“Semoga lahan kami keluar dari klaim kawasan hutan, supaya kami bisa menebang pohon untuk membangun rumah di lahan sendiri,” harap petani perempuan di Sewo, Kelurahan Bila.
Sekitar 40 Petani Soppeng menyelenggarakan Pendidikan Hukum Kritis (PHK) di Baruga Tani Perserikatan Petani Sulawesi Selatan (PPSS) Kelurahan Bila, Lalabata pada Rabu, 28 Januari 2025. Pasca deklarasi pada Agustus 2024 lalu, ini merupakan agenda pertama dalam rangka memperkuat pengetahuan hukum petani.
Petani yang terlibat dalam PHK adalah petani dari berbagai kelurahan dan desa yantergabung dalam Aliansi Advokasi Soppeng yang juga sudah lebih dari 7 tahun berjuang mempertahankan hak atas tanah mereka yang hingga hari ini masih masuk dalam klaim kawasan hutan melalui SK Penetapan Kawasan Hutan oleh Kementerian Kehutanan.
Pengantar Hak Asasi Manusia (HAM), Hak Atas Tanah, Ekofeminisme, dan Hak-Hak Petani Berhadapan dengan Hukum jadi beberapa materi yang mewarnai pendiskusian bersama petani yang difasilitasi langsung oleh YLBHI-LBH Makassar.
“Hak untuk menanam di lahan sendiri.” ungkap Asriani, Petani Perempuan Abbanuange.
Dalam diskusi ini, Petani Soppeng juga banyak berbagi pengalaman penguasaan tanah mereka yang sudah turun temurun, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Mereka belajar mendokumentasikan sejarah mereka melalui materi Hak Atas Tanah yang dibawakan oleh Hasbi Assidiq, Koordinator Bidang Ekonomis, Sosial dan Budaya LBH Makassar.
Misalnya, teman-teman Petani Abbanuange menuliskan dalam diskusi kelompok kalau orang tua mereka yang bernama La Tahang, lahir pada tahun 1920 mengatakan, sebelum Indonesia merdeka La Tahang ini sudah tinggal di Lappa Panasa menanam kemiri, pangi, mangga dan aren. Setelah Indonesia merdeka baru kemudian kampung Lappa Panasa diganti menjadi Abbanuange.
“Petani yang telah hidup secara turun-temurun memiliki hak untuk berkebun, mengolah lahan di wilayah tersebut. Penetapan kawasan hutan yang tidak melibatkan warga adalah tindakan yang tegas merupakan bentuk peminggiran petani tindakan aktif negara untuk menghilangkan hak atas tanah bagi warganya.” Tegas Hasbi Assidiq.
Di akhir sesi, Petani diajak menuliskan harapan-harapan mereka terkait situasi mereka dan juga harapan di pemerintahan baru Prabowo yang baru berjalan 100 hari. Terkait dengan Program Kementerian Kehutanan di Rezim Prabowo yang ingin membuka 20 juta hektar kawasan hutan menjadi lahan pangan dan energi. Ada yang menuliskan agar lahan mereka bebas dari kawasan hutan, berharap sertifikat lahan yang diperjuangkan bisa diterbitkan dan juga ada yang berharap agar kebunnya bisa keluar dari kawasan hutan agar bisa memperbaiki rumah yang sudah rusak.
“Bisakah kebunku keluar dari kawasan hutan?” Pertanyaan Natu, Petani yang pernah dikriminalisasi lantaran mengambil kayu di lahannya sendiri.
Petani Soppeng menutup kegiatan dengan menyusun dan merencanakan advokasi bersama sebagai bagian dari agenda Serikat Tani mereka kedepannya.