Categories
EKOSOB

Sidang Gugatan atas Perizinan Reklamasi Pesisir Makassar Terus Bergulir

Hari ini, 25 Februari 2015, sidang pemeriksaan pendahuluan (dismissal process) terkait SK Gubernur Sulawesi Selatan atas Perizinan Reklamasi untuk Pembangunan Centre Point of Indonesia (CPI) di Pantai Losari, Makassar kembali dilaksanakan di PTUN Makassar. Sidang ini adalah ke-empat kalinya sejak dimulai pada 11 Februari 2016 lalu, dimana penggugat adalah Aliansi Selamatkan Pesisir #Makassar Tolak Reklamasi, tergugat adalah Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, selaku pemberi izin reklamasi. Sementara Majelis Hakim diketuai langsung oleh Hakim Ketua PTUN Makassar.

Pada persidangan pemeriksaan pendahuluan ini, pihak penggugat dan tergugat diberi kesempatan untuk melengkapkan seluruh administrasi terkait perkara, diantaranya adalah surat kuasa dan perihal lain terkait substansi gugatan. Hadir kuasa hukum dari Aliansi Selamatkan Pesisir adalah Abdul Azis, SH., Zulkifli Hasanuddin, SH., dan Edy Kurniawan, SH.

Persidangan ini bersifat tertutup untuk publik dan umumnya dilaksanakan maksimal sebanyak 4 (empat) kali persidangan, kemudian dilanjukan dengan persidangan terbuka yang mana sekiranya akan dilaksanakan pada awal Maret nanti. Tahapan awal untuk persidangan terbuka nantinya adalah pihak tergugat, Gubernur Sulsel melalui kuasa hukumnya akan menjawab gugatan dari penggugat. Pada Sidang gugatan ini, besar harapan agar Komisi Yudisial turut hadir dan melakukan pemantauan kinerja hakim serta dapat menjaga agar persidangan berjalan dengan adil (fair trial).

Sejumlah kejanggalan terjadi atas keluarnya perizinan lokasi dan pelaksanaan pembangunan Centre Point of Indonesia oleh Gubernur Sulawesi Selatan, dimana tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Undang-undang, diantaranya tidak pernah diumumkan permohonan dan keputusan izin lingkungan yang baik berdasarkan UU No. 32 tahun 2009 tentang RPPLH. Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) pun tidak pernah diumumkan kepada publik, tidak adanya konsultasi publik yang melibatkan masyarakat.(lihat konferensi pers: Aliansi Selamatkan Pesisir Makassar : Gugatan Hukum ASP terhadap Izin Pelaksanaan Reklamasi Centre Point of Indonesia)

Tahun 2014 – 2015, masyarakat Makassar melakukan penolakan atas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar yang memberi ruang reklamasi pesisir Makassar bagi sejumlah perusahaan swasta. Agenda-agenda tersebut nyatanya tidak berdampak apa-apa bagi masyarakat yang selama ini hidup di sekitar pesisir kota Makassar. Bahkan, dapat berdampak buruk secara langsung bagi kehidupan sosial-ekonomi bagi mereka terutama atas tempat tinggal dan hilangnya mata pencaharian. Masyarakat pesisir Makassar telah lama menumpu hidupnya sebagai nelayan. Tidak hanya itu, reklamasi ini juga dapat berdampak negatif pada keberlangsungan ekologi pantai. Selain itu, masyarakat secara umum akan kehilangan ruang publik bilamana pembanguan atas agenda reklamasi ini terjadi.

Categories
Berita Media EKOSOB

Disnaker Makassar Petieskan Kasus Upah?

Kabar Makassar —  Kinerja Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Makassar mendapat sorotan tajam dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, terkait mandeknya proses kasus pelanggaran (pidana) upah yang sudah berlangsung lebih dua tahun.

Dalam keterangan pers tertulisnya, yang diterima redaksi Kabar Makassar.com, Rabu (10/2/2016), Koodinator Bidang Hak-Hak Buruh dan Miskin LBH Makassar, Muh. Haedir, SH menegaskan pelanggaran yang dilakukan PT Gasina Multy Treding Pratama (PT Gasina MTP) terhadap 20 orang Pekerjanya, mandek di Disnaker Kota Makassar.

Dijelaskannya, kasus ini bermula dari PHK terhadap 20 orang pekerjanya PT Gasina MTP yang bekerja di SPBU Rappocini pada Agustus 2014 silam. Pada Agustus 2014, 20 orang Pekerja tersebut kemudian membawa kasus ini ke Dinas Tenagakerja (Disnaker) Kota Makassar dan melaporkan pelanggaran upah (pembayaran upah di bawah standar upah minimum kota) yang dilakukan PT Gasina MTP.

Kemudian pada April 2015, Bagian Pengawasan Disnaker Kota Makassar baru menindak lanjuti dengan laporan tersebut dengan melakukan beberapa upaya penyelidikan untuk laporan pelanggaran upahnya.

“Nanti setelah didesak berkali-kali, pada 29 September 2015, Disnaker Kota Makassar mengkonfirmasi kepada kami bahwa kasus tersebut akan segera ditingkatkan prosesnya ke tingkat penyidikan. Namun, entah apa alasannya, proses penyelidikan maupun penyidikan yang dimaksud Disnaker Kota kembali mandek di tangan Bagian Pengawasan Disnaker Kota Makassar, sampai hari ini” ungkapnya.

Dalam catatan dan pantauan LBH, kasus ini adalah kasus pidana perburuhan pertama yang sejauh di tangani Disnaker Kota Makassar sampai ke tahap penyelidikan. Maka melanjutkan penanganan kasus hingga ke Pengadilan adalah penting sebagai preseden sekaligus peringatan bagi Pengusaha agar tidak seenaknya membayar upah Buruh di bawah standar UMK atau UMP.

Terkait hal tersebut LBH Makassar mendesak Disnaker Kota Makassar mempercepat penangan kasus ini dan segera menetapkan tersangkanya yakni pengusaha/PT Gasina Multy Treding Pratama karena telah melakukan pelanggaran pidana upah, kemudian segera melimpahkan penanganannya ke Kejaksaan Negeri Makassae;

Selain itu LBH meminta Disnaker mengawasi dan menindak tegas pelanggaran-pelanggaran lain di bidang ketenaga kerjaan yang dilakukan perusahaan di Kota Makassar.

Editor: Hexa
sumber : kabarmakassar.com

Categories
Berita Media EKOSOB

Walhi Gugat Izin Reklamasi Pantai Barat Makassar

Pembangunan proyek Central Point of Indonesia (CPI) dilihat dari Pantai Losari, Makassar, Selasa, 20 Oktober 2015. Kawasan dengan luas total 600 hektar ini direncanakan akan dibangun pusat bisnis dan pemerintahan, kawasan hiburan, hotel hotel kelas dunia yang dilengkapi dengan lapangan golf dengan view ke laut lepas. TEMPO/Iqbal Lubis

TEMPO.CO, Makassar – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia bersama Aliansi Selamatkan Pesisir Makassar tengah mengupayakan gugatan administratif kepada Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, yang memberikan izin reklamasi di kawasan Centre Point of Indonesia di pantai barat Makassar. Walhi dan Aliansi berharap Pengadilan Tata Usaha Negara bisa membatalkan Surat Keputusan Gubernur kepada perusahaan swasta pelaku reklamasi, karena dianggap telah diterbitkan tanpa sesuai prosedur yang berlaku.

Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi Daerah Sulsel, Muhammad Al Amin mengatakan, pihaknya telah memasukkan berkas gugatan di PTUN Makassar sejak Jumat, 29 Januari lalu. Walhi menggugat setelah memastikan Pemprov telah mengeluarkan izin yang diduga cacat prosedural.

“Kenapa kami baru menggugat? Karena selama tiga tahun ini kami belum menemukan adanya perizinan reklamasi dari Pemprov. Izin baru terbit akhir tahun 2015,” kata Amin lewat telepon, Selasa 2 Februari 2016.

Amin mengungkapkan bahwa pokok gugatan di PTUN adalah Surat Izin Gubernur tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi bernomor 644/6273/TARKIM tahun 2015. Dalam SK itu, Gubernur Syahrul Yasin Limpo memberikan izin proyek reklamasi seluas 157 hektar di kawasan CPI. Lahan seluas 57 hektar akan diserahkan kepada Pemprov untuk pembangunan Wisma Negara. Sedangkan sekitar 100 hektar sisanya akan dikuasai oleh swasta, dalam hal ini Ciputra Surya TBK untuk kepentingan perhotelan, bisnis, dan pemukiman mewah.

Amin menegaskan, kegiatan reklamasi di wilayah pesisir harus diatur dalam Peraturan Daerah tentang zonasi wilayah pesisir. Dilakukan berdasarkan izin Kementerian Kelautan dan Perikanan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri nomor 17 tahun 2013 tentang pedoman perizinan reklamasi. Karena wilayah pesisir Makassar termasuk Kawasan Strategis Nasional, pembangunan dan pengembangannya harus mendapatkan akses legal dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Walhi bersama Aliansi yang menggelar investigasi, menemukan tidak ada satu pun permohonan dan keputusan izin lingkungan terkait kegiatan reklamasi di kawasan CPI. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan kegiatan itu juga tidak pernah diumumkan kepada publik. “Dengan demikian, izin yang diberikan itu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan Undang-undang. Semestinya dilakukan peninjauan ulang atas izin itu,” kata Amin.

Aliansi Selamatkan Pesisir Makassar yang sering melakukan perlawanan atas kegiatan reklamasi terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Di antaranya LBH Makassar, ACC, FIK Ornop, Blue Forest, JURnal Celebes, Kontras dan beberapa lainnya. Direktur LBH Makassar, Abdul Azis mengatakan, pada dasarnya anggota aliansi menilai pelaksanaan reklamasi di Makassar cacat hukum.

Aziz mengungkapkan, Aliansi menyatakan sejumlah sikap terhadap Pemprov. Yang utama, menghentikan pemberian izin pembangunan di pesisir sebelum ada peraturan zonasi wilayah pesisir dan pulau kecil. Juga penegakan hukum atas aktivitas reklamasi yang sedang berjalan. “Kami juga mendesak pemulihan lingkungan pesisir juga mendukung moratorium reklamasi pesisir.”

Penulis : Aan Pranata
Sumber : nasional.tempo.co

Categories
EKOSOB slide

Lahan Dicaplok TNI, Warga Pangkep Mengadu di LBH Makassar

Direktur LBH Makassar Abdul Azis (kiri) dan pengadu Haji Tabrah Mahmud di Kantor LBH, Jl Pelita, Kota Makassar, Selasa (29/12/2015).

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- Gara-gara lahan dicaplok anggota TNI, sejumlah warga asal Pangkep mengadu di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Makassar Sulsel, Selasa (29/12/2015).

Mereka yang mengadu, yaitu H Tabrah Bin Mahmud (56), H Rabiah, Hayati, Hj Saniasah, H Hamsinah. Mereka sekeluarga dari Dusun Akkobang E, Desa Benteng E, Kecamatan Mandalle, Pangkep.

“Tentara tega klaim lahan kami. Kami sudah melapor di Pangkep kiri kanan tidak ada kejelasan, maka kami ke LBH,” kata H Tabrah Mahmud kepada tribun-timur.com di LBH.

Para pengadu diterima Direktur LBH Makassar Abdul Azis. Azis mengaku prihatin dan akan mengusut kasus tersebut.

“Ulah anggota TNI berlebihan, kalau punya bukti kok melapor di Polres dan Kodim? mestinya ke lurah dan camat dulu, tunjukkan bukti, kami akan investigasi ini,” kata Abdul Azis.

Tanah kering dan sawah seluas dua hektar di Akkobang milik para pengadu tersebut yang kini diduduki (digarap) anggota Kodim 1421 Pangkep bernama Sabir.

“Aneh, Pak Sabir ini malah melapor di Polres dan Kodim, menguasai lahan kami, mengaku dikuasakan oleh Tike, orang tidak jelas. Padahal tanah itu warisan turun temurun keluarga kami. Lengkap surat kami dan pemerintah pun sahkan itu warisan dari Becce dan Mahmud Bin Tahere, nenek kami,” kata Haji Tabrah Mahmud.

H Tabrah Mahmud bersama saudara-saudaranya sebagai ahli waris lahan itu membawa seperangkat bukti surat kepemilikan saat mengadu di LBH. Ada rincik, PBB, SPPT, keterangan pemerintah setempat dan bukti lainnya.

Keterangan dari Kepala Desa Benteng Nasir, menyampaikan, sawah dan tanah kering atas nama Mahmud Bin Haji Tahere (putra Becce), Kohir 251 benar adanya.

Sesuai buku rincik (Rintji) dan buku Letter F/DHKF yang ada di kantor Desa Benteng, sampai sekarang telah dikuasai secara turun temurun sejak atas nama Bettjttje (Becce) pindah ke ahli warisnya bernama Mahmud Bin Tahere

“Sampai sekarang masih dikuasai oleh ahli warisnya bernama Haji Tabrah Bin Mahmud,” kata Nasir.

Penulis: Ilham Mangenre
Editor: Anita Kusuma Wardana
Sumber : makassar.tribunnews.com

Categories
Berita Media EKOSOB

Makassar bylaw on reclamation endorsed despite protests

The legislative council of Makassar, South Sulawesi, on Friday approved the 2015 to 2035 city bylaw on spatial planning, despite protests from a number of non-governmental organizations (NGOs).

The NGOs objected to the bylaw, which allowed the city administration to reclaim the coastal area around Losari Beach, Makassar, saying that it would further damage the environment and harm local people.

The executive director of the Indonesian Forum for the Environment’s (Walhi) South Sulawesi branch, Asmar Exwar, said reclamation would damage the ecosystem of the coastal area, including mangroves and coral, important for the growth of sea biota.

The local community, especially fishermen, according to Asmar, would also suffer from losing places to catch fish and scallops, which had been their main source of income.

“That is why we are against the endorsement of the bylaw,” Asmar said.

During the plenary session to approve the bylaw at the city legislative council building on Friday, which was also attended by Makassar Deputy Mayor Syamsu Rizal, dozens of environmental activists and coastal people staged a rally and demanded the council cancel their approval of the bylaw.

Separately, the city council’s speaker Farouk said that the deliberation on the draft bylaw was tough and took four years to complete.

Some councilors, he said, did not agree with the reclamation, but after long deliberations the bylaw was finally approved.

“We agreed on the reclamation and on putting it in the bylaw with 13 conditions that had to be fulfilled,” said Basdir, a Democratic Party councilor who was previously against the bylaw.

He said that among the conditions were requirements to pay attention to ecological, social and economical impacts, to thoroughly complete the licenses and to publicize the development plan design, as well as to spare 30 percent of the area as a public open green space and reserve 20
percent for the private sector.

Other conditions include a requirement that the reclaimed area does not directly border land.

Meanwhile, the chairman of the council’s special committee for the deliberation of the bylaw, Abdul Wahab Tahir, said that all the processes to have the bylaw approved had been undertaken.

“The planned reclamation will not damage the environment. In fact, it will save the city’s damaged coastal area,” said Wahab, adding that the reclamation was an environmental-based mitigation designed by the city administration.

Makassar Mayor Mohammad Ramdhan Pomanto said that the planned reclamation was prepared following a thorough study of the condition of the area conducted with the involvement of academics.

“The reclamation will in fact save the coastal environment that is currently facing a threat of damage from climate change and a high sedimentation rate,” the mayor said.

The fate of local community, Ramdhan said, would also be recognized. With reclamation, he said, the people’s welfare would be even better as more job opportunities would be available.

The area to be reclaimed amounted to some 4,000 hectares, expanding from the south to the north of Losari Beach, spanning for some 35 kilometers in length.

A Center Point of Indonesia (CPI) and a new port would be developed in the reclaimed area. The ground-breaking ceremony for the development of these facilities was conducted recently by President Joko “Jokowi” Widodo.

Previously, the Makassar Legal Aid Institute (LBH) said it would take legal steps if the draft bylaw for spatial planning that allowed the controversial reclamation plan was approved by the city’s legislative council

“We have designed the legal step we will take,” LBH Makassar’s spokesperson Zulkifli Hasanuddin, said.

penulis : Andi Hajramurni
sumber : thejakartapost.com

Categories
EKOSOB

Isteri Korban Penembakan Petani Mengadu ke LBH Makassar

img_20131127_145433Bau Arma istri  korban  penembakan yang dilakukan Polisi di Desa Bontomangiring Kab. Bulukumba mendatangi Kantor LBH-Makassar di Jln Pelita Raya VI, Bau Arma ditemani beberapa warga Desa Bontomangiring termasuk kepala Dusun Bulusani untuk mendapatkan Perlindungan serta pendampingan hukum di Kantor LBH Makassar terkait penembakan yang merenggut nyawa suaminya Marzuki (28) yang terjadi pada hari sabtu tanggal 23 Nopember 2013 di Jalan Desa Poros Bontomangiring Dusun Bulusani Kec. Bontomangiring Kab. Bulukumba,

Marzuki awalnya  dikeroyok oleh dua orang bersaudara yaitu Yusuf dan Alam   karyawan perkebunan Karet PT Lonsum termasuk tiga orang Anggota Polisi yang ditugaskan oleh Polres Bulukumba sebagai petugas pengamanan Perkebunan Karet PT Lonsum  melakukan penembakan kepada korban. Marzuki dicegat oleh pelaku di Jalan Desa Poros Bontomangiring dimana sebelumnya para pelaku sudah mencar-cari korban, ujar Arfah salah seorang saksi pada saat mengadu di LBH-Makassar

saya dicegat oleh Yusuf  yang ditemani oleh anggota polisi yang mengenakan jaket hitam serta membawa senjata laras panjang dimana yusuf pada saat itu menanyakan keberadaan Marzuki (korban)”. Arfah pada saat itu juga dituduh melakukan pengrusakan portal milik Perkebunan Karet PT Lonsum. Pada saat sedang bicara yusuf memanggil anggota polisi dan kemudian memukuli Arfah dengan menggunakan senjata laras panjang pada bagian punggung kemudian menyuruhnya pulang.

Sementara Pattaning dan Syamsir saksi yang berada di TKP pada saat terjadinya penembakan berkisah  pada saat terjadinya  pengeroyokan yang berujung pada penembakan  terhada korban kami berdiri kurang lebih tiga meter dari korban dimana yusuf bersama-sama Alam mengarahkan badiknya kearah korban dimana korban pada saat itu sama sekali tidak melakukan perlawanan “saya dan syamsir datang mendekat dengan maksud ingin melerai, namun diancam oleh Pelaku. Ujar Pattaning.

Yusuf dan alam memegang  kedua tangan korban masing-masing satu tangan, dan yusuf menyuruh polisi untuk menembak korban.  Polisi yang bernama pak khalik langsung menembak paha kiri korban sebanyak 1 kali dari jarak dekat ke arah paha kiri, korban langsung jatuh  kemudian pak khalik menembak lagi paha kanan korban sebanyak 2 kali dengan jarak dekat.

Korban yang sudah tidak berdaya hanya teriak-teriak “Apa salah saya pak kenapa saya ditembak” sambil terjatuh. Ujar syamsir mengenang peristiwa penembakan itu. Pattaning menambahkan Sebelum penembakan kedua dan ketiga Saya berteriak melarang polisi menembak korban jangan ditembak pak itu marzuki masyarakat kita  juga, namun pelaku tidak mengubrisnya, Polisi kemudian memborgol korban lalu menyeret ke jalan masuk sekitar 7 meter. Kemudian dianaikkan diatas mobil strada warna silver hijau.

