Categories
Perempuan dan Anak slide

Kekerasan terhadap anak di sekolah, Ibu korban mengadukan ke LBH Makassar

Jumat, 29 April 2016 di Kantor LBH Makassar, seorang Ibu mengadukan seorang guru dari sebuah sekolah negeri di Kabupaten Gowa karena telah menampar dan memukul bagian paha anaknya (9 thn) dengan penggaris sebagai bentuk hukuman karena anak korban tidak menepati janjinya kepada teman kelas. Tidak hanya itu, belum cukup dirasa hukuman yang diberikan, anak korban juga dipermalukan dengan cara menyinggung status sosial orang tuanya di depan kelas dan disuruh mengangkat kakinya hingga jam pulang sekolah. Jadi, anak korban mendapat kekerasan fisik dan psikis dalam waktu yang bersamaan dari gurunya. Atas perlakuan tersebut, anak korban demam, takut ke sekolah dan hingga saat ini anak korban dan ibunya mendapat tekanan dari berbagai pihak. Aduan tersebut tentu menambah daftar panjang kasus kekerasan terhadap anak di Sulawesi Selatan.

Masih segar di ingatan kita kasus pelajar yang melaporkan gurunya di daerah Bantaeng, Sulawesi Selatan. Kasus tersebut menjadi viral di berbagai media online beberapa bulan terakhir. Anda bahkan dapat menemukan meme kasus tersebut dengan mudah. Masyarakat ramai mengomentari bahkan beberapa komentar begitu menyudutkan anak korban. Pasalnya hanya karena cubitan, seorang guru lalu dilapor polisi. Banyak yang menganggap kekerasan semacam itu adalah hal yang wajar dalam dunia pendidikan. Toh mereka sendiri dulu pernah menjadi korban kekerasan guru di sekolah namun tidak mempermasalahkannya. Bahkan beberapa orang meyakini bahwa kekerasan dibutuhkan untuk membentuk mental yang tidak lemah pada murid-murid sejak dulu. Tentu saja, argumentum ad antiquitatem semacam ini tidak berdasar. Belum ada bukti ilmiah yang menyatakan keberhasilan atas argumen tersebut. Budaya kekerasan tidak akan menghasilkan apa-apa.

Perlu diketahui bahwa salah satu hak dasar anak adalah mendapatkan perlindungan dari kekerasan. UU Perlindungan Anak menjamin hal tersebut bahkan secara spesifik Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mewajibkan pendidik, tenaga kependidikan, aparat atau masyarakat untuk memberikan perlindungan di dalam dan di lingkup satuan pendidikan dari tindak kekerasan fisik, psikis, seksual dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik dan/atau pihak lain. Isu kekerasan dalam satuan pendidikan juga ditanggapi serius oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI melalui Permendikbud RI No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Permen tersebut diharapkan mampu meningkatkan penyelenggaraan pembelajaran yang aman, nyaman dan menyenangkan bagi murid.

Berangkat dari hal tersebut di atas, LBH Makassar merespon aduan tersebut dengan memberikan pendampingan terhadap anak korban. Saat ini, kasus anak korban tersebut telah sampai pada tahap pelimpahan berkas pada pihak kejaksaan. Diharapkan kasus ini dapat segera disidangkan dan mendapatkan putusan yang seadil-adilnya agar dapat menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa mewajarkan kekerasan dalam lingkup pendidikan hanyalah sebuah excuse dari keputusasaan pendidik untuk mencari dan menerapkan metode pendidikan yang inklusif.

————————————-

Pasal 54 UU No 35 TAHUN 2014 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK: (1). Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. (2). Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *