Rencana pembangunan proyek PLTA dengan kapasitas 480 MW di kecamatan Seko Tengah, kabupaten Luwu Utara mendapat penolakan oleh masyarakat adat Pohoneang dan Hoyane yang mendiami tiga desa terdampak pembangunan, yakni desa Tana Makaleang, desa Hoyane dan desa Embonatana. Pembangunan proyek tersebut akan mengakibatkan masyarakat adat Seko kehilangan tempat tinggal dan sumber mata pencaharian yang sepenuhnya digantungkan pada alam, dari betani, berkebun hingga menggembala ternak.
Penolakan tersebut mengakibatkan masyarakat adat Seko mengalami berbagai tindakan kekerasan dan kriminalisasi dari aparat kepolisian Polres Masamba yang mengamankan aktivitas perusahaan PT. Seko Power Prima sebagai pelaksana proyek. Padahal pembangunan proyek di wilayah adat Seko tersebut haruslah mendapat izin masyarakat adat Seko sebagaimana dijamin dalam Perda Kabupaten Luwu Utara No. 12 tahun 2004 tentang Perlindungan Masyarakat Adat di Luwu Utara dan SK Bupati No. 300 tahun 2004 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Seko. Namun, hal itu tidak dihiraukan baik oleh pemerintah daerah Luwu Utara sendiri, lebih-lebih dari perusahaan.
Pada sekitar Agustus 2016, PT. Seko Power Prima melakukan aktivitas di wilayah rencana pembanguan PLTA yang kemudian ditolak oleh masyarakat dengan aksi demonstrasi di lokasi tersebut. Sehingga aktivitas perusahaan pun dihentikan. Namun aksi itu berujung ditetapkannya masyarakat adat yang melakukan penolakan sebagai tersangka tindak pidana pengancaman terhadap pihak perusahaan dan perusakan barang milik perusahaan. 14 orang masyarakat adat Seko ditangkap tanpa surat penangkapan dan diproses hukum hingga disidangkan di PN Masamba, sedangkan masyarakat yang lain, sampai saat ini, masih ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO). Karena ketakutan, mereka memilih meninggalkan Seko.
Pada tanggal 5 Maret 2017, dua orang warga Seko bernama Aris Marlon dan Ifan Stopia, melakukan perjalanan dari Szeko menuju Masamba untuk menemui 14 warga yang telah ditahan, sekaligus akan menjadi saksi dalam persidangan praperadilan salah seorang terdakwa. Namun, di tengah perjalanan saat masih berada di wilayah Seko, mereka dihentikan oleh sekitar 5 orang anggota Polisi yang melakukan pengamanan proyek PLTA. Lalu polisi tersebut melakukan penganiayaan terhadap keduanya. Keduanya pun dibawa ke Polres Masamba dan sempat ditahan selama 2 hari, lalu dilepaskan. Peristiwa tersebut lalu dilaporkan ke Polda Sulselbar tanggal 9 Maret 2017 dengan surat Tanda Terima Laporan No. STTLP/117/III/2017/SPKT. Namun proses penanganan laporan dua orang tersebut di Polda justru dilimpahkan ke Polres Masamba, tempat Aris Marlon dan Ifan Stopia ditahan secara sewenang-wenang.
Kekerasan dan intimidasi juga dialami para perempuan di Seko. Dari hasil investigasi Solidaritas Perempuan Anging Mammiri bersama PPMAN (Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara) menemukan bahwa ± 400 perempuan mendirikan tenda dan menempatinya yang tersebar di 10 titik pada kawasan tempat pengeboran PLTA, di wilayah Poririang dan Ratte. Hal itu juga dilakukan, sebagai bentuk perlawanan agar pihak perusahaan tidak melakukan pengeboran. Namun, pada tanggal 2 Maret 2017, terjadi pemukulan terhadap perempuan yang berusaha menghentikan pengeboran di kampong Ratte oleh aparat kepolisian. Sebanyak 7 perempuan diangkat dan dihempaskan ke tanah oleh aparat, dan ratusan perempuan lainnya terkena tembakan gas air mata karena tetap bertahan mendirikan tenda dan pagar di lokasi pengeboran PLTA Seko.
Sampai saat ini, anggota kepolisian dari Polres Masamba masih tetap berjaga di Seko. Meski demikian, warga Seko masih tetap bertahan untuk melawan. Walaupun di tengah intimidasi dan kekerasan masih mereka alami.
Penolakan warga sangat beralasan, sebab pembangunan PLTA tersebut melanggar Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Luwu Utara 2011-2031, pasal 31 tentang Sistem Jaringan Energi point 2 butir b, yang mana hanya menyebutkan adanya PLTA Rongkong di Sabbang, PLTA Baliase, PLTA Patikala di Masamba, dan PLTA Kanjiro di kecamatan Sukamaju. Akan tetapi, dalam Perda tersebut tidak menyebutkan sama sekali adanya pembangunan PLTA Seko.
Dalam Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mulai dari pasal 69 sampai 75, sangat jelas disebutkan bahwa, jika terdapat pembangunan tanpa berdasarkan RTRW suatu wilayah, maka perbuatan itu dapat dilaporkan sebagai tindak pidana. Sedangkan pembangunan PLTA Seko tidak berdasarkan RTRW Luwu Utara tersebut. Sehingga, PT. Seko Power Prima dalam proyek PLTA ini telah melanggar Undang-undang Penataan Ruang. Hal itulah salah satu yang mendasari, pada tanggal 2 Maret 2017, PPMAN kemudian melaporkan PT. Seko Power Prima terkait pelanggaran pidana tata ruang tersebut kepada Polda Sulawesi Selatan dengan surat Tanda Terima Laporan Nomor STTLP/103/III/2017/SPKT.
vMaka dari itu, seluruh organ yang tergabung dalam Solidaritas Peduli Seko, yang terdiri dari berbagai elemen mahasiswa, NGO, dan warga sipil lainnya menuntut:
-
Mendesak agar pelaporan kekerasan aparat terhadap warga Seko untuk tetap diproses di Polda Sulsel
-
Mendesak Polda Sulsel mengusut tuntas laporan pidana pelanggaran tata ruang yang dilakukan oleh PT Seko Power Prima
-
Mendesak Polda Sulsel mengusut tuntas Robby dkk (aparat kepolisian pelaku kekerasan) yang melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap perempuan di wilayah Ratted an Poririang
-
Copot Kapolres Masamba, Kasatreskrim Polres Masamba sebagai bentuk tanggungjawab atas kriminalisasi terhadap perempuan di wilayah masyarakat adat Seko
-
Mendesak Polda Sulsel untuk memulihkan status masyarakat Seko seperti semula, yang ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) sebagai tanggungjawab Polres Masamba
-
Mendesak Polda Sulsel untuk menghentikan penangkapan terhadap warga Seko
-
Menarik Polisi Sabhara Polres Masamba dari wilayah adat Seko,/p>
Makassar, 19 April 2017
SOLIDARITAS PEDULI SEKO
PB Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu Raya (IPMIL), Persatuan Mahasiswa Indonesia Luwu Utara (PEMILAR), PEMBEBASAN, KOMUNAL, LBH Makassar, PPMAN, WALHI Sulsel, SP Anging Mammiri, KontraS Sulawesi, KPA Sulsel, AMAN Sulsel, LAPAR Sulsel, PBHI Sulsel, KPM-PM, SPN Sulsel, BEK Fak. Teknik UPRI, GMNI Makassar, FORMAT, Jaringan Gusdurian Makassar, PMII UIN cab. Makassar, LPM Kertas UNIFA, HPMS
Comments
No comment yet.