Kekhawatiran pada RKUHAP Terjadi, Pemilik Toko Tani Digeledah lalu Diperas oleh Anggota Polda Sulsel

Makassar, 13 Agustus 2025. Warga Kabupaten Bone, AN selaku pemilik Toko Tani resmi melaporkan (12/8) dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Anggota Polda Sulsel. Kejadian ini berlangsung pada 23 April 2025, sore hari sekitar pukul 14.00 wita di Jl. Jend Sudirman, Watampone, Bone. Tujuh orang yang tiba-tiba masuk ke dalam toko.

Dengan menggunakan pakaian serba hitam, Anggota Polda Sulsel datang dan merangsek masuk secara sepihak. Mereka kemudian melakukan pemeriksaan dan penggeledahan dengan cara mengumpulkan dan memilah barang-barang dagangan AN yang sudah kadaluarsa dan tidak kadaluarsa  ke satu tempat. 

“Kalau memang saya bersalah saya siap menanggung konsekuensinya, tapi masalahnya saya merasa tidak melakukan kesalahan karena saya tidak memperdagangkan barang-barang yang sudah kadaluarsa tersebut, lalu pelaku memanfaatkan itu untuk memeras saya dan keluarga,” tutur AN

Setelah melakukan aksi tersebut, ketujuh orang kemudian memperlihatkan Surat Perintah dan memperkenalkan diri sebagai anggota Polisi bagian Ditreskrimsus Polda Sulsel. Mereka menjelaskan aksinya sebagai upaya pengawasan dan perlindungan konsumen, kemudian menuduh AN telah melakukan pelanggaran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Perlindungan Konsumen karena menyimpan barang dagangan yang sudah kadaluarsa walaupun tidak diperdagangkan.

“Saya juga bingung sebenarnya, mau saya apakan itu barang, disisi lain saya tidak bisa buang juga karena kan tidak boleh dibuang sembarangan. Disisi lain juga yang punya barang tidak mau mengambil barang-barang yang sudah expire tersebut. Sekarang saya mau dipidana karena menyimpan barang tersebut, sebenarnya saya rugi disini, karena barang-barang yang tidak laku dan expire saya yang tanggung,” tambah AN 

Selama melakukan penggeledahan, dari 7 anggota Polri tersebut tidak ada satupun yang menjelaskan pelanggaran apa yang dilakukan oleh AN. Korban AN sempat meminta 7 anggota polis untuk memperlihatkan pelanggaran mana yang telah dilakukan oleh AN. 

Tidak lama kemudian, salah seorang anggota polisi meminta AN untuk datang ke salah satu warung kopi yang berada tepat di depan toko miliknya. AN diminta untuk menghadap ke salah satu Pelaku yakni anggota polisi. Ketika berhadapan dan ketemu langsung, AN bersikeras untuk menanyakan pelanggaran yang telah dia lakukan. 

“Salah satu dari mereka bilang, bahwa saya melanggar UU perlindungan konsumen. Lalu mereka bilang ini masalahmu bisa selesai disini kemudian dia memperlihatkan tulisan di HPnya nominal 50 juta, lalu saya tanya untuk apa,  lalu dijawab “yah mengerti mako saja”,” terang AN.

Pelaku meminta uang kepada AN sebesar 50 juta rupiah dengan memperlihatkan percakapan lewat whatsapp dengan orang yang Pelaku sebut sebagai Komandan. AN tidak menyanggupi sehingga Pelaku mengurangi nominalnya menjadi 15 juta rupiah dengan tambahan uang setoran 2 juta rupiah perbulan.

Pelaku mengatakan AN akan menjadi bagian dari “keluarga”, sambil memperlihatkan daftar nama-nama yang juga telah direkrut menjadi “keluarga”. Selain itu AN juga dipaksa membuat dan menandatangani surat pernyataan yang menurut dalih anggota kepolisian tersebut untuk persyaratan administrasi.

Hantu RKUHAP Bergentayangan, Kewenangan Penyidik Justru Mengabaikan HAM

Tindakan pengumpulan barang dagangan AN oleh aparat kepolisian pada dasarnya masuk kategori penyitaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP. Namun, berdasarkan Pasal 38 KUHAP, penyitaan hanya dapat dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri, kecuali dalam keadaan mendesak yang tetap harus mendapat persetujuan pengadilan sesudahnya. Pasal 39 KUHAP juga membatasi barang yang dapat disita, yakni yang terkait langsung dengan tindak pidana.

Dalam kasus ini, dugaan pelanggaran prosedur tampak jelas, misal tidak adanya pemberitahuan resmi status barang, tidak diperlihatkannya izin penyitaan, serta adanya intimidasi dan permintaan uang yang mengarah pada tindak pidana pemerasan (Pasal 368 KUHP) dan/atau gratifikasi, dengan mengacu pada Pasal 12 huruf e UU Tindak Pidana Korupsi. 

Penyitaan tanpa prosedur yang sah dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, dan aparat yang melakukannya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana maupun etik.

“Kami menduga kuat, masih ada banyak korban yang sama seperti yang dialami oleh AN, namun tidak berani bicara dan melaporkan. Kami menilai, apa yang menimpa AN adalah persoalan struktural. Kita berharap hal-hal ini tidak terulang. Namun Kami sebagai masyarakat sipil   lebih khawatir persoalan yang menimpa AN justru akan semakin berpeluang terjadi kembali di masa mendatang, karena draf RKUHAP yang sedang dibahas pemerintah dan DPR justru memberikan diskresi yang luas bagi aparat kepolisian dalam upaya paksa seperti penggeledahan dan penyitaan dengan alasan “keadaan mendesak” yang kabur, berpotensi melegitimasi penyalahgunaan kewenangan,” ujar Muhammad Ansar, selaku Kepala Advokasi LBH Makassar.

AN resmi melaporkan MA dan para Anggota Polda Sulsel lainnya di SPKT POLDA SULSEL dengan dugaan melanggar Pasal 368 KUHPidana, sesuai Surat Tanda Penerimaan Laporan Nomor:  No. STTLP/B/790/VIII/2025/SPKT/Polda Sulsel, tanggal 12 Agustus 2025. 

Bagikan

Rilis Pers Lainnya

f7ff6b23-b806-4a10-bae5-2c1854552710_jpg
Darurat Kekerasan & Pengkhianatan Amanah Rakyat
WhatsApp Image 2025-08-20 at 12.40
LBH Makassar Mengecam Tindakan Represif oleh Aparat Gabungan Polri, TNI dan Satpol PP Terhadap Massa Aksi Protes Kenaikan PBB 300% di Bone
18122024_Agustinus_Ruben
Lakukan Plagiasi, Rektor IAKN Toraja Pecat Dosen yang Mengkritik, Kebebasan Akademik Kian Terancam
Skip to content