“Coppong Lompo adalah kehidupan kami. Kami di situ sudah turun temurun. Tolong akui wilayah tangkap kami. Keluarkan dari Zonasi Tambang,” Ibu Fatimah, Perempuan Nelayan Kodingareng.
Sabtu, 24 Juni 2025. Sekitar 30 nelayan mengikuti diskusi Pendidikan Hukum Kritis (PHK) yang diselenggarakan di Pulau Kodingareng (21/6), tepatnya di depan rumah salah seorang warga yang juga merupakan nelayan tradisional.
Dalam diskusi PHK, Nelayan banyak melakukan diskusi dan refleksi terkait hak-hak mereka sebagai Nelayan. Jika merujuk dalam beberapa aturan, Nelayan sebagai salah satu kelompok sosial di masyarakat tentu saja memiliki hak konstitusional sebagai Warga Negara.
“Pengakuan wilayah tangkap Nelayan Tradisional Kodingareng adalah tindakan aktif Pemerintah sebagai bentuk penghormatan terhadap hak tradisional masyarakat yang telah hidup secara turun temurun di wilayah tersebut,” tutur Hasbi Asiddiq, Koordinator Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya LBH Makassar-YLBHI.
Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 18 B ayat 2 UUD 1945 yang mengatur terkait dengan hak-hak tradisional masyarakat. Selain itu hak tradisional kembali dipertegas dalam Pasal 28 I ayat 3 UUD 1945 terkait dengan pengakuan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional yang dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Hak tradisional bagi nelayan ini diakui dan ditegaskan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-IV-2010 yang putusannya menyatakan bahwa Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) yang mengkapling wilayah laut dan menyingkirkan nelayan dari wilayah lautnya bertentangan dengan konstitusi.
Selain itu dalam kesimpulannya MK juga menilai proses perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak melibatkan masyarakat dalam musyawarah bertentangan dengan konstitusi. Hal inilah yang menjadi dasar begitu pentingnya perlindungan wilayah tangkap nelayan dan pelibatan nelayan dalam pengusulan wilayah tangkap nelayan tradisional.
“Perlindungan wilayah tersebut merupakan upaya selanjutnya yang menunjukkan kehadiran negara untuk melindungi wilayah tersebut dari tambang pasir laut yang dampaknya telah dirasakan warga,” terang Hasbi Assidiq.
Meski sudah 5 tahun berlalu, Nelayan Kodingareng masih merasa was-was dengan akan kembalinya aktivitas tambang pasir yang dilakukan oleh PT Banteng Laut Indonesia dan Alefu Karya Makmur. Kapal Raksasa bernama Boskalis memang tidak lagi lalu-lalang di sekitaran Coppong Lompo, namun lukanya masih menganga hingga hari ini.
Apalagi kalau berdasarkan informasi dari Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut yang dapat diakses secara publik melalui https://layarpinisi.id/ memang konsesi yang diberikan kepada 2 perusahaan tadi masih aktif hingga tahun 2027 mendatang.
Nelayan Kodingareng juga berharap adanya keseriusan pemerintah dalam melihat Nelayan Kodingareng sebagai subjek yang terdampak langsung apabila aktivitas perusahaan kembali beroperasi. Tidak hanya berdampak pada rusaknya sumber mata pencaharian, tetapi juga rusaknya hubungan sosial antara masyarakat dengan politik pecah-bela di masyarakat.
“Sampe sekarang itu masih susah orang cari tenggiri di coppong lompo, padahal ini lagi musimnya,” ungkap Pak Suadi.
Diskusi ini juga merupakan tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya dengan Dinas Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan yang membuka ruang peluang Perlindungan Hukum Wilayah Tangkap Nelayan Tradisional di Kodingareng melalui skema Other Effective Area-Based Conservation Measures (OECM) atau Tindakan Konservasi yang Berbasis Area yang Efektif Lainnya.
OECM ini merupakan skema Perlindungan Wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikelola oleh masyarakat yang diakui oleh masyarakat internasional melalui International Union for Conservation Nature (IUCN).