UIN Alauddin Makassar Darurat Demokrasi dan Ruang Aman

Makassar, 7 Oktober 2024. Sejak terbitnya Surat Edaran (SE) No. 2591 pada tanggal 25 Juli 2024, tanggapan mahasiswa di lingkup Universitas Islam Negeri Makassar (UINAM) menjadi cukup resah. Jelas dalam surat edaran, terdapat muatan norma/aturan yang membumi hanguskan demokrasi. Setidaknya, dalam kurun waktu 3×24 jam Mahasiswa wajib meminta izin kepada pihak kampus dan wajib pula memperoleh izin tertulis sebelum melakukan aksi menyampaikan aspirasi dan pendapat di muka umum. 

Hal ini terus menjadi buah bibir, Mahasiswa UINAM pun merespon dengan menggelar aksi tuntutan agar SE tersebut dicabut. Alasannya cukup jelas dan kuat, dalam konstitusi telah memandatkan seluruh pejabat negara termasuk Birokrasi Kampus agar patuh terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Hak untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat dengan sangat tegas dijamin dan dilindungi di dalam Konstitusi. 

Jaminan ini terdapat pula dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya mengenai HAM, seperti UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Indonesia juga merupakan anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan akan turut menghormati, melindungi dan memenuhi Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM).

Rabu, 31 Juli 2024, sekitar 100 orang Mahasiswa dengan penuh kekesalan. Menuntut Hamdan Juhannis beserta kroninya agar segera mencabut SE 2591. Secara gradual, sejak pasca melangsungkan aksi perdana protes terhadap SE, imbasnya hingga per tanggal 2 Agustus, 31 orang mahasiswa UINAM dari berbagai Fakultas menjadi korban Skorsing.

Peliknya, proses sebelum diterbitkan SK Skorsing, 31 Mahasiswa telah menjalankan sidang di Dewan Kehormatan Universitas (DKU). Melalui kesaksian Reski, ia menjelaskan bahwa hasil sidang di DKU itu tidak akan menjadi satu kesimpulan bahwa apakah Mahasiswa yang dinyatakan tidak bersalah lalu tidak akan mendapatkan sanksi skorsing. 

Hak pembelaan yang kemudian terbukti bahwa Mahasiswa tidak bersalah itu tidak memiliki pengaruh. Artinya, DKU hanyalah satu unit kerja di dalam Kampus hanya kedok bahwa kampus menjunjung tinggi nilai demokrasi. Namun, sebetulnya hanyalah ilusi.

Membunuh Demokrasi dengan Kekerasan Menggunakan Aparat Keamanan

Aparat keamanan sama saja, alih alih menjadi pelindung dan pengayom masyarakat. Aparat keamanan (Satpam Kampus dan Polisi) justru menjadi tangan besi untuk kekuasaan, birokrasi kampus bekerjasama dengan aparat keamanan mengintimidasi mahasiswa yang melakukan demonstrasi.

30 Juli 2024, mahasiswa yang melakukan demonstrasi ditangkap dan ditendang oleh 30 orang dari Satpam dan birokrasi. Mahasiswa dituduh membawa senjata tajam, tapi saat digeledah tuduhan itu tidak terbukti.

4 Agustus 2024, aksi demonstrasi Mahasiswa UIN Alauddin Makassar dibubarkan aparat kepolisian. 27 orang ditangkap dan dibawa ke Polrestabes Makassar.

Kapolri sebagai institusi negara harus menghormati hak menyampaikan pendapat, bukannya menjadi tangan besi kekuasaan yang anti demokrasi.

Bukan hanya SE, hal yang lain…

Dibalik kisruh SE yang terus bergejolak di lingkup UINAM, ada kasus yang sedang bergulir secara sunyi dan senyap di Pengadilan Negeri Sungguminasa. 

Setidaknya, melalui catatan permohonan bantuan hukum LBH Makassar, terdapat 4 kasus kekerasan berbasis gender yang tercatat di Kampus UIN Alauddin Makassar. Kejadian tersebut bukan kasus yang pertama kali terjadi, sebelumnya terjadi kasus Pelecehan Seksual yang dilakukan oleh salah seorang Pekerja Kampus yang melecehkan Mahasiswa yang lebih dari 10 orang, tidak ada sanksi yang tegas. Pelakunya masih berkeliaran di lingkup kampus. 

4 Kasus terakhir yang didampingi oleh LBH Makassar terjadi dalam peristiwa yang jika dirunut berlangsung sejak Maret 2023 hingga Januari 2024. Potret klise ini tentu menampilkan wajah kampus UINAM yang sangat kelam. 

Mulai dari pemberangusan Demokrasi hingga rentetan kasus kekerasan seksual, inilah situasi yang memantik perhatian khusus untuk mengkritik ketiadaan ruang aman pada Perguruan Tinggi UINAM

Semakin meningkatnya kekerasan berbasis gender khususnya kekerasan seksual yang terjadi pada ranah perguruan tinggi secara langsung atau tidak langsung tentunya akan berdampak pada kurang optimalnya penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi dan menurunkan kualitas pendidikan tinggi. 

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) RI No.30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi lahir dengan tujuan sebagai pedoman bagi Perguruan Tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang terkait dengan pelaksanaan Tridharma di dalam atau di luar kampus. 

Hanya saja sejak saat peraturan ini dikeluarkan nampaknya terkendala pada pemgimplementasian. Sehingga tindak pidana kekerasan seksual yang terjadi tidak tertangani dengan baik dan menghasilkan kesan abai atau justru ditutupi. Spekulasi paling sederhananya adalah bisa saja pihak Perguruan Tinggi tidak mengetahui adanya Permendikbudristek RI No.30 Tahun 2021 ini. 

Jelas, ini merupakan catatan hitam dibawah kepemimpinan Hamdan Juhannis, dengan membentuk Satgas dan Unit Layanan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dalam internal Perguruan Tinggi namun tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif. Kasus yang bergulir dan terkuak tentu saja bukan merupakan catatan hitam yang terakhir. Jika birokrasi tidak mengambil langkah tegas, serta tidak mengupayakan perlindungan serta pemulihan kepada korban Kekerasan berbasis Gender, maka kasus serupa akan terjadi. 

Bukti nyata, para terduga Pelaku masih saja berkeliaran di lingkup kampus. Pasalnya sikap Kampus UINAM tidak memberikan sanksi kepada para pelaku kekerasan yang pada faktanya berstatus sebagai Civitas Akademika UINAM.

Penutup

Pergulatan masalah ini tentu akan membuat bimbang, satu sisi maraknya kasus yang terjadi, tindakan sewenang-wenang, ketidakbecusan birokrasi dalam menjalankan fungsi dalam institusi tentu tidak akan bekerja secara optimal. Fungsi kontrol yang bisa disalurkan melalui mekanisme penyampaian aspirasi sedari awal dipatahkan secara brutal oleh Hamdan Juhannis melalui SE. 

Dalam sejarah dan praktiknya, terdapat banyak pelanggaran HAM yang berkaitan dengan hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Dari sejarah panjang, khususnya di Indonesia dapat kita lihat, salah satu faktor yang mempengaruhi tidak dapat dinikmatinya hak berekspresi dan menyampaikan pendapat adalah kepemimpinan yang otoriter. 

Setelah 26 tahun reformasi, situasi perlindungan dan pemenuhan HAM tak banyak berubah. Berangkat dari kenyataan di lapangan, banyak aktivis HAM maupun akademisi/scholars baik dalam maupun luar negeri menilai Demokrasi dan HAM di Indonesia sedang berada di ujung tanduk setelah sekian lama mengalami stagnasi dan regresi. 

Di tengah situasi Negara defisit Demokrasi dan HAM, seharusnya kampus sebagai lembaga pendidikan tetap menjaga dan mendorong penikmatan atas Demokrasi dan HAM untuk bertumbuh, khususnya di lingkup kampus itu sendiri. Karena itu, tindakan UINAM mengeluarkan SE dan menskorsing Mahasiswanya merupakan tindakan yang sangat memalukan dan  ini tidak boleh dibiarkan. Komnas HAM dan kementerian Agama yang menaungi UINAM harus segera mengambil langkah tegas, memerintahkan UINAM mencabut SE dan SK Skorsing serta mengembalikan hak mahasiswa yang menjadi korban skorsing.

Terakhir, melalui Rilis ini, sebagai penutup kami ingin sampaikan bahwa Hamdan Juhannis beserta jajarannya sedang memporak porandakan Kampus Beradab. Maraknya problematika kampus butuh ruang dialog dan ruang menyampaikan aspirasi, namun Hamdan Juhannis dengan tegas menggali kuburan bagi Demokrasi di UINAM. 

***

Narahubung:

0819-3665-1777 (Mahasiswa UINAM – Korban Skorsing)

0851-7448-2383 (Pusat Informasi Resmi – LBH Makassar)

Bagikan

Rilis Pers Lainnya

Foto: LBH Makassar
Permohonan Praperadilan Buruh PT. GNI Korban Kriminalisasi Ditolak, Hakim Jauhkan Korban dari Keadilan
WhatsApp Image 2024-10-01 at 12.32
WARGA TOROBULU MENANG! 2 PEJUANG LINGKUNGAN DIPUTUS LEPAS PN ANDOOLO
Foto: LBH Makassar
Terbukti Tidak Bersalah, Buruh Korban Kriminalisasi PT. GNI Ajukan Praperadilan Ganti Rugi dan Rehabilitasi
Skip to content