Categories
EKOSOB

PHK Tanpa Pesangon, 21 Pekerja Mengadu Ke LBH Makassar

Stop-PHK3Makassar – Pada hari Rabu, 13 Agustus 2014, PT Gasina MTP Group memberhentikan (PHK) 21 Karyawannya. Ironisnya, PHK yang dilakukan PT Gasina hanya secara lisan oleh Abidin Jaya selaku Manajer Operasional dan Hendrik Pangloli selaku Human Resources Development (HRD). PT Gasina mem-PHK 21 Karyawannya dengan membawa 4 orang polisi agar proses PHK berjalan mulus tanpa hambatan atau protes dari Pekerja.

21 Pekerja dengan spesifikasi pekerjaan yang berbeda ini di-PHK karena menuntut PT Gasina MTP Group agar melakukan pembayaran upah sesuai standar Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulawesi Selatan pada tahun 2014. Namun, tuntutan pemenuhan upah sesuai UPM itu dijawab dengan PHK oleh PT Gasina. Tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, para Pekerja kemudian menempuh upaya formil yakni mengadu ke Bidang Pengawasan Dinas Tenaga Kerja Kota Makassar. Hasilnya, Pekerja disuruh menunggu. Namun hingga Januari 2015, belum ada kejelasan ihwal pengaduan mereka di Disnaker Kota Makassar.

Pada Januari 2015, Pekerja kemudian menyurati DPRD Kota Makassar dan Ombudsman RI Perwakilan Sulsel. Kepada kedua instansi ini, mereka mengadukan ihwal pengaduan mereka yang tidak ditindaklanjuti Disnaker Kota Makassar. Hasilnya, Disnaker kemudian mengeluarkan penetapan sisa upah serta besaran pesangon yang harus dibayarkan PT Gasina MTP Gorup kepada 21 orang pekerja yang di-PHK.

Meski dikeluarkan penetapan, Pekerja menolak karena menganggap penetapan tersebut tidak sesuai dengan masa kerja mereka masing-masing di PT Gasina MTP. Maka, pada Februari 2015, Pekerja kemudian mengajukan masalah PHK massal itu ke Bidang HI Disnaker Kota Makassar. Disnaker kemudian mengupayakan mediasi antara Pekerja dengan PT Gasina MTP. Namun, mediasi tidak membuahkan hasil.

Akhirnya Disnaker Kota Makassar mengeluarkan anjuran yang isinya agar PT Gasina MTP membayarkan pesangon serta memenuhi hak-hak normatif lain 21 Pekerja ini selama bekerja di PT Gasina MTP. Namun, sejak anjuran tersebut dikeluarkan sampai saat ini, para Perkerja belum menerima hak mereka sebagaimana anjuran Disnaker Kota Makassar kepada PT Gasina MTP.

Pada Sabtu 4 April 2015, 21 orang pekerja yang di-PHK tersebut mengadu ke kantor LBH Makassar. Mereka diterima Koordinator Bidang Hak Buruh dan Miskin Kota, Muhamad Haedir. Haedir menyarankan agar mereka bergabung ke Forum Pekerja Makassar (FKPM), organisasi pekerja bentukan LBH Makassar yang sudah lebih dulu ada dan terbentuk juga karena kasus PHK. Hal ini dimaksudkan agar lebih memudahkan membangun kerangka awal kerja-kerja advokasi perkara PHK Massal ini. Keterlibatan dalam FKPM, menurut Haedir adalah penting dalam mendukung kerja-kerja penyelesaian perkara perselisihan hubungan industrial yang sedang mereka hadapi. Mereka pun bersedia bergabung dengan FKPM karena belum memiliki serikat atau organisasi pekerja.[Moh Alie Rahangiar]

Categories
EKOSOB

Kongkalikong Kanwil BPN dan Pemkab Wajo Menanggapi Tuntutan Warga Keera

img_1354WAJO – Setelah kesepakatan terakhir antara warga Keera, PTPN XIV dan pemerintah Wajo untuk segera melakukan pengukuran ulang atas lahan eks. HGU. Dengan tujuan untuk menyelesaikan konflik lahan antara masyarakat dengan Ptpn XIV Unit Keera. Namun, sampai sekarang kesepakatan tersebut belum juga dilaksanakan baik dari pemerintah daerah Wajo maupun Kanwil BPN. Sampai saat ini, Pemkab. Wajo sama sekali tidak memiliki inisiatif untuk mengakhiri konflik lahan eks. HGU. Bahkan, Bupati Wajo memposisikan diri sebagai pihak melawan Masyarakat Keera dengan melaporkan warganya sendiri kepada Polres Wajo terkait dugaan Jual beli tanah eks. HGU.

Bulan lalu, masyarakat telah mendatangi Kanwil BPN untuk meminta penjelasan. Kemudian, Kepala Kanwil mengatakan bahwa, pihaknya tinggal menunggu surat dari Bupati Wajo untuk meminta pengukuran. Karena BPN merupakan lembaga teknis yang hanya bisa bertindak atas permintaan pihak terkait. Selanjutnya, ia menyarankan untuk menemui Bupati Wajo memintanya agar bersurat kepada Kanwil BPN meminta pengukuran lahan eks. HGU. Selain itu, masyarakat juga menuntut agar lokasi yang nantinya akan diukur adalah lokasi yang selama ini digarap oleh warga. Dengan kata lain, lokasi masyarakat tidak digeser ke tempat lain. sehubungan dengan tuntutan masyarakat tersebut, Kanwil BPN tidak mempersoalkan itu yang penting lahan HGU yang akan diperpanjang tetap 6.000 Ha dan tidak terpisah – pisah.

Minggu, 11 Januari 2015, masyarakat Keera yang tergabung dalam Forum Rakyat Bersatu (FRB) Keera, kembali melakukan konsolidasi untuk mengevaluasi hasil pertemuan di kanwil BPN dan mempersiapkan rencana pertemuan dengan Bupati Wajo. Pertemuan dilakukan di rumah salah satu warga keera bernama Ambo mawang yang terletak di desa Awota tidak jauh dari lokasi eks. HGU. Pertemuan tersebut dihadiri oleh masing – masing  perwakilan Masyarakat dari setiap Desa dengan jumlah yang hadir kurang lebih 100 orang. Pertemuan berlangsung selama 3 (tiga) jam membahas penentuan batas – batas lahan lahan eks. HGU yang diklaim masyarakat. Tujuan penentuan batas untuk memudahkan pengukuran dan untuk menghindari tipu muslihat Pemerintah Daerah dengan Ptpn XIV. Masyarakat kemudian menunjukan lokasi mereka pada peta yang telah disediakan oleh WALHI dan LBH Makassar.

Pada hari Senin, 12 Januari 2015, perwakilan FRB yang didampingi LBH Makassar dan Walhi Sul-sel mendatangi kantor Bupati Wajo untuk mendesak agar segera dilakukan pengukuran ulang. Warga diterima langsung oleh Bupati dan wakil Bupati, Kapolres serta Kodim. Dalam pertemuan, yang berlangsung selama kurang lebih 2 (dua) jam, Masyarakat meminta kepada Bupati agar bersurat kepada kanwil BPN meminta pengukuran ulang. Namun, Bupati menolak untuk bersurat, karena sebelumnya sudah terbangun kesepakatan bersama untuk pengukuran. Bahkan, Bupati balik menyoroti Kanwil BPN yang sampai sekarang tidak turun untuk mengukur. Dalam pertemuan, Bupati juga dengan sewanang – wenang langsung  menuding masyarakat keera bahwa, mereka telah menjual tanah Negara dan mengklaim dia memiliki bukti kwitansi penjualan. Masyarakat tidak menerima tudingan langsung dari mulut kotor Bupati, kemudian balik menantang Bupati untuk melaporkan ke polisi bagi oknum yang  telah menjual tanah Negara yang dimaksud. masyarakat keera selama ini sudah sering dikriminalisasi dan dilaporkan telah menjual tanah Negara, akan tetapi semua laporan tidak tebukti dan sampai sekarang Polda tidak melanjutkan laporan tersebut. Kuat dugaan masyarakat bahwa, banyak pejabat penting yang turut terlibat dalam jual-beli tanah tersebut sehingga, jika laporan terus dilanjutakan maka semua akan terbongkar. Olehnya itu, tuduhan Bupati kepada masarakat keera dianggap tidak lebih dari gertak sambal.

