Tidak Menemukan Kesepakatan, PT. Huadi Nickel Alloy Tidak Patuh Peraturan Hukum Ketenagakerjaan

Bantaeng, 29 Juli 2025. PT. Huadi Nickel Alloy bersama dengan Serikat Buruh Industri Pertambangan Energi (SBIPE) kembali melakukan perundingan bipartit bersama pada tanggal 26 Juli dan 28 Juli 2025. Dalam perundingan, Perusahaan diwakili oleh A. Adrianti Latippa beserta jajarannya.

SBIPE diwakili oleh Ketua Junaid Judda, Junaedi Hambali Kepala Departemen Hukum, Advokasi dan Kampanye, Kepala Departemen Organisasi Ahmad Pasallo, kuasa hukum dari LBH Makassar Hasbi Asiddiq, serta perwakilan buruh Risal Efendi Jaya dan Mursalim.

Perundingan berlangsung alot, disaat bersamaan Buruh KIBA telah melakukan aksi mogok dan memblokade pintu utama perusahaan selama 16 hari. Namun, kenyataan ini harus dihadapi dengan penuh rintangan. 

Proses ini akan semakin sulit, perusahaan tidak pernah bersikap transparan setiap dilakukan perundingan. Alasan efisiensi tidak dapat diterima, pasalnya perusahaan sendiri tidak pernah membuka laporan keuangannya sendiri di hadapan pekerja,” ujar Hasbi Asiddiq.

Pertemuan yang berlangsung pada dua hari tersebut, menunjukkan sikap ketidakpatuhan perusahaan terhadap peraturan hukum ketenagakerjaan. Manajemen juga menyatakan bersedia menandatangani komitmen tertulis untuk membayar kekurangan upah lembur setelah adanya putusan dari Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Namun yang menjadi permasalahan adalah belum ada kesepakatan terkait dengan apakah 20 orang buruh yang saat ini berunding bisa menjadi perwakilan untuk ratusan buruh lainnya agar hak-hak mereka bisa dipenuhi.

Dalam perundingan, berdasarkan Berita Acara termuat beberapa poin yang menjadi tuntutan SBIPE, yakni menuntut agar dilakukan pemberian upah kepada buruh yang dirumahkan–upah sesuai upah minimum provinsi (UMP) sebesar 3.657.527,37. Seiring dengan hal tersebut, SBIPE juga menuntut agar dihitungnya pemberlakuan UMP sejak januari 2025. Hal ini menjadi tuntutan sejak berlangsungnya aksi blokade hari pertama yaitu tuntutan mengenai upah lembur yang hingga hari ini buruh masih bekerja selama 12 jam.

Perusahaan memiliki tawaran yang lain, jelas ini merupakan tawaran diluar dari ketentuan perundang-undangan yang mengatur terkait ketenagakerjaan. Tawaran ini sama sekali tidak mempertimbangkan tawaran dari SBIPE selaku naungan para Buruh KIBA yang tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku.

Disampaikan langsung dalam forum perundingan, PT. Huadi hanya mampu membayarkan upah selama dirumahkan sebesar Rp 1.500.000 perbulan. Lalu, perusahaan bersedia akan menanggung premi BPJS tanggungan karyawan.

Nominal itu tidak layak, tidak manusiawi, dan tidak mencerminkan pengakuan atas kerja keras buruh selama ini,” tegas Junaedi Judda.

Bahwa berdasarkan hasil komunikasi dengan Kepala Disnaker, kesepakatan Rp1.500.000 hanya berlaku untuk FSPBI yang sebelumnya telah melakukan perundingan, bukan untuk SBIPE. Artinya, tidak ada dasar yang sah untuk memaksakan angka itu kepada buruh anggota SBIPE. Ia menegaskan bahwa SBIPE menginginkan solusi yang adil, tidak memberatkan salah satu pihak, dan tetap menghormati kontribusi buruh yang telah bekerja bertahun-tahun.

“Kemampuan perusahaan itu awalnya hanya 1 juta namun setelah berunding dengan  FSPBI upah ditingkatkan menjadi 1.5 juta” balas Andi Latippa, perwakilan perusahaan.

Lebih lanjut, perusahaan akan membayar kekurangan upah dibawah UMP dengan UMP sejak Januari 2025. Sedangkan tuntutan terkait upah lembur, perusahaan menunggu upaya gugatan yang akan dilakukan di Pengadilan Hubungan Industrial. Hal ini jelas mengesampingkan peran executive remedi yang sebenarnya bisa langsung diterapkan untuk pemenuhan hak buruh setelah adanya Penetapan Pengawas Ketenagakerjaan. Jika hal ini tidak diindahkan maka jelas ada sanksi pidana yang bisa dijerat ke perusahaan. 

Perusahaan dengan sadar telah melanggar ketentuan perundang-undangan terkait ketenagakerjaan. Apa yang menjadi tawaran perusahaan tentu merupakan satu bentuk terhadap pelanggaran hukum. Dalam lembaran Berita Acara Perundingan, terdapat frasa “akan” membayarkan premi BPJS, sedangkan hal tersebut merupakan satu kewajiban perusahaan untuk menanggung pembayaran tersebut.

Hal yang lain terkait upah bagi buruh yang “dirumahkan” perusahaan memberikan dengan nilai tidak menyentuh nilai sesuai dengan UMP tentu satu kesalahan yang dilakukan oleh Perusahaan. Hal ini ditekankan pada prinsip pasal 93 UU Ketenagakerjaan, yang pada dasarnya menekankan hal tersebut bilamana bukan pilihan atau tindakan yang berasal dari Buruh, maka perusahaan wajib untuk memberikan upah.

Karena perusahaan tetap bersikeras pada angka Rp 1.500.000 untuk buruh yang dirumahkan dan menolak bergeser, maka perundingan belum mencapai kesepakatan. SBIPE akan kembali membahas hasil perundingan ini bersama anggota serikat untuk menentukan langkah lanjutan. 

Bagikan

Rilis Pers Lainnya

Randi Rian 1
Dua Bersaudara, Buruh Harian Lepas Dituduh sebagai Dalang Kerusuhan 29 Agustus Mengajukan Gugatan Pra Peradilan
P1760357
Open Letter for Chinese Embassy in the Republic of Indonesia
Untitled-2
Terlapor Telah Mengakui Perbuatannya, Namun Polres Wajo Tetap Membiarkan Kasus Kekerasan Seksual hingga Berlarut-larut
Skip to content