Categories
SIPOL slide

Tolak Segala Bentuk Pembungkaman Demokrasi, Bebaskan Kadir Sijaya!

Aksi_Kadir Sijaya.230616.02

Setiap orang berhak atas kebebasan mengeluarkan pendapat dan kritikan sesuai dengan hati nuraninya baik secara lisan maupun tulisan baik melalui media cetak maupun media elektronik. Kebebasan mengelurkan pendapat merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin oleh konstitusi kita dan UU HAM. Kebebasan mengelurkan pendapat dan kritikan tersebut diekspresikan oleh salah seorang wartawan yang juga merupakan salah satu anggota PWI Sulsel, KADIR SIJAYA yang mengkritik mantan Ketua PWI Sulsel 2010 – 2015 yang sekarang menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan PWI Sulsel, ZULKIFLI GANI OTTO yang diduga melakukan komersialisasi gedung PWI dengan cara mengontrakkan lantai I gedung PWI yang merupakan aset Pemprov Sulsel dengan salah satu mini market tanpa adanya persetujuan dari Pemprov Sulsel.Atas dugaan komersialisasi gedung PWI SULSEL tersebut beberapa wartawan yang juga tergabung di organisasi PWI SULSEL melaporkan ZULKIFLI GANI OTTO ke MABES POLRI yang sekarang sedang berjalan proses hukumnya di POLDA SULSEL.

Akan tetapi kitikan yang dilontarkan oleh KADIR SIJAYA bukannya disikapi dengan bijak oleh ZULKIFLI GANI OTTO, akan tetapi mencoba untuk dibungkam dengan cara melaporkan KADIR SIJAYA ke Polrestabes Makassar. Tepatnya Rabu, 2 Desember 2015, Zulkifli Gani Otto melaporkan Kadir Sijaya dengan Laporan Polisi Nomor : LP/2708/XII/2015/POLDA SULSEL/RESTABES MKS di Polretabes Makassar tentang dugaan terjadinya perkara pidana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (3) UU. No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.Yang saat ini telah menjalani 3 bulan penahanan oleh pihak KEPOLISIAN POLRESTABES MAKASSAR dan Kejaksaan Negeri Makassar. Upaya prapradilan telah dilakukan Penasehat hukum terdakwa yakni LBH Makassar terkait penetapan tersangka oleh kepolisian di PN. Makassar namun tidak dimenangkan oleh hakim pengadil karena dianggap telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, atas dasar itu pihak kejaksaan yang menerima berkas perkara dari pihak kepolisian melanjutkan ke proses persidangan di PN.Makassar yang dalam dakwaan nya terdakwa kadir sijaya di dakwa melanggar pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (3) UU. No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan saat ini masih berlangsung berlangsung di PN Makassar dengan nomor Perkara: 1043/Pid.Sus/2016/PN.Makassar.

Terkait dengan Laporan Polisi ZULKIFLI GANI OTTOtersebut yang melaporkanKADIR SIJAYA atas kritikannya di media sosial grup messenger Facebook dan proses sidang yang sedang berjalan di Pengadilan Negeri Makassar , kami dari GERAKAN MASYARAKAT (GEMA) UNTUK DEMOKRASI MAKASSAR , menyatakan sikap :

  1. BEBASKAN KADIR SIJAYA dari segalah tuntutan hukum;
  2. Cabut UU ITE;
  3. Stop kriminalisasi gerakan rakyat;
  4. Stop pembredelan PERS MAHASISWA

Makassar, 23 Juni 2016

Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi Makassar

LBH Makassar, KOMUNAL, Pembebasan, YLP2S, FMD-SGMK, UIN Makassar, BEM FAI UMI, PPR, PPMI DK Makassar, LPMH Unhas

Categories
EKOSOB slide

Komnas HAM Lakukan Investigasi Dugaan Pelanggaran Ham atas Reklamasi Centre Point of Indonesia

Dsikusi bersama KOMNAS HAM R

Makassar, 23 Juni 2016. Belakangan ini, pembangunan yang secara massif mulai mengarah ke wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil. Berbagai rupa alasan, seperti padatnya wilayah perkotaan, sehingga kebijakan reklamasi dianggap sebagai kebutuhan bersama untuk menambah ruang baru perkotaan. Namun, realitas yang terjadi, reklamasi malah kerap hanya untuk kepentingan bisnis semata, baik pariwisata maupun bisnis property berskala global.

