DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Tidak Mendengarkan Aspirasi, Warga Luwu Walk Out dari Forum RDP

Makassar, 10 Desember 2024. Pada saat APBH LBH Makassar menyampaikan aspirasi di ruang Rapat Lantai 9, salah satu petugas di Kantor DPRD Provinsi Sulsel mematikan microphone. Warga dan Aliansi Wija to Luwu serta tim hukum LBH Makassar memilih untuk walk out dari forum. Agenda ini merupakan tindak lanjut dari adanya tuntutan Warga Luwu terkait tindakan yang merugikan oleh PT. Masmindo Dwi Area (MDA)

Proses RDP dipimpin langsung oleh Pimpinan Komisi D DPRD Provinsi Sulawesi Selatan yang kemudian dilakukan tidak secara berimbang. Dalam undangan DPRD Provinsi, RDP dimaksudkan untuk membahas indikasi upaya melawan hukum yang dilakukan oleh PT. MDA dengan melakukan eksploitasi dan Monopoli Komoditas. Namun dalam RDP tersebut hanya mengakomodir Perusahaan dan pihak-pihak berkepentingan.

“Kami tidak diberi kesempatan untuk membahas terkait bagaimana perlindungan lingkungan atau Gunung Latimojong yang masuk dalam area rawan bencana, yang seharusnya tidak boleh dilakukan aktivitas pertambangan di atasnya. Padahal kita tahu bahwa area konsesi Masmindo juga mencaplok area rawan bencana tersebut,” tegas Nurwahidah selaku pendamping hukum.

Acara berlangsung dengan menghadiri beberapa perwakilan stakeholder dengan agenda RDP dalam rangka membahas Pernyataan Sikap terhadap Aspirasi dari Aliansi Wija To Luwu dengan tema aksi terkait “Indikasi Upaya Melawan Hukum yang dilakukan oleh PT. MDA dengan melakukan Eksploitasi dan Monopoli Komoditas di Kab. Luwu”. 

Cones selaku korban dalam pengrusakan tanaman cengkeh yang dilakukan PT. Masmindo Dwi Area turut hadir beserta Aliansi Wija To Luwu dan Tim Hukum LBH Makassar. Sayangnya, Cones selaku korban dalam rapat tersebut tidak dilibatkan secara partisipatif. Dalam rapat tersebut juga terungkap bahwa Cones bukanlah satu-satunya korban dalam skema pembebasan lahan yang dilakukan perusahaan. Hal ini diungkapkan langsung oleh aparat desa yang hadir dalam rapat tersebut.

“Berapapun ganti rugi yang mau diberikan perusahaan, tidak akan menghilangkan rasa sakit hati yang kami rasakan. Bahkan sampai saat ini anak saya Livia masih takut untuk ke rumah di Rante Balla (lokasi pengrusakan),” tutur Cones.

Tambah lagi oleh tim Pendamping Hukum LBH Makassar dalam RDP tersebut memberikan penjelasan bahwa Kawasan Latimojong merupakan wilayah yg dengan kemiringan lereng tinggi yang berdasarkan PERDA Kab. Luwu No. 08 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, sebagai mitigasi risiko terjadinya bencana longsor maka di wilayah dengan kemiringan tertentu seperti di Latimojong dilarang dilakukan aktivitas penggalian apalagi pertambangan.

Dalam proses hukum yang saat ini sedang berjalan, Polda Sulsel menyampaikan bahwa upaya ganti rugi yang akan dilakukan oleh Perusahaan bisa menghentikan proses perkara yang sedang terjadi.

Padahal secara jelas bahwa upaya pengrusakan yang dilakukan oleh perusahan dengan pengawalan aparat merupakan dua hal yang berbeda. Perusahaan berkewajiban membayar ganti rugi atas tanaman cengkeh yang telah dirusak. Polda Sulsel memberikan saran bahwa aparat tidak akan ditarik dari lokasi konflik namun menurutnya perlu ada SOP dalam proses pembebasan lahan tersebut.

Pihak dari Polda Sulsel gagal memahami hakikat dari Hukum pidana. Adanya ganti rugi dari Perusahaan terhadap tanaman cengkeh milik warga yg ditebang tidak menggugurkan sifat melawan hukum pidana yg dilakukan oleh Perusahaan terhadap tanaman milik warga. Permintaan adanya SOP pembebasan lahan juga menunjukkan Polda Sulsel gagal memahami mekanisme pembebasan lahan. 

“Dalam Izin Lingkungan telah dijelaskan proses pembebasan Lahan dijalankan dengan Musyawarah, kalau tidak bisa diselesaikan dengan cara ini ada mekanisme Hukum yg tersedia di Pengadilan. Kehadiran aparat Keamanan di wilayah tersebut juga menunjukkan Gagalnya Polda Sulsel memahami fungsi dan tugasnya sebagai Aparat Penegak Hukum, dan hanya menjalankan fungsi Pengamanan. ini bertentangan dengan Profesionalisme POLRI dan Reformasi Kepolisian,” pungkas Hasbi Asiddiq – Koordinator Bidang Ekosob LBH Makassar

Terkait fakta dilapangan bahwa kawasan konsesi MDA yang merupakan kawasan hutan primer, DLHK provinsi menyampaikan untuk perlu melakukan proses pengajuan izin baru sesuai dengan kondisi di lapangan.

***

Narahubung: 0851-7448-2383 (Pusat Informasi Resmi – LBH Makassar).

Bagikan

Rilis Pers Lainnya

WhatsApp Image 2025-01-17 at 17.21
Gagalnya Implementasi UU TPKS: PGRI, Polri dan SLB Laniang tidak Berpihak kepada Korban Siswi Disabilitas
1a75a4bf-6599-4dcf-a1de-1437ac2719a4
Warga Pinrang Tegaskan Tolak Tambang dalam Rapat Koordinasi Pemeriksaan Substansi Formulir UKL-UPL sebagai Proses dalam Persetujuan Lingkungan Hidup
WhatsApp Image 2025-01-06 at 14.28
CATAHU LBH MAKASSAR 2024 "Elegi Demokrasi dan Keadilan: Merebut Kendali, Menentang Tirani"
Skip to content