Categories
Berita Media SIPOL

LBH Desak Polisi Usut Kasus Bunuh Diri Napi di Lapas Makassar

TRIBUN-‎TIMUR.COM, MAKASSAR— Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar meminta Kepolisian mengusut kasus meninggalnya seorang tahanan di ‎Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Makassar, Rabu (27/1/2016) pagi.

“Pihak kepolisian harus lebih pro aktif menyikapi kematian tahanan dalam lapas. Kenapa sehingga tahanan ini bisa meninggal dunia‎, apakah benar gantung diri atau gimana,” kata Wakil Direktur LBH Makassar, Zulkifli.

Jika benar tahanan meninggal karena gantung diri, Zulkifli menduga disebabkan oleh kelalaian petugas Lapas dalam mengawasi dan mengontrol kondisi tahanan.

“Pihak Lapas bertanggung jawab atas insiden ini,” ujarnya.

Diberitakan sebelumnya, seorang Narapidana ditemukan tewas gantung diri di Lapas Kelas I Makassar, Rabu (27/1/2016). Ia diduga bunuh diri karena stres.

Menurut keterangan dari Kepala Lapas Kelas I Makassar, Tholib bahwa tahanan atas nama Rahmat (27) sempat curhat ke teman selnya. (*)

Penulis : Hasan Basri
Editor : Suryana Anas
Sumber : makassar.tribunnews.com

Categories
SIPOL slide

2015, LBH Mencatat 19 Kekerasan HAM Anggota Polri di Sulsel

pojoksulsel-kekerasan-polisi-lbh-1-730x350

POJOKSULSEL.com, MAKASSAR – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mencatat sebanyak 22 kasus kasus kekerasan yang dilakukan aparat hukum di Sulawesi Selatan (Sulsel) sepanjang tahun 2015. Institusi Polri disebut mendominasi dengan 19 tindakan kekerasan, 11 secara fisik dan 7 non-fisik dan satu turut terlibat dalam kekerasan atas nama agama.

“Ini menunjukkan stagnasi reformasi Polri. Aksi kekerasan dan pelanggaran oleh anggota kepolisian masih marak terjadi karena tidak adanya transparansi dan sikap imparsial dalam penanganan kasus,” kata Direktur LBH Makassar Abdul Azis saat konfrensi pers laporan akhir tahun di Mr. Coffee di Jalan Boulevard Makassar, Senin (28/12/2015).

Sementara itu, TNI melakukan 6 tindakan kekerasan fisik, 2 tindakan kekerasan non fisik dan 1 kekerasan atas nama agama.

“Total dua institusi ini (TNI-Polri) masih mendominasi bahkan terdapat 10 kasus penyiksaan yang terjadi dimana 8 dilakukan oleh polisi dan 2 oleh TNI. Penyiksaan itu untuk mendapatkan pengakuan dan informasi secara paksa,” kata Azis.

Olehnya itu, LBH Makassar merekomendasikan adanya audit kinerja Polri-TNI dan kasus yang melibatkan aparat penegak hukum agar diberi sanksi tegas.

(sahrul alim)

sumber : sulsel.pojoksatu.id

Categories
SIPOL

Mahasiswa Korban Kekerasan Polisi Divonis Bersalah

IMG_20150416_203358Makassar – Setelah menjalani proses hukum di kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan, dan ditahan selama kurang lebih 5 bulan lamanya, mahasiswa korban kriminalisasi dan kekerasan aparat Kepolisian di Univesitas Negeri Makassar (UNM) akhirnya divonis oleh hakim Pengadilan Negeri Makassar. Ketua Majelis hakim yang membacakan putusan, menetapkan Putusan Pemidanaan (veroordeling) terhadap terdakwa Nasrullah dan Wahyu Khaeruddin karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan  melakukan Tindak Pidana secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap barang atau orang sebagaimana Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHPidana. Kedua terdakwa divonis 6 bulan penjara dikurangi selama masa penahanan. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntutnya selama 7 bulan penjara.

Meski vonis yang diterima oleh kedua terdakwa tergolong ringan, namun putusan ini jauh dari rasa keadilan. Sebab, Nasrullah dan Wahyu dan beberapa mahasiswa yang diadili dalam perkara yang lain, adalah korban kriminalisasi oleh Kepolisian. Penasehat hukum terdakwa dalam pembelaannya, menjelaskan dengan rinci kronologi peristiwa serta tindakan penangkapan sewenang-wenang pada saat peristiwa yang menyeret para terdakwa ke meja hijau tersebut.

Dalam peristiwa itu, 46 orang ditangkap secara sewenang-wenang dari dalam kampus UNM, dan mengalami penyiksaan dan kekerasan. Saat kedua terdakwa diperiksa di Polrestabes Makassar, mereka dipaksa mengaku melakukan pelemparan ke arah aparat dan ikut dalam demo yang berakhir dengan brutalitas aparat kepolisian di dalam kampus UNM.

Saat proses pemeriksaan saksi, beberapa Saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) memberikan keterangan yang tdak jelas terkait dengan tindak pidana yang didakwakan, bahkan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan oleh JPU berbelit-belit dan bertentangan satu sama lain.

Andi Ilman selaku saksi korban menjelaskan bahwa tempat (locus) peristiwa tersebut terjadi di depan kantor DPRD Kota Makassar. Sekitar 100 massa mahasiswa melakukan pelemparan batu ke arah polisi dari jarak 20 hingga 30 meter, sehingga dirinya terkena lemparan batu di bagian dahi dan kakinya. Keterangan tersebut dibantah oleh kedua terdakwa terkait tempat penangkapan yang dilakukan terhadap keduanya yang berada di tempat yang sama, yaitu di dalam ruang kelas dan tidak tahu menahu terjadinya bentrokan di depan kantor DPRD Kota Makassar yang diuraikan saksi.

Sedangkan dua orang saksi lainnya yang dihadirkan oleh JPU yang juga anggota Polisi justru menjelaskan locus peristiwa yang berbeda, yaitu bukan di depan kantor DPRD Kota Makassar melainkan di depan kampus UNM. Dan hanya menjelaskan ciri-ciri fisik pelaku pelemparan yang diarahkan kepada Terdakwa Wahyu, sedangkan terdakwa Nasrullah tak ada yang melihat dan memastikan keberadaannya saat peristiwa di depan kampus UNM tersebut.

Meski fakta penangkapan sewenang-wenang dan peristiwa pelanggran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh aparat kepolisian terekam dengan jelas bahkan menjadi headline di media lokal dan nasional saat itu, tak membuat Hakim memutus terdakwa bebas dari tuntutan pidana. Dalam perkara yang diadili terpisah Ahmad Faris Al Amri yang didakwa sebagai pembusur Wakapolrestabes Makassar divonis 18 Bulan penjara. Rusmadi mahasiswa Unismuh Makassar yang kebetulan berada di kampus UNM saat itu dan tak ikut dalam aksi demontrasi, sehari sebelumnya juga divonis bersalah oleh hakim yang mengadili dengan pidana penjara selama 5  Bulan 7 hari atas kepemilikan satu buah mata busur yang baru diambil dari dalam tas miliknya. Padahal fakta persidangan berdasarkan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan mejelaskan bahwa tas miliknya itu tidak dalam penguasaannya saat terjadi penangkapan dan penyerangan brutal aparat kepolisian. Dia baru diperlihatkan tas tersebut saat berada di Polrestabes Makassar.

Suasana di Pengadilan pun sempat ricuh, massa mahasiswa dari Solidaritas Mahasiswa Makassar yang terus mengawal proses persidangan, dan turut hadir mendengarkan putusan, tidak menerima putusan hakim yang dianggap tak memenuhi rasa keadilan itu. Mereka menganggap putusan bersalah kepada para mahasiswa yang mengalami serangkaian kekerasan dan tindakan sewenang-wenang Aparat Kepolisian itu adalah bukti nyata kembalinya kekuasaan otoriter khas orde baru dan merupakan pengkhianatan terhadap demokrasi.

Sementara di sisi lain, tindakan brutal aparat kepolisian terhadap mahasiswa, termasuk kekerasan dan penghalang-halangan peliputan oleh anggota Polisi terhadap kurang lebih sembilan orang jurnalis di kampus UNM saat itu, tak pernah diusut secara tuntas. Para anggota polisi brutal yang melakukan kekerasan pada peristiwa itu bebas beraktivitas tanpa proses hukum.

Atas vonis hakim tersebut tim penasehat hukum terdakwa dari LBH Makassar masih mempertimbangkan opsi melakukan upaya hukum (banding) sebagai perlawanan atas putusan hakim yang dinilai tidak memenuhi rasa keadilan dan menciderai demokrasi itu. [Abdul Azis Dumpa]

Categories
SIPOL

BEM Sastra UNHAS Menangkan Sengketa Informasi Publik Melawan Dekan

kasus-sengketa-informasi-di-jabar-cukup-tinggiKisah ini berawal dari bagaimana Keluarga Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (Unhas) merasa terpukul melihat keadaan dan kondisi di Fakultas Sastra yang sangat jauh dari sejahtera, yah sejahtera dalam hal akademik, infrastruktur, dan juga fasilitas fasilitas penunjang lainnya. Lembaga Kemahasiswaan dalam hal ini KMFS-UH, telah menempuh beberapa cara untuk mengkomunikasikan bagaimana kondisi fakultas sastra yang sangat menyedihkan tersebut yakni  dengan negosiasi lansung kepada dekan fakultas sastra dan juga dengan mengadakan aksi massa.

Bukannya memperbaiki kondisi fakultas sastra dengan adanya berbagai kritikan dari semua civitas akademik, dekan fakultas sastra malah mengacuhkan dan cenderung mengabaikan kondisi tersebut. Atas pengabaian tersebut, maka kami dari lembaga kemahasiswaan KMFS-UH yang diwakili oleh BEM KMFS-UH mengadvokasi masalah tersebut dengan jalan meminta informasi secara tertulis mengenai Rincian Anggaran Belanja Fakultas Sastra Unhas tahun 2013 melalui surat dengan Nomor 004/B/BEM/KMFS-UNHAS/I/2014, Tertanggal 22 januari 2014.

Setelah BEM KMFS-UH menyurat, pihak dekan lagi-lagi tidak melihat baik bagaimana keinginan kawan-kawan dari lembaga kemahasiswaan KMFS-UH dalam menegakkan kampus yang menganut asas transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatannya. Tidak adanya respon yang baik dari pihak dekanat, maka kami mengajukan keberatan melalui surat nomor 014/B/BEM/KMFS-UNHAS/III/2014 tertanggal 11 maret 2014 yang ditujukan kepada rektor Unhas selaku atasan dari dekan fakultas sastra.

Dua minggu setelah surat keberatan kami ajukan ke rektor dan tidak ada sama sekali tanggapan atas keberatan pemohon hingga pada tanggal 23 April 2014, lembaga kemahasiswaan KMFS-UH mengajukan permasalahan ini ke Komisi Informasi Publik (KIP) provinsi Sulawesi Selatan dengan nomor register kasus 006/IV/KIP/PSI/2014 dengan tuntutan bahwa “Komisi Informasi Publik provinsi Sulawesi Selatan untuk menyatakan termohon dalam hal ini dekan fakultas sastra Unhas telah salah karena tidak memenuhi permohonan informasi dan memerintahkan termohon untuk memenuhi permohonan informasi sebagaimana yang dimohonkan”.

Dalam proses persidangan di Komisi Informasi Publik, Ada dua macam bentuk persidangan yakni sidang MEDIASI dan sidang AJUDIKASI. Tahap pertama merupakan sidang mediasi, namun dalam sidang ini tidak menghasilkan apa-apa, sebab pihak dekan fakultas sastra tidak hadir, sehingga kasus sengketa informasi ini dilanjutkan ke tahap sidang adjudikasi. Dalam sidang adjudikasi ini pemohon dalam hal ini  BEM KMFS-UH yang diwakili oleh Arifuddin S selaku Ketua BEM KMFS UNHAS dan termohon yang diwakili oleh Dr. Andi Muhammad Akhmar, M.Hum selaku Wakil Dekan III fakultas sastra Universitas Hasanuddin; bertindak untuk dan atas nama dekan fakultas sastra Universitas Hasanuddin.

Sidang Ajudikasi di KIP diadakan sebanyak dua kali dengan agenda pertama, tanggal 23 Mei 2014, yakni pemaparan alasan dan tujuan pemohon serta termohon terhadap sengketa informasi ini dan yang kedua, tanggal 5 juni 2014, yakni pembuktian alasan dan tujuan pemohon dan termohon terhadap sengketa informasi ini. Setelah melakukan dua kali sidang ajudikasi, maka kami dari BEM KMFS -UH tinggal menunggu hasil Dikabulkan atau Ditolak

Enam bulan Pasca sidang ajudikasi terakhir di KIP, tepatnya pada tanggal 15 Januari 2015, kami menghadiri Sidang pembacaan Keputusan, dimana hasil sidang keputusan tersebut menyatakan bahwa :

  1. Mengabulkan permohonan pemohon;
  2. Menyatakan bahwa rincian anggaran belanja fakultas sastra Unhas tahun 2013 adalah informasi terbuka;
  3. Memerintahkan kepada termohon untuk memfasilitasi pelaksanaan putusan di atas.

Setelah mendengar hasil keputusan tersebut, BEM KMFS-UH harus menunggu hasil  revisi dari KIP. Kemudian, pada tanggal 9 Maret 2015 akhirnya rekomendasi amar putusan dari KIP kami terima dan pihak termohon dalam hal ini dekan fakultas sastra wajib menjalankan putusan tersebut selambat-lambatnya 14 hari kerja sejak keluarnya rekomendasi putusan KIP.

Tepat empat belas hari kerja setelah keluarnya rekomendasi amar putusan dari KIP atau tertanggal 26  maret 2015 pihak dekan menjalankan keputusan dari KIP dengan memberikan ruang kepada pihak mahasiswa untuk mengakses hal tersebut, namun pihak Dekan Fakultas Sastra tidak menjalankan sepenuhnya apa yang mejadi rekomendasi dari Keputusan KIP.

Pertemuan tersebut berlangsung pada pukul 10:30 WITA. Bertempat di Lt.4 Rektorat Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin. Dekan fakultas sastra memberikan akses yang terbatas kepada BEM KMFS-UH. Pihak Dekan hanya memperbolehkan 5 orang anggota perwakilan BEM KMFS-UH untuk menyaksikan dan membaca Rincian Anggaran Belanja Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin tahun 2013. Padahal, dalam putusan KIP disebutkan bahwa rincian anggaran belanja fakultas sastra Universitas Hasanuddin tahun 2013 adalah informasi terbuka. Pertemuan ini dihadiri oleh jajaran pejabat dekan fakultas sastra, diantaranya: Dekan, Wakil Dekan II, Wakil Dekan III, Bendahara Fakultas, Ketua Komdis, Kepala Biro KTU, dan dua orang dari Badan Pemeriksa Keuangan.

Saat pertemuan dimulai, pihak dekan fakultas sastra menjelaskan bahwa rincian anggaran belanja fakultas sastra Universitas Hasanuddin tidak dapat diperbanyak maupun di foto dengan menggunakan kamera handphone dengan alasan informasi tersebut bersifat tertutup. Juga dengan alasan bahwa hal tersebut tercantum dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara. Selain itu, pihak Dekan Fakultas Sastra mengklaim bahwa mereka tidak berhak memberikan keterangan atas hal-hal yang ingin ditanyakan oleh pemohon. Selain itu, pihak Dekan Fakultas Sastra juga tidak memperbolehkan pers untuk masuk dan menyaksikan hal tersebut. Atas dasar itulah, pihak pemohon (BEM KMFS-UH) menolak untuk menandatangani berita acara yang isi perihalnya “Membacakan dan Menyaksikan Laporan Rincian Anggaran Belanja Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin Tahun 2013”

Untuk itu, Dekan fakultas Sastra Unhas telah melanggar Pasal 52 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2008, mengatakan bahwa Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidakmemberikan, dan/ atau tidak menerbitkan Informasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang wajib diumumkan secara serta-merta,Informasi Publik yang wajib tersediasetiap saat , dan/ atau Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan Undang-Undang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi Orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama 1(satu) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000,00( lima juta rupiah)”.[Pengurus BEM Sastra Unhas]

Categories
SIPOL

Ancaman Terhadap Kebebasan Berorganisasi & Berpendapat Di Kampus

images21Kampus seharusnya menjadi ruang-ruang merdeka bagi mahasiswa untuk membangun dan menyalurkan gagasan, serta tempat mendidik anak bangsa untuk menjadi manusia yang peka terhadap keadaan. sehingga, mereka nantinya akan menjadi generasi bangsa yang mampu merumuskan sendiri keadaan dan merubah bangsa ini ke arah yang lebih baik. Bukannya menjadi manusia robot yang sepenuhnya dikendalikan oleh remot kapital. Namun, untuk membangun dan menyalurkan gagasan, mahasiswa memerlukan alat organisasi untuk mengorganisir diri serta menjadi wadah penyatuan intelektual dan menjadi tempat berdialektika dalam proses perjalanan intelektual mereka. Segalanya Berawal dari organisasi untuk menciptakan tatanan sosial yang lebih manusiawi. Sehingga, ruang – ruang berorganisasi sudah semestinya mendapat porsi besar untuk mewujudkan sistem pendidikan yang tidak berjarak dengan ketimpangan sosial.

Belakangan ini, kampus tidak lagi mencerminkan sebagai institusi pendidikan yang murni untuk membuat manusia menjadi manusia. Bahkan, Kampus telah berubah ibarat pasar tempat bersarangnya investasi dan akumulasi modal. Sehingga, semua aturan – aturan kampus diciptakan dengan orentasi bisnis. Pola pengelolaan kampus berbasis investasi hampir terjadi pada semua kampus di Sulawesi selatan baik Perguruan Tinggi Negeri apalagi Swasta.

Salah satu kampus yang mengalami keadaan seperti ini adalah Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Mega Rezky Makassar. kita ketahui belakangan ini Perguruan Tinggi kesehatan menjadi favorit para orangtua untuk menyekolahkan anak – anak mereka, berhubung tuntutan Negara akan ketersediaan lapangan kerja tenaga medis semakin meningkat. tidak heran jika banyak mahasiswa yang berbondong – bondong kuliah di perguruan tinggi bidang kesehatan. Hal ini tidak terlepas pula dari kebutuhan masyarakat akan pentingnya kesehatan. Olehnya itu, seharusnya kampus juga ikut serius untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bukannya memanfaatkan situasi untuk dijadikan ladang usaha yang notabene menghisap sendiri mahasiswanya.

Algazali adalah ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Stikes Mega Rezky yang menaungi beberapa organisasi Himpunan pada setiap jurusan. Berawal dari kebijakan Birokrasi kampus yang menetapkan anggaran kegiatan Praktek Kerja Masuk Desa (PKMD). Penetapan anggaran tersebut dianggap terlalu mahal dan tidak sesuai dengan peruntukannya, sehingga menyulitkan mahasiswa. Maka, untuk menjawab keluhan mahasiswa, Algazali beserta pimpinan organisasi Himpunan lainnya meminta transparansi pihak kampus terkait penetapan anggaran tersebut. Akan tetapi, pihak kampus menolak untuk transparan.

Algazali cs kemudian melakukan advokasi anggaran dengan menelusuri setiap pos peruntukan biaya praktek baik di kampus maupun di lokasi praktek yaitu di kec. Bontomarannu, kab. Gowa. Dari hasil advokasi, ditemukan beberapa kejanggalan peruntukan anggaran yang tidak sesuai dengan pembayaran yang dibebankan kepada mahasiswa. Kemudian, Algazali cs kembali menghadap kepada pimpinan kampus untuk mempertanyakan masalah tersebut. Namun, pihak kampus tetap bersikukuh menolak transparan. Justru Algazai cs ditawari uang, dengan catatan tidak lagi mempersoalkan masalah transparansi anggaran praktek. Tawaran itu ditolak, kemudian mereka melakukan aksi boikot mahasiswa untuk tidak turun praktek sampai pihak kampus menerima tuntutan mahasiswa yaitu transparansi anggaran.

Aksi tersebut membuat geram para pimpinan kampus, dan mengancam mahasiswa yang terlibat untuk di Skorsing bahkan di Drop out. Sedangakan, lembaga mahasiswa yang terlibat akan dibekukan. Setelah melakukan aksi, pihak kampus tetap tidak menerima tuntutan mahasiswa, justru ditanggapi dengan keluarnya Surat Keputusan Skorsing ditujukan kepada Algazali yang saat itu sedang menjabat sebagai ketua Badan Eksekutif Mahasiswa. Keluarnya SK Skorsing dengan tujuan melumpuhkan gerakan protes mahasiswa yang dikhawatirkan akan terus berlanjut dan membesar, serta memberikan tekanan akademik kepada mahasiswa lainnya untuk tidak mengganggu stabilitas akumulasi modal di kampus.