Dari sekian kabupaten/kota yang telah maupun sedang melakukan reklamasi, komunitas nelayan selalu ditempatkan sebagai pihak yang tergusur, tak terkecuali juga terjadi dengan reklamasi CPI di pantai losari makassar. Hal ini yang mendorong Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) Makassar melakukan upaya hukum yang digawangi oleh LBH Makassar dengan melakukan gugatan ke PTUN Makasasar, serta melakukan upaya kampanye penolakan reklamasi secara berkelanjutan.

Merespon adanya dugaan pelanggaran HAM akibat pembangunan dari tindakan reklamasi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan investigasi atas kebijakan reklamasi CPI. Komnas HAM melakukan pertemuan dengan ASP, mendiskusikan seputaran jenis pelanggaran HAM yang sudah terjadi maupun yang berpotensi akan terjadi jika reklamasi tetap dipaksa untuk dilakukan. Pertemuan ini dilakukan di kantor Walhi Sulsel pada tanggal 23 Juni 2016 dengan turut dihadiri oleh perwakilan warga yang menjadi korban reklamasi CPI.

Dalam pertemuan tersebut, perwakilan LBH Makassar memamparkan fakta terjadinya pelanggaran HAM baik pada hak sipil politik (sipol) maupun dari hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob). Pertama, pada hak atas sipol, nelayan tidak pernah dilibatkan dalam rencana maupun proses pengambilan keputusan reklamasi. Kemudian, dalam proses penggusuran, nelayan tidak diberikan hak untuk membela diri dan mempertahankan hak baik secara lisan maupun tindakan. Kedua, pada hak atas ekosob, Reklamasi CPI mengakibatkan 43 KK kehilangan mata pencaharian dan tempat tinggal, anak-anak mereka terpaksa putus sekolah. Aparat TNI, Brimob Polda Sulselbar (red: saat itu Sulsel dan Sulbar masih dalam satu kesatuan Polda), Satpol PP dan bahkan melibatkan preman bayaran sebagai pelaku lapangan dalam tindakan penggusuran secara paksa. Sampai hari ini korban penggusuran sama sekali belum mendapatkan ganti rugi maupun kompensasi dan relokasi. Sudah 2 tahun sejak digusur pada bulan Maret 2014, mereka ditelantarkan di pelataran gedung CCC tanpa fasilitas. Sebagian dari mereka terpaksa menjadi pemulung, kuli bangunan dan sisanya terpaksa merantau ke daerah kalimantan untuk mencari kerja. Selain itu, reklamasi mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir seperti mangrove, karang dan lamun serta biota perairan lainnya.

Dari hasil diskusi tersebut, Komnas HAM berencana melakukan investigasi langung ke lokasi reklamasi CPI. Setelahnya akan menemui pemerintah provinsi Sulawesi Selatan untuk membicarakan lebih lanjut perihal nelayan yang menjadi korban reklamasi CPI. Untuk upaya selanjutnya, Komnas HAM sesegera mungkin mengambil tindakan terkait pelanggaran HAM yang sudah terjadi serta potensi pelanggaran HAM jika proyek ini tetap dilanjutkan.[]

Penulis : Ainil Ma’sura
Foto : LBH Makassar

Categories
EKOSOB slide

Sidang Gugatan Reklamasi CPI – Dirjen KKP : Laut Tidak Boleh Diprivatisasi!

Sidang CPI_21 Juni 2016.01

PTUN Makassar, 21 Juni 2016. Pada kesempatan terakhir, penggugat menghadirkan ahli dari Kementerian Kelautan dan Perikanan R.I yakni Direktur Tata Ruang Laut, DR. Soebandono. Kehadiran ahli dari penggugat untuk menjelaskan mengenai peraturan perundang – undangan terkait reklamasi serta penguasaan dan pemanfaatan ruang laut. Dalam hal ini, ahli memiliki kapasitas sebagai salah satu team penyusun terhadap semua peraturan perundang – undangan menyangkut wilayah pesisir dan laut, termasuk reklamasi.

Dalam keterangannya, ahli menegaskan bahwa rencana reklamasi harus bersesuaian dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), karena RZWP3K tersebut merupakan arahan pemanfaatan ruang laut. Sama halnya dengan Rencana Tata Ruang Wilayah sebagai dasar dalam pemanfaatan ruang darat. Untuk itu, beliau menegaskan bahwa tidak dibenarkan melakukan reklamasi tanpa adanya RZWP3K karena hal tersebut akan menimbulkan kekacauan ruang laut dan ancaman bagi ekosiste laut.

