Categories
SIPOL

Ancaman Terhadap Kebebasan Berorganisasi & Berpendapat Di Kampus

images21Kampus seharusnya menjadi ruang-ruang merdeka bagi mahasiswa untuk membangun dan menyalurkan gagasan, serta tempat mendidik anak bangsa untuk menjadi manusia yang peka terhadap keadaan. sehingga, mereka nantinya akan menjadi generasi bangsa yang mampu merumuskan sendiri keadaan dan merubah bangsa ini ke arah yang lebih baik. Bukannya menjadi manusia robot yang sepenuhnya dikendalikan oleh remot kapital. Namun, untuk membangun dan menyalurkan gagasan, mahasiswa memerlukan alat organisasi untuk mengorganisir diri serta menjadi wadah penyatuan intelektual dan menjadi tempat berdialektika dalam proses perjalanan intelektual mereka. Segalanya Berawal dari organisasi untuk menciptakan tatanan sosial yang lebih manusiawi. Sehingga, ruang – ruang berorganisasi sudah semestinya mendapat porsi besar untuk mewujudkan sistem pendidikan yang tidak berjarak dengan ketimpangan sosial.

Belakangan ini, kampus tidak lagi mencerminkan sebagai institusi pendidikan yang murni untuk membuat manusia menjadi manusia. Bahkan, Kampus telah berubah ibarat pasar tempat bersarangnya investasi dan akumulasi modal. Sehingga, semua aturan – aturan kampus diciptakan dengan orentasi bisnis. Pola pengelolaan kampus berbasis investasi hampir terjadi pada semua kampus di Sulawesi selatan baik Perguruan Tinggi Negeri apalagi Swasta.

Salah satu kampus yang mengalami keadaan seperti ini adalah Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Mega Rezky Makassar. kita ketahui belakangan ini Perguruan Tinggi kesehatan menjadi favorit para orangtua untuk menyekolahkan anak – anak mereka, berhubung tuntutan Negara akan ketersediaan lapangan kerja tenaga medis semakin meningkat. tidak heran jika banyak mahasiswa yang berbondong – bondong kuliah di perguruan tinggi bidang kesehatan. Hal ini tidak terlepas pula dari kebutuhan masyarakat akan pentingnya kesehatan. Olehnya itu, seharusnya kampus juga ikut serius untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bukannya memanfaatkan situasi untuk dijadikan ladang usaha yang notabene menghisap sendiri mahasiswanya.

Algazali adalah ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Stikes Mega Rezky yang menaungi beberapa organisasi Himpunan pada setiap jurusan. Berawal dari kebijakan Birokrasi kampus yang menetapkan anggaran kegiatan Praktek Kerja Masuk Desa (PKMD). Penetapan anggaran tersebut dianggap terlalu mahal dan tidak sesuai dengan peruntukannya, sehingga menyulitkan mahasiswa. Maka, untuk menjawab keluhan mahasiswa, Algazali beserta pimpinan organisasi Himpunan lainnya meminta transparansi pihak kampus terkait penetapan anggaran tersebut. Akan tetapi, pihak kampus menolak untuk transparan.

Algazali cs kemudian melakukan advokasi anggaran dengan menelusuri setiap pos peruntukan biaya praktek baik di kampus maupun di lokasi praktek yaitu di kec. Bontomarannu, kab. Gowa. Dari hasil advokasi, ditemukan beberapa kejanggalan peruntukan anggaran yang tidak sesuai dengan pembayaran yang dibebankan kepada mahasiswa. Kemudian, Algazali cs kembali menghadap kepada pimpinan kampus untuk mempertanyakan masalah tersebut. Namun, pihak kampus tetap bersikukuh menolak transparan. Justru Algazai cs ditawari uang, dengan catatan tidak lagi mempersoalkan masalah transparansi anggaran praktek. Tawaran itu ditolak, kemudian mereka melakukan aksi boikot mahasiswa untuk tidak turun praktek sampai pihak kampus menerima tuntutan mahasiswa yaitu transparansi anggaran.

