Categories
Perempuan dan Anak

Ingkari Pedoman Kejaksaan, JPU Tuntut Perempuan Korban Penganiayaan Dua Bulan Penjara

Makassar, 12 Februari 2024. Sidang Penganiayaan terhadap Terdakwa Nurlaelah dilaksanakan di Pengadilan Negeri Sungguminasa, Gowa. Agenda sidang tersebut (7/2) adalah pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) .

Nurlaelah  merupakan seorang Ibu Rumah Tangga berumur 47 tahun yang dalam fakta persidangan terbukti  menjadi korban penganiayaan yang diduga dilakukan oleh Cowa Dg. Liwang. Akibat dari penganiayaan tersebut Nurlaelah mengalami luka robek di kepala bagian  belakang dengan 15 (lima belas) jahitan karena dilempar dengan batu oleh pelaku. Setelah dilempar, pelaku Cowa Dg. Liwang juga merebut sekop dari tangan Nurlaelah dan memukulkan sekop tersebut ke lengan dan Punggung Nurlaelah, sehingga lengan dan punggungnya mengalami memar. 

Sebelum dipukul Nulaelah sempat  melakukan pembelaan diri dengan mencoba mempertahankan sekop di tangannya yang terus ingin direbut oleh pelaku. Ironisnya, dari pembelaan diri yang dilakukannya, Nurlaelah malah  dikenakan delik tindak pidana penganiayaan sebagaimana Pasal 351 ayat (1) KUHPidana.

Parahnya lagi dalam agenda sidang tuntutan tersebut, Nurlaelah dituntut pidana selama 2 bulan penjara. Sedangkan, Cowa Dg. Liwang hanya dituntut pidana penjara selama  4 bulan. Nurlaelah dengan mata berbinar menyayangkan tuntutan jaksa tersebut.

Saya hampir mati, dilempar di bagian kepala saya hingga robek. Kenapa Cowa Dg. Liwang hanya dituntut 4 bulan. Sedangkan, saya sebagai korban  juga dituntut penjara?” Kata Nurlaelah di depan Majelis Hakim

Dalam hal ini, tindakan Penyidik dari Polsek Bontonompo yang menetapkan status tersangka sampai didakwa melakukan tindak pidana penganiayaan oleh (JPU) adalah tindakan yang abai terhadap fakta bahwa Nurlaleh adalah seorang perempuan (kelompok rentan) yang menjadi korban kekerasan. Apalagi pada saat terjadi kekerasan, Nurlaelah menggunakan rok panjang yang menyulitkan dirinya untuk melarikan diri dari serangan pelaku, bahkan saat itu, Nurlaelah tidak langsung memperoleh pertolongan, karena saksi yang melihat jauh dari tempat kejadian, sehingga Nulaelah hanya bisa berteriak meminta tolong karena ketakutan. 

JPU seharusnya mengikuti pedoman Kejaksaan No. 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana, yang meminta agar penanganan perkara pidana yang melibatkan perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan dengan perspektif akses keadilan terhadap perempuan dan anak. Oleh karena itu, dituntutnya korban kekerasan yang melakukan upaya pembelaan diri ini menunjukan adanya tindakan JPU yang melanggar perlindungan terhadap perempuan sebagai kelompok rentan dan prinsip peradilan fair and Trial (peradilan yang adil) yang menjadi indikator terbangunnya sistem peradilan dan masyarakat yang adil.

Karena JPU bersikeras untuk menuntut korban, maka Majelis hakim yang mengadili perkara ini, seharusnya benar-benar melihat fakta sebenarnya dan memperhatikan kondisi terdakwa sebagai perempuan korban kekerasan akibat ketidakberdayaan fisik maupun psikis saat kekerasan terjadi. Hal ini sebagaimana ketentuan pasal 4 huruf (e) Perma No. 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.

“Dari awal kasus ini seharusnya dihentikan dan tidak dituntut oleh JPU, mengingat memang faktanya Nurlaelah adalah korban kekerasan (penganiayaan) yang melakukan upaya pembelaan diri. Dituntutnya Nurlaelah, menunjukan tidak adanya keberpihakan JPU terhadap hak-hak perempuan sebagai kelompok rentan. Apalagi kerentanan itu semakin terlihat ketika pelaku menganiaya korban (Nurlaelah), saat kepala korban sudah berlumuran darah dan saat itu tidak ada sama sekali pertolongan terhadap korban,” ungkap Hutomo M.P., Penasehat hukum Korban

Termaktub dalam pasal 4 huruf (e) Perma No. 3 Tahun 2017, bahwa “dalam pemeriksaan perkara, hakim agar mempertimbangkan Kesetaraan Gender dan non-diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta persidangan: (e) . ketidakberdayaan fisik dan psikis korban”

Melihat fakta persidangan ini, khususnya tindakan Cowa Dg. Liwang yang melakukan kekerasan dan ketidakberdayaan fisik dan psikis yang dialami Nurlaelah sebagai korban kekerasaan pada saat kejadian, maka majelis hakim seharusnya membebaskan Nurlaelah. Nurlaelah adalah Korban,” tambahnya Hutomo.

***


Penulis: Muhammad Ian Hidayat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *