Makassar, 15 Oktober 2025. Lebih dari empat bulan berlalu sejak seorang Aparatur Sipil Negara di lingkungan Bawaslu Kabupaten Wajo, melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya secara berulang ke Polres Wajo atau tepatnya pada 13 Juni 2025 lalu. Namun hingga kini, Polres Wajo belum melakukan penetapan Tersangka, meskipun terlapor diketahui telah mengakui perbuatannya di hadapan penyidik.
Korban yang menjadi bawahan langsung dari terlapor telah berulang kali memberikan keterangan secara utuh dan konsisten. Ia menjelaskan kronologi kekerasan seksual yang terjadi sesuai kronologi.
Tidak berhenti di situ, Korban juga telah menyerahkan bukti percakapan digital antara dirinya dan pelaku, surat tugas perjalanan dinas yang menunjukkan keterlibatan keduanya, serta menjalani assessment psikologis di UPT PPA Provinsi Sulawesi Selatan dan pemeriksaan psikiatris di RSUD Lamaddukelleng.
Hasil pemeriksaan medis bahkan menyatakan kalau Korban mengalami F32.3, Depresi Berat dengan Gejala Psikotik (Severe Depressive Episode with Psychotic Symptoms) akibat trauma mendalam dari kekerasan seksual yang dialaminya secara berulang di lingkungan kerja.
Namun, dalam Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) tertanggal 13 Oktober 2025 kemarin, Polres Wajo menyatakan bahwa hasil penyelidikan sementara “belum memenuhi syarat alat bukti yang cukup” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP.
Pernyataan tersebut tidak hanya menunjukkan kelalaian dalam memahami karakteristik pembuktian kekerasan seksual, tetapi juga mencerminkan betapa paradigma hukum yang digunakan penyidik masih terjebak pada cara pandang lama, seolah-olah kekerasan seksual baru dapat dibuktikan apabila terdapat saksi mata atau luka fisik.
“Padahal, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah secara tegas memperluas alat bukti sah. Pasal 24 dan 25 UU TPKS mengakui keterangan korban, keterangan ahli psikolog atau psikiater, serta bukti digital sebagai dasar hukum yang kuat dalam pembuktian perkara kekerasan seksual. Dengan demikian, alasan “belum cukup bukti” dalam kasus ini tidak hanya tidak berdasar, tetapi juga bertentangan dengan UU TPKS,” tegas Ambara, Koordinator Bidang Perempuan, Anak, Disabilitas LBH Makassar sekaligus Pendamping Korban.
Lebih ironis lagi, berdasarkan dokumen resmi dan hasil pemeriksaan, terlapor sendiri telah mengakui perbuatannya di hadapan penyidik. Namun hingga saat ini, Polres Wajo belum menunjukkan langkah konkret untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai Tersangka.
Sikap ini menimbulkan pertanyaan besar tentang keseriusan aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual, terutama ketika pelaku memiliki jabatan publik dan posisi kuasa atas korban.
Alih-alih memberikan rasa aman dan kepastian hukum, Polres Wajo justru memperpanjang penderitaan korban melalui proses yang berlarut-larut tanpa arah. Setiap hari penundaan bukan hanya berarti waktu yang hilang, tetapi juga luka yang kembali terbuka, mengingatkan korban pada trauma yang tak kunjung disembuhkan. Keadilan yang lambat adalah bentuk lain dari ketidakadilan.
“Penundaan penetapan Tersangka dalam kasus ini juga dapat dimaknai sebagai bentuk reviktimisasi, di mana korban kembali disakiti, kali ini bukan oleh pelaku, tetapi oleh sistem hukum yang seharusnya menjadi pelindung. Proses hukum yang tidak sensitif dan berbelit justru memperkuat pesan berbahaya. Bahwa keberanian perempuan untuk melapor bisa berujung pada penderitaan yang lebih panjang,” tambah Ambara.
Oleh karena itu, kami mendesak Polres Wajo untuk segera bertindak tegas dan profesional dengan:
- Menetapkan terlapor sebagai Tersangka, karena seluruh unsur pembuktian dalam Pasal 6 huruf a dan c juncto Pasal 15 huruf d dan e UU TPKS telah terpenuhi, termasuk adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban, serta pengulangan perbuatan lebih dari satu kali;
- Menghentikan praktik pemerasan dengan dalih “belum cukup bukti”, yang bertentangan dengan semangat UU TPKS dan prinsip perlindungan korban;
- Menjamin perlindungan dan pendampingan psikologis bagi korban selama proses hukum berjalan.
Keterlambatan Polres Wajo dalam menetapkan Tersangka bukan sekadar soal administratif, tetapi menyangkut tanggung jawab moral dan institusional Polri dalam menegakkan keadilan bagi perempuan korban kekerasan seksual. Kasus ini adalah ujian nyata bagi kepolisian, apakah mereka benar-benar berpihak pada korban, atau justru kembali melanggengkan ketimpangan dan kekuasaan yang menindas.
“Korban telah melakukan bagiannya, ia bersuara, melapor, menyerahkan bukti, dan menghadapi trauma yang dalam. Kini giliran negara, melalui Polres Wajo, untuk menunjukkan keberpihakan nyata. Keadilan tidak bisa terus ditunda atas nama prosedur. Karena di balik setiap prosedur yang tertunda, ada satu perempuan yang terus menunggu, dalam luka yang belum sembuh,” tutup Ambara.