Categories
EKOSOB slide

Sidang Gugatan Reklamasi CPI – Andri Wibisana : Pembangunan tidak boleh menambah kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi

Sidang Reklamasi CPI _07Juni2016.02

Makassar, 7 Juni 2016, sidang kasus Reklamasi CPI dilaksanakan dengan agenda pemeriksaan saksi ahli. Penggugat menghadirkan Muhammad Ramdan Andri Gunawan Wibisana, SH., LL.M., Ph.D, seorang ahli hukum lingkungan dari Universitas Indonesia. Andri Gunawan Wibisana telah meraih gelar Ph.D di Maastricht University, Belanda, dengan penelitian yang melingkupi hukum lingkungan, hambatan regulasi, hukum perubahan iklim dan hukum analisis ekonomi. Selama ini, ia dikenal sebagai akademisi yang aktif menyuarakan kasus-kasus perusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Selain kondisi fisik yang masih energik, Andri juga ditopang oleh gagasan-gagasan yang progresif dalam hal perlindungan fungsi lingkungan hidup, dan yang paling penting adalah tidak memasang tarif untuk mengongkosi setiap kata yang mengalir dari idenya layaknya ahli-ahli yang lain. Kedatangannya ke Makassar, sebagai saksi ahli pada sidang gugatan CPI, juga ditemani oleh Muhnur Setyaprabu sebagai Analisi Kebijakan dan Pembelaan Hukum Eksekutif Nasional WALHI, yang juga merupakan tim kuasa hukum Penggugat.

Sebelum dilakukan pemeriksaan ahli, pihak Penggugat mengajukan alat bukti tertulis yakni Laporan Keuangan 2015 Annual Report PT. Ciputra Development, Tbk. Alat bukti tersebut sengaja diajukan oleh Penggugat, karena pada sidang sebelumnya kuasa hukum Tergugat II Intervensi menyangkal pertanyaan Majelis Hakim yang mengonfirmasi tentang adanya penjualan kavling tanah dalam lokasi reklamasi CPI. Alat bukti tersebut menerangkan bahwa PT. Ciputra Development, Tbk. mengklaim telah sukses menjual tanah kavling dalam kawasan reklamasi CPI hingga akhir tahun 2015.

Dalam keterangannya, Andri Wibisana menekankan akan pentingnya asas precautionary principle dan asas kehati-hatian. Pembangunan tidak boleh menambah kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi, demikian pula yang diamanatkan oleh Undang-undang no. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang mengutamakan pemulihan ketimbang pembangunan yang merusak. Dalam penegakkan asas pencegahan (precautionary principle), Andri menerangkan bahwa AMDAL reklamasi harus dibuat secara partisipatoris mungkin dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat yang berkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung, baik secara individu maupun organisasi, dengan kata lain bersifat transparan. Karena dengan transpransi tersebut, masyarakat bisa mengidentifikasi resiko sejak dini terkait dampak reklamasi, serta secara bersama-sama mencari solusi yang kemudian dituangkan dalam dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan/ Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL-RPL).

Tidak kalah penting dengan asas kehati-hatian, dikenal asas in dubio pro natura (jika hakim ragu, maka putusannya harus menguntungkan perlindungan lingkungan hidup). Asas ini sudah banyak diterapkan dalam beberapa putusan pengadilan dan telah menjadi yurisprudensi, seperti kasus mandalawangi (2004), kasus limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) di Bandung (2015), dan terakhir kasus reklamasi Jakarta (2016). Di akhir keterangannya, Andri menegaskan bahwa dalam pembangunan terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan, fungsi ekonomi, sosial dan fungsi ekologi. Dari ketiga unsur tersebut, fungsi ekologi harus mendapat porsi yang lebih besar, karena hal tersebut merupakan sumber prikehidupan yang menjamin keberlangsungan kehidupan umat manusia dari generasi ke generasi.

Penulis : Ainil Ma’sura
Foto : LBH Makassar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *