Buruh Kawasan Industri Bantaeng Protes, Ribuan Korban Terancam di Miskinkan Akibat Pemutusan Hubungan Kerja

Bantaeng, 14 Juli 2024. Eskalasi korban Pemutusan Hubungan Kerja semakin masif, Buruh yang bekerja di PT. Huadi Nickel Alloy (HNA) telah di PHK secara bertahap. Mengacu pada catatan Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) Bantaeng  mencatat sebanyak 350 Buruh telah hilang pekerjaan. 

Informasi semakin menguat, PT. Huadi Nickel Alloy kabarnya akan melakukan PHK secara bertahap. SBIPE menghitung, ada ribuan Buruh akan dirumahkan. Hal ini direspon dengan aksi protes di depan PT. Huadi Nickel Alloy.

Istilah “dirumahkan” yang digunakan PT Huadi tidak memiliki definisi hukum dalam peraturan ketenagakerjaan. Ini adalah upaya sistematis perusahaan untuk menghindari kewajiban membayar upah, sekaligus membungkam hak-hak pekerja. SBIPE menilai tindakan ini merupakan bentuk manipulasi dan eksploitasi yang disengaja.

“Perusahaan berkelit merumahkan buruh dan adanya jaminan kepastian, jelas ini merupakan PHK massal dan ingin lepas dari tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak buruh,” tegas Junaid Judda, Ketua SBIPE Bantaeng.

Merumahkan buruh adalah tindakan tanpa dasar hukum yang sah. Perusahaan melakukannya secara sepihak, tanpa dialog dengan serikat buruh, dan tanpa kejelasan mengenai hak-hak pekerja selama masa dirumahkan.

Fakta Lapangan, Kondisi yang dialami oleh Buruh

Sejak Desember 2024 hingga April 2025, sebanyak 73 buruh di PHK sepihak oleh PT. Huadi Whu-Zhou Nickel Alloy Indonesia, tanpa proses bipartit yang sah atau kesepakatan bersama. PHK dilakukan secara massal, disertai dengan dalih efisiensi tanpa transparansi laporan keuangan.

Pada 1 Juli 2025, kembali terjadi tindakan yang sangat merugikan buruh, yakni perumahan 350 pekerja tanpa kejelasan status dan pembayaran hak, termasuk upah selama dirumahkan. Bahkan, PT Huadi Yatai Nickel Industry menyampaikan rencana akan merumahkan 600 lebih buruh lainnya, membuat kondisi ketenagakerjaan semakin memburuk.

“Temuan pengawas ketenagakerjaan menunjukkan pelanggaran serius, para  pekerja bekerja hingga 12 jam tanpa menerima hak atas upah lembur,” ujar Abdul Azis Dumpa, Direktur LBH Makassar.

Buruh juga mengalami intimidasi verbal dan tekanan psikologis saat menuntut hak, termasuk dalam bentuk pemutusan komunikasi sepihak oleh HRD dan manajemen perusahaan.

Di tengah semua pelanggaran itu, PT Huadi tetap akan melakukan ekspor nikel ke luar negeri. Sebesar total 11.000 MT feronikel dikirim melalui MV SATURN ke Tianjin, China akan mulai proses muat pada 13-14 Juli 2025.

“Belum lagi, lingkungan kerja yang buruk mengabaikan aspek kesehatan dan keselamatan kerja. Dan kembali dihadapkan pada ancaman  gelombang pemutusan hubungan kerja secara massal,” tambah Azis.

Aksi yang berlangsung tidak hanya di Kabupaten Bantaeng, Sulsel. Aksi ini juga berebak ke beberapa kota seperti Jakarta dan Makassar. Gerbong solidaritas bersama-sama mendorong tujuan aksi.

Pertama, mendesak PT. Huadi memenuhi seluruh kewajiban kepada buruh, termasuk membayar kekurangan upah, lembur, dan pesangon. Kedua, menuntut penghentian sementara aktivitas ekspor sebelum hak buruh dipenuhi. Mendorong instansi negara untuk bertindak tegas, Kemnaker, Disnaker Sulsel, DPRD, dan penegak hukum. Serta mengangkat isu ini ke tingkat nasional agar mendapat perhatian publik dan media.

KIBA hadir dengan iming-iming industri hilirisasi yang diklaim membawa kesejahteraan bagi pekerja dan masyarakat sekitar. Namun kenyataannya, ribuan pekerja KIBA selama bertahun-tahun mengalami kondisi kerja yang tidak manusiawi. Mereka berada dalam praktik  yang mengarah pada bentuk perbudakan modern akibat eksploitasi upah secara sistematis.

“Praktik ini harus segera diakhiri, kita menuntut perusahaan bertanggung jawab dan  negara segera hadir melindungi hak-hak pekerja, mengevaluasi dan memberikan sanksi ke perusahaan serta menghentikan eksploitasi pekerja,” pungkas Azis.

Seruan dan tuntutan SBIPE Bantaeng:

  1. PT Huadi Group telah melanggar prinsip-prinsip dasar perlindungan tenaga kerja sebagaimana diatur dalam:
  • Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
  • PP No. 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja (PHK);
  • PP No. 36 Tahun 2021 Tentang: Pengupahan;
  • Permenaker No. 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah;
  • UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

    2. Kementerian Ketenagakerjaan dan Disnaker Provinsi Sulsel wajib mengambil tindakan tegas, termasuk:
  • Pemeriksaan dan penyidikan terhadap praktik PHK dan dirumahkannya buruh;
  • Pemberian sanksi administratif, termasuk penghentian sementara kegiatan produksi;
  • Mendorong mediasi dan penyelesaian hak secara menyeluruh.

    3. Pemerintah Kabupaten Bantaeng dan DPRD tidak boleh bungkam. Mereka wajib:
  • Menyatakan sikap terbuka dan berpihak pada buruh;
  • Memfasilitasi perundingan dan memastikan hak-hak buruh dibayarkan sebelum aktivitas industri kembali beroperasi; 

    4. PT Huadi tidak boleh melakukan ekspor sebelum:

  • Seluruh kekurangan upah lembur, UMP, dan pesangon dibayarkan penuh;
  • Proses PHK dilakukan sesuai prosedur perundang-undangan;
  • Ada kejelasan tertulis dan kesepakatan mengenai nasib buruh yang dirumahkan. 

    5. Kami mendesak PPNS Ketenagakerjaan di bawah Disnaker dan Polres Bantaeng untuk:

  • Menyelidiki dugaan tindak pidana ketenagakerjaan;
  • Memberikan sanksi penghentian sementara izin produksi apabila ditemukan pelanggaran berat. 

    6. Di Jakarta, kami melakukan aksi di sekitar kantor PT Huadi Indonesia:

  • Menyampaikan langsung tuntutan dan mendorong transparansi atas relasi bisnis dan ekspor yang dijalankan;
  • Menuntut akuntabilitas terhadap manajemen pusat dan afiliasinya sebagai bagian dari jaringan global perdagangan nikel.

Bagikan

Rilis Pers Lainnya

Randi Rian 1
Dua Bersaudara, Buruh Harian Lepas Dituduh sebagai Dalang Kerusuhan 29 Agustus Mengajukan Gugatan Pra Peradilan
P1760357
Open Letter for Chinese Embassy in the Republic of Indonesia
Untitled-2
Terlapor Telah Mengakui Perbuatannya, Namun Polres Wajo Tetap Membiarkan Kasus Kekerasan Seksual hingga Berlarut-larut
Skip to content