Disisi lain, ahli menerangkan bahwa sebenarnya maksud daripada peraturan perundang-undangan terkait reklamasi adalah untuk kepentingan pelabuhan, bahari, pariwisata dan fasilitas penunjang pelabuhan seperti hotel dan lain lain. Akan tetapi, catatan pentingnya adalah reklamasi tidak dibenarkan untuk kawasan bisnis yang hanya dikuasai oleh orang atau badan usaha. Sebab wilayah pesisir dan laut sepenuhnya dikuasasi oleh negara dan diperuntukkan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat. Salah satu instrumennya adalah melalui pengembangan pelabuhan untuk menunjang perekonomian suatu kota dibawah kendali negara melalui kementrian perhubungan.

Fakta mana sesuai bukti T-43 yang dibacakan penggugat saat persidangan yang menegaskan bahwa wilayah CPI merupakan wilayah DKLr dan DKLp yang dikelola oleh Kementerian Perhubungan. Untuk itu, tergugat tidak memiliki kewenangan dalam kawasan tersebut.

Sidang CPI_21 Juni 2016.02 Sidang CPI_21 Juni 2016.03

Penulis : Ainil Ma’sura

Categories
EKOSOB slide

Sidang Gugatan Reklamasi CPI – TERGUGAT Tak Hadirkan Ahli, TERGUGAT II Intervensi substitusi Kuasa Hukum; BLHD Kota Makassar Tidak Tahu Aktivitas CPI

Sidang CPI.140616

PTUN Makassar, 14 Juni 2016, sidang kasus Reklamasi CPI dilaksanakan dengan agenda Pemeriksaan saksi ahli. Pada agenda sidang kali ini, Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada TERGUGAT untuk menghadirkan ahli, sesuai permintaan pada sidang minggu lalu bahwa TERGUGAT mengusulkan akan menghadirkan ahli. Akan tetapi pada hari ini ahli dari TERGUGAT tiba-tiba membatalkan kehadirannya tanpa diketahui alasannya. Sementera itu, TERGUGAT II INTERVENSI melakukan substitusi kuasa hukum yang juga tanpa diketahui asal musababnya.

Pada sidang ini, Majelis Hakim turut menghadirkan saksi fakta dari Badan Lingkungan Hidup Daerah Kota Makassar sebanyak tiga orang, masing-masing dari bidang Pengawasan, Pengendalian, dan Pengambilan Data pencemaran lingkungan dan Pemulihan Lingkungan Hidup.

Dalam keterangannya, saksi mengatakan bahwa saat ini pesisir laut Makassar termasuk kategori tercemar ringan sedangkan kanal termasuk kategori tercemar berat. Berdasarkan hasil pemantauan lingkungan hidup, dari tahun 2013 hingga tahun 2015 pesisir makassar telah melampaui baku mutu lingkungan hidup, salah satu penyumbang pencemaran tersebut adalah TSS air laut yang berasal dari aktifitas reklamasi, namun yang paling banyak menyumbang terjadinya pencemaran laut berasal dari limbah domestik.

Dari ketiga saksi tersebut, tidak seorangpun mengetahui adanya reklamasi Centre Point of Indonesia. Bahkan dalam menjalankan tupoksinya, mereka tidak pernah dilibatkan baik dalam pengumpulan data maupun koordinasi dengan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulsel terkait dengan proyek reklamasi CPI.

Khusus saksi yang tupoksinya di bidang pengawasan juga tidak tahu menahu tentang badan usaha yang melakukan reklamasi CPI. Sementara, dalam penjelasannya, tupoksi saksi adalah melakukan pengawasan dan pemberian saksi terhadap badan usaha yang telah mengantongi izin dan melakukan kegiatan selama 6 bulan. Selama ini saksi sudah memberikan saski kepada beberapa badan usaha yang melakukan pelanggaran. Akan tetapi, saat kuasa hukum PENGGUGAT menanyakan tentang dokumen izin maupun kegiatan yang dilakukan oleh PT. Yasmin Bumi Asri dalam reklamasi CPI, saksi tidak tahu menahu tentang proyek tersebut.

Penulis : Ainil Ma’sura

Categories
EKOSOB slide

Sidang Gugatan Reklamasi CPI – Andri Wibisana : Pembangunan tidak boleh menambah kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi

Sidang Reklamasi CPI _07Juni2016.02

Makassar, 7 Juni 2016, sidang kasus Reklamasi CPI dilaksanakan dengan agenda pemeriksaan saksi ahli. Penggugat menghadirkan Muhammad Ramdan Andri Gunawan Wibisana, SH., LL.M., Ph.D, seorang ahli hukum lingkungan dari Universitas Indonesia. Andri Gunawan Wibisana telah meraih gelar Ph.D di Maastricht University, Belanda, dengan penelitian yang melingkupi hukum lingkungan, hambatan regulasi, hukum perubahan iklim dan hukum analisis ekonomi. Selama ini, ia dikenal sebagai akademisi yang aktif menyuarakan kasus-kasus perusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Selain kondisi fisik yang masih energik, Andri juga ditopang oleh gagasan-gagasan yang progresif dalam hal perlindungan fungsi lingkungan hidup, dan yang paling penting adalah tidak memasang tarif untuk mengongkosi setiap kata yang mengalir dari idenya layaknya ahli-ahli yang lain. Kedatangannya ke Makassar, sebagai saksi ahli pada sidang gugatan CPI, juga ditemani oleh Muhnur Setyaprabu sebagai Analisi Kebijakan dan Pembelaan Hukum Eksekutif Nasional WALHI, yang juga merupakan tim kuasa hukum Penggugat.

Sebelum dilakukan pemeriksaan ahli, pihak Penggugat mengajukan alat bukti tertulis yakni Laporan Keuangan 2015 Annual Report PT. Ciputra Development, Tbk. Alat bukti tersebut sengaja diajukan oleh Penggugat, karena pada sidang sebelumnya kuasa hukum Tergugat II Intervensi menyangkal pertanyaan Majelis Hakim yang mengonfirmasi tentang adanya penjualan kavling tanah dalam lokasi reklamasi CPI. Alat bukti tersebut menerangkan bahwa PT. Ciputra Development, Tbk. mengklaim telah sukses menjual tanah kavling dalam kawasan reklamasi CPI hingga akhir tahun 2015.

Dalam keterangannya, Andri Wibisana menekankan akan pentingnya asas precautionary principle dan asas kehati-hatian. Pembangunan tidak boleh menambah kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi, demikian pula yang diamanatkan oleh Undang-undang no. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang mengutamakan pemulihan ketimbang pembangunan yang merusak. Dalam penegakkan asas pencegahan (precautionary principle), Andri menerangkan bahwa AMDAL reklamasi harus dibuat secara partisipatoris mungkin dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat yang berkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung, baik secara individu maupun organisasi, dengan kata lain bersifat transparan. Karena dengan transpransi tersebut, masyarakat bisa mengidentifikasi resiko sejak dini terkait dampak reklamasi, serta secara bersama-sama mencari solusi yang kemudian dituangkan dalam dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan/ Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL-RPL).

Tidak kalah penting dengan asas kehati-hatian, dikenal asas in dubio pro natura (jika hakim ragu, maka putusannya harus menguntungkan perlindungan lingkungan hidup). Asas ini sudah banyak diterapkan dalam beberapa putusan pengadilan dan telah menjadi yurisprudensi, seperti kasus mandalawangi (2004), kasus limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) di Bandung (2015), dan terakhir kasus reklamasi Jakarta (2016). Di akhir keterangannya, Andri menegaskan bahwa dalam pembangunan terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan, fungsi ekonomi, sosial dan fungsi ekologi. Dari ketiga unsur tersebut, fungsi ekologi harus mendapat porsi yang lebih besar, karena hal tersebut merupakan sumber prikehidupan yang menjamin keberlangsungan kehidupan umat manusia dari generasi ke generasi.

Penulis : Ainil Ma’sura
Foto : LBH Makassar

Categories
EKOSOB slide

Juru Parkir dan Eleman Masyarakat Aksi Menolak Smart Card Parkir di Kota Makassar

SJPM Aksi Tolak Smart Card.02

Makassar, 24 Mei 2016, sejumlah massa dari Juru Parkir, organisasi mahasiswa dan CSO/NGO melakukan aksi penolakan Smart Card Parkir di depan gedung Balaikota Makassar dan kantor DPRD Kota Makassar.

