Dua Bersaudara, Buruh Harian Lepas Dituduh sebagai Dalang Kerusuhan 29 Agustus Mengajukan Gugatan Pra Peradilan

Makassar, 28 Oktober 2025. Randi dan Rian, sehari-hari berprofesi sebagai buruh harian lepas. Persisnya mereka merupakan buruh kasar yang sehari-hari ikut bersama orang untuk mengerjakan bangunan. Tinggal di Jalan Rappocini, dibawah atap kosan yang dihuni oleh 5 orang. Tidak ada kamar, tidak ada sekat, mereka tinggal bersama orang tua dan saudaranya Rama. 

29 Agustus 2025, merupakan babak kerusuhan yang cukup sulit untuk dilupakan oleh Warga Kota Makassar. Kantor DPRD dikerumuni oleh Warga yang ikut menonton aksi pembakaran tersebut. 

Malam itu, Rian bersama Aril, sepupunya. Pergi menonton warga yang sedang melakukan aksi demonstrasi. Mereka berdiri dari seberang jalan, tepatnya di apotek Kimia Farma di Jalan Faisal. Sedangkan Randi, tidak menginjakkan Jalan AP. Pettarani, ia sedang bersama pacarnya di Centre Point of Indonesia. Begitu juga Rama, dia tidak pergi ke titik aksi, malam itu dia sedang berada di rumah. 

Selang beberapa hari, aktivitas berlangsung sebagaimana mestinya. Mereka sebagai buruh kasar kembali bekerja. Ibu, tetap dirumah sebagai ibu rumah tangga, yang selalu siaga menyiapkan makanan dan menunggu anak-anaknya kembali pulang bekerja. 

Peristiwa mengejutkan tiba-tiba terjadi pada malam hari, sejumlah orang yang tidak dikenal masuk mengruduk pintu hunian mereka di Jalan Faisal. Jam menunjukkan waktu telah masuk 2 September 2025, nyatanya gerombolan tersebut merupakan anggota polisi yang menangkap 3 orang bersaudara, Randi, Rian dan Rama. 

“Bangun! Kau Rian? Kau Randi? Kau Rama?” Tanya salah seorang anggota polisi.

Tanpa diberikan waktu untuk berbicara, mereka langsung diringkus. Tidak ada surat penangkapan, tidak ada penjelasan jelas, mereka bertiga diringkus dengan cara tidak manusiawi. 

Akibat dari perbuatan polisi tersebut membuat ibu kandung mereka, Kamsida yang ikut menyaksikan proses penangkapan tersebut terpaksa menyusul untuk mencoba mendampingi anaknya. 

Namun, hal tersebut tidak mudah. Dia mencari anaknya di pos polisi terdekat mulai dari Pos Polisi Rappocini, hingga akhirnya Kamsida menemukan anak-anaknya di Pos Polisi Hertasning. Namun sayangnya pada saat itu Kamsida tidak diperkenankan untuk bertemu dengan ketiga anaknya, meski demikian Kamsida tetap menunggu anak-anaknya tanpa kepastian. 

Rian diinterogasi dan dipaksa mengaku. Sejumlah bentuk kekerasan terjadi kepada dirinya. Dia terpaksa mengakui telah melakukan pelemparan di DPRD Provinsi Sulsel, sedangkan dia pada tanggal 29 Agustus sedang berada di Jalan Faisal. 

Kekerasan ikut berlangsung, Rian dipukuli di bagian perut, kemudian bagian belakangnya dipukul menggunakan pipa berwarna orange yang berbahan elastis berkali-kali. Pada bagian kepala juga dihantam berkali-kali, kemudian pada bagian kaki Rian dipukul dengan batu hingga berakibat luka. 

Dibagian wajah nya terdapat sejumlah goresan akibat bagian kepala ditundukkan hingga wajahnya menyentuh tanah (paving block) yang diatasnya terdapat batu, pada bagian kaki kemudian dipaksa melakukan splits (kakinya direntangkan) dan sejumlah orang menindis bagian belakangnya. 

Penyiksaan dilakukan sampai menjelang pukul 5 subuh, hal tersebut diketahui Rian dengan menandai suara lantunan ayat suci dari speaker masjid. 

Selama di Resmob Polda sejumlah bentuk kekerasan juga terjadi pada Randi, dalam pengakuannya Randi ditempeleng hingga berkali-kali, kepalanya dipukul, kemudian pada bagian kakinya dipaksa untuk dibuka lebar kemudian seseorang menindisnya hingga bagian kepalanya rapat ke lantai. 

Dalam penyiksaan tersebut Randi kemudian terpaksa mengatakan telah melakukan pelemparan saat terjadi aksi di DPRD Provinsi Sulsel, padahal waktu itu dia sama sekali tidak menginjakkan kaki di Jalan AP. Pettarani. Setelah pagi menjelang siang Randi kemudian ikut dibawa ke Polda sulsel untuk dilakukan pemeriksaan mendalam terhadapnya.

Sedangkan Rama, pada saat itu dipaksa mengaku terkait keterlibatannya dalam aksi pembakaran kantor DPRD Provinsi Sulsel. Pemeriksaan kemudian dilakukan sampai menjelang subuh, kemudian pada saat pagi menjelang siang Rama dibawa ke Polda Sulsel bersama dengan saudaranya. 

Pada saat tiba di Polda Sulsel, Rama kembali diperiksa lalu pada pukul 03.00 Wita Rama di pulangkan ke rumahnya. Menurut Rama dia dipulangkan sebab tidak terlibat dalam aksi tersebut, namun yang menjadi pertimbangan penyidik sebab Rama tidak bergabung dalam grup Whatsapp dengan saudaranya Randi dan Rian. 

Ibu mereka, Kamsida, masih menunggu di Resmob Polda. Sekitar pukul 12.00 Wita, sejak penangkapan berlangsung, dengan memilih untuk tidak pulang ke rumah, Kamsida mendapat kabar anak-anaknya akan dibawa ke Polda Sulsel, lalu Kamsida akhirnya mengikuti mobil yang membawa anak-anaknya.

Setibanya di Polda Sulsel, Kamsida menanyakan keberadaan anak-anaknya namun informasi yang didapatkan bahwa anak-anaknya belum sampai di Polda Sulsel, karena terlalu lama menunggu akhirnya Kamsida memutuskan untuk pulang ke rumah tanpa kejelasan dan kepastian terkait alasan penangkapan anak-anaknya.

Ibunya khawatir, untungnya kekhawatiran itu berkurang ketika mendapatkan kabar bahwa Rama telah dibebaskan. Pada tanggal 03 September 2025 sekitar pukul 03.00 dini hari Rama dikembalikan oleh petugas menggunakan 3 motor. 

Pada saat itulah Polisi baru menjelaskan bahwa Rama tidak terlibat makanya dikembalikan sedangkan Rian dan Randi masih dalam proses, bersamaan dengan itu Polisi kemudian menyerahkan 2 amplop yang berisi Surat Perintah Penangkapan dan Penahanan terhadap Randi dan Rian. 

Dalam surat yang diberikan oleh aparat kepolisian, dijelaskan Randi dan Rian diduga kuat telah terlibat dalam satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (1) huruf 3, subs Pasal 170 ayat (1) subs Pasal 406, junto Pasal 64 KUHP atau berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/B/870/IX/2025/SPKT Polda Sulsel, tertanggal 01 September 2025;

Mereka hingga kini masih mendekam di Dit Tahti Polda Sulsel, karena merasa mereka tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang disangkakan oleh kepolisian, mereka memilih untuk melawan balik dengan menempuh pra peradilan. 

Tim hukum, Koalisi Bantuan Hukum Rakyat Makassar menilai bahwa Polda Sulsel telah melakukan serangkaian pelanggaran sebagaimana yang telah diatur dalam hukum acara. Berangkat dari Penetapan Tersangka terhadap Randi dan Rian yang dinilai tidak didasari pada bukti permulaan yang cukup.

Sehingga upaya paksa berupa penangkapan dan penahanan terhadap Randi dan Rian adalah tidak sah menurut hukum dan merupakan tindakan sewenang-wenang aparat kepolisian. 

Mereka, dengan segala resiko yang telah dihadapi, pilihan untuk melawan balik tentu memiliki tantangan, mereka akan mendapatkan tekanan serta intimidasi oleh Polda Sulsel. Perlawanan balik ini, melalui Sidang Pra Peradilan yang akan berlangsung pada 3 November 2025, seutuhnya ingin melawan kesewenangan, melawan tindakan kekerasan serta praktik penyiksaan dalam proses menerangkan suatu peristiwa pidana yang tentu saja tidak dapat dibenarkan. 



Bagikan

Rilis Pers Lainnya

P1760357
Open Letter for Chinese Embassy in the Republic of Indonesia
Untitled-2
Terlapor Telah Mengakui Perbuatannya, Namun Polres Wajo Tetap Membiarkan Kasus Kekerasan Seksual hingga Berlarut-larut
f7ff6b23-b806-4a10-bae5-2c1854552710_jpg
Darurat Kekerasan & Pengkhianatan Amanah Rakyat
Skip to content