memperoleh pertolongan, karena saksi yang melihat jauh dari tempat kejadian, sehingga Nulaelah hanya bisa berteriak meminta tolong karena ketakutan. 

JPU seharusnya mengikuti pedoman Kejaksaan No. 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana, yang meminta agar penanganan perkara pidana yang melibatkan perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan dengan perspektif akses keadilan terhadap perempuan dan anak. Oleh karena itu, dituntutnya korban kekerasan yang melakukan upaya pembelaan diri ini menunjukan adanya tindakan JPU yang melanggar perlindungan terhadap perempuan sebagai kelompok rentan dan prinsip peradilan fair and Trial (peradilan yang adil) yang menjadi indikator terbangunnya sistem peradilan dan masyarakat yang adil.

Karena JPU bersikeras untuk menuntut korban, maka Majelis hakim yang mengadili perkara ini, seharusnya benar-benar melihat fakta sebenarnya dan memperhatikan kondisi terdakwa sebagai perempuan korban kekerasan akibat ketidakberdayaan fisik maupun psikis saat kekerasan terjadi. Hal ini sebagaimana ketentuan pasal 4 huruf (e) Perma No. 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.

“Dari awal kasus ini seharusnya dihentikan dan tidak dituntut oleh JPU, mengingat memang faktanya Nurlaelah adalah korban kekerasan (penganiayaan) yang melakukan upaya pembelaan diri. Dituntutnya Nurlaelah, menunjukan tidak adanya keberpihakan JPU terhadap hak-hak perempuan sebagai kelompok rentan. Apalagi kerentanan itu semakin terlihat ketika pelaku menganiaya korban (Nurlaelah), saat kepala korban sudah berlumuran darah dan saat itu tidak ada sama sekali pertolongan terhadap korban,” ungkap Hutomo M.P., Penasehat hukum Korban

Termaktub dalam pasal 4 huruf (e) Perma No. 3 Tahun 2017, bahwa “dalam pemeriksaan perkara, hakim agar mempertimbangkan Kesetaraan Gender dan non-diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta persidangan: (e) . ketidakberdayaan fisik dan psikis korban”

Melihat fakta persidangan ini, khususnya tindakan Cowa Dg. Liwang yang melakukan kekerasan dan ketidakberdayaan fisik dan psikis yang dialami Nurlaelah sebagai korban kekerasaan pada saat kejadian, maka majelis hakim seharusnya membebaskan Nurlaelah. Nurlaelah adalah Korban,” tambahnya Hutomo.

***


Penulis: Muhammad Ian Hidayat

Categories
Perempuan dan Anak

Berkas Kasus Briptu S Dikirim Ke Kejaksaan, LBH Makassar Desak Tersangka Ditahan!

Makassar, 12 Februari 2024. Laporan Polisi: LP/B/747/VII/2023/SPKT/ POLDA Sulsel, tertanggal 22 Agustus 2023 yang dilakukan oleh F, korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh Anggota Polri di Rumah Tahanan Polda Sulsel menuai babak baru. Pada 21 Desember 2023, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin.Sidik/2886/XII/RES.1.24/2023/ KRIMUM, laporan saksi korban telah dinaikkan ke tahap penyidikan. 

Pada 28 Desember 2023, Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum menetapkan Briptu S, sebagai Tersangka dugaan tindak pidana kekerasan seksual,  sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf c Jo. Pasal 15 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Berdasarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP), tertanggal 29 Januari 2024, Penyidik Polda Sulsel telah mengirimkan berkas perkara Tersangka ke Kejaksaan Negeri Makassar, sesuai Surat Pengiriman Berkas Perkara Nomor: C.1/06/I/RES.1.24/2023 Ditreskrimsus, tanggal 11 Januari 2024. Surat ini baru diterima oleh Tim Kuasa Hukum korban pada 6 Februari 2024.

Untuk memastikan percepatan proses hukum terhadap Tersangka, pada 29 Januari 2024, Tim Kuasa Hukum LBH Makassar bersurat ke POLDA Sulawesi Selatan  mendesak Kapolda Sulsel untuk menetapkan pembatasan gerak pelaku dengan melakukan penahanan. Namun, hingga detik ini Tersangka masih bebas berkeliaran.

Mirayati Amin, S.H., selaku Kuasa Hukum korban menilai kasus ini patut mendapatkan atensi publik. Pasalnya, kasus seperti ini jarang terexpose atau diketahui khalayak umum. Karena, bagi korban butuh waktu untuk akhirnya berani melaporkan pelecehan seksual yang dialami. Mengingat, tidak mudah menyeret anggota Polri ke Pengadilan atas tindak pidana yang dilakukan.

“Berdasarkan laporan LBH Makassar, sejak pengesahan Undang-Undang TPKS, hampir tidak ada kasus yang sampai ke persidangan dan korban mendapatkan keadilan. Saat melapor Korban justru mengalami reviktimisasi dan diminta untuk membuktikan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, yang seharusnya menjadi fokus aparat penegak hukum dalam mencari pembuktian unsur pasal,” tegas Mirayati Amin.

Kasus ini seharusnya menjadi sorotan publik dan patut untuk diberikan atensi penuh. Hal ini beralasan dengan melihat sederet kasus serupa yakni Anggota Polri yang diduga melakukan tindak pidana sangat sulit untuk dimintai pertanggungjawaban. Praktik undue delay yang berujung pada menebalnya Impunitas ditubuh Polri.

Sejak awal, sangkaan kasus ini akan menemui aral dan menambah daftar kasus impunitas dan undue delay pada institusi kepolisian. Hal ini merujuk pada kasus-kasus yang terjadi sebelumnya yang juga kami dampingi, misalnya kasus Agung, Anjasmara, Sugianto dan Nuru Saali, yang mana hingga saat ini proses hukumnya masih gelap. Kasus-kasus ini menggambarkan proses hukum yang busuk yang dilakukan oleh Institusi Kepolisian,” tegas Muhammad Ansar.

***

Penulis: Mirayati Amin

Categories
SIPOL

Sidang Pemeriksaan Ahli: Perbuatan Tiga Tersangka tidak Dapat Dimintai Pertanggungjawaban Pidana Karena tidak Memiliki Niat Merusak

Pinrang 06 Februari 2024. Sidang terhadap 3 warga Talabangi, Kelurahan Tonyamang, Kab. Pinrang kembali digelar dengan agenda pemeriksaan Saksi Ahli dari pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU), yaitu Prof. Amir Ilyas, S.H., M.H. dalam kapasitasnya sebagai Ahli Hukum Pidana dan dilanjutkan pemeriksaan Terdakwa Sudirman Arif, Kamaruddin, dan Abd Azis Katuo. Seperti sebelumnya, Puluhan warga telah memadati ruang dan luar sidang untuk memberi dukungan serta solidaritas.

Dalam pendapatnya, Ahli mengatakan bahwa Actus Reus (Perbuatan) dan Mens Rea (Niat) dalam pertanggungjawaban pidana tidak dapat dipisahkan. Untuk mengukur Mens Rea itu dapat dilihat dari tindakan, termasuk tindakan-tindakan sebelumnya yang melatarbelakanginya, apabila dalam persidangan dapat dibuktikan bahwa tindakan yang dilakukan seseorang untuk kepentingan publik, maka pemidanaan tersebut dapat dikesampingkan.  

Terdakwa, saat dimintai keterangan oleh JPU menjelaskan proses terjadinya penggembokan. Abd Azis Katuo mengungkapkan bahwa awalnya Tersangka telah melakukan pertemuan di Kantor Lurah dan meminta agar tower yang berada disekitar pemukiman untuk dipindahkan. Dalam hal ini Tersangka tidak menolak kehadiran tower tersebut. 

“Setelah pertemuan tersebut tidak ada penyelesaian, kemudian pada pertemuan selanjutnya juga tidak ada kepastian. Selain pertemuan di Kantor Lurah, kami juga beberapa kali melakukan musyawarah warga dan terakhir dilakukan di rumah Sudirman Arif, yang hadir pada saat itu Lurah, Kapolres, dan pemilik lahan. Pada saat itu warga bertanda tangan surat penolakan perpanjangan kontrak tower yang dibuat oleh Lurah, namun Lurah dan anggota Polres pada saat itu tidak bertandatangan,” ucap Abd Azis Katuo.