LBH-Makassar akan mengawal proses hukum  kasus tersebut dan akan melaporkan tidakan aparat kepolisian langsung ke Polda Sulselbar “karena apabila diproses di Polres Bukukumba kami yakin Polres tidak akan bekerja professional malah akan melindungi pelaku” Ujar Haswandy Andy Mas, Wakil Direktur LBH Makassar. Kami  juga akan menyurat ke Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Jakarta untuk meminta agar saksi-saksi kita dilindungi karena sudah ada upaya teror yang diterima oleh saksi-saksi saat ini.[Suharno]

Categories
EKOSOB

Tim Konsultan Ranperda RTRW Makassar Dikecam

IMG_20150522_082721MAKASSAR – Untuk kedua kalinya Rapat Dengar Pendapat (RDP) Ranperda RTRW Makassar dilakukan dengan melibatkan CSO dan akademisi pemerhati Tata Ruang. RDP II ini dihadiri oleh puluhan CSO, Organisasi Mahasiswa, Komunitas Masyarakat Pesisir Korban Reklamasi, yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) Makassar. Selain itu, hadir pula para Guru Besar dari Universitas Bosowa ‘45, UNHAS dan UIN yang masing-masing memiliki disiplin ilmu di bidang Planologi, Tata Ruang dan Penyusunan Peraturan Perundang-undangan. Sementara yang mewakili pihak eksekutif adalah Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Ruang, Dinas Pendapatan Daerah, BAPPEDA dan Dinas Kelautan-Perikanan. Pertemuan kali untuk mendengarkan jawaban eksekutif selaku pihak yang menginisiasi Ranperda RTRW Kota Makassar, serta Pemaparan Konsultan RTRW dalam menjawab kritikan dan pertanyaan dari Akademisi dan Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) Makassar.

Pada pertemuan kali ini, semua pihak yang hadir mengungkapkan kekecewaan kepada tim konsultan RTRW Makassar. Pemaparan tim konsultan tidak satupun dianggap mampu menjawab pertanyaan yang diajukan pada RDP sebelumnya. Salah satu anggota Pansus mengungkapkan bahwa tim konsultan RTRW tidak akomodatif, tidak serius dan terkesan tutup telinga atas masukan penting dari pihak-pihak pemangku kepentingan. Padahal, RTRW ini menyangkut hajat hidup orang banyak yang akan dirasakan 15 tahun ke depan. Jika salah memutuskan, maka akan sangat merugikan masyarakat luas dan yang paling menanggung beban moral maupun politik adalah anggota Pansus karena akan mendapat sorotan tajam dari semua pihak. Terkait Reklamasi, Pansus menegaskan bahwa aktivitas tersebut hanya akan menguntungkan kelompok kapitalis dan menghilangkan wajah Makassar sesungguhnya.

Secara terpisah, ketua Pansus Wahab Tahir yang memimpin jalannya RDP memperingatkan  konsultan RTRW dan Eksekutif agar tidak main-main dalam menyusun Ranperda RTRW. Lebih lanjut ia menghimbau agar menampung masukan semua pihak dan menjadikannya sebagai pertimbangan utama. Lebih tegas ia mengungkapkan tidak akan segan-segan menahan, dan bahkan menolak pengesahan Ranperda RTRW jika Konsultan tetap tutup telinga dan tidak mengakomodir masukan para pihak yang pro kepentingan rakyat. Anggota DPRD Makassar sampai saat ini masih memiliki integritas, dan tidak terpengaruh oleh godaan apapun, ungkap ketua Pansus yang juga merupakan eks. Aktivis Mahasiswa itu. Untuk itu, ia meminta kepada eksekutif yang hadir dan anggota tim Konsultan agar pada RDP selanjutnya dapat dihadirkan ketua tim konsultan Ranperda RTRW untuk memaparkan secara langsung.

Beberapa Guru besar dan akademisi pun turut menyayangkan sikap Konsultan dan eksekutif yang pasif menanggapi masukan dan pertanyaan dalam RDP. Berkali-kali mereka memberikan masukan strategis kepada tim Konsultan, akan tetapi sampai sekarang tidak diakomodir. Adapun perubahan naskah Ranperda RTRW hanya sampul depan saja, sedangkan secara substansi tidak ada yang berubah. Salah satu akademisi dari Universitas Bosowa mengungkapkan kejenuhannya dalam RDP, karena mereka dianggap hanya angin lewat. Menurutnya, dalam RTRW peruntukan Reklamasi tidak jelas dan setengah-setengah, apakah sebagai kawasan konservasi ataukah bisnis.

