Takalar, 11 September 2024. Petani Polongbangkeng Takalar bersama Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah (GRAMT) menghadiri undangan Rapat Dengar Pendapat (RDP) oleh Pemerintah Daerah Takalar di ruang rapat Kantor Bupati Takalar.
Sebelumnya, pada 5 September 2024, Petani Polongbangkeng bersama GRAMT telah melakukan pendudukan di Kantor Bupati dalam rangka menuntut untuk dibukanya ruang RDP bersama dalam rangka mendiskusikan penyelesaian konflik antara Petani Polongbangkeng Takalar dengan PTPN XIV yang kini telah berubah menjadi PTPN I Regional 8.
Perlu diketahui bahwa sejak 9 Juli 2024 lalu, Hak Guna Usaha (HGU) PTPN I telah berakhir dan belum memperpanjang HGU hingga hari ini. Meskipun telah berakhir sejak beberapa bulan lalu, PTPN I diketahui masih aktif melakukan aktivitas pengelolaan tebu di lahan-lahan milik Petani Polongbangkeng Takalar. Bahkan di beberapa tempat, aktivitas pengolahan dikawal oleh aparat keamanan dalam hal ini Polisi, Brimob dan Tentara.
Dalam pertemuan yang dilakukan, beberapa Petani kemudian menjelaskan terkait sejarah kampung dan sejarah perampasan lahan. Dg Tona dan Dg Genda, masih mengingat dengan sangat jelas bagaimana neneknya bercerita tentang pembukaan lahan sebelum jadi kebun. Dimana sebelum seperti sekarang, lahan tersebut masih hutan belantara yang kemudian dibuka oleh nenek Dg Tona sehingga menjadi lahan kebun.
“Tanahku diambil paksa, ditodong senjata saat dipaksa menandatangani surat. Saya juga dikatai PKI,” tutur Dg Genda saat RDP.
Dalam pertemuan RDP tersebut, Dg Toro yang pada tahun 1982-an merupakan Kepala Dusun Ko’mara dan juga ketika itu ditunjuk oleh kepala desa untuk mendampingi proses pembebasan lahan mengatakan kalau proses pembebasan lahan yang dilakukan oleh pihak perusahaan tidak sah dan manipulatif.
“Mandat Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 mengatakan dalam proses pembebasan lahan harus ada proses musyawarah dengan pemilik hak atas tanah. Karena proses pembebasan lahan tidak dilakukan dengan musyawarah dan mendengarkan para pihak. Maka itu cacat hukum. Bahkan salah satu anggota Panitia Pembebasan Tanah yakni Juma’ Saro menolak untuk menandatangani berita acara,” ungkap Dg Toro.
Berbicara soal pembebasan lahan yang dilakukan dengan cara intimidatif, Dg Rampu bersaksi bahwa saat pembebasan lahan, bapaknya kemudian ditahan selama berbulan-bulan tanpa kepastian hukum oleh pihak kepolisian lantaran tidak ingin memberikan tanahnya kepada perusahaan.
“Saat pulang ke rumah, bapakku mendapati tanahnya sudah jadi lahan tebu,” sambung Dg Rampu.
Tidak hanya itu Dg Rampu, Dg Ngempo juga mengalami hal yang sama. Dg Ngempo menjelaskan bagaimana proses pembebasan lahan yang sangat tidak manusiawi bahkan melanggar HAM.
“Bagaimana kita bisa menolak atau dalam hal ini menerima, saat proses pembebasan, kami diintimidasi, ditampar-tampar dan ada yang ditembak. Bahkan ada yang diseret menggunakan kain sambil matanya ditutup pakai kain di jalan lantaran tidak mau menerima lahannya diambil,” sambung Dg Ngempo.
Selama kurang lebih 40 tahun penguasaan PTPN, banyak kemudian dampak yang dirasakan oleh Petani Polongbangkeng Takalar. Hal itu dijelaskan oleh Dg Sibali, Mama Ati, dan Dg Ati. Dg Sibali mengatakan, karena tidak ada tanah yang bisa diolah di kampung, ia kemudian harus menjadi buruh bangunan, kernek mobil, dan lain-lain yang bisa membuatnya bertahan hidup.
“Suamiku harus pergi ke Kalimantan, sampai sakit di sana untuk mencari pekerjaan karena tidak ada lagi tanah yang bisa diolah,” ucap Mama Ati.
Ada juga Dg Rola yang memberikan kesaksian terkait orang tuanya tidak menerima sama sekali ganti rugi dari perusahaan. Bahkan menurut keterangannya, seluruh orang di Desa Komara tidak menerima ganti rugi sama sekali pada saat proses pembebasan lahan yang dilakukan oleh PTPN I Regional 8.
Dalam RDP ini, hadir juga Kepala Kantor Pertanahan ATR/BPN Kabupaten Takalar. Dalam penyampaiannya, ia menegaskan bahwa seluruh Hak Guna Usaha PTPN di Kabupaten Takalar telah berakhir.
“Ketika Hak Guna Usaha berakhir maka lahan diatas tanah tersebut menjadi Tanah Negara. Tanah Negara artinya tidak ada hak atas tanah yang melekat diatas tanah tersebut,” ujar Kakanta ATR/BPN Takalar.
Selaku pendamping hukum, Hasbi Assidiq dari YLBHI-LBH Makassar mengatakan PTPN tidak memiliki hak lagi untuk mengolah lahan warga.
“Penting untuk membuka fakta perampasan lahan yang terjadi saat proses pembebasan tanah. Pemerintah mesti melakukan investigasi serius terkait hal itu. PTPN juga harus menghentikan seluruh aktivitas pengolahan ilegal yang dilakukan karena tidak lagi memiliki HGU di lahan tersebut,” tutup Hasbi.
Selanjutnya di akhir pertemuan, setelah mendengarkan kesaksian Petani dan seluruh pihak terkait, PJ Bupati menjanjikan akan menyampaikan sikapnya dua hari kedepan. Selain itu terkait dengan Tim Pencari Fakta akan diselesaikan sesuai dengan mekanisme Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) oleh ATR/BPN.
RDP berlangsung selama kurang lebih 4 jam dan dihadiri langsung oleh PJ Bupati, Sekretaris Daerah, Perwakilan Dandim, Perwakilan Kapolres, Perwakilan Kejari, Kepala Kantor Pertanahan ATR/BPN Takalar, Perwakilan PTPN I Regional 8, dan seluruh camat dan kepala desa terkait.
***
Narahubung:
+62 813-5685-8409 (LBH Makassar)
+62 813-4210-0642 (KPA Sulsel)