“Dari situlah kami sampaikan bahwa kalau tidak ada penyelesaian maka tower akan digembok,” ujar Abd Azis Katuo.

Dari musyawarah itulah warga bersepakat melakukan penggembokan dengan cara patungan untuk membeli gembok dan rantai.

Saya yang mengumpulkan uang warga lalu pergi membeli gembok dan rantai,” ujarnya. 

Selanjutnya terdakwa Sudirman Arif saat ditanya oleh kuasa hukumnya, mengungkapkan bahwa alasan dilakukan penggembokan adalah tidak lain karena kontrak keberadaan tower telah berakhir sejak Oktober 2022. Termasuk warga yang mengalami kerusakan alat elektronik. 

“Saya sendiri totalnya ada 8 TV yang rusak dan hanya 3 yang diganti, itupun saya sendiri yang mencari informasi mengenai penggantian tersebut. Belum lagi kerusakan barang elektronik warga lain. Setiap ada angin kencang suara ribut tower itu seperti pesawat, kita dibuat khawatir dan bahkan tidak sedikit warga yang berlarian untuk berlindung,” tegas Sudirman Arif. 

Keterangan Saksi Ahli dalam persidangan semakin memperkuat posisi Para Terdakwa untuk tidak dimintai pertanggungjawaban pidana, sebab dalam konteks pertanggungjawaban pidana, salah satu unsurnya adalah kesengajaan, dan salah satu tolak ukur untuk menilai adanya kesengajaan tersebut dapat dilihat dari serangkaian tindakan – tindakan yang melatar belakanginya. 

“Kami mengapresiasi kehadiran Saksi Ahli dalam Persidangan. Karena dari keteranganya, kami memperoleh dasar teoritik bagi Para Terdakwa untuk tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, sebab dalam konteks pertanggungjawaban pidana, salah satu unsur yang harus terpenuhi adalah adanya unsur niat, sedangkan para Terdakwa dalam melakukan tindakan penggembokan tersebut tidak sama sekali memiliki niat untuk merusak maupun dapat terganggunya secara fisik maupun secara elektromagnetik telekomunikasi, melainkan tindakan penggembokan tersebut ditujukan untuk memperoleh kejelasan,” ungkap Penasehat Hukum Muhammad Ansar.

Dalam rangkaian fakta yang terungkap dalam persidangan baik yang diungkapkan oleh Para Saksi yang dihadirkan oleh JPU maupun oleh Para Terdakwa semakin menguatkan posisi hukum perkara ini, bahwa tindakan penggembokan yang dilakukan Para Terdakwa dilakukan berdasarkan kesepakatan warga yang sekitar tower dengan berbagai dalil diantaranya telah mengganggu ketentraman warga yang tinggal disekitar tower. 

“Dari rangkaian fakta dalam persidangan, terungkap bahwa tindakan yang dilakukan oleh para terdakwa melakukan penggembokan dilatarbelakangi oleh serangkaian pertemuan – pertemuan dengan para pihak, dan dalam pertemuan tersebut, warga sekitar telah menuntut agar tower dipindahkan dari lingkungan warga,” pungkas Muhammad Ansar.

Categories
SIPOL

Fakta Sidang Kriminalisasi Warga Pinrang terkait Keberadaan Tower: Membahayakan Warga Sekitar, Penolakan Warga Beralasan Kuat

Pinrang, 30 Januari 2024. Sidang terhadap 3 warga Talabangi, kelurahan Tonyamang, kab. Pinrang kembali digelar dengan agenda pemeriksaan saksi dari pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pada persidangan ini, JPU menghadirkan 3 orang saksi, yaitu Ilham Akbar Baharuddin selaku Supervisor Territory Operation pada PT. Telekominfra yang merupakan mitra dari PT. Telkomsel yang bertugas mengawal availability di cluster Pare – Pare, Andi Satmar sebagai karyawan Tekhnikal untuk operator Telkomsel maintenance Perangkat Lapangan Telkomsel pada perusahaan Flexsindo Jaya Mandiri dan Wahyudin Masna karyawan PT. Cipta Jaya Sejahtera Abadi (CSA) sebagai tim maintenance mitra PT. Tower Bersama.

Dalam persidangan, Wahyudin Masna mengungkapkan bahwa warga memang menolak perpanjangan kontrak sebelum terjadinya aksi penggembokan yang dilakukan oleh para terdakwa. 

“pernah mengikuti pertemuan di kantor kelurahan tonyamang dan sebelum terjadi penggembokan tower, warga sekitar memang sudah menolak perpanjangan kontrak tower, termasuk mendengar keluhan warga sekitar tower. Penolakan tidak berhenti walaupun setelah ada penggantian barang elektronik yang rusak milik warga, tetap saja warga menolak perpanjangan kontrak tower,” keterangan Wahyudin dalam persidangan.

Tindakan yang dilakukan para terdakwa bukan aksi sepihak dan tanpa alasan. Hal ini disebabkan oleh dampak dari aktivitas tower yang merusak barang elektronik warga dan membuat warga ketakutan saat angin kencang datang. 

Ilham Akbar Baharuddin mengatakan dalam persidangan, “bahwa dirinya tinggal juga di bawah tower, kalau ada angin kencang, ada suara dari tower, dan biasanya kalau angin kencang, saya lari dari rumah, karena khawatir jangan sampai ada yang jatuh dari atas tower, terutama baut – bautnya, yang itu kalau mengenai kepala bisa saja tembus.” 

Terungkap fakta hukum di dalam persidangan dari para saksi yang dihadirkan oleh JPU bahwa sebelum terjadinya peristiwa penggembokan, terlebih dahulu sudah ada protes dan penolakan warga sekitar tower untuk tidak memperpanjang kontrak tower. Dengan adanya peristiwa penolakan dan protes warga yang mendahului tindakan penggembokan menunjukan peristiwa penggembokan bukan peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan peristiwa yang serangkaian dengan tindak protes dan penolakan warga. 

“Dari fakta yang terungkap di persidangan dapat dilihat bahwa peristiwa penggembokan yang terjadi didahului oleh protes dan penolakan warga terhadap perpanjangan kontrak tower, dengan demikian tidak bisa dilihat sebagai peristiwa berdiri sendiri, melainkan rangkaian peristiwa – peristiwa yang terjadi sebelumnya, dengan demikian, peristiwa penggembokan ini harus dilihat sebagai ekspresi protes penolakan warga atas perpanjangan kontrak tower. Karena itu, tindakan penggembokan bukan malah dihukum, melainkan harus dilindungi, karena ekspresi protes merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia, disisi lain, karena ada yang melatar belakangi tindakan penggembokan tersebut, maka harus dilihat pula sebagai bagian dari partisipasi publik terhadap pembangunan yang harus dihormati dan dilindungi, bukan dihukum,” ungkap Muhammad Ansar, Tim Penasehat Hukum para terdakwa.

Bersamaan dengan pemeriksaan saksi di ruang persidangan, puluhan warga bersama Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Tonyamang kembali menggelar aksi di depan Pengadilan Negeri Pinrang. 

Aksi demonstrasi dilakukan sebagai bentuk dukungan dan solidaritas warga dan mahasiswa kepada ketiga terdakwa. Secara bergantian, Mahasiswa menyampaikan orasinya. Dalam orasi – orasi yang disampaikan, massa aksi menuntut agar pengadilan negeri memberikan putusan yang seadil – adilnya dengan membebaskan para terdakwa dari segala tuntutan hukum, dengan dalil bahwa ketiganya tidak lebih merupakan pejuang hak asasi manusia yang sedang memperjuangkan hak atas rasa amannya. 

“bebaskan 3 terdakwa, karena mereka adalah pejuang hak asasi manusia,” ujar Reihan, jenderal lapangan aksi demonstrasi.

Categories
SIPOL

Tanpa Meminta Persetujuan, SOP PT. Tower Bersama Menuai Kerugian Terhadap Warga

Pinrang, 23 Januari 2024. Sidang terhadap 3 orang warga Pinrang berlangsung di Pengadilan Negeri Pinrang dengan agenda Pemeriksaan saksi. Hal ini direspon oleh Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Tonyamang dengan menggelar aksi di depan dan Kantor DPRD Kab. Pinrang, massa menuntut agar 3 warga yang menjadi Terdakwa kasus penggembokan tower milik PT. Tower Bersama dibebaskan dari segala tuntutan hukum. 

