Makassar, 07 Agustus 2025. Puluhan Warga Kecamatan Tamalanrea yang terdiri dari warga Tamalalang dan Mula Baru, serta warga perumahan Akasia dan Alamanda yang tergabung dalam GERAM PLTSa (Gerakan Rakyat Menolak Lokasi Pembangunan PLTSa) melakukan aksi protes di gedung DPRD Kota Makassar (6/8). Mereka menuntut pemerintah untuk menghentikan pembangunan Proyek Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang rencananya akan dibangun ditengah pemukiman padat penduduk.
“Perlu diketahui bahwa kami dari warga Mula Baru, sudah sekitar 30 tahunan kami tinggal di dalam, tapi yang perlu diketahui bahwa pemukiman kami terbentuk sebagai dampak dari penggusuran proyek pelebaran tol saat itu,” cetus Jamaluddin, warga Mula Baru.
Perlu diketahui, bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) merupakan salah satu PSN (Proyek Strategi Nasional) berupa Pengelolaan Sampah menjadi energi listrik, yang dijelaskan dalam Perpres No. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Sejak awal, proyek pembangunan PLTSa ini tidak pernah melibatkan warga yang berada di wilayah Kecamatan Tamalanrea, sebagai warga yang akan terdampak dengan PLTSa ini.
“Kami sudah menjadi korban dan dipinggirkan selama ini, lalu hari ini pemerintah ingin kami menanggung dampak dari industri PLTSa selama bertahun-tahun kedepan. Sampai sejauh mana kami harus di korbankan lagi?” Tanya Jamaluddin.
Informasi yang diperoleh dari RDP hari ini bahwa Camat Tamalanrea, telah mengetahui akan ada pembangunan PLTSa disekitar pemukiman warga, sejak tahun 2024. Namun, Camat tidak pernah menginformasikan hal tersebut kepada warga sekitar. Sedangkan, warga baru mengetahui hal itu ketika terdapat sepanduk yang menerangkan wilayah tersebut merupakan PSN PLTSa tepatnya pada Mei 2025.
“Dari RDP ini kita tahu bahwa sejak awal, pemerintah kota Makassar, mulai dari tingkatan Walikota Makassar, DPRD Kota Makassar, hingga ke kecamatan dan kelurahan tidak terbuka dan tidak partisipatif dalam proses perencanaan proyek pembangunan. Sama seperti nasib warga korban proyek strategis nasional lain, informasi pembangunan diketahui ketika, perusahaan sudah memulai aktivitasnya,” tegas Mirayati Amin.
Selain itu, pihak Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Makassar, membeberkan fakta bahwa dalam proses pembahasan awal pembangunan proyek ini, mereka tidak dilibatkan. Sehingga, tidak mengetahui dengan jelas terkait penentuan lokasi. Sementara, menurut Tim Ahli yang hadir, menjelaskan bahwa penentuan lokasi harus didasarkan pada tiga kriteria.
Pertama, berada dekat dengan sumber air, sebab pada pengoperasiannya PLTSa membutuhkan banyak air. Kedua, karena akan menghasilkan tegangan listrik yang tinggi, maka PLTSa harus dekat dengan gardu listrik. Ketiga, pembangunan PLTSa harus berada dalam kawasan industri. Kriteria ini ditentukan oleh Tim Ahli dan Panitia Pemilih berdasarkan SK Walikota Makassar Nomor 1 Tahun 2021. Namun, dari hasil RDP diketahui, penentuan lokasi pembangunan merupakan inisiatif pemenang tender, yaitu PT. Sarana Utama Energy (SUS).
“Kami tidak menolak PLTSa, tapi jangan membangun PLTSa di dekat permukiman yang mana akan membahayakan kami dan anak cucu kami, karena dari informasi terakhir yang kami terima dari pihak perusahaan, PLTSa ini akan membangun cerobong asap lebih dari 30 meter, untuk mengeluarkan asap sisa pembakaran sampah,” ujar Dadang, selaku perwakilan warga Alamanda.
Secara ideal, pengelolaan sampah masih menjadi masalah serius di Kota Makassar. Mulai dari proses pengangkutan, hingga ke pembuangan akhir sampah di Tamangapa, Antang. Tidak adanya sistem pemisahan sampah, membuat sampah menumpuk dan bercampur tak dikelola.
Sehingga, pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah ini sepatutnya bisa menjadi alternatif penyelesaian masalah sampah di Makassar. Namun, penting memperhatikan beberapa hal. Misal, soal lokasi pembangunan, sumber air, penampungan limbah hasil pengelolaan, mitigasi pencemaran air tanah, termasuk teknologi yang digunakan.
“Menurut kami hal ini tidak sejalan dengan perintah Pasal 11 ayat (1) UU No 18 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah, yang menegaskan, “setiap orang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, penyelenggaraan dan Pengawasan. Memperoleh Informasi yang benar dan akurat,” tambah Mira.
Sebelum menutup rapat dengar pendapat, Komisi C DPRD Kota Makassar menyatakan sikap mendukung warga dan berjanji akan mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi saat ini.
Namun sayangnya pimpinan sidang tidak bersedia menandatangani Berita Acara RDP yang sebelumnya telah disiapkan, sebagai pegangan warga untuk menghentikan sementara aktivitas PT. SUS. Kedepannya, di lapangan warga akan berhadapan langsung dengan PT. SUS tanpa jaminan perlindungan dari Pemerintah.
“Asapnya sendiri akan meluas dengan radius hingga 1 Km dari cerobong, dengan masa aktivitas selama 30 tahun. Lantas bagaimana dengan kami yang tinggal berbatas langsung dengan PLTSa ini? Itu kemudian yang menjadi keresahan kami,” tutup Dadang, selaku perwakilan warga Alamanda.