Makassar, 8 Agustus 2025. Gejolak protes terkait transparansi Pemerintahan Desa Lampuara yang berujung pada kriminalisasi menemukan babak baru. Terhitung sejak 30 April 2025 warga mengajukan sengketa informasi yang diterima di Komisi Informasi Publik Sulsel, sebagai proses menuntut transparansi. Pada tanggal 6 Agustus, permohonan warga dikabulkan.
Melalui putusan, Majelis Komisi menyatakan bahwa objek sengketa dalam perkara yakni laporan pertanggungjawaban Desa Lampuara Tahun 2016 – 2024 adalah informasi publik yang tidak dikecualikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik menyebutkan:
“Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim dan/atau diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik tersebut.”
Sidang sengketa informasi publik, melalui nomor 101/VII/KI-SS-RLS/2025 selaku Pemohon merupakan Warga Lampuara yang menjadi korban kriminalisasi mengajukan permohonan informasi. Sepanjang berlangsungnya persidangan, pihak Termohon beberapa tidak hadir di depan muka Majelis Komisi Informasi Publik.
“Putusan ini memperjelas bahwa transparansi pengelolaan dana desa bukan pilihan, tetapi kewajiban hukum. Pemerintah Kabupaten Luwu, termasuk seluruh jajaran desa di bawahnya, wajib meninjau ulang tata kelola informasi publik dan memperkuat mekanisme akuntabilitas. Jika tidak, maka potensi sengketa serupa dapat kembali muncul di desa-desa lain, dan publik tak akan tinggal diam.” ucap Ucu salah satu warga desa.
Andi Rizal Syahril selaku Pemohon sekaligus mewakili kepentingan Warga Lampuara bersama-sama mendesak transparansi Pemerintah Desa Lampuara. Mulanya, duduk perkara dipicu oleh adanya bantuan oleh Pemerintah Desa yang dinilai tidak adil. Pratik ini direspon keras oleh sejumlah warga Lampuara dengan melakukan boikot Kantor Desa.
Pada dasarnya, Warga hanya menuntut terkait soal transparansi oleh Pemerintah Desa Lampuara, namun tuntutan ini dibalas oleh Kepala Desa dengan melaporkan warga dengan menggunakan Pasal 160 KUHP.
Baca juga: https://lbhmakassar.org/press-release/9443/
Warga Lampuara memandang hal ini penting, dengan maraknya isu korupsi ditubuh pemerintahan desa, maka tindakan yang dilakukan oleh warga tentu menempuh jalur hukum, bukan dengan melakukan tindakan upaya kriminalisasi sebagaimana yang dilakukan oleh Pemerintahan Desa Lampuara.
Hal ini jelas mencederai prinsip demokrasi. Dalam sistem pemerintahan yang sehat, warga memiliki hak untuk mengetahui, mengakses, dan mengawasi pelaksanaan anggaran yang bersumber dari dana publik. Demokrasi tidak akan berjalan tanpa partisipasi dan pengawasan dari warga. Secara konstitusional ditegaskan dalam Pasal 28F Undang Undang 1945 menegaskan:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.”
Putusan ini tidak hanya menjadi kemenangan bagi warga Lampuara, tetapi juga menjadi preseden penting bagi Pemerintah Kabupaten Luwu secara keseluruhan. Komisi Informasi memerintahkan agar DPMD menyerahkan LPJ tersebut kepada pemohon sebagai bentuk ketaatan terhadap prinsip keterbukaan informasi. Pasalnya, fakta persidangan mengungkap bahwa diadakan pertemuan termasuk dihadiri oleh Sekda Luwu yang tetap bebal menolak memberikan LPJ Desa Lampuara.
Masyarakat kini memiliki preseden hukum yang sah untuk menuntut hak atas informasi, dan Pemda Luwu harus mulai mengubah paradigma dari tertutup menjadi terbuka, dari represif menjadi partisipatif.