Badan Pengurus Cabang GMKI Makassar gelar diskusi mengenai “Dampak Omnibus Law Cipta kerja” di gedung Aula SC GMKI Cabang Makassar pada 06 Maret 2020 yang dihadiri oleh Salman Azis (LBH Makassar) sebagai pemantik diskusi dan Anggota GMKI cabang Makassar sebagai peserta. GMKI Cabang Makassar menilai bahwa RUU tersebut juga mengancam posisi mahasiswa. Olehnya itu penting agar RUU ini menjadi pendiskusian bersama.
Sebelum Pemerintah menyerahkan draf ke DPR-RI, RUU Omnibus Law Cipta Kerja sudah menjadi diskursus di kalangan masyarakat, baik itu dari elemen Buruh, Petani, kaum perempuan, nelayan maupun kelompok intelektual mahasiswa.
Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja menuai kecaman dari berbagai kelompok karena melahirkan kebijakan yang akan menambah penderitaan masyarakat. pada klaster ketenaga kerjaan, substansi RUU Cipta Kerja benyak menghilangkan hak-hak buruh yang sebelumnya diatur dalam UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, seperti Pesangon dan hak cuti dan penerapan sistem kerja kontrak tidak terbatas yang semakin memudahkan PHK.
Beberapa hal mendasar tentang pengupahan juga mengalami perubahan di dalam RUU Ciptaker. Jika mengacu pada pasal 88 Undang-undang Ketenagakerjaan, terdapat beberapa kebijakan pengupahan yang tujuannya memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, seperti Upah minimum, upah kerja lembur, upah tidak masuk kerja karena berhalangan, upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan di luar pekerjaannya dan upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerja.
Pengaturan upah minimum (UMP/UMK) akan ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi ataupun Bupati/walikota.
Dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja hanya mengenal 2 jenis pengupahan, ialah upah minimum dan upah satuan perjam. Upah Minimum Provinsi dan Kabupaten/Kota yang diatur di UU Ketenagakerjaan kini dihilangkan dan digantikan dengan upah minimum provinsi, yang jumlah pada umumnya lebih rendah dibandingkan dengan UMK. Sedangkan penerapan upah satuan perjam memungkinkan buruh memperoleh upah dibawah standar upah minimum yang telah disesuaikan dengan pemenuhan kehidupan yang layak. Terlebih lagi, satuan upah perjam disusun oleh pihak perusahaan.
Kondisi tersebut sangat mengancam kehidupan para buruh dan akan semakin membuat mereka semakin miskin. Korporasi memiliki watak yang “bebal” dalam memenuhi kewajiban. Data dari Komnas HAM pada tahun 2018 menunjukkan Korporasi berada pada posisi Kedua setelah kepolisian sebagai Aktor pelanggar HAM.
Dalam hal posisi korporasi “diikat” dengan aturan hukum masih saja tidak memenuhi kewajiban dalam memenuhi hak-hak buruh, bagaimana jadinya ketika pengaturan yang ketat dihilangkan, akan membuat perusahaan semakin semena-mena.
Konsep Kampus Merdeka ala Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memproyeksikan Mahasiswa sebagai bibit-bibit pekerja. Kebijikan ini bertujuan untuk mengaitkan link and match dengan dunia usaha dan dunia industri, serta untuk mempersiapkan mahasiswa dalam dunia kerja sejak awal.
Ada 4 unsur mendasar yang dicanangkan Nadiem dalam merumuskan Kampus Merdeka, yaitu mempermudah Pembukaan Program Studi baru yang berorientasi pada industri, konsep Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH), mempermudah system akreditasi perguruan tinggi dan hak belajar 3 semester di luar program studi.
Jelas dan terang bahwa konsep kampus merdeka menjadi corong untuk memenuhi kebutuhan para investor yang akan masuk di Indonesia berdasarkan kebijakan ekonomi pemerintah. Konsep kampus merdeka memproyeksikan mahasiswa menjadi buruh. Sedangkan di sektor Perburuhan terdapat ancaman besar yang akan semakin mencekik posisi Buruh dengan adanya RUU Omnibus Law Ciptaker bak “sumur penunggu tumbal.”
Comments
No comment yet.