Setelah dari kantor Bupati, masyarakat keera mendatangi kantor BPN kabupaten Wajo dan diterima langsung oleh kepala BPN. Dalam pertemuan dengan kepala BPN, Masyarakat sedikit mendapat titik terang dari benang kusut dan kongkalikong Pemkab. Wajo. Jika bukan karena ulah Bupati yang meminta sebagian lahan Eks. HGU untuk dipindahkan pada masyarakat pasaloreng, maka pengukuran telah lama selesai. Akibatnya, kesepakatan awal yang sudah terbangun mesti ditinjau kembali. Itulah alasan kanwil BPN sampai sekarang belum turun mengukur, karena belum ada titik terang mengenai batas – batas lahan yan akan diukur. Sehingga, untuk melakukan pengukuran perlu ada pertemuan kembali antara masyarakat keera, Ptpn, pemkab wajo dan kanwil BPN untuk membicarakan kembali kesepakatan terkait peruntakan lahan eks. HGU. Rencananya pertemuan tersebut akan diinisiasi oleh kanwil BPN dengan mengundang semua pihak dalam waktu dekat ini.[Edy Kurniawan]

Categories
EKOSOB

Masyarakat Keera Kembali Menuntut Pengukuran Lahan Eks HGU PTPN XIV

img-20141222-01723Makassar, 22 Desember 2014. Lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) seluas 12.170 Ha terletak di Kecamatan Keera Kab. Wajo, Sulsel yang sebelumnya dikelola sebagai perkebunan kelapa sawit oleh PTPN XIV unit Keera. Sebelum masuknya PTPN XIV, masyarakat Keera hidup serba berkecukupan dari hasil tanah yang mereka kelola sendiri, kehidupan masyarakat sangat rukun dan memiliki hubungan sosial yang kuat. Akan tetapi, sejak 30 Juni 1973, dengan masuknya PTPN XIV atas dasar HGU, keadaan terbalik menjadi malapetaka bagi masyarakat. Sejak itu, kondisi ekonomi masyarakat menjadi terpuruk, karena kehilangan tanah sumber penghidupan. Akibatnya, masyarakat menjadi buruh-tani dan sebagian masyarakat yang tidak tahan dengan keadaan, terpaksa merantau ke daerah lain untuk mencari sumber penghidupan yang layak.

Maka setelah berakhirnya masa berlaku HGU PTPN XIV tahun 2003, satu per satu perlawanan masyarakat mulai muncul dan secara bertahap, perlawanan masyarakat semikan membesar. Dari beberapa kali upaya perlawanan, beberapa tokoh masyarakat mendapat kriminalisasi. Perlawanan itu berkembang hingga aksi pendudukan pabrik PTPN XIV Keera yang berlangsung selama kurang lebih 2 (dua) minggu. Akhirnya, PTPN XIV mulai membuka ruang negosiasi yang difasilitasi langsung oleh Polda Sulselbar. Dari hasil negosiasi, lahir beberapa kesepakatan yang diantaranya adalah PTPN XIV Keera bersedia melapaskan lahan eks HGU yang masih dalam proses perpanjangan kepada masyarakat keera seluas 1.934 ha. Akan tetapi, pada kenyataannya PTPN XIV Keera tidak menjalankan kesepakatan tersebut, sehingga masyarakat keera semakin geram.

Menyikapi hal tersebut, pada tanggal 22 Desember 2014, beberapa perwakilan masyarakat Keera yang didampingi LBH Makassar dan Walhi Sulsel mengambil inisiatif untuk bertemu langsung dengan kepala Kanwil BPN Sulsel untuk membicarakan persoalan lahan eks HGU PTPN XIV Keera. Kepala kantor BPN Sulsel S.M. Iksan yang didampingi oleh kepala bidang pemetaan dan pengukuran tanah, menerima langsung masyarakat untuk berdialog. Kepala Kanwil BPN Sulsel ini baru menjabat kurang lebih 1 (satu) bulan. Menurutnya, sejak pertama kali menjabat di daerah ini, ia sudah banyak mendapat laporan yang masuk terkait kasus sengketa lahan eks HGU di Keera. Namun, baru kali ini dia mendengar langsung pengaduan masyarakat yang didampingi LBH Makassar dan Walhi Sulsel. Untuk itu, itu dia sangat mengapresiasi langkah masyarakat, karena hal ini dapat menghindari konflik agraria yang berkelanjutan. Dalam pertemuan yang berlangsung kurang lebih 1 (satu) jam, dia memastikan bahwa PTPN XIV hanya bisa mengelola lahan seluas 6.000 ha dan selebihnya akan diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat Keera yang kemudian akan diatur lebih lanjut oleh pemerintah Kabupaten Wajo.

Selanjutnya, masyarakat menuntut agar segera dilakukan pengukuran, karena sudah terlalu lama masyarakat menunggu kepastian hukum. Sampai sekarang, Pemerintah Kabupaten Wajo belum merealisasikan janjinya untuk melakukan pengukuran ulang dengan alasan terkendala anggaran. Padahal, masyarakat sudah menyarankan agar dilakukan proses pengukuran partisipatif dan masyarakat siap menanggung semua biaya pengukuran. Proses pengukuran terus diulur-ulur, sehingga sampai sekarang masyarakat tidak diperkenkan oleh PTPN XIV Unit Keera untuk masuk mengelola lahan tersebut sesuai kesepakatan. Tidak hanya itu, PTPN XIV terus melakukan upaya-upaya  teror dengan mengerahkan brimob untuk mengintimidasi masyarakat.

Menanggapi tuntutan masyarakat dan di tengah berlangsungnya dialog,  kepala Kanwil BPN Sulsel langsung menelpon direktur utama PTPN XIV Unit Keera dan meminta agar segera menghentikan tindakan-tindakan yang mengarah pada pelanggaran HAM itu.

Untuk lebih konkritnya, Kepala Kanwil BPN Sulsel akan segera melakukan pertemuan antara Pemkab Wajo, PTPN XIV Unit Keera, dan masyarakat Keera pada pertengahan bulan Januari 2015  untuk membahas secara teknis pengukuran, dengan komitmen awal bahwa, PTPN XIV Unit Keera hanya diberikan perpanjangan HGU seluas 6.000 ha dan selebihnya dengan luas kurang lebih 1.934 ha akan diserahkan kepada masyarakat Keera untuk dikelola.[Edy Kuriawan]

Categories
EKOSOB

Penyusunan Renstra Advokasi Petani Takalar Melawan PTPN XIV

dscn3169Makassar, 24 November 2014. Salah satu dampingan LBH Makassar, Serikat Tani Polombangkeng (STP) Takalar yang hingga saat ini masih berjuang mempertahankan lahannya yang masih diduduki PTPN XIV melaksanakan renstra advokasi terkait sengketa lahan tersebut. Rentetan perampasan tanah disertai kekerasan terus dialami oleh petani anggota Serikat Tani Polongbangkeng (STP) Takalar. Dari peristiwa tersebut, menimbulkan beberapa korban kekerasan dan kriminalisasi. Sebagian besar korban kekerasan dialami oleh Perempuan, dan 2 (dua) orang anggota STP bernama Dg. Aming dan Dg. Mangung ditangkap oleh Aparat dengan tuduhan membawa senjata Tajam, dan sampai sekarang masih status tahanan di Polres Takalar. Setelah peristiwa tersebut, situasi semakin mencekam. Para Preman sewaan yang di-back up Aparat dan TNI melakukan penyisiran ke kampung-kampung dengan intimidasi, teror dan kekerasan. Puluhan rumah pondok sawah milik warga turut dibakar.

Menyikapi kejadian tersebut, STP Takalar bersama beberapa organisasi pendamping seperti, LBH Makassar, AGRA Sul-sel, Kontras Sulawesi, Front Perjuangan Rakyat (FPR) Sul-sel dan organisasi mahasiswa melakukan rapat untuk menyusun Rencana Strategis (Renstra) kerangka Advokasi kasus tersebut. Rapat konsolidasi terkait kasus yang dialami oleh anggota STP Takalar adalah untuk kesekian kalinya. Dalam rapat, turut bergabung beberapa pimpinan kolektif STP untuk memaparkan langsung rentetan kejadian kekerasan dan perampasan tanah. Selain itu, beberapa korban kekerasan baik perempuan maupun laki-laki turut bergabung dalam rapat memberikan keterangan yang mereka alami.

Rapat dimulai sejak pagi pukul 09.00 wita dengan agenda mendengarkan keterangan korban kekerasan yang diduga dilakukan H. Bonto ketua DPRD kab. Takalar selaku pihak yang memimpin langsung pengelolaan lahan secara paksa. Selain itu, mendengarkan keterangan para pimpinan STP terkait adanya laporan H. Jabir bonto (ketua DPRD Takalar) yang ditujukan kepada mereka dengan tuduhan pencemaran nama baik. Kemudian, rapat dilanjtukan dengan agenda penyusunan rencana strategis kerangka advokasi kasus bersama beberapa organisasi pendamping lainnya.

Diskusinya berjalan lancar dan berlangsung selama kurang lebih 4 (empat) jam. Dari hasil diskusi, beberapa aktor pelaku tindak kekerasan dan perampasan tanah berhasil diidentifikasi, yaitu : PTPN XIV Takalar, H. Jabir Bonto (ketua DPRD Kab. Takalar), Polres Takalar, Satpol PP, Kodim/Koramil Takalar, Preman sewaan. Para aktor ini sering menebar teror dan ancaman baik secara langsung maupun tidak langsung kepada para petani anggota STP, sehingga warga menjadi resah.

Sementara ancaman nyata yang berpotensi akan terjadi kembali adalah bertambahnya korban kriminalisasi dan kekerasan terhadap petani, Hilangnya hak – hak Petani atas Tanah, Petani kembali kehilangan mata pencaharian sebagai sumber penghidupan, Kemiskinan dan penindasan terhadap Petani Polongbangkeng Kab. Takalar.

Dalam penyusunan rencana strategis advokasi, dibagi menjadi tiga tahapan yaitu ; rencana jangka pendek, rencana jangka menengah, dan rencana jangka panjang. Rencana jangka pendek adalah rencana yang bersifat taktis dan mendesak untuk disikapi, berbeda dengan rencana menengah dan rencana jangka panjang yang tidak mendesak namun, tetap bersifat prioritas.[Edy Kurniawan]

Categories
EKOSOB

PTPN XIV Unit Keera, Kab Wajo Lagi-lagi Ingkari Kesepakatan, Petani Geram

img_1459Wajo, Sulsel; Setelah beberapa kali terbangun kesepakatan antara petani keera dengan pihak PTPN XIV terhadap pengelolaan lahan eks. HGU yang saat ini masih dikelola oleh  PTPN XIV tanpa dasar hukum yang terhitung sejak berakhirnya HGU pada tahun 2003 dan sampai sekarang belum ada perpanjangan. Pihak PTPN XIV tidak pernah menunjukkan itikad baik atas kesepakatan yang terbangun. Hal ini ditunjukkan dengan sikap PTPN XIV yang selalu mengerahkan aparat kepolisian untuk menghalau para Petani Keera yang ingin masuk mengelola lahan tersebut dan fatalnya, semua tanaman Petani yang berada di atas lahan tersebut ikut dirusak dan ditebang oleh karyawan PTPN XIV yang dikawal ketat oleh aparat Kepolisian. Selain itu, Para Petani kerap mendapat terror dan initmidasi dari aparat yang berjaga di sekitaran lahan eks. HGU. Padahal, dalam kesepakatan bersama yang berlangsung di Mapolda Sulselbar sangat terang menyatakan bahwa : Masyarakat Keera yang tergabung dalam Forum Rakyat Bersatu (FRB) berhak mengelola lahan seluas 1.934 ha sambil menunggu pelepasan asset dari kementrian BUMN yang diatur lebih lanjut oleh pemerintah kab. Wajo sesuai dengan Peraturan Perundang – undangan.

Petani Keera sudah sangat geram dengan sikap PTPN XIV, maka Pada hari Senin, 30/06/2014, ratusan Petani Keera yang tergabung dalam Forum Rakyat Bersatu (FRB) kembali berupaya untuk mengelola lahan seluas 1.934 Ha yang saat ini masih dikuasai oleh PTPN XIV unit Keera. Upaya tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil pertemuan pada hari Kamis, 26 Juni 2014, di Kantor PTPN XIV oleh Masyarakat Keera yang tergabung dalam FRB, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Agraria, dan Pihak PTPN yang diwakili oleh Manager Pelaksanan Pabrik Kelapa Sawit Keera. Pertemuan tersebut dimediasi oleh Kabag Operasional Polres Wajo atas nama Kompol Daryanto.  Dimana, Pada pertemuan tersebut, Petani keera kembali menegaskan beberapa poin kesepakatan besama. Akan tetapi, aparat kepolisian atas permintaan pihak PTPN XIV tetap tidak membiarkan petani untuk mengelola lahan tersebut.

Namun, Petani Keera tetap berpegang pada kesepakatan bersama dan bersikeras untuk masuk mengelola, maka Dalam pertemuan tanggal 26 Juni 2014 tersebut, pihak PTPN XIV Unit Keera yang diwakili oleh Manager Pelaksana dan Staf lainnya menginisiasi dan berjanji akan mempertemukan Masyarakat Keera dan seluruh Pimpinan Direksi PTPN XIV di Kantor Bupati pada hari Senin, 30 Juni 2014. Namun dalam kenyataanya, pada hari Senin tanggal 30 Juni 2014, tak satupun dari Pihak PTPN XIV Unit Keera yang Hadir. Bahkan Bupati Wajo, Andi Burhanuddin Unru yang pada awalnya berjanji untuk bertemu dengan warga ternyata juga tidak bersedia menemui Warga dan perwakilan Aliansi. Bupati Wajo hanya menunjuk asisten II Pemkab Wajo untuk menemui warga, para kepala desa se Kecamatan Keera dan perwakilan dari aliansi. Kemudian Bupati Wajo memilih melakukan pertemuan dengan Kapolres dan Dandim untuk membahas pengamanan PTPN XIV.

Pada saat pertemuan dilakukan di ruangan asisten II Pemkab Wajo, Asisten II yang turut serta pada Rakor di Mapolda Sulselbar yang melahirkan beberapa kesepakatan, menyampaikan bahwa tidak ada masalah ketika warga berkeinginan untuk masuk mengelola lahan eks HGU PTPN XIV Unit Keera yang telah menjadi kesepakatan di Mapolda Sulselbar yaitu 1.934 ha, sambil menunggu izin pelepasan asset Negara dari kementerian BUMN. Selain itu, Pemda Wajo sudah menegaskan kepada pihak PTPN XIV, bahwa apabila ingin memperoleh perpanjangan izin HGU, maka hanya seluas 6.000 ha.

Setelah melakukan pertemuan dengan asisten II Pemkab Wajo, perwakilan masyarakat yang tergabung dalam FRB, beberapa Kepala Desa, serta dari Aliansi, kemudian menemui warga yang melakukan aksi demonstrasi sambil menunggu keputusan hasil pertemuan di Pemda Wajo.

Setelah perwakilan aliansi menyampaikan hasil pertemuan dengan asisten II Pemkab Wajo, termasuk berkoordinasi dengan Kapolres Wajo untuk diberikan izin masuk ke dalam lokasi 1.934 ha berdasarkan hasil kesepakatan di Mapolda Sulselbar dan hasil pertemuan dengan Asisten II Pemkab Wajo yang menyampaikan bahwa, tidak ada masalah ketika warga masuk ke dalam lokasi 1.934 dengan catatan tidak ada pengrusakan asset PTPN XIV Unit Keera.

Upaya warga untuk memasuki lahan tersebut kembali tertahan oleh pasukan Brimobda Sulawesi Selatan dan PatMor yang membentuk barikade di jalan utama masuk lokasi PTPN XIV. Perwakilan warga dan aliansi melakukan terus negosiasi dengan Kapolres Wajo, AKBP Masrur, SH., S.Ik, dimana warga kembali menegaskan bahwa apa yang ingin dilakukan oleh warga tak lain untuk memenuhi  apa yang telah disepakati bersama. Namun, Kapolres Wajo tetap melarang warga memasuki lahan 1.934 Ha tersebut dan bersiaga penuh untuk melindungi Perusahaan Sawit PTPN XIV. Bahkan, Kapolres telah bertindak diluar kewenangannya dengan meminta masyarakat membuktikan status kepemilikan sah masyarakat atas tanah  dilahan seluas 1.934 Ha yang dikuasai oleh PTPN XIV.

Setelah warga melakukan aksi penutupan jalur trans Sulawesi selama 1 jam lebih, akhirnya negosiasi dilakukan kembali antara aliansi dengan Kapolres Wajo. Akhirnya, disepakati bahwa menunggu pertemuan pada hari Rabu, 2 Juli 2014 di kantor Pemda Wajo yang akan dihadiri langsung oleh Direksi PTPN XIV dan unsur Muspida Wajo. Kemudian apabila, pihak PTPN XIV kembali mengingkari dengan tidak hadir pada pertemuan tersebut, Kapolres Wajo berjanji akan mengawal masuk masyarakat ke lokasi 1.934 ha. Akhirnya warga membubarkan diri sambil menunggu hasil pertemuan pada Rabu, 2 Juli 2014.

Atas tuntutan petani keera, maka Pada rabu, 2/7/2014 diadakan pertemuan yang dihadiri langsung oleh direksi PTPN XIV Unit Keera dan oleh seluruh unsur Muspida kab. Wajo, seluruh kepala desa di kec. Keera kab. Wajo, tokoh masyarakat, serta para pendamping masyarakat melalui perwakilannya dari masing – masing lembaga yaitu ; LBH MAKASSAR, WALHI SUL – SEL, KONTRAS SULAWESI, ACC SUL-SEL.