Aksi ini merupakan yang ke-3 kalinya dalam menanggapi program Walikota Makassar yang memberlakukan sistem smart card untuk parkir yang telah di-louching pada 8 Mei 2016 lalu. Penolakan terhadap smart card didasarkan atas pertimbangan bahwa:

  1. Juru Parkir (Jukir) di Makassar bekerja secara independen—tidak bergantung kepada atau dipekerjakan secara langsung oleh PD Parkir. Umumnya, para Jukir ‘melobi’ sendiri tempat/lahan parkir ke pengusaha pemilik toko/ruko/tempat usaha yang memilik lahan parkir. Jika dizinkan pemilik toko berlahan parkir, lahan parkir tsb kemudian dikelola Jukir. Setelah itu, barulah PD parkir datang, mendata Jukir, memberi rompi parkir dan karcis, kemudian menagih/memunggut retribusi dari Jukir. Kondisi rata-rata Juru Parkir di Makassar umumnya seperti itu. Kalaupun ada yang lahan parkirnya diberikan oleh PD Parkir, itu hanya sebagian kecil;

  2. Kententuan umum (Pasal 1 Ayat [8]) Perda No. 17/2006 Tentang Pengelolaan Parkir Tepi Jalan Umum mengatakan: Tarif Jasa adalah pembayaran atas penggunaan tempat parkir ditepi jalan umum yang disediakan oleh Perusahaan Daerah yang nilainya ditetapkan oleh Direksi. Itu artinya, PD Parkir Makassar Raya hanya boleh menarik retribusi dari lahan parkir yang disediakan sediri PD Parkir dan tidak berhak memungut dari lahan yang tidak ia sediakan;

  3. Jumlah Juru Parkir yang tersebar di 13 wilayah di Makassar per tahun 2015 adalah (sekurang-kurangnya) 2000 orang—data PD Parkir Makassar tahun 2015. Pertanyaannya, jika smart card diberlakukan, 2000 orang itu dikemanakan? Bidang Hak Buruh dan Miskin Kota LBH Makassar mencatat, seluruh kasus buruh yang di LBH Makassar dalam 2 tahun terakhir, rata-rata diupah di bawah standar UMK/UMP (Pembayaran upah di bawah standar UMK/UMP adalah pelanggaran pidana menurut UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan) . Dan sejauh ini, tidak ada upaya signifikan yang dilakukan Disnaker Kota Makassar menindaki pelanggaran upah yang terjadi;

  4. Program smart card untuk parkir oleh Walikota Makassar tsb adalah program artifisial yang hanya bertumpuh pada ambisi modernisasi kota dan PAD, serta tidak mempertimbangkan hak-hak warga kota antara lain hak atas pekerjaan dan kesejahteraan

Berdasarkan, setidaknya, empat point di atas, aksi kali ini sebagaimana aksi-aksi sebelumnya, mengusung issu “Tolak Smart Card untuk Parkir”.

Aksi dimulai dengan melakukan mobolisasi ke beberapa wilayah parkir di dalam kota, lalu konfoi menuju Balai Kota di Jl. Ahmad Yani, dan kemudian ke Kantor DPRD Kota Makassar.

Aksi diikuti 200-an massa dari Juru Parkir, organisasi mahasiswa, dan CSO. Beberapa lembaga yang terlibat dalam aksi tsb antara lain: LBH Makassar, FIK Ornop Sulsel, SP Angging Mamiri, SJPM, FMK, SPN, FMN Makassar, FOSIS UMI, FMD-SGMK, KPO-PRP, PMII Rayon FH UMI.

IMG_20160524_130650-696x392 SJPM Aksi Tolak Smart Card.01

Categories
EKOSOB slide

Sidang Gugatan Reklamasi CPI – Pemeriksaan Saksi Ahli; CPI akibatkan Zona Mati – Saksi Ahli Tergugat Tak Mampu Menjawab Pertanyaan

PTUN Makassar, 24 Mei 2016, sidang gugatan Reklamasi CPI dilaksanakan dengan agenda Pemeriksaan saksi ahli. Selaku pihak PENGGUGAT, WALHI menghadirkan saksi ahli yakni Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia, Irham Rapy. Sedangkan, dari pihak TERGUGAT, menghadirkan saksi ahli yakni Prof. Jamaluddin Jompa sebagai yang menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Kelautan Unhas dan Mahatma sebagai Dosen Fakultas Kelautan UNHAS.

