Istilah reklamasi merupakan turunan dari bahasa Inggris yaitu; reclamation yang berasal dari kata kerja reclaim yang berarti mengambil kembali, dengan penekanan pada kata “kembali” (Hasni, 2010. Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah, Jakarta, hlm. 351.). Dalam tataran kebijakan, reklamasi merupakan pembangunan bagai keping mata uang yang berdiri di atas dua sisi yang berbeda. Disatu sisi memiliki keuntungan yang sangat besar bagi kawasan yang semula kurang produktif menjadi kawasan yang bernilai ekonomi tinggi. Disisi lain, menjadi ancaman serius bagi kerusakan ekosistem yang lebih buruk, serta degradasi pola sosial-ekonomi terhadap masyarakat setempat yang terkena dampak secara langsung.

Dalam hukum positif di Indonesia pengaturan mengenai reklamasi dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 23 Undang – Undang Nomor 27 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah menjadi Undang – Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil, menjelaskan bahwa reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial-ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase. Selanjutnya, dalam Pasal 34 menjelaskan bahwa reklamasi hanya dapat dilaksanakan jika manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar dari biaya sosial dan biaya ekonomi yang dikeluarkan. Namun demikian, pelaksanaan reklamasi juga wajib menjaga dan memperhatikan beberapa hal seperti; keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat, keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan pesisir dan pulau – pulau kecil.

Hingga saat ini tercatat sedikitnya 17 kabupaten/kota di Indonesia yang menerapkan kebijakan reklamasi. Ironisnya, nelayan selalu ditempatkan sebagai pihak tergusur dan memaksa nelayan untuk beralih profesi, serta mengabaikan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Tak terkecuali kegiatan reklamasi di wilayah pesisir Pantai Makassar, salah satunya adalah proyek pembangunan kawasan Centre Point of Indonesia (CPI).

Abai AMDAL

Mengigat wilayah pesisir sangat rentan akan kerusakan ekosistem, maka Analisis Mengena Dampak Lingkungan (AMDAL) mesti ditempatkan sebagai instrumen pokok dalam pengelolaan lingkungan hidup. Keberadaan AMDAL sangatlah diperlukan guna memperkecil resiko dari pembangunan yang akan berdampak penting terhadap lingkungan hidup.

Yang terpenting, AMDAL harus menjadi basis pembangunan berkelanjutan (sustanaible development) dan berwawasan lingkungan hidup yang dicita – citakan secara bersama di tengah kuatnya arus pembangunan untuk memajukan kesejahteraan hidup dalam berbagai bidang kehidupan.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pembangunan kawasan CPI yang akan menimbun laut seluas 157,23 ha merupakan megaproyek yang nantinya akan dibangun Kompleks Wisma Negara, Sunset Golf Park, Bussines Park, Diplomate Village, dan lain sebagainya. Namun, megaproyek yang digagas sejak tahun 2009, pada pelaksanaannya tidak didasari atas kelayakan AMDAL secara substansif-komprohensif. Kekacauan AMDAL mulai terbongkar setelah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan administrasi lingkungan hidup terhadap izin pelaksanaan reklamasi, kemudian Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi Sul-sel barulah kasak kusuk melakukan pembahasan adendum AMDAL. Parahnya lagi, dalam pembahasan adendum para pakar lingkungan ramai menghujat AMDAL CPI yang seolah dibuat secara asal – asalan alaas abal-abal.

Menilik ironi tersebut, reklamasi kawasan pembangunan CPI dapat dikatakan sebuah proyek ambisius, sehingga AMDAL hanya dilaksanakan untuk menggugurkan syarat formal semata, tanpa melihat substansi pembangunan dalam muatan AMDAL itu sendiri. Begitu besarnya pengaruh kekuasaan yang mendistorsi penegakan hukum, AMDAL yang mestinya menjadi tumpuan pokok pelaksanaan reklamasi justru yang terjadi adalah sebaliknya, AMDAL hanya menjadi pembungkus bau amis reklamasi CPI.

Apabila AMDAL yang menjadi syarat penting telah diabaikan, maka ancaman kerusakan lingkungan pesisir semakin nyata seperti; perubahan alur air mengakibatkan daerah diluar reklamasi akan mendapat limpahan air yang banyak sehingga kemungkinan akan terjadinya abrasi, tergerus atau mengakibatkan terjadinya banjir rob; ancaman kepunahan biota laut baik flora maupun fauna karena timbunan tanah urugan; serta secara otomatis sistem hidrologi gelombang air laut yang jatuh ke pantai akan berubah dari alaminya

Degradasi Sosial-Ekonomi

Tidak kalah penting adalah aspek sosial-ekonomi yang masih merupakan bagian terintegrasi dalam AMDAL. Hal mana, reklamasi kawasan CPI telah memangkas hak – hak masyarakat setempat. Sebelum direklamasi, para nelayan tangkap maupun pencari kerang /Pattude masih bisa menikmati hasil laut yang melimpah sebagai sumber kehidupan dan penghidupan mereka. Potret pembangunan dengan gaya reklamasi telah mengokupasi ladang penghidupan nelayan dan memaksa mereka beralih profesi dari pencari kerang/tude menjadi pemungut plastik/Payabo dan kuli bangunan. Wilayah pantai yang semula merupakan ruang publik bagi masyarakat menjadi hilang karena aktivitas pengerjaan proyek.

Bagi saya, reklamasi bukanlah satu – satunya alternatif penyelesaian masalah kepadatan perkotaan dan pertumbuhan ekonomi yang utama karena mengingat dampak lingkungan hidup dari hasil reklamasi yang harus dipikirkan dengan seksama secara terstruktur dan sistematis. Apabila mengaca pada kondisi terkini di wilayah pesisir Pantai Makassar, reklamasi kawasan CPI tidaklah mencerminkan hakikat pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup sebab tidak mengintegrasikan secara sistematis aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam perencanaan maupun pelaksanaan reklamasi, sehingga menjauhkan pencapaian cita – cita kesejahteraan masyarakat, serta mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa mendatang.*

Penulis : Edy Kurniawan, SH (Pengacara Bantuan Hukum LBH Makassar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content