Dalam pertemuan tersebut, para petani serta pendamping yang tergabung dalam FRB kembali menegaskan tentang:

  • poin–poin kesepakatan bersama yang berlangsung di MAPOLDA SUL-SELBAR
  • Mempersoalkan status hukum keberadaan PTPN XIV di keera sejak berakhirnya HGU pada tahun 2003
  • serta mempertanyakan perihal tunggakan pajak PTPN XIV sebesar Rp. 3.986.444.591 Berdasarkan surat Kementrian Keuangan Nomor : S-1631/WPJ.15/KP.10/2012.

Para tokoh – tokoh masyarakat yang diwakili Ambo bawang, Ambo mawa, Haeruddin, Ambo ussa,  menyampaikan bahwa selama ini mereka mendapat terror dan intimidasi dari pihak Brimob yang terus berjaga di lokasi. Mereka juga selalu dihalau oleh Brimob untuk masuk berkebun dan merawat tanaman mereka dan bahkan seringkali tanaman mereka dirusak oleh pihak Brimob.

Menanggapi keterangan dan tuntutan warga, Pemda Wajo yang diwakili oleh wakil bupati sangat menyayangkan tindakan PTPN XIV dan aparat Brimob. Sedangkan, direksi PTPN XIV yang hadir sama sekali tidak bisa berbuat – apa – apa dan tidak berkomentar sepatah katapun. Padahal, warga sangat ingin mendengar keterangan langsung dari pihak PTPN XIV.

Maka dari pertemuan tersebut, terbangun lagi kesepakatan bersama, yaitu:

  • PTPN XIV hanya bisa memperpanjang HGU dengan luas lahan maksimal 6.000 ha. dengan kata lain, lahan 1.934 ha harus dilepaskan oleh pihak PTPN XIV melalui keputusan mentri BUMN
  • Lahan seluas 1.934 ha yang terletak di desa ciromani dusun cinranae dan dusun bontomare saat ini di bawah kekuasaan Negara dalam hal ini Pemda Wajo dan secepatnya dilakukan pengukuran ulang untuk diserahkan kepada masyarakat keera untuk dikelola sambil menunggu pelepasan lahan sesuai peraturan perundang – undangan yang berlaku.
  • Sambil menunggu pengukuran ulang, bagi masyarakat yang terlanjur memiliki tanaman di dalam lokasi, maka tetap diizinkan untuk mengelola tanaman mereka.

[Edy Kurniawan]

Categories
EKOSOB

Aksi Somasi Tolak Pembangunan Centre Point of Indonesia (CPI)

img_20140404_155007Makassar, Selasa, 1 April 2014, warga korban penggusuran di kawasan delta tanjung Makassar (tanah timbul depan rumah sakit Siloam) melakukan aksi demonstrasi di kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan. Aksi dilaksanakan dalam rangka menolak dan mengutuk keras rencana Pemprov Sulsel untuk membangun kawasan Centre Point Of Indonesia yang dinilai adalah bentuk privatisasi dengan merampas hak-hak warga setempat. Sehingga, untuk memuluskan rencana pembangunan tersebut maka, Pemprov Sulsel melakukan penggusuran sewenang-wenang dan cara-cara premanisme dengan mengerahkan sejumlah aparat dari Satpol PP, Kepolisian dan TNI. Penggusuran dilakukan dengan tudingan sepihak Pemprov Sulsel bahwa warga yang bermukim di kawasan tersebut tidak mengantongi izin menguasai lahan dan mendirikan bangunan. Padahal, warga sudah tinggal menguasai lahan dan mempertahankan hidup di atas tanah timbul tersebut selama 37 tahun dengan surat Hak Garapandari Lurah Maccini Sombala.

Dalam aksi tersebut, warga yang tergabung dalam SOMASI (Solidaritas Masyarakat Pesisir Anti Penggusuran) dengan melibatkan beberapa organisasi mahasiswa maupun LSM. Adapun organ yang tergabung dalamSOMASI adalah ; LBH Makassar, ACC Sul-sel, WALHI Sul-sel, FOSIS UMI, FMN Makassar, AGRA Sul-sel, HMJ Pend. Sejarah UNM, MAPAN STIMIK DIPANEGARA, HIMAHI UNHAS, PMII FAI, BEM FAI UMI.

Sekitar pukul 10.00 wita, Sekitar 150 Massa berkumpul di bawah jembatan layang fly over dengan membentangkan spanduk aksi, melakukan orasi politik dan membagi – bagi selebaran pernyataan sikap. Setelah kurang lebih 1 jam kemudian, massa bergerak berjalan kaki menuju titik aksi di DPRD Provinsi.

Tiba di titik aksi, massa langsung masuk ke dalam pagar dan membentuk barisan di depan pintu masuk utama ruangan DPRD. Kemudian, mereka kembali menggelar orasi politik secara bergiliran sembari membagikan selebaran. Dengan dipimpin oleh coordinator lapangan, massa aksi terus berteriak mendesak anggota DPRD untuk membuka ruang aspirasi terkait tuntutan warga. Tidak lama kemudian, salah satu perwakilan DPRD dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) atas nama Rudy P.Gony keluar untuk menemui massa dan mengarahakn massa ke ruang aspirasi yang bereda di samping kantor DPRD tidak jauh dari titik aksi. Kemudian, sesi dialog dibuka untuk mendengar tuntutan warga.

Dialognya berjalan dialektif, dimana massa melontarkan beberapa tuntutan dan mendesak anggota DPRD tersebut untuk segera mengambil tindakan tegas terkait nasib warga yang sudah 3 minggu terlantar di pelataran gedung Celebes Convention Centre (CCC). Adapun tuntutan warga adalah :

  1. Menolak upaya Pemerintah provinsi Sul-sel membangun kawasan privatisasi Centre Poin Of Indonesia
  2. Menuntut ganti kerugian warga di kawasan delta tanjung Makassar karena, telah digusur secara sewenang – wenang
  3. Menuntut agar Pemerintah Provinsi Sul-sel segera memberikan tempat tinggal yang layak kepada warga 43 KK yang sudah 3 minggu terlantar di sekitaran pelataran gedung CCC
  4. Mendesak pemerintah provinsi sul-sel agar menarik aparat dalam kawasan delta tanjung Makassar
  5. Menuntut Pemerintah Provinsi Sul-sel agar memberikan hak hidup yang layak kepada warga delta tanjung Makassar
  6. Menolak perampasan tanah atas nama Negara

Setelah dialog berlangsung beberapa jam dan semua aspirasi dan tuntutan telah disampaikan, maka akhirnya mencapai titik kesepakatan. Anggota DPRD Provinsi yang diwakili  Rudy P. Goni menerima semua tuntutan warga, kemudian berjanji akan segera menindaklanjuti dan menyampaikan kepada anggota yang lain untuk segera melakukan rapat serta melakukan upaya pemanggilan terhadap pihak – pihak terkait, termasuk Gubernur Sul – sel untuk mengklarifikasi dan mendengar tanggapan Gubernur terhadap tuntutan warga. Maka, sesi dialog berakhir dan coordinator lapangan mengarahkan massa kembali ke posko untuk dilakukan evaluasi aksi. [Edy Kurniawan]

Categories
EKOSOB

Sidang Pembuktian Perkara Perburuhan; Vincensius Melawan Bank Mega

img_20131218_175420-2Sidang Pembuktian Perkara Perburuhan/Ketenagakerjaan
Vincensius Melawan Bank Mega

Sidang ini merupakan sidang perkara PHK antara Vinsensius yang diwakili oleh LBH Makassar dalam Posisinya sebagai penggugat dengan Bank Mega dalam Posisinya sebagai tergugat. Agenda sidang kali ini adalah sidang Pembuktian yang sempat tertunda seminggu akibat bukti yang belum siap disebabkan oleh legalisasi alat bukti surat di kepaniteraan pengadilan negeri Makassar yang lambat. Pada agenda sidang pembuktian ini pihak Penggugat mengajukan bukti-bukti berupa perjanjian Kerja antara bank mega dengan vincensius Tahun 2005 dan Tahun 2011, bukti rekening Koran sebagai bukti pembayaran upah yang tidak sesuai dengan upah minimum kota Makassar, dll. Sementara pihak tergugat belum mengajukan alat bukti. Selain bukti surat, sidang kali ini juga mengagendakan pemeriksaan saksi, namun agenda ini tidak terlaksana karena sidang tidak dihadiri oleh hakim ketua, sehingga sidang ditunda pada tanggal 6 Janurai 2014 dengan agenda pengajuan bukti tergugat dan mendengarkan keterangan saksi.[Muhammad Haedir]