Konflik antara birokrasi kampus dengan lembaga kemahasiswaan kemudian berlanjut pada Forum Musyawarah Besar (Mubes) Badan Eksekutif Mahasiswa Stikes Mega Rezky Makassar, pada proses pemilihan ketua BEM. pihak kampus kemudian melakukan intervensi langsung terhadap lambaga kemahasiswaan. Pada saat pemilihan ketua BEM, pihak kampus kemudian mencukongi mahasiswa untuk maju sebagai calon ketua BEM dengan maksud untuk memotong regenerasi mahasiswa yang selalu tidak sejalan dengan kepentingan pimpinan kampus. Pada proses pemilihan, pihak kampus melakukan intervensi langsung dengan melakukan manipulasi aturan main Mubes untuk memaksakan terpilihnya calon yang mereka cukongi. Sehingga, hasil dari pemilihan tersebut menjadiDeadlok. Beberapa organisasi jurusan sebagai pemegang hak suara tidak menerima hasil Pemilihan, kemudian menggelar pemilihan ulang. Akhirnya, terjadi dualisme lambaga kemahasiswaan dengan masing – masing versi birokrasi kampus dan versi mahasiswa.

Algazali beserta pimpinan organsaisi jurusan kembali memprotes keras sikap kesewenang – wenangan birokasi kampus. Menanggapi protes mahasiswa, pimpinan kampus yang secara sepihak langsung mengeluarkan Surat Keputasan Drop out ditujukan kepada Algazali dan SK Skorsing kepada Saputro yang saat itu sedang menjabat sebagai ketua Himpunan Analis, dan disusul dengan pembekuan 5 (lima) organisasi jurusan.

Kasus yang dialami oleh Algazali cs bukanlah kali pertama terjadi, sebelumnya pernah terjadi beberapa kasus pembungkaman ruang – ruang kebebasan organisasi dan pendapat mahasiswa seperti ; mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra UNM, fakultas Ilmu Budaya Unhas, Lembaga Kemahasiswaan UIN alauddin, serta masih banyak lagi masalah Lembaga Mahasiswa di Perguruan Tinggi yang belum teridentifikasi. Modus pembungkaman organsiasi mahasiswa dikemas sedemikian rupa seolah kesalahan dilimpahkan sepenuhnya pada organsiasi mahasiswa yang melanggar aturan main/Statuta kampus, adapula yang dituduh sebagai mahasiswa yang tidak lagi memenuhi aturan akademik.

Yang jadi persoalan kemudian adalah, selama ini kampus tidak pernah demokratis dalam membuat aturan. Bahkan, mahasiswa tidak diberikan ruang untuk mengakses aturan tersebut. Sehingga, kesannya aturan tersebut cenderung diada – adakan yang dulunya tidak pernah ada. Semestinya, dalam perumusan aturan menyangkut kemahasiswaan, organisasi mahasiswa turut dilibatkan agar tidak terjadi ketimpangan dalam penerapannya. Ataukah, minimal aturan – aturan tersebut segera disosialisakan dan mestinya disediakan prosedur komplain bagi organisasi mahasiswa yang merasa dirugikan. Sehingga, kampus akan kembali pada khittahnya yaitu sebagai ruang untuk memanusiakan manusia dan sebagai titik awal ruang berdemokrasi.

Persoalan ini merupakan salah satu faktor penyebab menurunnya aktivitas mahasiswa dalam ruang – ruang sosial untuk mengadvokasi masyarakat miskin dan marginal. Mungkin persoalan ini merupakan strategi Rezim untuk melumpuhkan Gerakan Mahasiswa dengan sengaja disibukkan dengan urusan dalam rumahnya sendiri. Atau memang kampus hari ini tidak lagi menjadi sarana pendidikan melainakan berubah menjadi ruang kapitaliasasi yang menghisap mahasiswanya sendiri. [Edy Kurniawan]

Categories
SIPOL

Mahasiswa Korban Kriminalisasi Bacakan Pernyataan Sikap di Depan Persidangan

IMG_20150410_144200MAKASSAR – Sidang agenda pembacaan Nota Pembelaan (Pledoi) Terdakwa Wahyu Khaeruddin dan Nasrullah dihadiri oleh puluhan Mahasiswa dari berbagai kampus di Makassar yang tergabung dalam Gerakan Solidaritas Mahasiswa Makassar (GSMM), 7 April 2015 lalu. Mereka  sengaja hadir memberikan dukungan pada mahasiswa korban kriminalisasi saat aksi demonstrasi menolak penaikan BBM yang berakhir dengan brutalitas aparat kepolisian di kampus Universitas Negeri Makassar (UNM) 13 November 2014 Silam.

Sebelum sidang dimulai massa GSMM berkumpul di depan gedung PN Makassar dengan membawa spanduk berisikan kecaman terhadap peradilan sesat yang dialami oleh kawannya sesama mahasiswa. Secara bergantian mereka berorasi mengecam proses peradilan yang masih berjalan dan menuntut agar membebaskan lima mahasiswa Korban Pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian yang dijadikan terdakwa.

Sementara di dalam persidangan, kedua terdakwa yang diberi kesempatan oleh majelis hakim untuk menyampaikan Pembelaan, terdakwa Wahyu menggunakan kesempatan itu dengan membacakan Pernyataan Sikap GSMM. Dalam pernyataan sikap yang dibacakan tersebut, terdakwa memutar kembali waktu dan mengingatkan Majelis Hakim akan peristiwa kekerasan pelanggaran HAM yang dialami oleh dirinya dan puluhan civitas akademika UNM.

(Aksi Solidaritas GSMM Di Depan PN Makassar)

Pada peristiwa itu aparat kepolisian melakukan pengejaran dan penyisiran ke dalam kampus UNM sambil terus-menerus melepas tembakan gas air mata, melakukan perusakan kaca jendela gedung dan kaca mobil,  menendang hingga roboh puluhan sepeda motor yang diparkir di seluruh area kampus.

Penyisiran dan pengejaran tersebut bahkan dilakukan hingga masuk ke dalam ruang kelas saat proses perkuliahan sedang berlangsung di Fakultas Ilmu Sosial, Ekonomi, dan Fakultas Psikologi. Dalam aksi penyisiran dan pengejaran tersebut, sejumlah mahasiswa mengalami pemukulan dan penendangan serta intimidasi, terutama terhadap mahasiswi. Bahkan  sejumlah wartawan yang melakukan peliputan juga tidak luput terkena pukulan dan perebutan alat rekam oleh aparat polisi yang brutal.

Saat itu, 46 orang ditangkap secara sewenang-wenang, mengalami penyiksaan dan dipaksa mengakui telah melakukan tindak pidana. Selebihnya telah dibebaskan sehari setelah peristiwa karena tidak terbukti melakukan tindak pidana. Wahyu, Nasrullah, Ihwan, dan Rusmadi diproses hukum dan diseret ke meja hijau. Ahmad Faris Al Amri mahasiswa fakultas turut ditangkap sekitar seminggu kemudian dengan sangkaan sebagai pelaku pembusuran Wakapolrestabes Makassar. Saat proses penyelidikan dan penyidikan di kepolisian, mereka mengalami penyiksaan dan dipaksa mengakui telah melakukan tindak pidana, meski mereka terus membantah hingga saat ini, hal itu tak menghentikan proses hukumnya.[Abdul Azis Dumpa]

Categories
SIPOL

Aksi Solidaritas Warnai Persidangan Mahasiswa UNM

img_20150203_233047Makassar, 3 Februari 2015. Sidang mahasiswa yang ditangkap pada saat penyerangan secara brutal aparat kepolisian ke dalam kampus Universitas Negeri Makassar (UNM) 13 November 2014 silam, kembali digelar dan kali ini diwarnai aksi demonstrasi mahasiswa di depan gedung Pengadilan Negeri Makassar.

Aksi mahasiswa dari berbagai kampus dan organisasi yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Pencari Keadilan itu berlangsung tertib dan damai. Secara bergantian mereka berorasi menuntut agar mahasiswa yang diadili dibebaskan dari segala tuntutan.  Menurut mereka, semua mahasiswa yang ditangkap hanyalah korban pelanggaran HAM aparat kepolisian, yang kemudian dikriminalisasi hingga diadili di muka pengadilan.

“Kawan-kawan kami, adalah korban pelanggaran HAM yang diadili. Aparat kepolisian telah jelas-jelas melakukan kekerasan, penganiayaan, pengrusakan di dalam kampus UNM. Mereka menyiksa, memukul mahasiswa yang ada di dalam kampus, bahkan mahasiswa yang ikut kuliah juga dipukuli. Merusak kendaraan dan fasilitas di dalam kampus UNM. Lalu menangkap mahasiswa dan memukulinya lagi hingga berdarah-darah. Ini adalah kriminalisasi.” Ungkap salah seorang peserta aksi dalam orasinya.

Selain itu, massa aksi membawa foto-foto kekerasan aparat kepolisian di dalam kampus UNM saat para terdakwa ditangkap. Beberapa orang peserta aksi terlihat membalut mulutnya dengan lakban sebagai simbol pembungkaman hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat melalui reprisifitas aparat. Pesrta aksi juga membagi-bagikan pernyataan sikap mereka kepada pengunjung persidangan lainnya.

Setelah aksi, puluhan massa dengan tertib mengikuti jalannya sidang perdana Nasrullah dan Wahyu Haeruddin yang didakwa dengan Pasal 351 ayat (1) jo pasal 55 (1) ke-1 KUHPidana atau pasal 170 ayat (2) ke-2 KUHPidana. Persidangan berikutnya dengan agenda pembacaan eksepsi (bantahan) terdakwa Ihwan Kaddang yang diwakili oleh Penasehat Hukumnya dari LBH Makassar. Eksepsi dilayangkan terhadap dakwaan jaksa, yang mendakwa Ikhhwan telah melakukan tindak pidana Pasal 1 ayat (1) subsidair Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor: 12/Drt/1951 LN 78/1951 tentang Mengubah “Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen” (Stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948 atau lebih dikenal dengan UU Senjata Tajam (Sajam). [Abdul Azis Dumpa]

Categories
SIPOL

Ricuh Demo BBM Berbuntut Panjang, Mahasiswa UNM Dimejahijaukan

meja-hakim9-400x241Makassar, Ihwan Kaddang, mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM) yang ditangkap sejak tanggal 13 November 2014 dan ditahan hingga sekarang, mulai disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Selasa, 27/1/2015. Pada sidang perdana ini dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Muhammad Damis dengan agenda pembacaan dakwaan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Cristian Carel Ratuniak, mendakwa Ihwan Kaddang telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) subsidair Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor: 12/Drt/1951 LN 78/1951 tentang Mengubah “Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen” (Stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948 atau UU atau lebih dikenal dengan UU Senjata Tajam (Sajam). Adapun pelanggaran yang dimaksud adalah membawa sebutir peluru kaliber 5,56 yang masih aktif dan dapat digunakan berdasarkan hasil laboratorium Forensik Polri Cabang Makassar serta sebilah badik/taji yang panjangnya sekitar 12 cm yang tidak dilengkapi dengan surat izin yang sah, pada waktu berlangsung demonstrasi mahasiswa menolak rencana penaikan harga BBM di depan kampus UNM Jl. AP. Pettarani.

Dalam perkara tersebut, Ihwan Kaddang didampingi tim penasehat hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar. Penasehat Hukum terdakwa berpendapat bahwa, proses hukum yang dijalani oleh terdakwa Ihwan Kaddang merupakan bentuk kriminalisasi (pemaksaan adanya tindak pidana). Sebab, ia ditangkap dan ditahan pada peristiwa penyerangan aparat kepolisian ke dalam kampus UNM yang sertai penangkapan puluhan orang secara membabi buta. Proses hukum yang harus dihadapi oleh terdakwa, lebih kepada upaya untuk meredam bahkan menghentikan aksi mahasiswa (Baca: Demonstrasi) yang kerapkali dilakukan untuk memprotes kebijakan pemerintah.

Ihwan Kaddang adalah satu dari 4 orang yang diproses hukum oleh kepolisian dan satu dari 46 orang yang ditangkap secara brutal oleh polisi yang melakukan penyerangan ke dalam kampus UNM pada 13 November 2014 silam. Pada saat kejadian itu, bentrokan pecah di depan Kampus UNM saat berlangsungnya aksi demonstrasi menentang rencana penaikan harga BBM oleh pemerintah dan beberapa saat kemudian Wakapolrestabes Makassar terkena anak panah. Akibatnya, aparat kepolisian yang terdiri dari satuan Brimob Polda Sulselbar dan Polrestabes Makassar langsung melepas tembakan gas air mata untuk membubarkan aksi demonstrasi itu.

Situasi tersebut membuat mahasiswa dalam kondisi tersudut dan memilih mundur ke arah dalam kampus. Pasukan Polrestabes dan Brimob tidak berhenti, terus merangsek masuk ke dalam kampus melalui gerbang gedung Phinisi dan gerbang di Jl. Pendidikan. Akibatnya, seluruh mahasiswa yang berada dalam kampus, yang notabene tidak terlibat dalam aksi ikut lari untuk menyelamatkan diri.

Pengejaran dan penyisiran dilakukan sambil terus-menerus melepas tembakan gas air mata di  dalam area kampus, bahkan aparat kepolisian melakukan pengrusakan kaca jendela gedung dan kaca mobil, juga menendang hingga roboh sejumlah sepeda motor yang diparkir di area masing-masing fakultas. Penyisiran dan pengejaran tersebut dilakukan hingga masuk ke dalam ruang kelas dimana proses perkuliahan sedang berlangsung di Fakultas Ilmu Sosial, Ekonomi, dan Fakultas Psikologi. Ruang-ruang himpunan mahasiswa juga turut disisir bahkan ke area paling belakang kampus, salah satunya kantin. Dalam aksi penyisiran dan pengejaran tersebut, sejumlah mahasiswa mengalami pemukulan dan penendangan serta intimidasi (terutama terhadap mahasiswi). Dalam peristiwa tersebut, sejumlah wartawan yang melakukan peliputan juga tidak luput dari pukulan serta perampasan dan pengrusakana alat rekam.

Terdakwa Ihwan Kaddang yang pada saat itu berada di kantin kampus, tidak tahu mengenai peristiwa bentrokan antara polisi dan massa demonstran di depan kampus, serta penyerangan yang dilakukan polisi ke dalam kampus. Namun, dia bersama puluhan mahasiswa lainnya yang berada di dalam kantin kampus tersebut, langsung ditangkap oleh aparat kepolisian tanpa mengetahui alasan yang mendasarinya. Dalam perjalanan ke Polrestabes Makassar, mereka yang ditangkap, kerapkali mendapatkan kekerasan dengan cara dipukul dengan tameng dan ditendang oleh aparat kepolisian. Hal itu mengakibatkan mereka mengalami luka-luka. Tindakan kepolisian tersebut jelas merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusi (HAM), dimana semestinya kepolisian sebagai aparat penegak hokum negara, harus menjunjung tinggi dan memberikan perlindungan terhadap hak asasi warga negaranya. Namun sebaliknya Ihwan Kaddang bersama tiga oang lainnya (Rusmadi, Nasrullah, dan Wahyu) justru dirampas kemerdekaanya dengan cara ditahan dan harus menghadapi proses hukum hingga diadili di pengadilan.

