Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar gelar diskusi kampung dengan tema “Pendekatan Restoraratif Justice dalam Tindak Pidana Tertentu dan Anak Berhadapan dengan Hukum” di Kantor Kecamatan Biringkanayya, Makassar (14/2). Berbagai elemen masyarakat diundang dalam kegiatan ini. Mereka berasal dari perwakilan kecamatan Biringkanayya, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh masyarakat, tokoh perempuan, masyarakat sipil dan lurah yang berada di kecamatan Biringkanayya. Selain itu, yang memberikan pemaparan materi dalam diskusi ini adalah Abdul Azis Dumpa (Kadiv. Hak Sipol dan Keberagaman LBH Makassar) yang di moderatori oleh Nur Ansar (Staf LBH Makassar).
Kegiatan ini dibuka oleh MC kemudian dilanjutkan dengan pemberian pengantar diskusi oleh moderator terkait dengan tema pembahasan. Ia menjelaskan sedikit tentang apa itu Restorative Justice. “secara istilah, restorative justice ini berasal dari bahasa asing. Saya bisa memberikan gambaran sedikit. Restorasi artinya adalah pemulihan, sedangkan justice itu adalah keadilan. Sistem peradilan yang kemudian kita kenal atau yang kita jalankan hari ini adalah peradilan konvensional yang sangat minim melibatkan partisipasi korban atau pelaku. Pendakatan RJ adalah pendekatan yang melibatkan korban dan pelaku. Contoh misalnya ketika ada tindak pidana pencurian. Korban dan pelaku sudah berdamai. Akan tetapi, sistem peradilan konvensional perkara tadi dianggap perbuatan melawan hukum. Jadi, walaupun mereka sudah berdamai, mereka tetap harus menjalani proses peradilan. Misalnya harus diperiksa, harus diadili di depan pengadilan. Nah, apa yang kemudian menjadi dampak dari sistem konvesional tadi? Berdasarkan data, saat ini lapas dan rutan mengalami over kapasitas. Tahun 2018 itu over kapasitas lapass di Indonesia hampir mencapai 200%, tepatnya adalah 189% over kapasitas. Di Sulsel 25% over kapasiatas terjadi di lapas. Nah, apa yang menjadi akibat ketika terjadi over kapasitas? Sangat rentan akan terjadi pelanggaran HAM yang terjadi di dalam lapas tersebut dan rutan” moderator menjelaskan.
Seperti halnya penjelasan dari moderator, Konsep Restorative Justice (RJ) ini berangkat dari masalah kelebihan kapasitas (Overcrowding) di Rumah Tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Kelebihan kapasitas ini memberikan dampak negatif terhadap penghuni lapas dan rutan yaitu berupa tidak optimalnya penganan terhadap penghuni rutan dan lapas yang seharusnya mereka mendapatkan bimbingan perindividu agar mereka dapat “dimanusiakan”, namun karena over kapasitas, penanganan mereka, atau Rutan dan Lapas yang sejatinya harus mesyarakatkan penghuninya, menjadi tidak optimal. Sehingga menimbulkan dampak negatif, salah satunya adalah potensi para penghuni untuk mengulang tindak pidana yang mereka lakukan. Selain itu, juga berpotensi terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap penghuni lapas dan rutan. Seperti tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan para penghuni lapas berupa makanan, pegobatan dan lain-lain, dikarenakan jumlah penghuni yang di luar kapasitas tidak sebanding dengan jumlah anggaran pemenuhan kebutuhan para tahanan.
Faktor yang menyebabkan terjadinya Overcrowding tidak terlepas dari sistem Hukum konvensional yang disandarkan pada tegaknya proses formil pidana (criminal justice system) tanpa melihat kenyataan di masyarakat, tanpa melihat kepentingan masyarakat, dan tanpa melihat kemaslahatannya di masyarakat. Di tangan penegak hukum, sistem formil pidana justru cenderung menjadi alat represi, tanpa memperhatikan kepentingan korban dan pelaku. Hingga saat ini masih terlihat jelas besarnya keinginan Negara dalam menggunakan pidana penjara dalam menanggulangi kejahatan, meskipun tidak selalu menimbulkan dampak yang baik dan tepat.
Pendekatan RJ mendorong agar terselesaikannya permasalahan pidana yang memperhatikan kondisi dan kebutuhan korban, komunitas/masyarakat dan juga pelaku. Kita melihat dalam sistem pidana yang ada di Indonesia pada umumnya, tidak memberikan pemulihan terhadap korban dan komunitas/masyarakat yang punya interaksi dengan pelaku. Misalkan dalam suatu kasus pencurian, korban kehilangan barang dan juga korban dan masyarakat merasa takut atas kejahatan yang dilakukan pelaku. Kalau merujuk ke sistem hukum konvensional, tidak ada pemulihan yang diberikan terhadap korban dan masyarakat. Azis Dumpa mengatakan “Jadi korban dulu yang diliat apa kondisinya, apa kebutuhannya, bagaimana resikonya dan lain-lain. Kemudian prioritas kedua dari peradilan adalah merestorasi masyarakat. Jadi memulihkan kondisi masyrakat. Kan tadi ada kejahatan, kita menjadi takut, maka kita harus pastikan ketika terjadi kejahatan kondisiini kembali lagi aman. Kemudian pelaku akan pelaku akan mengembangkan kemampuan dan pemahaman sebagai hasil dari restorative justice”. Lanjut, ia mengatakan “korban dan masyarakat adalah titik sentral dalam proses peradilan. Jadi kalau kita pakai Restirative Justice, yang menjadi sentral adalah masyrakat dengan korban. Karena yang terdampak siapa? Ya korban dan masyrakatnya, maka dia menjadi pokok. Dia harus diperhatikan betul. Kalau ada yang mengatakan RJ ini tidak mendekatkan msyarakat, itu bukan restorative justice”.
Oleh karena beberapa permasalahan di atas, Kegiatan/Program ini dilaksanakan bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan kesadaran kepada masyarakat terkait dampak yang ditimbulkan dari Penahanan kepada Tersangka dan hukuman pemenjaraan terhadap terpidana serta pentingnya penyelesaian kasus tindak pidana tertentu dengan pendekatan restorative justice sebagai upaya mengatasi masalah dan dampak overcrowding di Rutan dan Lapas.
Comments
No comment yet.