Sementara, Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) tetap pada pandangan umum yang disampaikan dalam RDP sebelumnya, yaitu menolak alokasi Reklamasi dalam Ranperda RTRW Makassar.[Edy Kurniawan]

Categories
EKOSOB

Aliansi Selamatkan Pesisir Konsolidasikan Masyarakat Mariso Tolak Reklamasi

IMG_20150519_122504MAKASSAR – Sebanyak 400 (empat ratus) orang masyarakat pesisir di Kec. Mariso, Kota Makassar mengalami dampak aktivitas Reklamasi, sebagian besar diantara mereka adalah perempuan. Masyarakat yang dahulu memiliki mata pencaharian sebagai Nelayan dan pencari kerang, kini tak bisa lagi melakukan aktivitas mereka. Akses atas sumber-sumber penghidupan mereka dirampas atas nama pembangunan berlabel Reklamasi. Tidak hanya itu, tercatat sebanyak 23 Kepala Keluarga menjadi korban, rumah mereka dirusak oleh aparat gabungan TNI AL dan Satpol PP.

Menurut keterangan seorang warga, penggusuran tersebut berdasarkan surat pemerintah kota Makassar dengan dalih bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan hijau. Belakangan diketahui, ternyata wilayah kelola warga dijadikan lokasi Reklamasi dimana pengelolaannya dilakukan oleh penguasa modal bernama Hj. Najamiah. Masyarakat yang protes mendapat intimidasi dan terror, bahkan beberapa diantara mereka mengalami penganiayaan dari belasan preman bayaran dan satu orang diketahui merupakan anggota TNI yang masih aktif.

Saat ini masyarakat pesisir tinggal di rumah keluarga terdekat dan sebagian dari mereka yang tidak memiliki keluarga terpaksa tinggal di kamar kontrakan dengan fasilitas seadanya. Sampai sekarang masyarakat tidak pernah mendapat ganti rugi atas penggusuran dan perampasan hak-hak dasar mereka. Pekerjaan mereka terpaksa berubah, yang awalnya Nelayan dan Pencari Kerang, kini menjadi buruh harian lepas, beberapa diantara mereka bahkan belum mendapat pekerjaan sama sekali.

Pada hari Minggu, 17 Mei 2015 lalu, LBH Makassar bersama WALHI Sul-sel, Front Mahasiswa Nasional, Front Perjuangan Rakyat Sulsel, Forum Kajian Issu Strategis UMI, beserta organisasi Mahasiswa lainnya melakukan konsolidasi bersama masyarakat pesisir di Kec. Mariso daerah Pannambungan. Puluhan perwakilan masyarakat pesisir sangat antusias mengikuti jalannya pertemuan yang dilaksanakan di rumah salah seorang warga yang juga Purnawirawan bernama pak Gultom.

Pada awalnya, LBH Makassar meminta kepada Masyarakat untuk melakukan pertemuan langsung di wilayah kelola warga, akan tetapi di setiap pinggiran wilayah tersebut sudah berdiri beton-beton yang dengan rapat menutupi bau busuk Reklamasi. Namun, baunya tetap saja menyengat sampai-sampai setiap orang yang mencium baunya menjadi marah dan muak.

Satu persatu warga berdatangan hingga ruang tamu menjadi sesak dipadati puluhan warga yang nampak penuh semangat berapi-api untuk berjuang merebut kembali hak-hak dasar mereka yang dirampas oleh Pemerintah Kota dan Penguasa Modal. Kedatangan LBH Makassar dan organisasi Mahasiswa menjadi pemantik dalam mengembalikan semangat perjuangan Masyarakat Pesisir ini. Sebab, masyarakat pesisir sampai saat ini belum mendapatkan hidup layak di tengah gembar-gembor program pembangunan oleh pemerintah, bahkan mereka kerap kali mendapatkan intimidasi dan teror dari alat-alat represi negara.

Dalam pertemuan tersebut, beberapa hal yang menjadi rekomendasi bersama, diantaranya membangun penguatan simpul masyarakat pesisir yang terkena dampak Reklamasi di titik kecamatan, mendorong konsoldasi Gerakan Tolak Reklamasi di setiap kampus untuk melakukan kampanya dan agitasi secara massif, membuat Petisi warga pesisir Makassar terkait penolakan Reklamasi.[Edy Kurniawan]

Categories
EKOSOB

Juru Parkir Desak Hasil Audit BPK Atas PD Parkir Makassar Dibuka

IMG_5475MAKASSAR – Ratusan Juru Parkir yang tergabung dalam Serikat Juru Parkir Makassar (SJPM) bersama berbagai organisasi Mahasiswa dan NGO menggelar unjuk rasa di Balai Kota Makassar, Kamis, 21 Mei 2015 pukul 12.30 wita. Dalam aksinya, mereka menuntut perbaikan tata kelola PD Parkir Makassar. “PD Parkir harus dikelola secara transparan dan akuntabel”, tegas Emen, Koordinator aksi yang juga anggota SJPM, dalam orasinya. Menurut emen, PD Parkir selama ini tidak dikelola dengan becus. Karenanya, Walikota Makassar harus menertibkan pengelolaan PD Parkir.

Selain menuntut transparansi, SJPM bersama berbagai organisasi yang tergabung dalam Solidaritas Rakyat Untuk Juru Parkir juga menolak rencana Walikota Makassar Danni Pomanto yang akan menswastakan PD Parkir Makassar. Mereka menolak rencana sawastanisasi sebab akan merugikan Juru Parkir. Jika PD Parkir diswastakan, itu artinya, harapan kesejahteraan Juru Parkir akan semakin jauh karena PD Parkir akan dikelola dengan model Perseroan Terbatas (PT) yang tentunya berorientasi profit.

Mereka juga menolak rencana Walikota yang memberlakukan sistem smart card dalam pengelolaan PD Parkir. “memangnya samart card bisa dipake beli beras? Bisa dipake beli bensin? Untuk bayar uang sekolah anak kita?”, tanya Daeng Ngawing kepada massa aksi yang disambut dengan teriakan “tidak” secara kompak. “Kami secara tegas menolak samart card karena akan merugikan kami, Juru Parkir”, kata Daeng Ngawing.

Dalam aksi ini, Juru Parkir juga menuntut Pemerintah Kota untuk memenuhi hak-hak mereka, di antaranya hak atas BPJS kesehatan dan ketenaga kerjaan. “Sampai hari ini kita ditagih Rp 2000/hari untuk pembayaran BPJS, tapi hasilnya pada saat kita sakit, kita tidak pernah menikmati fasilitas kesehatan dari BPJS yang setiap hari kita bayar. Pertanyaannya, uang kita Rp 2000/per hari itu dikemanakan?”, lanjut Daeng Ngawing dalam orasinya. Oleh karena itu, mereka mendesak BPK membuka hasil audit atas kinerja PD Parkir selama ini. “kita berhak tahu seperti apa hasil kerjanya, karena tiap hari kita ditagih”, tutup Daeng Ngawing.

Setelah kurang lebih 60 menit massa menggelar orasi di depan Balai Kota di Jl. Ahmad Yani, Perwakilan Pemkot Makassar datang dan menemui massa aksi. Kepada massa aksi, perwakilan Pemkot meminta perwakilan massa aksi untuk berdialog terkait tuntutan mereka. Namun tawaran tersebut ditolak massa. “Kami tidak butuh dialog atau negosiasi. Pakoknya tidak ada negosiasi hari ini”, seru Emen kepada massa aksi. Dari Balai Kota, massa aksi begeser ke Kantor DPRD Kota Makassar di Jln. AP Pettarani.

Di halaman Kantor DPRD Kota Makassar, massa kembali menggelar orasi. Setelah 15 menit berorasi, massa aksi diminta masuk untuk berdialog di Ruang Aspirasi DPRD. Adi Rasyid Ali dan Sugali, 2 anggota DPRD yang menerima massa aksi. Setelah mendengarkan semua keluhan dan tuntutan yang disampaikan juru bicara, kedua anggota legislatif tersebut menjanjikan akan memanggil Pemerintah Kota dan Dirut PD Parkir untuk meminta klarifikasi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP).

Mereka juga berjanji akan menghubungi perwakilan SJPM beserta perwakilan Mahasiswa dan NGO yang mendampingi Juru Parkir untuk hadir dalam RPD tersebut. “segera akan kami panggil Pemkot, teman-teman Juru Parkir, dan pendampingnya untuk hadir dalam RDP nanti”, kata Adi. “jadi saya minta teman-teman menuggu, pasti akan kami hubungi untuk hadir dalam RDP. Karena hari ini kami baru mendengar dari teman-teman Juru Parkir, maka kami juga harus mendengar versinya Pemkot di RDP nanti”, tutup Adi Rasyid Ali.[Moh Alie Rahangiar]

Categories
EKOSOB

LBH Makassar & Orbonta Siap Mengawal Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

IMG_20150414_104451Pangkep – Menyambut Rencana Aksi Pemerintah sebagai tindaklanjut Nota Kesepakatan Bersama (NKB) antara KPK dengan Kementerian dan Lembaga Terkait tentang Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam. Pada tanggal 9 April 2015, LBH Makassar menggelar konsolidasi bersama Masyarakat Desa Tabo-tabo yang tergabung dalam Organisasi Rayat Bonto Tangnga Tabo-tabo (Orbonta) Pangkep. Pertemuan berlangsung di rumah Pak Runtu yang merupakan Anggota Orbonta. Warga sangat antusius mengikuti konsolidasi yang diinisiasi oleh LBH Makassar selaku pendamping Masyarakat. Salah satu isu penting dalam NKB antara KPK dengan Kementerian dan Lembaga Negara terkait adalah Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia dengan memberikan jaminan  hak-hak dan kepastian hukum masyarakat setempat. Sehingga, nantinya akan didorong sebuah Regulasi dengan semangat konstitusi Tap MPR IX tahun 2001 Tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.

Pada sektor kehutanan, lahirnya NKB antara KPK dengan Kementerian dan Lembaga Negara terkait adalah untuk menghadang laju pengrusakan kawasan hutan dan eksploitasi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Sebab, selama ini fenomena penggondolan kekayaan Sumber Daya Alam serta perampasan hak-hak dan akses masyarakat terhadap SDA masih saja menghantui masyarakat, yang bermukim di daerah pedesaan. Sesuai data yang dirilis oleh Direktur Jenderal Planologi Kehutanan pada tanggal 26 Juni 2014, di Sulawesi Selatan  terdapat 77 Izin Usaha yang terindikasi berada dalam Kawasan Hutan Lindung dengan total luas areal 275.432,78 Ha dari 1.232.683 Ha luas Kawasan hutan lindung di Sul – sel. Dari 77 Izin usaha tersebut, terbagi menjadi beberapa jenis Izin diantaranya ; IUP (Operasi Produksi), IUP (Survey/Exploitasi), KK (Operasi Produksi) dan KK (Survey/Eksploitasi).

Di depan rakyatnya, Pemerintah terus berpupuh akan memberikan kesejahteraan melalui izin-izin tersebut. Iming-iming berupa peluang lapangan kerja, gelontoran dana CSR dalam pembangunan infrastruktur, sosial, pendidikan untuk masyarakat setempat, dan tak kalah penting akan mendongkrak APBD yang pada ujungnya akan masuk dalam kantong-kantong penguasa lokal. Namun, keadaan berkata lain, dimana-mana hak masyarakat selalu dikebiri, dirampas dan dimarjinalkan. Keberadaan negara sebagai penguasa demikian besar mengintervensi rakyat, sehingga terjadilah proses ketidakadilan yang melahirkan masalah hukum dan menimbulkan dampak sosial di tengah masyarakat, salah satu diantaranya “kemiskinan structural”.

Pahitnya ketidakadilan sejak Rezim Otoriter Orba sampai dengan Rezim Boneka Imperialis SBY, dialami Masyarakat Tabo-Tabo Kec. Bungoro Kab. Pangkep. Secara struktural hak-hak mereka terhadap akses SDA telah dirampas oleh penguasa dalam hal ini Dinas Kehutanan Cq. Balai Latihan Kehutanan (BLK) sekarang Balai Diklat Kehutanan (BDK). Potret ketidakadilan terhadap masyarakat Tabo-tabo ini telah berdampak demikian luas bagi kehidupan dan kelangsungan komunitas kampung Tabo-tabo. Betapa tidak realitas kemiskinan dan ketertinggalan sangat terlihat jelas di tengah masyarakat Tabo-tabo. Sementara pada sisi lain, negara sebagai sistem pengontrol, penyeimbang dan pelaksana justru menjadi salah satu aktor dari rekayasa tersebut, maka lengkaplah sudah ketimpangan kaum miskin sebagai bagian dari sistem yang tereksploitasi, seperti gambaran yang dialami Masyarakat Tabo-tabo berikut ini.

Masyarakat desa Tabo-tabo selama ini tinggal dalam kawasan hutan lindung dengan berbagai aktivitas seperti; menggarap sawah, kebun, membuat gula, membangun usaha batu asah, dan lain-lain. Mereka sudah terbiasa dengan intimidasi oleh pihak Kehutanan yang biasa dikenal dengan julukan SPORC (Satuan Polisi Reaksi Cepat). Jika ancaman SPORC tidak mempan, pihak Kehutanan terkadang mengerahkan aparat Brimob untuk menakut-nakuti warga. Beberapa diantara mereka telah memiliki sertifikat lahan dan bukti-bukti secara administratif, akan tetapi pihak Kehutanan tidak mengindahkan semua itu.

Sejak tahun 2008 berdirinya Orbonta yang diinisiasi LBH Makassar, keyakinan perjuangan masyarakat semakin kukuh. Pola kriminalisasi terhadap masyarakat dengan tuduhan penyerobotan kawasan hutan tentunya tidak menyurutkan semangat perjuangan masyarakat. Justru sebaliknya, organisasi yang beranggotakan kurang lebih 90 Kepala Keluarga ini semakin solid, ditambah dengan suntikan pengetahuan hukum kritis oleh LBH Makassar. Di sisi lain, kesadaran politik masyarakat terus dipupuk, sehingga keberadaan Orbonta turut diperhitungkan sebagai kekuatan politik lokal baik di tingkat desa maupun di kabupaten. Dalam keadaan tertentu, Orbonta biasa melakukan intervensi secara politik untuk menekan sikap pemerintah daerah terkait kepentingan mereka.

Memasuki babak awal Rezim abu-abu Jokowi-JK, Orbonta mendapat angin segar dengan adanya NKB KPK dengan Kementerian dan Lembaga Negara terkait yang mengisyaratkan kepastian hukum serta perluasan wilayah kelola mayarakat. Orbonta mengkonsolidasikan masyarakat untuk memperkuat kembali posisi organisasi. Sedangkan, LBH Makassar sebagai connecting position akan berusaha menghubungkan antara Gerakan Masyarakat dengan Rencana Aksi Pemerintah untuk mempercepat dan mengontrol pelaksanaan NKB melalui Pemerintah Daerah dalam usaha mewujudkan partisipasi aktif  Masyarakat terhadap Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam.[Edy Kurniawan]