Makassar, 30 Juni 2025. Resmi ditetapkan sebagai Tersangka, berdasarkan Surat Nomor: B/1437/VI/RES.124/2025/Ditreskrimum. Surat penetapan tersangka menjelaskan bahwa pelaku merupakan salah seorang Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Makassar (FIS-H UNM) yang diduga telah melakukan tindak pidana pelecehan seksual terhadap Mahasiswa bimbingannya.
K, selaku Dosen telah dilaporkan sejak tanggal 28 Januari 2025 oleh korban. Atas laporan tersebut, tiga orang Mahasiswa telah diperiksa sebagai saksi oleh Penyidik Unit PPA Polda Sulsel.
Baca juga: Mahasiswa UNM Melaporkan Seorang Dosen yang diduga Melakukan Pelecehan Seksual – LBH Makassar
Dari keterangan yang dihimpun oleh LBH Makassar, selaku pendamping korban, diketahui perbuatan terduga pelaku terhadap korban tidak hanya sekali, melainkan sudah berulang bahkan ketika korban berpindah semester.
Pelecehan seksual secara fisik dan non fisik, dialami sejak pelaku menjadi Dosen mata kuliah, sekaligus Dosen Pembimbing korban. Sehingga, pelaku mengkondisikan korban untuk selalu berkomunikasi dan bertemu dengan pelaku.
Penetapan Tersangka terhadap pelaku K menjadi titik awal dan harapan bagi korban untuk mendapatkan keadilan atas peristiwa yang dialaminya.
“Semoga kedepan Polda Sulsel menjalankan proses hukum secara objektif, transparan dan tanpa ada intervensi, tekanan, maupun sikap kompromi dari pihak manapun. Proses ini harus terus berjalan sebagai bentuk keberpihakan kepada korban, bukan kepada pelaku,” tegas korban.
Sebelumnya, korban pernah memenuhi panggilan dari Wakil Dekan III, FIS-H UNM, terkait laporannya. Didampingi oleh LBH Makassar, pada 2 Februari 2025, korban diminta menjelaskan secara utuh peristiwa yang dialami. Diwaktu yang sama, korban meminta kepada pihak kampus, agar mendukung setiap keputusan yang dia ambil.
“Saya berharap agar tidak melihat ini sebagai bentuk pencemaran nama baik institusi. Justru sebaliknya, ini adalah bentuk cinta dan keberanian untuk membersihkan lingkungan kampus dari kekerasan, serta menghadirkan ruang aman bagi semua mahasiswa. Saya percaya, tindakan tegas terhadap pelaku adalah bentuk keberpihakan UNM terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan integritas akademik,” tambah Korban.
Terduga Pelaku menggunakan jabatannya sebagai Dosen untuk memanipulasi korban agar mengikuti keinginannya. Bahkan, dari keterangan korban, terdapat ancaman pelaku untuk menahan nilai mata kuliah yang diampu pelaku, jika korban tidak mengikuti keinginan pelaku.
Situasi ini terus terjadi karena korban takut untuk melapor. Puncaknya, saat korban diminta datang ke rumah pelaku untuk melakukan remedial mata kuliah yang diajar pelaku. Korban diminta pelaku untuk memijat, sementara pelaku meraba bagian sensitif korban. Ancaman untuk tidak meluluskan korban atau bahkan menyulitkan korban selama masa perkuliahan, menjadi pertimbangan korban dan mengurungkan niatnya melapor.
“Jika mengacu pada penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, perbuatan seksual pelaku, yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi, dengan maksud merendahkan harkat dan martabat korban berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dikategorikan sebagai tindak pidana pelecehan seksual fisik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a UU TPKS,” tegas Mira
LBH Makassar mendesak pihak Birokrasi Kampus UNM untuk segera melakukan upaya administratif berupa pemberian sanksi terhadap Tersangka, yang saat ini berstatus sebagai Dosen tetap di UNM. Hal ini sebagai bentuk keberpihakan kampus atas tindak kejahatan seksual yang terjadi di lingkup kampus UNM.
“Selain itu, mengingat tersangka merupakan Dosen matakuliah sekaligus Dosen pembimbing korban, memanfaatkan jabatannya untuk melakukan pelecehan seksual, maka perlu ditambahkan dengan pasal 15 ayat (1) huruf b. dengan ancaman pidana 7 tahun kurungan penjara,” ujar Mirayati Amin, selaku Pendamping Hukum,” pungkas Mira
Terus Berulang, Kampus UNM Tidak Aman!
Sementara kita tahu, berdasarkan rekam kasus, pelecehan ini bukan lembar baru bagi Kampus UNM. Tercatat sejak tahun 2022 dimana kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual terus terjadi. Melalui dampingan langsung dan pantauan media, LBH Makassar memotret kegagalan Kampus dalam menghadapi kasus serupa.
Petugas keamanan secara diam-diam merekam Mahasiswa yang merupakan peserta Program Pertukaran Mahasiswa di Hotel Gamacca yang dihuni oleh oleh 82 orang Mahasiswa. Pada tahun yang sama, kasus KS juga terjadi di Fakultas Bahasa dan Sastra di Himpunan Jurusan. Masih di tahun 2022, terjadi lagi di Fakultas Teknik yang terduga merupakan salah seorang Dosen.
Tentu catatan kasus ini menjadi tugas penting bagi Birokrasi Kampus UNM, mengingat kampus sebagai ruang publik yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, memiliki tanggung jawab terhadap orang tua/wali dan masyarakat umum atas ruang aman dari segala bentuk kekerasan seksual.
Tren kasus-kasus yang terjadi tentu kental dengan aspek kuasa yang menundukkan individu tertentu. Dalam proses penanganan tentu saja hal ini tidak bisa dilepas oleh Birokrasi serta Satgas PPKS. Relasi yang tidak setara, tentu semakin membuka peluang terjadinya kasus serupa berulang. Dosen atau tenaga pengajar kerap menggunakan posisinya untuk mengancam para korban.
Apa yang terjadi oleh korban tentu bukan hal yang mudah, ancaman bertubi-tubi oleh pelaku, perasaan malu, lingkungan kampus yang selalu gagal memberikan jaminan ruang aman, perspektif yang timpang oleh Birokrasi, budaya patriarki dan bias gender ketika memandang korban merupakan seorang laki-laki dan pilihan lain untuk memilih melaporkan kasus kepada aparat kepolisian yang dibarengi dengan pertanyaan yang seksis.
Beban dan resiko ini tentu Korban yang akan memikirkan dan menanggung dengan sendirinya. Dengan melihat beban dan resiko, satu-satunya langkah yang paling tepat adalah terus berupaya untuk menciptakan ruang aman dan memberikan dukungan terhadap korban dalam segala aspek.
“A merupakan korban yang harus didukung, kasus seperti ini kasus yang sangat tertutup. Jika tidak ada itikad untuk mendukung dan menjamin ruang aman dalam Kampus, tentu kedepannya akan terjadi kasus serupa,” tutup Mirayati Amin.