Performance Lecture – Abdul Azis Dumpa

Disampaikan di Makassar International Writers Festival 2025

31 Mei 2025, Benteng Rotterdam

Selamat Malam Warga Kota Makassar;

Saya Abdul Azis Dumpa, mewakili Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Makassar sekaligus yang menjadi bagian dari perjuangan Warga yang terus berhadapan dengan gempuran kuasa, modal oleh para tiran.

Sesaat mendengarkan tema tahunan yang diusung oleh MIWF, yaitu “Land and Hand”, dengan penuh semangat, kami menyadari bahwa isu yang selama ini kami bersamai dan geluti terkait perjuangan atas ruang hidup, menegakan negara hukum, hak asasi manusia, dan demokrasi adalah menjadi kepedulian kita semua. Artinya tidak hanya Warga di tapak yang merasakan penderitaan. 

Namun, ini merupakan satu ekosistem kekerasan yang terstruktur dan sistematis, memiliki skala dampak kerugian yang meluas kepada semua orang, baik itu para akademisi, pekerja lepas, seniman, ibu rumah tangga, sarjanawan, perempuan, minoritas gender dan seksual, buruh pabrik, tukang ojek, kawan-kawan disabilitas, semua ikut merasakan hal yang sama.

Konflik ruang hidup bukanlah kisah yang baru dalam sejarah bangsa ini, ia telah ada dan terus berlangsung  sejak zaman kolonial. Mengeksploitasi dan mencuri kekayaan alam dengan kekerasan, celakanya tak berhenti ketika bangsa ini menyatakan “merdeka”. 

Dalam keseharian, ada anak yang mati ditabrak akibat bermain bola di jalanan karena tidak memiliki tempat bermain, ada orang tua yang menjerit karena harga pangan terus melambung tinggi, ada dosen yang berkecil hati tidak diupah dengan layak, ada jutaan orang yang berpindah dari kampung ke kota untuk mencari sesuap nasi, dan pendidikan yang lebih baik namun terbentur oleh biaya yang melambung tinggi. Ini merupakan siklus kekerasan struktural yang berlangsung dalam keseharian kita dan terjadi di depan mata kita semua.

Cerita yang lain, ada Masyarakat Adat di Kajang sejak ratusan tahun, di masa penjajahan Belanda ribuan hektar tanah adatnya yang menjadi sumber kehidupan, budaya, dan sejarahnya dirampas dan dikuasai oleh perusahaan kolonial, ketika merdeka tak dikembalikan, hingga saat ini dikuasai oleh perusahaan atas nama Izin usaha. Hal yang sama terjadi di Takalar, ribuan hektar tanah miliki Petani Polongbangkeng yang dirampas di bawah sepatu laras dan senapan Orde Baru Soeharto masih dikuasai oleh perkebunan negara, hingga saat ini mereka masih berjuang merebut kembali haknya yang dirampas. 

Tentu kami meyakini bahwa konflik, perampasan dan penghancuran ruang hidup serta kekerasan yang dialami oleh warga sesungguhnya bukan sekedar dampak melainkan ia adalah bagian dari sistem ekonomi dan pembangunan negara yang hanya berpihak pada mereka yang memiliki modal. Mengambil kekayaan alam di atas dan di dalam perut bumi untuk dijual ke luar negeri. Mereka datang ke desa-desa ke kampung-kampung, baris-berbaris, dengan senapan berisikan peluru tajam, pentungan, alat berat, gas air mata, dan dengan secarik kertas berisikan perintah pengosongan, membawa izin usaha dari pemerintah untuk menggali tanah, menebang hutan, menanam sawit, menanam tebu atau apa saja yang bisa diekspor dan menghasilkan uang. 

Lalu Masyarakat kehilangan tanah yang digunakan untuk berkebun, bertani dan bermukim, disulap menjadi milik perusahaan. Negara membuat aturan yang berpihak bagi perusahaan dan mengabaikan hak masyarakat adat, petani dan nelayan. Karena tidak punya sertifikat, tanah-tanah masyarakat dianggap “Tanpa Pemilik” sehingga perampasan menjadi legal, seolah-olah benar karena stempel dari negara.

Masyarakat yang protes, melawan dan mempertahankan haknya dianggap mengganggu keamanan, pembuat onar, dan penghambat pembangunan, lalu disebut sebagai Kriminal. Aparat bersenjata dan penegak hukum diturunkan bukan lindungi rakyat namun agar perusahaan tetap berjalan. Tidak lupa, diskusi buku, baitan puisi, diskusi publik, panggung seni, pameran karya, lukisan, juga dicap sebagai pengganggu kepentingan negara. 

Sungai, laut dan udara tercemar, banjir dan longsor di mana-mana, hasil pertanian menurun, kemiskinan dan penderitaan rakyat terus bertambah, tapi negara diam dan bilang “demi pembangunan”, “demi pertumbuhan ekonomi”.

Dalam skala Sulawesi, kami memotret ragam kasus yang masih berlangsung. Kami berdiri, ikut menyuarakan perjuangan Warga di Kampung hingga Perkotaan. Mulai dari Pulau Kodingareng, Lae Lae, dan Tallo melawan Reklamasi, Warga Bara-Baraya dan Beroanging melawan penggusuran, Warga Pulau Wawonii dan Torobulu melawan tambang nikel dan kriminalisasi, begitupun juga Warga Bantaeng yang nafasnya sesak melawan Smelter Nikel. Ada Warga Karossa dan Pinrang melawan tambang pasir, Serta Warga Polongbangkeng dan Kajang melawan raksasa perkebunan yang terus dihantui bayang-bayang pengalaman kekerasan TNI dan Polisi sepanjang hayat mereka. 

Hal ini tentu menggambarkan betapa tidak manusiawinya model kebijakan pembangunan yang sedang berlangsung hingga hari ini. Proses penyingkiran nyata terjadi di depan mata kita semua. Lantunan Doa dan ayat-ayat suci, serta rapalan mantra tentu akan menguatkan namun tak cukup mampu menghadang. Tidak sedikit Warga meneteskan air mata ketika menghadang eskavator, isak tangis dan air mata membasahi tanah yang ia perjuangkan, hingga hal yang paling memilukan berujung pertumpahan darah dan hilangnya nyawa. 

Cerita kekerasan adalah kisah kesombongan negara di hadapan rakyatnya sendiri melalui aparat keamanan Polisi dan Tentara  yang menjadi tameng dan simbol kekerasan.  Meski begitu, dengan tegak warga terus berdiri, sekalipun moncong senjata melekat tepat di kepala mereka. 

Kami berdiri di hadapan Warga yang hadir pada Festival tahunan ini, ingin menyampaikan salam hormat kepada yang ikut bersolidaritas. Kepada warga yang lain, kami ingin menyampaikan dalam keseharian kita, percaya atau tidak ada ratusan hingga ribuan Warga yang tidurnya tidak pernah nyenyak, ada  yang sedang memasak di dapur dengan perasaan was-was, ada anak-anak yang kehilangan teman, ruang bermain, dan kisah masa kecil akan terancam hilang, hilang segala-galanya. 

Kisah-kisah mereka yang diusir Secara Paksa dari ruang hidupnya, dihilangkan sejarahnya, diinjak martabat dan kehormatannya sebagai manusia harus diakhiri. 

Dalam memperjuangkan semua itu, berkali kali kita semua mengalami kekalahan. Tapi yang pasti, apa yang tidak kita perjuangkan tidak akan kita menangkan. 

Kepada kalian yang berhadapan dengan tiran, kalian tidak sendirian!

Bangun solidaritas sesama Warga, hidup rakyat, panjang umur perjuangan! Merdeka untuk Palestina! Sekian dan terimakasih. 

 

Naskah: Muh. Syahfizwan & Abdul Azis Dumpa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content