Makassar, 8 Maret 2024. Di Indonesia setiap tahun berbagai organisasi masyarakat sipil yang fokus dalam advokasi isu gender memperingati International Women’s Day (IWD). Peringatan ini sebagai upaya dalam merawat nafas gerakan dalam memperjuangan hak-hak perempuan. Salah satu advokasi kebijakan yang terbilang berhasil dikawal oleh organisasi masyarakat sipil yaitu pengesahan Rancangan Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang sekarang kita kenal dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Hampir 10 tahun lamanya dibutuhkan untuk mendesak pengesahan uu yang fokus pada penanganan kasus kekerasan seksual. Dan itu berhasil. Peringatan IWD menjadi momentum untuk merefleksi bersama implementasi UU ini,” ujar Mirayati Amin PBH LBH Makassar.
RUU tersebut telah digaungkan sejak tahun 2012, namun kemudian baru disahkan pada tahun 2022. Rentan waktu itu kemudian mengingatkan kita pada UU Perkawinan yang juga butuh waktu hampir 20 tahun baru kemudian disahkan sebagai wujud dari perlindungan terhadap perempuan dalam pernikahan. Meskipun pada perjalanannya yang begitu panjang dan berliku, namun pada akhirnya membuahkan hasil.
Pengesahan RUU TPKS menjadi Undang-Undang No.12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), membawa angin segar dalam penanganan dan pendampingan korban kekerasan seksual di Indonesia. Berbeda dengan peraturan lainnya, UU ini tidak membebankan tambahan saksi selain korban untuk diajukan.
Dengan semangat pemulihan korban, berbagai layanan diatur secara spesifik, untuk mempermudah akses keadilan korban. Namun, UU ini tidak bisa berdiri sendiri. Dibutuhkan peran serta keseriusan semua pihak dalam mengawal implementasinya.
Berdasarkan laporan LBH Makassar yang termuat dalam CATAHU 2023, sejak pengesahan Undang-undang TPKS ada 48 kasus kekerasan seksual, hampir tidak ada kasus yang sampai ke persidangan dan korban mendapatkan keadilan. Dalam catatan pendampingan, korban kekerasan seksual justru rentan mengalami reviktimisasi oleh masyarakat dan aparat penegak hukum, saat melapor.
Aparat Penegak Hukum (APH) juga belum memahami sepenuhnya perspektif UU TPKS. Dalam pelaporan ke kepolisian, laporan korban justru ditolak dengan alasan baru mengetahui adanya UU TPKS. Kepolisian dalam proses pemeriksaan justru cenderung memberi pertanyaan yang menyudutkan bahkan menyalahkan korban. Padahal dalam UU TPKS sendiri dengan terang mengatur bahwasanya APH harus menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan dan martabat korban tanpa intimidasi dan tidak menyalahkan cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau menimbulkan trauma bagi korban atau yang tidak berhubungan dengan tindak pidana kekerasan seksual.
Korban kerap diminta untuk membuktikan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, yang seharusnya menjadi fokus aparat penegak hukum dalam mencari pembuktian unsur pasal.
Selain, karena isu seksualitas yang masih dianggap tabu bagi masyarakat umum, paradigma aparat penegak hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual, mengambil peran penting dari mandeknya laporan korban.
Bahkan dalam beberapa catatan pendampingan LBH Makassar, APH belum menggunakan UU TPKS sebagai acuan dalam menetapkan pasal dalam laporan kekerasan seksual.
“Isu kekerasan seksual yang kerap dianggap sebagai masalah pribadi (personal) dan dieksklusikan dari diskursus publik membawa pengaruh pada mentalitas korban untuk melaporkan kasusnya. Padahal, tidak sedikit kasus kekerasan seksual justru terjadi di ruang-ruang publik, seperti lembaga pendidikan, tempat kerja, Lembaga Layanan termasuk Kantor Polisi,” pungkas Mira.
Hal ini menunjukkan pengetahuan dan perspektif APH yang patut dipertanyakan terkait sejauh mana keseriusan dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Selain itu, penyidik alih-alih fokus pada aduan yang ditujukan kepadanya, justru semakin memojokkan korban dan tak jarang menolak laporan karena nilai-nilai seksime yang dianutnya. Tidak heran jika sampai hari ini angka kekerasan seksual terus meningkat meskipun sudah 2 tahun UU TPKS disahkan.
Narahubung:
0853-4258-9061 (Mirayati Amin – PBH LBH Makassar)