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan Saksi, dalam hal ini adalah Abdi Anwar yakni selaku Pelapor dan merupakan pihak perusahaan dari PT. Tower Bersama yang bertugas sebagai Maintenance Wilayah Regional. Dalam keterangannya, Saksi menjelaskan bahwa pagar tower digembok pada bulan desember 2022.

Lebih lanjut, dalam kesaksian Pelapor bahwa dia mendapatkan informasi penggembokan dari asisten lapangan. Atas kejadian tersebut petugas lapangan sulit untuk melakukan maintenance. Dalam keterangan di persidangan, Saksi juga menjelaskan bahwa dalam proses perpanjangan kontrak itu tidak membutuhkan persetujuan melainkan sosialisasi yang hanya disampaikan kepada Lurah dan Pemilik lahan. 

Hal ini tentu merupakan satu tindakan yang merugikan terhadap warga sekitar, tim kuasa hukum juga menanggapi tindakan penggembokan yang dilakukan oleh 3 orang warga merupakan respon atas ketidakadilan terhadap Standar Operasional Prosedur.

“Penggembokan yang dilakukan oleh 3 orang warga merupakan reaksi atas tidak adanya transparansi, dimana secara diam – diam pihak perusahaan dan Pemilik lahan yang memperpanjang kontrak. Padahal selama ini, warga sudah menolak keberadaan tower di lingkungan mereka,” ujar Muhammad Ansar selaku Kuasa Hukum.

Di luar Pengadilan, Mahasiswa dan Warga lainnya menyampaikan orasi. Mereka mendesak agar 3 warga yang protes terhadap perpanjangan kontrak dan keberadaan tower diadili secara imparsial atau memeriksa secara menyeluruh latar belakang mengapa mereka melakukan penggembokan. Lebih lanjut mendesak Pemerintah Kabupaten Pinrang untuk menjamin serta memenuhi rasa aman warga yang tinggal di sekitar tower.  

Warga juga meminta agar dapat bertemu dengan Humas Pengadilan Negeri Pinrang untuk menyampaikan aspirasinya. Sebagian dari warga sempat adu mulut dengan petugas keamanan karena menolak untuk memberikan akses masuk kepada Warga yang ingin bertemu dengan pihak Pengadilan.

Pada pukul 10:40 wita, puluhan Warga diberikan kesempatan bertemu dengan Humas PN untuk melakukan audiensi. Audiensi dengan pihak PN tersebut berlangsung sampai dengan pukul 11:30 yang mendesak pengadilan agar mengabulkan 3 poin permintaan warga yaitu; pertama, meminta agar permohonan penangguhan penahanan serta peralihan penahanan dari tim Kuasa Hukum ketiga terdakwa dikabulkan, kedua meminta pengadilan dalam hal ini majelis hakim yang menangani perkara untuk memeriksa dan mengadili 3 terdakwa secara imparsial, ketiga meminta kepada majelis hakim saat setelah sidang untuk dapat memberikan kesempatan kepada 3 terdakwa bertemu langsung dengan seluruh massa aksi untuk saling sapa dengan tujuan memberi dukungan semangat sekaligus mengingatkan bahwa mereka bukan hanya bertiga tapi ada masyarakat dan mahasiswa bersamanya.

Massa aksi beranjak ke Kantor DPRD Kabupaten Pinrang pada pukul 12:30 wita untuk melakukan Mediasi dan Rapat Dengar Pendapat bersama warga, komisi II dan Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP). Dalam pertemuan ini ada 4 poin pembahasan yaitu:

  1. Masyarakat/ Warga Talabangi Kelurahan Tonyamang meminta menindaklanjuti Aspirasi Masyarakat mengenai Penolakan keberadaan Tower Milik PT. Tower Bersama untuk disampaikan ke Bupati dan Instansi terkait.
  2. PTSP Pinrang menyampaikan bahwa belum ada informasi atau izin tertulis mengenai perpanjangan kontrak PT Tower Bersama yang berada di Dusun Talabangi Kelurahan Tonyamang Kecamatan Patampanua, Pinrang.
  3. Komisi II DPRD Pinrang akan membuat rekomendasi dan mengirim surat kepada Pengadilan Negeri Pinrang agar Sudirman Arif, Kamaruddin dan Abd Azis dapat ditangguhkan penahanannya.
  4. Bahwa Komisi II DPRD sepakat untuk mengawal atau mendampingi masyarakat Dusun Talabangi Kelurahan Tonyamang menyelesaikan Persoalan keberadaan Tower Milik PT, Tower Bersama.

Empat poin tersebut akan ditindaklanjuti. Ditandatangani oleh Ketua Komisi II Andi Pallawagau Kerrang, perwakilan warga Andi Noni, perwakilan Mahasiswa Ahmad Reihan Anwar dan Dinas PMPTSP Andi Mirani.  

Sidang terhadap 3 orang Terdakwa akan dilanjutkan pada Selasa, 30 Januari 2023 dengan agenda sidang Pemeriksaan Saksi tambahan oleh JPU. 

Narahubung: Muhammad Ansar (+62 812-4116-3839)

Categories
EKOSOB

Bertahan di Tengah Ancaman Pemerintah Kota Makassar, Warga Beroanging Melakukan Doa & Ikhtiar Bersama Melawan Penggusuran

Minggu, 21 Januari 2024. Sebanyak 26 orang warga Beroanging yang terdiri dari 14 Perempuan dan 12 laki-laki hadir dalam doa bersama untuk melawan penggusuran. Kegiatan ini diselenggarakan oleh warga bersama solidaritas anti penggusuran yang dilaksanakan  di Masjid al Mukhlisin, Kompleks Pemakaman Beroangin, Tallo.

Kegiatan ini merupakan bentuk  perlawanan warga atas penggusuran paksa yang hendak dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar terhadap 2 Keluarga yang bertempat tinggal di lahan yang diklaim oleh Pemerintah Kota Makassar sebagai lahan pemakaman. Setidaknya  terdapat  8 orang warga yang akan kehilangan tempat tinggal, 2 perempuan dewasa dan 5 orang laki-laki dewasa dan 1 orang anak.

Doa dan zikir bersama dimulai sekitar pukul 5 sore hingga berakhir hingga menjelang Maghrib. Kegiatan doa bersama tersebut berjalan penuh khidmat dipandu oleh Ustadz Mubarak Idrus. Harapannya dari doa bersama ini menguatkan perjuangan warga untuk mempertahankan ruang hidupnya.

Sebelumnya pada Rabu, 29 November 2023, Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar melakukan pembongkaran bangunan sekitar rumah warga tanpa standar operasional yang jelas. 2 bangunan diantaranya merupakan bangunan permanen. Warga yang menolak digusur terus melakukan upaya agar tidak dihilangkan haknya.

Pada 5 Januari 2024, Komnas HAM menerbitkan surat rekomendasi kepada Walikota Makassar dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar untuk menyelesaikan permasalah sebagaimana perwujudan dari kewajiban pemerintah dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia. Namun, DLH Kota Makassar tetap tidak mengindahkan rekomendasi tersebut.

“Negara seharusnya bertanggung jawab atas pemenuhan Hak Asasi Manusia, termasuk tempat tinggal. Alih-alih melakukan pemenuhan hak  kepada warganya, Pemkot Makassar dan DLH Kota Makassar justru ingin melakukan penggusuran. Hal itu merupakan bentuk pelanggaran HAM. Doa dan dzikir bersama yang dilakukan oleh warga adalah bagian dari  upaya penguatan warga dalam mempertahankan hak-nya,” ujar Muhammad Ian Hidayat selaku tim hukum LBH Makassar. 

Sampai detik ini, warga dan solidaritas tetap bertahan dan terus berjuang dalam mempertahankan hak-hak Warga Beroanging. Sekaligus menuntut agar Pemkot Makassar dan DLH Kota Makassar agar tunduk dan patuh atas anjuran yang dikeluarkan oleh Komnas HAM. 

Categories
EKOSOB

Mendesak Penghentian Proses Pembaruan HGU PT. Lonsum, Warga Menduduki Kantor ATR/BPN Bulukumba

Bulukumba, 16 Januari 2024. Demonstrasi tidak hanya diselenggarakan di Kota Makassar. Hal serupa turut berlangsung di kabupaten Bulukumba yang senada menuntut agar penghentian proses pembaruan Hak Guna Usaha (HGU) PT. London Sumatra segera dilaksanakan. Pada 15 Januari 2023, ratusan massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) mendatangi kantor ATR/BPN Bulukumba dan melakukan pendudukan hingga tuntutan dipenuhi. 

Aksi serentak ini merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh warga di empat desa di Bulukumba yang berkonflik dengan PT. Lonsum. Warga bersama massa yang ikut bersolidaritas menghadang proses pembaruan HGU yang sedang berproses di ATR/BPN. Dalam hal ini, Panitia B tentu saja memiliki fungsi untuk memenuhi aspirasi Masyarakat. 

Panitia B sesuai dengan dengan kewenangannya pada pasal 141 ayat (1) poin b  Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 18 tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah mempunyai tugas untuk meneliti dan mengkaji status tanah, riwayat tanah, dan hubungan hukum antara tanah yang serta kepentingan lain yang berkaitan dengan tanah. Selain itu Panitia B juga mempunyai tugas untuk meneliti dan melakukan peninjauan fisik atas tanah yang dimohon mengenai penguasaan, penggunaan/keadaaan tanah serta batas bidang tanah yang dimohon. 

Atas dasar itu, pilihan untuk aksi bertahan adalah upaya yang ditempuh oleh Warga dan masyarakat yang turut bersolidaritas. Aksi pendudukan ini tentu saja mengingat pada berakhirnya HGU yang dikantongi oleh PT. Lonsum sejak tanggal 31 Desember 2023. Sebelumnya, melalui kuasa hukum LBH Makassar yang mewakili kepentingan warga telah mengajukan surat keberatan kepada pihak ATR/BPN Sulsel namun tidak mendapatkan respon yang berpihak kepada Warga melainkan BPN Sulsel berlindung dibalik hukum normatif dengan menegaskan untuk dapat memprioritaskan pembaruan HGU kepada bekas pemegang hak dan mengabaikan konflik agraria yang terjadi. Sikap ini menunjukan ketidakberpihakan BPN Sulsel kepada masyarakat sebagai warga negara yang harus dilindungi dan dihormati hak – haknya.

Hal ini tentu saja akan selalu menuai masalah yang berkepanjangan, kurun tahun 2003 hingga kini, konflik antara perusahaan, aparat keamanan dan Warga terus terjadi yang berakibat pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Pemerintah dalam hal ini terkhusus pada Kementerian ATR/BPN, pada tahun 2021 telah melakukan pengukuran namun tidak mengeluarkan lahan warga dari wilayah HGU. 

Aksi pendudukan yang dilakukan oleh Warga di Kantor ATR/BPN Bulukumba juga mendesak agar kiranya Warga dipertemukan dengan ATR/BPN Sulsel, pasalnya proses pembaruan ini berlangsung di ATR/BPN Sulsel. 

Demonstrasi dan pendudukan berakhir pada 16 Januari 2024. Aksi ini berakhir dengan lahirnya kesepakatan antara pihak ATR/BPN Bulukumba dengan warga yakni akan melakukan koordinasi dan terus membuka informasi terkait dengan proses pembaruan HGU PT. Lonsum. Namun, pernyataan ini hanyalah sebuah muslihat yang dipertontonkan oleh pihak ATR/BPN Bulukumba. Hal ini dikarenakan beberapa hari sebelum warga dan solidaritas melakukan aksi demonstrasi, terkhusus dari AGRA telah mendapatkan informasi berupa surat undangan yang berisikan tentang Peninjauan Lapangan Panitia Pemeriksa Tanah. 

“Pasca mendapatkan informasi berupa surat, kami menilai Pihak ATR/BPN sedang berkelit dan melanggar kesepakatan pasca aksi berupa memberikan transparansi informasi. Buktinya pada tanggal 12 Januari 2023 mereka telah mengundang beberapa pihak seperti Bupati, Camat, dan Desa tanpa mengundang Warga yang memiliki lahan di wilayah HGU PT. Lonsum. Hal ini kami ketahui pasca aksi yang tentu saja mereka telah mengetahui dan tidak memiliki itikad baik terhadap warga selaku pihak terkait,” tegas Rudy Tahas perwakilan AGRA Bulukumba

Aksi di dua wilayah yakni Kota Makassar dan Bulukumba berakhir dengan kesepakatan yakni akan dilaksanakan koordinasi dan keterbukaan informasi terkait proses pembaruan HGU PT. Lonsum. Setidaknya tuntutan warga akan direspon dan dilakukan pertemuan di ATR/BPN Wilayah Sulsel paling lambat pada 26 Januari 2024. 

Categories
Perempuan dan Anak

Proses Penyelidikan Polres Lutim Mengaburkan Fakta Kekerasan Korban Pemerkosaan

Luwu Timur, 11 Januari 2024. Tim Penasehat Hukum LBH Makassar bersama Pelapor/Saksi korban menghadiri panggilan pemeriksaan saksi oleh penyidik Polres Luwu Timur. Pemeriksaan dilakukan terhadap Korban (AF) yang merupakan penyandang disabilitas intelektual, ditemani oleh M (Tante/Wali Korban) dan N (Paman Korban) di Polres Luwu Timur.

Namun dalam proses pemeriksaan N, diketahui bahwa penyidik Unit PPA Polres Luwu Timur sama sekali tidak memasukkan unsur pemerkosaan sebagai tindak pidana yang dilakukan pelaku terhadap korban, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 KUHP. Padahal, diketahui pasca melaporkan peristiwa tersebut, korban sempat dilarikan ke Rumah Sakit karena mengalami pendarahan pada organ vitalnya.

Tak hanya itu, pada proses pemeriksaan diketahui, penyidik Polres Luwu Timur juga telah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) tanpa pemberitahuan dan pelibatan pihak korban. 

Pengabaian terhadap luka dan rekam medik korban, serta proses penyelidikan yang tertutup semakin memperkuat dugaan adanya indikasi upaya mengaburkan fakta pemerkosaan yang dilakukan oleh Penyidik.

Atas pertimbangan di atas, Tim Penasehat Hukum LBH Makassar, mengajukan keberatan atas dalil pasal yang digunakan oleh Polres Luwu Timur. Penggunaan Pasal persetubuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 KUHP adalah pengabaian terhadap fakta bahwa telah terjadi pemaksaan dengan kekerasan untuk berhubungan badan, sebagaimana diterangkan dalam hasil visum korban.

“Dengan tidak dimasukkannya pasal pemerkosaan oleh penyidik, mengakibatkan kaburnya fakta bahwa Korban mengalami kekerasan dan pemaksaan berhubungan badan. Luka-luka yang dialami korban pasca peristiwa, yang menyebabkan Korban harus dirawat di rumah sakit, ternyata tidak cukup bagi penyidik untuk membuktikan adanya peristiwa kekerasan tersebut,” jelas Lisa, selaku pendamping hukum LBH Makassar.

“Kami juga menyayangkan karena tidak dimasukkannya Pasal 55 KUHPidana Jo. Pasal 56 KUHPidana pada Kasus tersebut. Padahal, berdasarkan keterangan korban terdapat 3 orang terduga pelaku utama dan 1 orang pelaku sebagai orang yang ikut membantu terduga pelaku dalam melancarkan aksinya,” tutur Nunuk yang juga merupakan pendamping hukum LBH Makassar

Selanjutnya, pada 12 Januari 2024, tim LBH Makassar bersama M, N, dan Korban kembali mendatangi Polres Luwu Timur untuk menghadiri panggilan dari Kasat Reskrim Polres Luwu Timur, terkait keberatan yang dilakukan oleh kuasa hukum. Pertemuan tersebut ikut dihadiri oleh empat orang kanit dan satu orang perwakilan UPTD PPA Luwu Timur. 

M kemudian mengatakan kalau pihak Korban merasa kecewa terhadap pihak kepolisian atas proses yang sementara berjalan.

“Sangat kecewa, saya saat membuat laporan BAP yang pertama itu, di situ saya mengatakan kalau ini adalah pemerkosaan. Tapi setelah dilakukan lagi laporan kedua, di situ sudah dihilangkan tentang pemerkosaan, malah yang diangkat itu tentang persebutubuhan. Jadi sangat-sangat kecewa dan merugikan kami dari pihak korban.” Tutup M.