Bantaeng, 17 Juli 2025. Melalui Serikat Buruh Industri Pertambangan (SBIPE) Bantaeng, dengan resmi buruh KIBA melaporkan adanya dugaan tindak pidana ketenagakerjaan yang dilakukan oleh PT. Huadi Nickel Alloy di Polres Bantaeng di Polres Bantaeng
“Kami telah melakukan pelaporan ke Polres Bantaeng terkait pembayaran upah yang tidak sesuai dengan UMP oleh Pihak Perusahaan. Kami diterima langsung oleh Satreskrim Polres Bantaeng, pengaduan ini adalah tindak lanjut atas upaya yang telah kami lakukan sebelumnya, yaitu pertemuan dengan manajemen perusahaan,” terang Mursalim, buruh KIBA.
Dalam laporan, Buruh melaporkan Jos Stefan Hideky selaku Direktur Utama PT. Huadi Nickel Alloy Indonesia sebagai Penanggung Jawab dan Pengambil Keputusan terkait dengan Hak Buruh pada Perusahaan dan Andi Adrianti Latippa selaku Head of Div. HRGA dan HSE PT. Huadi Nickel Alloy Indonesia sebagai Manajemen dan pimpinan yang bertanggung jawab untuk Pengambil Keputusan terkait dengan Hak Buruh pada Perusahaan.
“Kejahatan Ketenagakerjaan yang dilakukan oleh perusahaan sangat jelas, membayar upah dibawah standar upah minimum pemerintah. Selain itu perusahaan juga telah bertahun-tahun merampok upah lembur dari para pekerja. Kami berharap Polres Bantaeng bisa serius menangani kasus ini, karena dialami oleh ribuan buruh KIBA,” ucap Hasbi Asiddiq, LBH Makassar
Dua laporan ini masing-masing terkait dugaan tindak pidana terkait pembayaran upah dibawah minimum serta tidak dibayarkannya upah lembur kepada pekerja.
Faktanya, apa yang dirasakan oleh Buruh di KIBA sangat jauh dari rasa kemanusaiaan. Mereka setiap hari kerja,melaksanakan tugas di PT. Huadi Nickel Alloy selama 12 jam dalam satu hari. Selama 12 jam bekerja, mereka tidak diberikan jam istirahat.
12 jam kerja ini dapat diverifikasi melalui finger print yang membuktikan jam kerja ekstrem yang dialami oleh Buruh, setidaknya mulai dari pukul 7.30 WITA hingga 20.00 WITA. Sesuai dengan aturan hukum terkait ketenagakerjaan, jam kerja telah diatur di Pasal 77 UU Ketenagakerjaan, berbunyi;
“7 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk 6 hari kerja dalam seminggu, dan 8 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk 5 hari kerja dalam seminggu.”
Pelanggaran ini juga telah dilegitimasi oleh Pengawas Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa memang benar Perusahaan tidak memberikan upah lembur yang jika dihitung setidaknya ada 4 jam diluar dari jam kerja pokok.
Bahwa Penetapan Pengawas Ketenagakerjaan tersebut ditetapkan oleh Pengawas Ketenagakerjaan Andi Sukri S.H, dan diketahui oleh Plt. Kepala UPT Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 Wilayah IV Bulukumba, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.
Hingga saat ini Perusahaan tetap bersikeras untuk tidak membayarkan hak-hak upah lembur yang belum dibayarkan oleh Perusahaan kepada Pelapor. Perusahaan tetap bersikeras tidak mau membayarkan keseluruhan upah lembur yang menjadi hak Pelapor.
“Dan teman-teman juga telah melakukan Rapat Dengar Pendapat bersama anggota DPRD Kab. Bantaeng, mempertanyakan terkait dengan tidak dibayarkannya upah sesuai standar minimum. Pada saat itu perusahaan berjanji membayarkan di bulan 4 akan tetapi sampai sekarang belum dibayarkan. Sehingga kami menempuh jalur hukum di kepolisian,” pungkas Mursalim.
Berdasarkan hal tersebut Perusahaan telah melanggar ketentuan berdasarkan pasal 187 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dalam telah diubah berdasarkan pasal 68 poin 24 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang Undang yang dinyatakan sebagai berikut:
“Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam…., Pasal 78 ayat (2) (terkait dengan kewajiban membayarkan upah lembur) …..dikenai sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau pidana denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.