Sebelum dilakukan pemeriksaan ahli, masing – masing pihak menyerahkan alat bukti tertulis tambahan. Adapun dari pihak PENGGUGAT menyerahkan bukti berupa brosur penjualan kavling dalam kawasan reklamasi CPI yang dipasarkan oleh PT. Ciputra Development, Tbk. Serta bukti dalam bentuk berita media online tentang penjualan kavling dalam kawasan CPI.

WhatsApp-Image-20160525

Menurut ahli dari PENGGUGAT yakni Irham Rapy, kondisi existing pantai losari telah mengalami pelambatan arus yang berimplikasi terjadinya tumpukan sampah dan bau busuk, jika reklamasi CPI dilanjutkan, akan menimbulkan Deadzone (Zona mati) yakni terjadinya pelambatan arus yang parah yang akan mengakibatkan tumpukan sampah, limbah dan kotoran lainnya secara massif serta berdampak pada kesehatan masyarakat setempat maupun para pengunjung Pantai Losari. Selain itu, reklamasi CPI dengan tutupan luasan laut 157,23 ha akan memicu abrasi dan sedimentasi di pulau lae – lae serta perusakan rataan terumbu karang di pulau lae – lae. Disisi lain, reklamasi CPI akan memicu terjadinya banjir rob, kata ahli Irham Rapy.

Sementara, menurut Prof. Jompa saat ditanya oleh kuasa hukum TERGUGAT intervensi “apakah reklamasi CPI halal atau haram”? disela pertanyaan tersebut, Majelis Hakim mengklarifikasi bahwa pertanyaan tersebut bukan kapasitas ahli melainkan MUI (Majelis Ulama Indonesia). Atas pertanyaan tersebut, Menurut Prof. Jompa bahwa reklamasi adalah sah-sah saja yang penting sesuai prosedur dan peruntukannya jelas seperti untuk kepentingan wisata, pelabuhan dan sandaran kapal. Akan tetapi, saat ditanyakan oleh kuasa hukum PENGGUGAT “Bagaimana pendapat ahli jika reklamasi diperuntukkan bagi kawasan bisnis”? Prof. Jompa menolak untuk menjawab. Kuasa PENGGUGAT juga menanyakan terkait sejauh mana pentingnya Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil (RZWP3K) bagi pengelolaan pesisir dan laut. Prof. Jompa menolak untuk menjawab.

Keterangan Saksi Ahli

Categories
SIPOL slide

Ketidakpastian Keadilan atas terdakwa (korban penyiksaan dan kriminalisasi) Rusdian

kriminalisasi

Makassar 12 Mei 2016. Sidang Pembacaan Putusan Sela terhadap terdakwa Rusdian akhirnya ditunda oleh Majelis Hakim akibat Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak menghadirkan terdakwa ke pengadilan dengan alasan yang tidak wajar, karena lupa. Padahal, pada sidang sebelumnya, sidang pembacaan jawaban JPU (10 Mei 2016), telah mengagendakan sidang selanjutnya yakni 12 Mei 2016. JPU beralasan bahwa  sidang selanjutnya dilanjutkan minggu depan dan JPU penggati yang menggantikan JPU kasus tersebut pada saat persidangan sebelumnya tidak   menyampaikan tanggal sidang selanjutnya, sehingga saat penasehat hukum menkonfirmasi ke Panitra pengganti kasus tersebut mengatakan bahwa seharusnya JPU mengetahui jadwal sidang karena telah disampaikan dan karena tersangka tidak hadir maka panitra pengganti meminta agar menghubungi hakim ketua untuk meminta tanggapanya.

Setelah menunggu kurang lebih 1 jam, hakim ketua akhirnya dapat ditemui. Penasehat hukum terdakwa kemudian menjelaskan persoalan yang terjadi. Hakim ketua kasus menanyakan keberadaan JPU namun karena JPU tidak ada di Pengadilan Negeri Makassar terpaksa sidang ditunda dan diagendakan untuk dilakukan pada hari selasa, 17 Mei 2016 serta panitra diperintahkan untuk memberitahukan hal tersebut kepada JPU kasus tersebut.

Kondisi ini mengakibatkan kerugian bagi terdakwa karena harus mendekam lebih lama di dalam rumah tahanan makassar sehingga asas dalam peradilan yakni sederhana,cepat,dan biaya ringan tidak terwujud.

Pada sidang sebelumnya, yakni Pembacaan Jawaban JPU atas Eksepsi Penasehat Hukum terdakwa, Rusdian, JPU menyangkal semua eksepsi penasehat hukum terdakwa yang menyatakan bahwa dakwaan JPU tidak dapat diterima karena disusun berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang tidak sah dan cacat hukum. Disamping itu, penerapan pasal yang tidak sesuai dengan pasal yang diterapkan oleh JPU dan tidak sahnya perpanjangan penahanan yang dilakukan oleh JPU.

Rusdian ditangkap oleh aparat kepolisian pada tanggal 23 Desember 2015, tahun lalu, dengan tuduhan pencurian telepon seluler (handphone). Dalam aksi penangkapannya, Rusdian mengalami sejumlah bentuk kekerasan, diantaranya ditangkap secara paksa dalam kondisi mata ditutup, dibawa ke tempat yang tidak diketahui oleh Rusdian (bukan markas kepolisian) dan ditembaki dibagian betis sebanyak 2 (dua) kali. Setelah mendapat perawatan di RS  Bhayangkara, Rusdian diinterogasi di Polrestabes Makassar dan dipaksa untuk mengaku sebagai pencuri hp. Selama interogasi tersebut Rusdian mengalami sejumlah bentuk penyiksaan. Karena tidak tahan disiksa, Rusdian terpaksa mengikuti kehendak penyidik untuk mengaku sebagai pencuri hp. Setelah interogasi tersebut, Rusdian dibawa dan ditahan dalam sel Polsek Manggala hingga sekarang. Selama penangkapan hingga penahanan terhadap Rusdian, pihak keluarga tidak mendapatkan surat penangkapan dan penahanan.[Haerul]

Categories
EKOSOB slide

Reklamasi CPI: Penelusuran Fakta di Pulau Lae-lae – Hilangnya Sumber Penghidupan Nelayan

Penelusuran Fakta Akibat Reklamasi CPI di Pulau Lae

9 Mei 2016, LBH Makassar menurunkan 4 (empat) APH nya untuk melakukan penelusuran fakta kondisi masyarakat di pulau Lae-Lae, Makassar terkait Reklamasi Centre Point of Indonesia (CPI). Tim LBH Makassar bertemu dan mengumpulkan informasi dari tokoh masyarakat Pulau Lae-Lae, Ketua Karang Taruna dan Ketua LPM Pulau Lae-Lae. Dari informasi yang diberikan, tercatat 2 (dua) temuan penting; terkait ancaman atas aktivitas penghidupan warga Nelayan di Pulau Lae-Lae dan riwayat tanah pulau Lae-lae.

Hampir seluruh warga di pulau Lae-lae hidup sebagai nelayan; nelayan pencari ikan dan pencari ambaring. Nelayan ambaring adalah nelayan yang menangkap ikan kecil yang digunakan sebagai bahan baku terasi selain sebagai lauk. Lokasi tangkap ambaring adalah disepanjang pesisir/ tepi pantai kelurahan Mariso, tepat di depan anjungan Losari dan kelurahan Ujung Pandang. Sepuluh tahun, nelayan pencari ambaring mampu mendapatkan hingga 10 kerjang ambaring dalam sekali tangkap. Sejak terjadi penimbunan CPI, nelayan hanya mampu mendapatkan 2-3 kerjang ambaring. Ambaring tidak dapat lagi ditemukan di pesisir pantai. Penimbunan mengakibatkan hilangnya ambaring dari habitatnya.

Sementara itu, nelayan pencari ikan, sebelum adanyan penimbunan CPI, mampu langsung menjual/ membongkar muatannya (ikan) di tempat pelelangan ikan (TPI) Cendrawasih. Saat ini, nelayan mengalami kesulitan akses langsung ke TPI Cendrawasih karena jalurnya menyempit akibat pembangunan CPI. Hal ini mengakibatkan nelayan dengan perahu yang cukup besar tidak bisa melewati terowongan yang dibangun oleh CPI, dan terpaksa harus memutar arah. Terowongan tersebut hanya dapat dilewati oleh perahu-perahu kecil saja. Akibat semakin jauhnya rute menuju TPI Cendrawasih, nelayan pencari ikan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk bahan bakar perahunya. Jika sebelum adanya pembangunan CPI, bahan bakar yang dibutuhkan untuk sampai ke TPI Cendrawasih hanya 2-3 liter saja, saat ini nelayan harus membiayai 5 hingga 6 liter untu sekali jalan ke TPI Cendrawasih.