Aksi tersebut membuat geram para pimpinan kampus, dan mengancam mahasiswa yang terlibat untuk di Skorsing bahkan di Drop out. Sedangakan, lembaga mahasiswa yang terlibat akan dibekukan. Setelah melakukan aksi, pihak kampus tetap tidak menerima tuntutan mahasiswa, justru ditanggapi dengan keluarnya Surat Keputusan Skorsing ditujukan kepada Algazali yang saat itu sedang menjabat sebagai ketua Badan Eksekutif Mahasiswa. Keluarnya SK Skorsing dengan tujuan melumpuhkan gerakan protes mahasiswa yang dikhawatirkan akan terus berlanjut dan membesar, serta memberikan tekanan akademik kepada mahasiswa lainnya untuk tidak mengganggu stabilitas akumulasi modal di kampus.

Konflik antara birokrasi kampus dengan lembaga kemahasiswaan kemudian berlanjut pada Forum Musyawarah Besar (Mubes) Badan Eksekutif Mahasiswa Stikes Mega Rezky Makassar, pada proses pemilihan ketua BEM. pihak kampus kemudian melakukan intervensi langsung terhadap lambaga kemahasiswaan. Pada saat pemilihan ketua BEM, pihak kampus kemudian mencukongi mahasiswa untuk maju sebagai calon ketua BEM dengan maksud untuk memotong regenerasi mahasiswa yang selalu tidak sejalan dengan kepentingan pimpinan kampus. Pada proses pemilihan, pihak kampus melakukan intervensi langsung dengan melakukan manipulasi aturan main Mubes untuk memaksakan terpilihnya calon yang mereka cukongi. Sehingga, hasil dari pemilihan tersebut menjadiDeadlok. Beberapa organisasi jurusan sebagai pemegang hak suara tidak menerima hasil Pemilihan, kemudian menggelar pemilihan ulang. Akhirnya, terjadi dualisme lambaga kemahasiswaan dengan masing – masing versi birokrasi kampus dan versi mahasiswa.

Algazali beserta pimpinan organsaisi jurusan kembali memprotes keras sikap kesewenang – wenangan birokasi kampus. Menanggapi protes mahasiswa, pimpinan kampus yang secara sepihak langsung mengeluarkan Surat Keputasan Drop out ditujukan kepada Algazali dan SK Skorsing kepada Saputro yang saat itu sedang menjabat sebagai ketua Himpunan Analis, dan disusul dengan pembekuan 5 (lima) organisasi jurusan.

Kasus yang dialami oleh Algazali cs bukanlah kali pertama terjadi, sebelumnya pernah terjadi beberapa kasus pembungkaman ruang – ruang kebebasan organisasi dan pendapat mahasiswa seperti ; mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra UNM, fakultas Ilmu Budaya Unhas, Lembaga Kemahasiswaan UIN alauddin, serta masih banyak lagi masalah Lembaga Mahasiswa di Perguruan Tinggi yang belum teridentifikasi. Modus pembungkaman organsiasi mahasiswa dikemas sedemikian rupa seolah kesalahan dilimpahkan sepenuhnya pada organsiasi mahasiswa yang melanggar aturan main/Statuta kampus, adapula yang dituduh sebagai mahasiswa yang tidak lagi memenuhi aturan akademik.

Yang jadi persoalan kemudian adalah, selama ini kampus tidak pernah demokratis dalam membuat aturan. Bahkan, mahasiswa tidak diberikan ruang untuk mengakses aturan tersebut. Sehingga, kesannya aturan tersebut cenderung diada – adakan yang dulunya tidak pernah ada. Semestinya, dalam perumusan aturan menyangkut kemahasiswaan, organisasi mahasiswa turut dilibatkan agar tidak terjadi ketimpangan dalam penerapannya. Ataukah, minimal aturan – aturan tersebut segera disosialisakan dan mestinya disediakan prosedur komplain bagi organisasi mahasiswa yang merasa dirugikan. Sehingga, kampus akan kembali pada khittahnya yaitu sebagai ruang untuk memanusiakan manusia dan sebagai titik awal ruang berdemokrasi.

Persoalan ini merupakan salah satu faktor penyebab menurunnya aktivitas mahasiswa dalam ruang – ruang sosial untuk mengadvokasi masyarakat miskin dan marginal. Mungkin persoalan ini merupakan strategi Rezim untuk melumpuhkan Gerakan Mahasiswa dengan sengaja disibukkan dengan urusan dalam rumahnya sendiri. Atau memang kampus hari ini tidak lagi menjadi sarana pendidikan melainakan berubah menjadi ruang kapitaliasasi yang menghisap mahasiswanya sendiri. [Edy Kurniawan]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *