Categories
Berita Media

Korban Kekerasan Polisi, Ayo Mengadu ke Posko LBH

TEMPO.CO , Makassar: Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar membuka posko pengaduan korban kekerasan polisi di lingkup Sulawesi Selatan dan Barat. Sejak Posko yang dibuka sejak 5 Mei-10 Juni 2015 itu mendapat respons positif. Hingga kini, tercatat sudah ada lima kasus yang dilaporkan masyarakat. Itu belum termasuk 18 kasus kriminalisasi dan kekerasan aparat yang didampingi LBH pada 2009-2015.

Koordinator Bidang Hak Politik dan Antikekerasan LBH Makassar, Fajar Akbar, mengatakan lembaganya segera memetakan laporan masyarakat berdasarkan ragam pelanggaran maupun latar belakang korban. Jumlah laporan korban kekerasan aparat berpotensi bertambah mengingat data itu belum termasuk dari jejaring LBH Makassar. “Kami masih mendata terus,” ucapnya, Sabtu, 30 Mei 2015.

Posko pengaduan itu melibatkan Koalisi Koalisi Masyarakat Sulsel untuk Reformasi Polri. Selain LBH Makassar, dalam koaliasi masyarakat sipil itu juga terdapat sejumlah lembaga antikekerasan, seperti Kontras Sulawesi, Komunitas Sehati, Kamrad dan Sorak Makassar. Fajar mengatakan lembaganya akan merilis pengaduan masyarakat pada akhir batas pelaporan.

Sejauh ini, laporan masyarakat yang diterima, antara lain, dugaan kriminalisasi atas penetapan tersangka Surya yang dibelit kasus pembunuhan mahasiswi, Wahyuni, di Pinrang, 19 Mei 2015. Dalam kasus itu, Surya dipaksa mengaku sebagai pembunuh korban bersama dua temannya, Aco dan Aldi. Karena Surya menolak, aparat menembaknya empat kali. Itu diperoleh berdasarkan pengakuan keluarga Surya.

Laporan lain, Fajar menjelaskan yakni dugaan intimidasi seorang perwira di Kepolisian Resort Tana Toraja terhadap Masyarakat Advent Tilangnga pada 16 Maret 2015. Polisi itu mengintimidasi dan melarang pembangunan sekolah. Padahal, pembangunan gedung sekolah itu telah mengantongi Izin Mendirikan Bangunan. Kasus itu telah diadukan ke Propam Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat.

Selanjutnya, LBH Makassar juga menerima laporan penganiayaan yang mengakibatkan tewasnya warga bernama Agus Salim, 12 Mei 2015. Pelakunya diduga anggota Kepolisian Resort Kota Besar Makassar. Korban sempat diamankan aparat, setelah dikeroyok di Jalan Hertasning karena dituduh mencuri. Saat diamankan aparat, korban masih hidup, tapi belakangan didapati tak bernyawa.

Wakil Koordinator Badan Pekerja Kontras Sulawesi, Nasrum, mengatakan kasus kekerasan aparat terhadap masyarakat sipil masih banyak. Berdasarkan hasil monitoring lembaganya, terdapat sekitar 200 korban kekerasan polisi sepanjang 2014.

Seharusnya, kata Nasrum, kekerasan aparat ini harus dievaluasi. “Polisi harus mengubah mindset dan kultur agar bisa menunjukkan diri sebagai polisi sipil,” katanya.

Nasrum menegaskan kepolisian harusnya mengutamakan pelayanan dan pengayoman daripada penegakan hukum. “Itu kan bagian dari komitmen reformasi kepolisian,” ujar dia. Hal lain, Kontras Sulawesi mendesak agar semua kasus-kasus yang mandek sejak 2009-2015, penyidikannya tak ditangani kepolisian saja, melainkan kejaksaan.

Juru bicara Polda Sulawesi Selatan dan Barat, Komisaris Besar Hariadi, mengatakan dugaan pelanggaran yang dilakukan aparat dalam penanganan perkara pasti ditindaklanjuti bila memang mempunyai cukup bukti. Polisi yang bertindak macam-macam, kata dia, bahkan dapat dikenai tiga sanksi, di antaranya disiplin, kode etik dan pidana.

[Tri Yari Kurniawan]

Sumber berita: nasional.tempo.co

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *