Di Sulawesi Selatan, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum kerap menjadi cerita yang hanya berbisik dari lorong-lorong, gang sempit, pinggiran trotoar dan jarang sekali sampai ke meja persidangan atau jadi sorotan media. Beberapa tahun terakhir, catatan pendampingan LBH Makassar, menunjukkan pola yang sama: perempuan yang ditahan di kantor polisi berada dalam posisi yang paling rentan.
Mereka diinterogasi di ruang tertutup tanpa pendamping hukum, tidur di sel yang bercampur dengan tahanan lain dan kerap berhadapan dengan aparat laki-laki yang memegang penuh kontrol atas akses komunikasi, makan, hingga kebebasan bergerak.
Kasus-kasus ini tidak selalu berbentuk kekerasan fisik langsung. Banyak yang bermula dari pelecehan verbal bernada seksual, tatapan melecehkan, atau sentuhan yang dianggap “biasa” oleh pelaku, tetapi meninggalkan trauma mendalam bagi korban hingga pemerkosaan menjadi puncak paling mengerikan dari relasi kuasa polisi di kantor polisi. Setahun terakhir, LBH Makassar mendamping kasus yang didominasi adalah kasus kelompok rentan termasuk perempuan.
Terakhir, kasus yang cukup menarik perhatian publik adalah kasus kekerasan seksual yang terjadi di Dit Tahti Polda Sulsel oleh salah satu anggota polisi. Sebut saja Briptu Sanjaya melecehkan seorang tahanan perempuan, namun hingga saat ini meski sudah divonis bersalah di Pengadilan Negeri Makassar namun tidak juga dipecat oleh institusinya.
Tidak hanya itu, kasus serupa terjadi pada 8 Agustus 2025. Beredar kabar di sosial media, seorang tahanan perempuan di Luwu, Sulawesi Selatan dikabarkan mendapatkan tindakan pelecehan saat sedang tidur oleh salah satu anggota polisi.
Situasi ini berpotensi memburuk dengan hadirnya rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) baru. RKUHAP memperluas kewenangan polisi untuk menahan, memperpanjang masa penahanan, dan memeriksa tersangka tanpa memperkuat mekanisme pengawasan independen.
Dalam konteks wilayah khususnya Sulawesi Selatan, di mana pengawasan eksternal terhadap kantor polisi di daerah masih sangat minim, tambahan kewenangan ini sama saja membuka ruang lebih besar bagi penyalahgunaan wewenang. Pengalaman pendampingan di Sulawesi Selatan, menunjukkan bahwa ketika perempuan berada di ruang tahanan tanpa petugas perempuan, tanpa akses bantuan hukum sejak awal dan tanpa kamera pengawas yang terpantau publik, peluang terjadinya kekerasan seksual meningkat drastis.
Apalagi dalam kultur aparat yang sering memandang tahanan sebagai “orang yang pantas diperlakukan semena-mena”, perempuan menjadi target berlapis, sebagai tersangka dan sebagai objek seksual. Masyarakat jarang mengetahui bahwa laporan kekerasan seksual yang terjadi di kantor polisi sering mentok dalam institusi yang sama.
Korban diminta membuat laporan di kepolisian, tetapi justru harus kembali berhadapan dengan aparat yang mungkin masih satu lingkungan dengan pelaku. Tidak ada jaminan kerahasiaan, apalagi perlindungan.
Di tengah situasi ini, wacana memperkuat kewenangan polisi tanpa membangun sistem pengawasan yang transparan ibarat menambah kunci di tangan yang sama, tanpa memberi pintu darurat bagi korban. Sulawesi Selatan harus berani berbenah, memisahkan tahanan perempuan, menempatkan petugas perempuan yang berperspektif gender dan HAM di tahanan perempuan, memastikan pendampingan hukum dan psikolog sejak awal, serta membangun mekanisme pelaporan di luar institusi kepolisian.
Lebih dari itu, kantor polisi juga tidak boleh menjadi tempat tahanan selama proses penyelidikan dan penyidikan berlangsung. Tanpa itu semua, RKUHAP baru hanya akan menjadi ancaman baru bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum, tidak hanya di Sulawesi Selatan tetapi juga di seluruh Indonesia. #tolakRKUHAP #percumalaporpolisi
Penulis: Nunuk Songki (Bidang Hak Perempuan, Anak dan Disabilitas – LBH Makassar)