Atas Dakwaan Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa, tim Penasehat Hukum  akan mengajukan Eksepsi. Sidang ditunda dan akan dilanjutkan kembali pada Selasa, 4/2/2015 dengan agenda pembacaan Eksepsi dari terdakwa yang diwakili oleh penasehat hukumnya. [Abdul Azis Dumpa]

Categories
SIPOL

Saksi Ahli Tak Paham CV, Sidang Fadli Ditunda

saksifadliSungguminasa, 19 Januari 2015. Sidang dengan agenda pemerikasaan saksi dalam perkara pencemaran nama baik Ichsan Yasin Limpo dengan terdakwa Fadli Rahim kembali digelar. Suasana Pengadilan Negeri Sungguminasa saat itu tidak seramai sidang pemeriksaan saksi minggu sebelumnya. Meskipun masih nampak aparat kepolisian dari satuan Sabhara berjaga di dalam ruang sidang dan di sekitar pengadilan. Pengunjung sidang terdiri dari para pendukung bupati, keluarga tersangka dan beberapa media cetak dan elektronik. Mereka mengikuti jalannya sidang dengan tertib.

Tidak ada yang spesial hari itu, Ichsan Yasin Limpo yang juga Bupati Gowa yang diharapkan datang menghadiri sidang tidak bisa dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum. Alasannya adalah bahwa dia sedang menjalankan tugas di luar provinsi. Sidang tetap dijalankan dengan agenda pemeriksaan saksi ahli.

Sebelum saksi diambil sumpahnya terlebih dahulu hakim meminta para saksi ahli untuk memperlihatkan Curriculum Vitae mereka. “Apakah anda membawa Curriculum Vitae?” hakim bertanya kepada kedua saksi. Saksi ahli nampak kebingungan dengan permintaan ketua majelis hakim.

Kemudian ketua majelis hakim mengulangi pertanyaannya. “Apakah kalian berdua membawa CV?” Lagi-lagi kedua saksi kelihatan bingung dengan permintaan hakim. Hakim melanjutkan, “CV adalah daftar riwayat hidup dalam pengertian bahasa Indonesianya, curriculum vitae adalah bahasa inggrisnya!. Hakim ketua kembali menjabarkan apa saja yang terdapat didalam daftar riwayat hidup.

Setelah hakim menjabarkan isi dari daftar riwayat hidup itu adalah memuat nama, alamat tempat tinggal, pendidikan formal dan non formal. Salah seorang saksi kemudian mengatakan bahwa dia membawa surat tugas. Seorang saksi yang lainnya bernama BN berkata, “saya diperintahkan oleh atasan saya! Saya tidak punya keahlian dibidang ITE tapi saya punya keahlian dibidang media cetak!

Mendengar pernyataan saksi ahli itu, ketua majelis hakim kemudian menyatakan bahwa bukan kapasitas saksi ahli memberikan penilaian apakah saksi memiliki kapasitas sebagai seorang ahli atau bukan! Hakim yang akan memberikan penilaian bukan saksi. Hakim meminta saksi untuk membawa CV mereka pada sidang minggu depan. Akhirnya sidang ditunda hingga senin minggu depan. [Ratna]

Categories
SIPOL

Tim Advokasi Kekerasan Jurnalis Makassar Diskusi Bersama Dewan Pers

wp_ss_20141122_0003Makassar, 22 November 2014. Tim Advokasi Kekerasan Jurnalis Makassar yang terdiri dari beberapa Advokat LBH Pers Makassar, LBH Makassar dan KontraS Sulawesi, mengadakan diskusi bersama dengan Nezar Patria, anggota Dewan Pers. Dalam diskusi tersebut juga dihadiri oleh Koalisi Jurnalis Makassar (KJM) yang terdiri yang terdiri dari jurnalis dari berbagai media baik TV, Cetak, dan Online.

Diskusi berlangsung di ruang pertemuan jaringan, kantor LBH Makassar. Minggu, 22 November 2014. Diskusi ini membahas perkembangan proses hukum kasus kekerasan terhadap Jurnalis Makassar yang diduga keras dilakukan oleh sejumlah aparat kepolisian pada saat peliputan demonstrasi Mahasiswa yang menolak kenaikan BBM di Univesritas Negeri Makassar, 13 November 2014.

Dalam diskusi tersebut, Nezar Patria menyatakan bahwa dirinya sependapat dengan Tim Advokasi Kekerasan Jurnalis Makassar, yang mendorong penyidik tidak hanya menerapkan pasal-pasal tindak pidana umum sebagaimana yang diatur dalam KUHP, tetapi juga menerapkan tindak pidana menghalang-halangi kerja-kerja Jurnalis sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 UU Pers, dan menerapkannya secara kumulatif.

“Berdasarkan kronologis peristiwa yang kami peroleh, Penyidik diharapkan menerapkan UU Pers sebagai delik khusus (lex specialis) karena ada dugaan tindakan dilakukan pada saat para korban menjalankan tugas-tugas jurnalisnya. Selain itu Penyidik juga diharapkan untuk meminta pendapat ahli dalam hal ini Dewan Pers dalam proses penyidikan sebagaimana yang diatur dalam MOU  antara Dewan Pers dengan Kapolri.” Jelas Nezar. [Abdul Azis Dumpa]