Terkait riwayat tanah pulau Lae-lae, BPN dan Camat menolak upaya warga untuk mengurus sertifikat hak milik tanah/rumah dengan alasan bahwa tanah di pulau Lae-lae merupakan pulau dan bukan daratan. Akibatnya, warga tidak memiiliki sertifikat dan hanya membayar Pajak Bumi dan Bangunan setiap tahunnya. Ditemukan juga, alasan lain penolakan sertifikasi warga, yakni pulau Lae-lae merupakan obyek yang dikontrakan antara Pemerintah Kota Makassar dengan PT Latif, perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata dengan masa kontrak mulai tahun 1995 sampai tahun 2015. Dengan alasan itu pula Pemerintah Kota Makassar menolak pengurusan sertifikat oleh warga pulau Lae-lae.

Categories
Perempuan dan Anak slide

Kekerasan terhadap anak di sekolah, Ibu korban mengadukan ke LBH Makassar

Jumat, 29 April 2016 di Kantor LBH Makassar, seorang Ibu mengadukan seorang guru dari sebuah sekolah negeri di Kabupaten Gowa karena telah menampar dan memukul bagian paha anaknya (9 thn) dengan penggaris sebagai bentuk hukuman karena anak korban tidak menepati janjinya kepada teman kelas. Tidak hanya itu, belum cukup dirasa hukuman yang diberikan, anak korban juga dipermalukan dengan cara menyinggung status sosial orang tuanya di depan kelas dan disuruh mengangkat kakinya hingga jam pulang sekolah. Jadi, anak korban mendapat kekerasan fisik dan psikis dalam waktu yang bersamaan dari gurunya. Atas perlakuan tersebut, anak korban demam, takut ke sekolah dan hingga saat ini anak korban dan ibunya mendapat tekanan dari berbagai pihak. Aduan tersebut tentu menambah daftar panjang kasus kekerasan terhadap anak di Sulawesi Selatan.

Masih segar di ingatan kita kasus pelajar yang melaporkan gurunya di daerah Bantaeng, Sulawesi Selatan. Kasus tersebut menjadi viral di berbagai media online beberapa bulan terakhir. Anda bahkan dapat menemukan meme kasus tersebut dengan mudah. Masyarakat ramai mengomentari bahkan beberapa komentar begitu menyudutkan anak korban. Pasalnya hanya karena cubitan, seorang guru lalu dilapor polisi. Banyak yang menganggap kekerasan semacam itu adalah hal yang wajar dalam dunia pendidikan. Toh mereka sendiri dulu pernah menjadi korban kekerasan guru di sekolah namun tidak mempermasalahkannya. Bahkan beberapa orang meyakini bahwa kekerasan dibutuhkan untuk membentuk mental yang tidak lemah pada murid-murid sejak dulu. Tentu saja, argumentum ad antiquitatem semacam ini tidak berdasar. Belum ada bukti ilmiah yang menyatakan keberhasilan atas argumen tersebut. Budaya kekerasan tidak akan menghasilkan apa-apa.

Perlu diketahui bahwa salah satu hak dasar anak adalah mendapatkan perlindungan dari kekerasan. UU Perlindungan Anak menjamin hal tersebut bahkan secara spesifik Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mewajibkan pendidik, tenaga kependidikan, aparat atau masyarakat untuk memberikan perlindungan di dalam dan di lingkup satuan pendidikan dari tindak kekerasan fisik, psikis, seksual dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik dan/atau pihak lain. Isu kekerasan dalam satuan pendidikan juga ditanggapi serius oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI melalui Permendikbud RI No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Permen tersebut diharapkan mampu meningkatkan penyelenggaraan pembelajaran yang aman, nyaman dan menyenangkan bagi murid.

Berangkat dari hal tersebut di atas, LBH Makassar merespon aduan tersebut dengan memberikan pendampingan terhadap anak korban. Saat ini, kasus anak korban tersebut telah sampai pada tahap pelimpahan berkas pada pihak kejaksaan. Diharapkan kasus ini dapat segera disidangkan dan mendapatkan putusan yang seadil-adilnya agar dapat menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa mewajarkan kekerasan dalam lingkup pendidikan hanyalah sebuah excuse dari keputusasaan pendidik untuk mencari dan menerapkan metode pendidikan yang inklusif.

————————————-

Pasal 54 UU No 35 TAHUN 2014 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK: (1). Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. (2). Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat