Categories
Berita Media

KARMAKS Tolak Keinginan Danny, Swastakan PD Parkir

Kabar Makassar – Rencana Wali Kota Makassar, Moh. Ramdhan “Danny” Pomanto yang ingin menyerahkan pengelolaan Perusahaan Daerah (PD) Terminal kepihak swasta mendapat penolakan.

Dalam pres rilis Konsolidasi Warga Kota Makassar (KORMAKS) yang diterima kabarmakassar.com, Kamis (28/5/2015), disebutkan rencana swastanisasi PD Parkir adalah langkah yang kontra produktif dan bertentangan dengan semangat pemenuhan hak asasi manusia, khususnya hak atas pekerjaan demi kehidupan yang layak.

“Jamak dipahami bahwa swastanisasi adalah kebijakan merugikan. Swastanisasi atau privatisasi adalah langkah yang merugikan karena akan ada sekitar 1.200 orang Juru Parkir di Kota Makassar yang dipastikan kehilangan pekerjaan jika PD Parkir diserahkan ke pihak ke-3 (Swasta). Dan jika diserahkan kepada swasta, tidak ada jaminan dan kepastian tentang nasib 1.200 orang Juru Parkir apakah akan dipekerjakan kembali atau tidak” kata Moh. Alie Rahangiar, Anggota Bidang Hak Buruh dan Miskin Kota LBH Makassar.

Menurutnya rencana swastanisasi PD Parkir adalah indikator Pemerintah Kota yang tidak inovatif, minim terobosan serta malas berpikir mencari model pengelolaan efektif yang bisa memaksimalkan kinerja PD Parkir. Jika PD Parkir hingga saat ini tidak maksimal dalam pengelolaan, hal itu bukan alasan pembenaran atas solusi Wali kota yang akan menyerahkan ke pihak ke-3.

“Jika menurut Wali kota Danny Pomanto solusi bagi peningkatan kinerja PD Parkir adalah diswastakan, maka pertanyaannya: sebelum sampai pada solusi itu (diswastakan), sudah berapa banyak upaya serius yang dilakukan Pemkot di bawah kepemimpinan Danny untuk membenahi PD Parkir yang gagal hingga swastanisasi merupakan pilihan meningkatkan kinerja PD Parkir?. Sejauh ini, kami tidak melihat adanya upaya nyata yang telah dilakukan Walikota Makassar, Moh. Ramadhan Pomanto, yang berhubungan langsung dengan perbaikan tata kelola PD Parkir” tegas Ali.

Dijelaskannya, ekses dari pengelolaan PD Parkir yang tidak professional dan minim terobosan iniliah, yang membuat hak-hak Juru Parkir seperti hak atas jaminan kesehatan (BPJS) dan keselamatan kerja diabaikan selama bertahun-tahun. Tidak hanya itu, hak juru parkir untuk mendapatkan haknya berupa baju juru parkir dan karcis parkir tidak di penuhi sehingga sangat wajar apabila masyarakat menganggap bahwa juru parkir selama adalah jukir liar karena PD parkir tidak pernah menyiapkan karcis parkir.

Selain itu pengelolaan PD Parkir yang tidak profesional juga berimbas pada banyaknya pungutan di lahan parkir yang merupakan lahan parkir milik pemilik usaha/front toko dan bukan badan jalan maupun pelataran umum seperti kewenangan memungut oleh PD Parkir yang diatur dalam PERDA Parkir bahwa PD Parkir berwenang memungut di lahan parkir yang merupakan badan jalan dan pelataran umum.
Terkait kondisi PD Parkir tersebut, KORMAKS yang terdiri dari sejumlah lembaga, masing-masing LBH Makassar, ACC Sulawesi, FIK ORNOP SULSEL, SJPM, MALCOM, FOSIS-UMI, FMPR, SIMBO RAYA, PEMBEBASAN, KPO-PRP, FMD-SGMK, GEMA FEBI UIN, GMPA dan FPPI, mengeluarka tiga butir pernyataan.

Berikut pernyataan KORMAKS terkait rencana Wali Kota Makassar, Danny Pomanto.

1. Dengan tegas menolak rencana Walikota Makassar Moh. Ramadhan Pomanto yang akan menswastakan—menyerahkan PD Parkir kepada pihak ke-
2. Mendesak Walikota untuk membenahi tata kelola PD Parkir
3. Mendesak Walikota untuk memenuhi hak-hak Juru Parkir yang selama ini diabaikan PD Parkir.

Penulis: Baba Duppa
Editor: Hexa
Sumber berita: kabarmakassar.com

Categories
Berita Media

Petani Takalar; PTPN Anggaplah Kami Manusia

Setelah melakukan aksi di depan kantor PT. Perkebunan Nusantara XIV akhirnya direksi PTPN bersedia melakukan dialog dengan petani dan mahasiswa, 13.39 di pelataran parkir kantor PTPN.

Perwakilan warga meminta PTPN untuk saling memanusiakan. Jangan ada lagi tindak kekerasan terhadap petani. Para petani juga menuntut kepada pihak PTPN XIV untuk menarik semua aparat yang ditempatkan dilokasi lahan milik warga yang diklaim milik pihak PTPN XIV.

Abdul Hamid Mone (ketua STP) Takalar, mengungkapkan, belum ada realisasi dari sekian banyak janji dan pertemuan dari pihak perusahaan. Hal yang telah disepakati harus segera direalisasikan. Kami juga meminta pihak PTPN untuk menarik aparat (Bri-mob) yg ditempatkan di lokasi lahan tersebut.

PTPN XIV sendiri mengklaim tidak ada tanah sengketa di lahan tersebut. Kami punya HGUnya. Biarkan kami bekerja dulu. Kami sudah merancang rencana terkait ini semua. Kami meminta untuk dibiarkan dulu bekerja.

“Saya jamin tidak akan ada lagi penyerangan terhadap petani. Negara kita, negara hukum. Kita ikuti prosesnya dahulu,” ungkap direksi PTPN XIV.

Lahan yang diklaim oleh PTPN tersebut, HGUnya terdapat kejanggalan di dalamnya. Karena itu Polda pernah melakukan mediasi beberapa waktu lalu untuk mendialogkan konflik tersebut.

Adam, koordinator aksi mengatakan hal yang sama juga berlaku untuk petani, jika PTPN meminta dibiarkan bekerja, maka kami juga meminta untuk tidak dihalangi kerja petani menggarap lahannya.

Selain itu, Edi Kurniawan (LBH Makassar) mengatakan aparat banyak melakukan pelanggaran saat di lapangan. Polisi hanya bertugas mengamankan tidak bertugas mengeksekusi. Sangat terlihat keberpihakan aparat kepada pihak perusahaan. Apakah ini tindakan aparat kita yang profesional??

“PTPN menyadari tidak pernah berdialog dengan pihak petani. Perundingan akan kami lakukan segera, kita akan bertemu di kantor bupati, tunggu undangan dari kami.” Tambah Direksi PTPN kepada petani.

Adam meminta pihak PTPN, selama perundingan belum dilakukan, kami minta tidak boleh ada aparat di lapangan, semua ditarik, tidak boleh ada lagi kekerasan kepada petani, tidak ada pengrusakan lahan petani.

Laporan : Dier
Editor : IQ
Sumber berita: seputarsulawesi.com

Categories
Berita Media

Korban Kekerasan Polisi, Ayo Mengadu ke Posko LBH

TEMPO.CO , Makassar: Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar membuka posko pengaduan korban kekerasan polisi di lingkup Sulawesi Selatan dan Barat. Sejak Posko yang dibuka sejak 5 Mei-10 Juni 2015 itu mendapat respons positif. Hingga kini, tercatat sudah ada lima kasus yang dilaporkan masyarakat. Itu belum termasuk 18 kasus kriminalisasi dan kekerasan aparat yang didampingi LBH pada 2009-2015.

Koordinator Bidang Hak Politik dan Antikekerasan LBH Makassar, Fajar Akbar, mengatakan lembaganya segera memetakan laporan masyarakat berdasarkan ragam pelanggaran maupun latar belakang korban. Jumlah laporan korban kekerasan aparat berpotensi bertambah mengingat data itu belum termasuk dari jejaring LBH Makassar. “Kami masih mendata terus,” ucapnya, Sabtu, 30 Mei 2015.

Posko pengaduan itu melibatkan Koalisi Koalisi Masyarakat Sulsel untuk Reformasi Polri. Selain LBH Makassar, dalam koaliasi masyarakat sipil itu juga terdapat sejumlah lembaga antikekerasan, seperti Kontras Sulawesi, Komunitas Sehati, Kamrad dan Sorak Makassar. Fajar mengatakan lembaganya akan merilis pengaduan masyarakat pada akhir batas pelaporan.

Sejauh ini, laporan masyarakat yang diterima, antara lain, dugaan kriminalisasi atas penetapan tersangka Surya yang dibelit kasus pembunuhan mahasiswi, Wahyuni, di Pinrang, 19 Mei 2015. Dalam kasus itu, Surya dipaksa mengaku sebagai pembunuh korban bersama dua temannya, Aco dan Aldi. Karena Surya menolak, aparat menembaknya empat kali. Itu diperoleh berdasarkan pengakuan keluarga Surya.

Laporan lain, Fajar menjelaskan yakni dugaan intimidasi seorang perwira di Kepolisian Resort Tana Toraja terhadap Masyarakat Advent Tilangnga pada 16 Maret 2015. Polisi itu mengintimidasi dan melarang pembangunan sekolah. Padahal, pembangunan gedung sekolah itu telah mengantongi Izin Mendirikan Bangunan. Kasus itu telah diadukan ke Propam Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat.

Selanjutnya, LBH Makassar juga menerima laporan penganiayaan yang mengakibatkan tewasnya warga bernama Agus Salim, 12 Mei 2015. Pelakunya diduga anggota Kepolisian Resort Kota Besar Makassar. Korban sempat diamankan aparat, setelah dikeroyok di Jalan Hertasning karena dituduh mencuri. Saat diamankan aparat, korban masih hidup, tapi belakangan didapati tak bernyawa.

Wakil Koordinator Badan Pekerja Kontras Sulawesi, Nasrum, mengatakan kasus kekerasan aparat terhadap masyarakat sipil masih banyak. Berdasarkan hasil monitoring lembaganya, terdapat sekitar 200 korban kekerasan polisi sepanjang 2014.

Seharusnya, kata Nasrum, kekerasan aparat ini harus dievaluasi. “Polisi harus mengubah mindset dan kultur agar bisa menunjukkan diri sebagai polisi sipil,” katanya.

Nasrum menegaskan kepolisian harusnya mengutamakan pelayanan dan pengayoman daripada penegakan hukum. “Itu kan bagian dari komitmen reformasi kepolisian,” ujar dia. Hal lain, Kontras Sulawesi mendesak agar semua kasus-kasus yang mandek sejak 2009-2015, penyidikannya tak ditangani kepolisian saja, melainkan kejaksaan.

Juru bicara Polda Sulawesi Selatan dan Barat, Komisaris Besar Hariadi, mengatakan dugaan pelanggaran yang dilakukan aparat dalam penanganan perkara pasti ditindaklanjuti bila memang mempunyai cukup bukti. Polisi yang bertindak macam-macam, kata dia, bahkan dapat dikenai tiga sanksi, di antaranya disiplin, kode etik dan pidana.

[Tri Yari Kurniawan]

Sumber berita: nasional.tempo.co

Categories
Berita Media

Koalisi Masyarakat Sulawesi Selatan: Reformasi Polri Mandek

TEMPO.CO , Makassar: Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Sulawesi Selatan mendorong advokasi reformasi Polri. Mereka berpendapat reformasi kepolisian belum berjalan maksimal. Koalisi menilai, diperlukan langkah konkret untuk membenahi persoalan itu.

Ketua Bidang Hak Politik dan Antikekerasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Muhammad Fajar Akbar, mengatakan advokasi reformasi Polri dilakukan pihaknya bersama sejumlah organisasi lain, seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sulawesi, Masyarakat Antikorupsi Sulawesi Selatan, Komunitas Sehati dan beberapa LSM lain.

Menurut Fajar, reformasi Polri terdiri tiga aspek yakni struktur, instrumen dan kultural. Khusus aspek terakhir, dinilainya tak berjalan baik. Hingga kini, Koalisi melihat polisi belum mampu melakukan pendekatan keamanan untuk kemanusiaan. “Reformasi Polri itu hendak mengubah citra polisi dari militeristik ke polisi sipil. Tapi, itu masih harus diperjuangkan,” ucapnya, Sabtu, 30 Mei 2015.

Sejauh ini, pihaknya telah menerima lima laporan pada posko pengaduan korban kriminalisasi atau kekerasan aparat yang dibuka sejak 5 Mei-10 Juni mendatang. Itu belum termasuk 18 kasus serupa yang mandek penanganannya rentang 2009-2015. Fajar menyebut dibukanya posko pengaduan korban kekerasan polisi mendapat respon positif dari masyarakat.

Khusus laporan masyarakat terbaru, antara lain, dugaan kriminalisasi atas penetapan tersangka Surya yang dibelit kasus pembunuhan mahasiswi, Wahyuni, di Pinrang, 19 Mei lalu. Dalam kasus itu, Surya dipaksa mengaku sebagai pembunuh korban bersama dua temannya, Aco dan Aldi. Karena menolak, aparat menembaknya empat kali. Informasi itu diperoleh dari keluarga Surya.

Juru bicara Polda Sulawesi Selatan dan Barat, Komisaris Besar Hariadi, mengatakan dugaan pelanggaran yang dilakukan aparat dalam penanganan perkara pasti ditindaklanjuti bila memang mempunyai cukup bukti. Oknum polisi yang bertindak macam-macam, kata dia, bahkan dapat dikenai tiga sanksi, diantaranya disiplin, kode etik dan pidana.

[Tri Yari Kurniawan]
Sumber berita: nasional.tempo.co

Categories
Berita Media

Lagi-Lagi Kinerja Aparat Mendapat Sorotan

Sesi. Com, Makassar- Beberapa kasus kekerasan yang pernah dilakukan aparat kepolisian terhadap masyarakat sipil yang sampai saat ini belum menemukan titik terang, memunculkan tanggapan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar.

Abd Azis, Direktur LBH Makassar menyatakan, posisi kepolisian perlu untuk dipertanyakan lebih jauh, apakah masih relevan berada di bawah naungan Presiden atau tidak. Sebab menurutnya, pengalaman dari beberapa kasus menyatakan bahwa kepolisian masih sangat rentan ditarik kewilayah politik, sehingga membuat aparat kepolisian tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat.

“Sebab bagaimana mungkin Polisi bisa berpihak ke masyarakat, jika mereka berpihak ke kekuasaan atau elit tertentu,” ungkap Direktur LBH Makassar, Abd Azis. Jumat (29/5).

Azis menambahkan, kasus kriminal dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang ditangani LBH Makassar sejak tahun 2009 hingga saat ini sebanyak 24 kasus dengan tahapan yang berbeda. Ada tahapan peroses penyidikan dan sudah ada tersangka namun hingga saat ini belum belum diperoses.

Saat ini, menurut Azis, LBH Makassar sementara fokus mengumpulkan dan menganalisis data yang nantinya akan diusulkan sebagai kerangka acuan untuk mereposisi Kepolisian di bawah naungan menteri dalam negeri.

Laporan: SAP
Editor: IQ
Sumber berita: seputarsulawesi.com

Categories
Berita Media

LBH Makassar minta reklamasi dikeluarkan dari RTRW

Makassar (ANTARA Sulsel) – Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum Zulkifli Hasanuddin meminta kepada panitia khusus DPRD Makassar agar mengeluarkan poin tentang reklamasi dari draf peraturan daerah Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota ini.

“Ranperda ini sudah dibahas sejak tahun 2011 tetapi hingga periode anggota dewan berlalu, Ranperda ini masih tetap menjadi pekerjaan rumah untuk anggota dewan saat ini. Bahkan, sampai hari ini pun masih bermasalah poin tentang reklamasi itu,” ujarnya di DPRD Makassar, Jumat.

Dia mengatakan, reklamasi yang direncanakan Pemerintah Kota dianggap tidak mewakili kepentingan masyarakat luas dan hanya menguntungkan kalangan tertentu saja.

Menurut dia, kebutuhan reklamasi di Makassar belum terlalu mendesak, sehingga bisa dimasukkan pada revisi RTRW selanjutnya jika memang sudah mendesak.

Zulkifli menjelaskan bahwa penetapan Kawasan Strategis Reklamasi (KSR) hanya mempertimbangkan kepentingan perusahaan besar saja dan cenderung mengabaikan masyarakat.

“Perusahaan dengan dana besar nantinya bebas mendirikan bangunan komersial di atas lahan reklamasi. Sedangkan masyarakat, khususnya di kawasan pesisir, tertutupi aksesnya. Ini kah yang disebut keadilan, kesejahteraan,” katanya.

Menurut dia, menyertakan poin reklamasi pada RTRW juga disebut akan menghalalkan perbuatan perusahaan yang sudah lebih dulu menimbun di sepanjang pesisir Makassar.

Padahal, sampai sekarang, Zulkifli mengatakan, semua penimbunan pantai di Makassar adalah perbuatan ilegal. Sebab belum ada RTRW yang mengatur hal itu.

“Jika sekarang dicantumkan, maka sama saja dengan menyetujui kepentingan mereka,” ujarnya.

Sementara itu, akademisi Perencana Wilayah (Planologi) Universitas Bosowa 45 Makassar, Syafri juga mengeluhkan proses penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Makassar yang mengabaikan usulan masyarakat.

“Kita diundang untuk mengikuti rapat pembahasan Ranperda RTRW ini dan draft yang dibagikan itu sama saja dengan draft sebelum-sebelumnya yang kita terima, tidak ada perubahan,” ujarnya.

Dia mengatakan, dirinya bersama para akademisi lainnya dari berbagai perguruan tinggi di Makassar serta para lembaga swadaya masyarakat (LSM) sengaja dilibatkan dalam pembahasan Ranperda RTRW tersebut.

Pansus RTRW menginginkan rancangan yang akan disahkan ini berkualitas tanpa harus mengabaikan masyarakat lainnya khususnya pada masyarakat pesisir yang masuk dalam zonasi reklamasi.

“Naskah itu persis dengan yang kita dapatkan pada rapat sebelumnya pekan lalu. Padahal, ada sejumlah usulan masyarakat yang dijanjikan akan ditampung sebagai bagian revisi. Tapi tidak ada itu,” katanya.

Ia berharap tim penyusun naskah beritikad baik untuk memberi ruang terhadap usulan masyarakat yang akan terkena langsung dampak ranperda setelah disahkan sebagai produk hukum.

“Jangan sampai ranperda ini hanya mengakomodir kepentingan pihak tertentu, sedangkan suara masyarakat diabaikan. Jangan jadikan kita sebagai penonton saja,” tuturnya.

Syafri mengatakan, pada rapat pekan lalu sejumlah elemen masyarakat yang terdiri dari akademisi, lembaga swadaya masyarakat serta aktivis mahasiswa menyampaikan pandangannya tentang isi ranperda RTRW.

Ia menyebutkan, terdapat beberapa usulan penting, antara lain pemenuhan ruang terbuka hijau, penataan wilayah pesisir, serta perbaikan sistem transportasi publik. Adapun Dewan telah meminta konsultan untuk menambahkan poin-poin tersebut segera sebagai penyempurnaan naskah ranperda.

Pewarta: Muh Hasanuddin
Editor: Daniel
Sumber berita: makassar.antaranews.com

Categories
Berita Media

LBH Tolak PD Parkir di Pihakketigakan

MAKASSAR, BKM — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menolak rencana Wali Kota Makassar, Moh Ramdhan Pomanto untuk mempihak ketigakan Perusahaan Daerah Parkir (PD Parkir) ke pihak swasta.

” Hak atas pekerjaan adalah hak asasi manusia. Dan tanggung jawab pemenuhan hak atas pekerjaan ada pada pemerintah, maka Pemerintah Kota Makassar wajib memenuhi hak itu, ” ujar staf Bidang Hak Buruh dan Miskin Kota LBH Makassar, Moh. Alie Rhangiar, saat menggelar konfrensi di kantor LBH Makassar, Kamis (28/5).

Alie mengungkap, selain beberapa instrumen hukum hak asasi manusia yang mengatur tentang hak atas pekerjaan, Konvenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) yang telah diratifikasi Pemerintah RI melalui Undang-undang No. 11 Tahun 2005. Yang mana istrumen hukum hak asasi manusia yang menjamin hak atas pekerjaan bagi warga Negara, serta pihak yang meratifikasi konvenan tersebut.

Adapun dalam Pasal 6 Konvensi Hak Ekosob yang menegaskan bahwa Negara merupakan pihak yang harus megupayakan langkah-langkah dalam pemenuhan hak (atas pekerjaan), dari hal-hal teknis hingga penciptaan lapangan kerja yang memadai dan produktif.

Dalam hal ini kata Alie, Rencana Wali Kota Makassar yang akan menswastakan Perusahaan Daerah (DP) Parkir adalah langkah yang kontra produktif dan bertentangan dengan semangat pemenuhan hak asasi manusia, khsusnya hak atas pekerjaan demi kehidupan yang layak sebagaimana diatur dalam konvenan di atas.

” Jamak dipahami bahwa swastanisasi adalah kebijakan merugikan. Swastanisasi atau privatisasi adalah langkah yang merugikan karena akan ada sekitar 1.200 orang Juru Parkir di Kota Makassar yang dipastikan kehilangan pekerjaan jika PD Parkir diserahkan ke pihak ke-3 (Swasta) ,” ungkap Alie.

Dan jika diserahkan kepada swasta, tidak ada jaminan dan kepastian tentang nasib 1.200 orang Juru Parkir apakah akan dipekerjakan kembali atau tidak.

Padahal, sebelum PD Parkir ada dan menarik retribusi (mulai tahun 2006 PD Parkir berdiri), para Juru Parkir telah lebih dulu mengelola lahan parkir dengan cara menjalin kerja sama dengan pemilik front toko yang ada di Makassar.

Rencana swastanisasi PD Parkir adalah indikator Pemerintah Kota yang tidak inofatif, minim terobosan serta malas berpikir mencari model pengelolaan efektif yang bisa memaksimalkan kinerja PD Parkir.

” Jika PD Parkir hingga saat ini tidak maksimal dalam pengelolaan, hal itu bukan alasan pembenaran atas solusi Walikota yang akan menyerahkan ke pihak ke-3, ” tukasnya.

Bahkan Sejauh ini kata Alie, pihaknya tidak melihat adanya upaya nyata yang telah dilakukan Walikota Makassar, Moh. Ramadhan Pomanto, yang berhubungan langsung dengan perbaikan tata cara pengelolaan PD Parkir.

Sehingga akhirnya, ekses dari pengelolaan PD Parkir yang tidak professional dan minim terobosan iniliah, hak-hak Juru Parkir seperti hak atas jaminan kesehatan (BPJS) dan keselamatan kerja diabaikan selama bertahun-tahun.

Tidak hanya itu, hak juru parkir untuk mendapatkan haknya berupa baju juru parkir dan karcis parkir tidak di penuhi sehingga sangat wajar apabila masyarakat menganggap bahwa juru parkir selama adalah jukir liar karena PD parkir tidak pernah menyiapkan karcis parkir.

Pengelolaan PD Parkir yang tidak profesional juga berimbas pada banyaknya pungutan di lahan parkir yang merupakan lahan parkir milik pemilik usaha/front toko dan bukan badan jalan maupun pelataran umum seperti kewenangan memungut oleh PD Parkir yang diatur dalam PERDA Parkir bahwa PD Parkir berwenang memungut di lahan parkir yang merupakan badan jalan dan pelataran umum.

Dalam hal ini kata Alie, pihak LBH mendesak Walikota untuk membenahi tata kelola PD Parkir dan mendesak Walikota untuk memenuhi hak-hak Juru Parkir yang selama ini diabaikan oleh PD Parkir.(mat/war/c)

Sumber berita: beritakotamakassar.com

Categories
Berita Media

LBH Ingin Reposisi Fungsi Polri

BOMBENEWS.COM — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mendesak dilakukannya reposisi kewenangan dan fungsi Polri. LBH mengaku, sejak reformasi Polri digulirkan, telah terbangun kesepahaman bersama mengubah pendekatan keamanan personil Polri dari pelayanan negara menjadi pelayanan masyarakat.

“Oleh karena itu, masalah keamanan merupakan bagian integral dari upaya pembangunan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, ” ujar Ketua LBH Makassar, Abdul Azis, Jumat (29/5).

Abdul Azis menambahkan, kepolisian lebih menganggap penegakan hukum sebagai tugas pokok dan dipandang terpisah dari fungsi melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.

Menurutnya, tidak heran kalau penegakan hukum yang dilakukan kepolisian cenderung mengabaikan perlindungan hak-hak hukum dan rasa keadilan masyarakat. Hal ini terlihat dari banyaknya kasus-kasus kekerasan aparat keamanan yang hingga kini jalan di tempat dan hanya diselesaikan hingga di tingkat sidang kode etik dan disiplin saja.

Asiz juga mengatakan, tindakan diskriminatif polisi terhadap golongan atau kelompok-kelompok masyarakat minoritas dan marginal, seperti Ahmadiyah, Syiah, LGBT, dan lain-lain perlu mendapat perhatian.

“Dalam kasus Ahmadiyah dan Syiah, polisi cenderung membiarkan tersulutnya konflik horizontal di masyarakat. Sementara LGBT banyak mendapat diskriminasi bahkan secara langsung oleh aparat penegak hukum itu sendiri,” kata Asiz.

LBH Makassar sebelumnya telah mencatat beberapa kasus-kasus kekerasan aparat yang tidak berjalan tuntas. LBH Makassar sendiri, kata dia, telah menangani 18 kasus kekerasan aparat yang masih mandek sejak tahun 2009 hingga 2015.

“Ada beberapa contoh kasus bukti kekerasan aparat diantaranya, adalah kasus Agus Salim yang dituduh mencuri dan diamankan oleh polisi namun tidak pernah diperiksa oleh penyidik, selang 4 jam, kemudian keluarga mendapat kabar bahwa yang bersangkutan meninggal dunia,” bebernya.

Selain itu, kasus Dede dan Rahmat, terpidana kasus pembunuhan yang mengaku mengalami kekerasan selama proses penyidikan di kepolisian dimana yang bersangkutan dipaksa mengakui turut serta dalam kasus pembunuhan.

Kasus Surya, yang dituduh melakukan pembunuhan, dipaksa mengakui dan mengalami penganiayaan, bahkan telah ditembak beberapa kali. Kasus Randi Rahman, seorang anak yang diduga melakukan penganiayaan, mengaku mendapatkan kekerasan fisik selama menjalani pemeriksaan di kepolisian.

“LBH Makassar bersama Koalisi Reformasi Kepolisian Republik Indonesia berinisiatif untuk membangun kesepahaman bersama akan pentingnya melakukan reformasi kepolisian, dimana masyarakat sipil harus memberikan kontribusi konkrit secara aktif,” tegasnya.

Advokasi reformasi kepolisian ini, lanjutnya, akan dijalankan seiring dengan rencana pembaharuan hukum pidana nasional Indonesia. Advokasi reformasi kepolisian dimulai dengan menginventarisir beberapa masalah pokok terkait fungsi, kewenangan, dan kelembagaan Polri secara umum.

Kehadiran pengawas eksternal seperti Kompolnas pun sejauh ini dinilai LBH Makassar masih tidak mampu memperbaiki kinerja kepolisian, khususnya penyalahgunaan fungsi dan kewenangannya. Akibatnya, pengawas eksternal sekali pun tidak mampu berbuat apa-apa terhadap kasus-kasus kekerasan aparat keamanan yang mandek proses penegakan hukumnya. Saksi dan korban dalam kasus kekerasan aparat keamanan pun tidak mendapat perlindungan yang memadai dari LPSK.

“Sejauh ini terlihat dengan jelas bahwa Polisi belum dapat masuk ke dalam ruang-ruang kehidupan publik dengan kewenangan yang terkendali secara cermat, dan belum terwujudnya prinsip akuntabilitas dalam institusi Kepolisian, ” tandasnya.

LBH juga mendesak perlunya melakukan reposisi dan desentralisasi terhadap pengawas eksternal dalam hal ini Kompolnas, LPSK dan Ombudsman serta menyerukan kepada seluruh elemen organisasi masyarakat sipil untuk bergabung dalam advokasi reformasi kepolisian. (*)

Sumber berita: bombenews.com

Categories
Berita Media

LBH Makassar: Budi Waseso Membangkang

MAKASSAR, TRIBUN-TIMUR.COM – Sikap Kabareskrim Polri Budi Waseso yang menolak melaporkan harta kekayaan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disoroti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar.

Direktur LBH Makassar, Abdul Azis saat ditemui di kantornya, Jl Pelita Raya VI Blok A34 No 9 Makassar, Jumat (29/5/2015) mengatakan, Komjen Budi Waseso sebagai penegak hukum harus mengikuti jalur regulasi.

“Jika mengacu hal tersebut maka ini bentuk pembangkangan (sabodiance) yang justru dilakukan oleh aparat negara,” kata Abdul Azis.

Soal penolakan pelaporan LHKPN yang dilakukan Buwas, menurut Azis adalah bentuk arogansi dari salah satu satuan Polri. Serta bukti bahwa Polri tidak pro pada gerakan anti korupsi.

“Yah, kalau sudah tidak pro lagi terhadap penegakan anti korupsi akan dianak tirikan, karena regulasi sudah jelas dilanggar oleh penegak hukum,” jelasnya. (*)

Penulis: Darul Amri Lobubun
Editor: Mutmainnah
Sumber berita: makassar.tribunnews.com

Categories
Berita Media

Kasus Pemalsuan Dokumen, Samad Siapkan Saksi Meringankan

Liputan6.com, Makassar – Ketua nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad yang ditetapkan sebagai salah satu tersangka dalam dugaan pidana pemalsuan dokumen mengajukan saksi meringankan. Saksi meringankan di antaranya saksi ahli forensik IT.

Tim pendampingan hukum Abraham Samad di Makassar menyatakan, saksi ahli tersebut nantinya dapat dimintai penjelasan mengenai adanya isi dokumen yang dikloning yang dijadikan barang bukti dalam kasus tersebut. Keterangannya pun bisa dimasukkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP)

“Kita sudah koordinasi dengan tim yang di Jakarta, agar nantinya ada keterangan saksi ahli independen yang kita ajukan untuk diperiksa di tingkat penyidikan baik dilakukan di Kepolisian maupun nanti di Kejaksaan,” ujar Abdul Azis salah seorang anggota tim pendamping hukum Abraham Samad di Makassar, Jumat (29/5/2015). .

“Intinya ahli akan menerangkan keabsahan dokumen tersebut,” imbuh Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar itu.

Azis mengungkapkan, pengajuan saksi-saksi yang dinilai dapat meringankan tersebut ‎berdasarkan dari keterangan tim penguji Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel yang telah mengembalikan berkas Abraham Samad ke penyidik kepolisian untuk dilengkapi.

Berkas tersebut masih terdapat banyak kekurangan dalam pemberkasannya baik secara formil maupun materil. Di antaranya keaslian dokumen yang tidak ada dilampirkan serta keterangan saksi yang belum mendukung pasal yang disangkakan.

Berkas Belum Lengkap

“Jadi tim mempunyai pertimbangan dari alasan dikembalikannya berkas alias P19 oleh pihak kejaksaan ,” ujar Azis.

Kapolda Sulselbar Irjen Pol Anton Setiadji sebelumnya mengatakan, penyidik akan menyerahkan kembali berkas kedua tersangka baik Abraham Samad dan Feriyani Lim ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel setelah petunjuk yang diberikan jaksa peneliti telah dipenuhi.

“Yah mendekat ini rencana penyidik akan melimpahkan kembali berkas kedua tersangka ke kejaksaan untuk kembali diteliti,” ujar Anton usai mengikuti kegiatan olahraga bersama TNI di Lapangan Karebosi Makassar kemarin.

Awal Mula Kasus

Kasus yang menjerat Abraham Samad bermula dari laporan Ketua LSM Lembaga Peduli KPK-Polri, Chairil Chaidar Said, ke Bareskrim Polri. Namun karena lokus perkaranya berada di Makassar, Bareskrim kemudian melimpahkan penanganan perkara ke Polda Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar) pada 29 Januari 2015.

Dalam penyidikan kasus ini Polda kemudian menetapkan Feriyani Lim sebagai tersangka pada 2 Februari 2015. Tak terima penetapan tersangkanya Feriyani lalu melaporkan Samad dan seorang rekannya bernama Uki ke Bareskrim dalam kasus serupa.

Selanjutnya, kepolisian melakukan gelar perkara di Markas Polda Sulawesi Selatan dan Barat, 9 Februari 2015. Alhasil, Abraham Samad ditetapkan sebagai tersangka, namun Uki tidak ditetapkan tersangka. Status tersangka itu juga baru diekspose pada 17 Februari 2015.

Kasus ini akhirnya menyeret Abraham Samad lantaran namanya tercantum dalam Kartu Keluarga (KK) yang dipakai Feriyani, saat mengurus paspor di Makassar pada 2007. Dalam dokumen itu, tertera Samad sebagai kepala keluarga dengan alamat di Jalan Boulevard Rubi II Nomor 48, Kelurahan Masale, Kecamatan Panakkukang, Makassar.

Dalam perkara ini, kedua tersangka dijerat Pasal 264 ayat 1 subsider Pasal 266 ayat 1 UU 23/2006 juncto Pasal 93 KUHP tentang pemalsuan dokumen. (Mvi/Yus)

Sumber berita: news.liputan6.com