Categories
Berita Media EKOSOB slide

DEMA Fakultas Syariah dan Hukum mengadakan Panggung Ekspresi dalam merespon PT PP Lonsum

Dewan  Mahasiswa (DEMA) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar menggelar Panggung Ekspresi di pelataran Fakultas Syariah dan Hukum UINAM, senin (25/03/2018).

Panggung ekspresi ini memiliki beberapa item kegiatan, yakni diskusi, lapak buku, hingga musikalisasi puisi. Kegiatan ini merupakan agenda lanjutan dari aliansi Solidaritas Perjuangan Tanah Untuk Rakyat (SPTR) dalam menggalang solidaritas untuk perjuangan masyarakat adat Ammatoa Kajang yang saat ini tengah berkonflik dengan PT. PP London Sumatera (Lonsum).

Junaid Judda narasumber dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) sulsel, mengatakan pernah terjadi pembuangan limbah Lonsum di daerah aliran sungai wilayah lohe. Pada saat pembersihan, terdapat lahan yang memiliki 30 titik mata air ditemukan rusak dan sungai-sungai ikut tercemar akibat aktivitas PT. PP Lonsum. Aliran sungai ini sampai ke  laut, hingga berdampak pada  pencemaran laut, petani rumput laut mendapatkan serpihan-serpihan karet.

“Konflik PT PP Lonsum adalah konflik 100 tahun berdarah bagi masyarakat. Akibatnya, banyak anak-anak yang tak bersekolah. Kondisi pekerja pun sangat riskan, mereka hanya di-upah Rp. 100.000 per-hari”. Tambah Indarto, narasumber dari Konsorium Pembaruan Agraria (KPA).

Semangat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)  dibuat untuk  koperasi milik rakyat.  Serta Undang-undang perpres 86 2018, dimana Masyarakat petani itu memiliki 2 hektar lahan dan nelayan harus memiliki wilayah tangkap sendiri. Kalau konteks Bulukumba, KPA berpendapat bahwa Pemerintah Bulukumba seharusnya melihat Perpres 86 tahun 2018, dimana tidak memberi izin atas Hak Erphak dan Hak Guna Usaha (HGU), bahwa sisa air  sekarang ini hanya 20 persen, dan air bersih lainnya lebih diutamakan perkebunan, perhutanan. maka dari  ” Tidak ada air, tidak ada kehidupan”. Ucapnya kembali.

Narasumber ketiga Rizal karim dari komunitas PKBM CaraBaca, persoalan pertanahan  baru ada pada tahun 1870 yang di sebut agraria swett,  Prinsip agraria swett di dasari  asas domein verklaring yang dibawa oleh Raffles pada saat menjadi gubernur jendral kolonial Belanda pada saat itu, asas ini menganggap daerah-daerah  yang ditaklukkan sifatnya  itu milik,  Bahasa kekuasaan ialah perlindungan dan penguasaan atas sumber-sumber agraria. Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 ialah cerminan Hak Ulayat masayarakat Indonesia.

Sebenarnya sumber daya alam kita mencukupi untuk semua orang, tetapi tidak untuk mereka yang serakah. Ucap Rizal kembali.

 

Penulis : ibrahim R.M

 

*Sebelumnya berita ini telah dimuat di media online SINTESIA pada edisi 25/03/2019

Categories
EKOSOB SIPOL slide

Tolak Penggusuran Berdalih Revitalisasi Cagar Budaya Benteng Rotterdam

Press Release ALARM Tolak PENGGUSURAN

“Berpartisipasi dalam kehidupan budaya adalah HAM yang dilindungi oleh negara”
Tolak Penggusuran Berdalih Revitalisasi Cagar Budaya Benteng Rotterdam, Makassar!!!

Aliamin (51 tahun) menerima surat dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan (untuk selanjutnya disebut sebagai balai) pada tanggal 12 Februari 2019, Surat bernomor 0303/E22.1/TU/2019 tersebut berisi tentang permintaan pihak balai agar Aliamin dan keluarga segera mengosongkan lahan yang ia tempati paling lambat 14 hari setelah surat diterima.

Lahan ini sudah ditempati Aliamin selama kurang lebih 24 tahun. Di sini dia bersama keluarga menggantungkan hidup, sambil merawat taman seluas 60 x 29 m dengan hasil keringat sendiri dan tanpa uang dari negara. Aliamin saat ini telah memiliki 5 (lima) orang anak. Kelima anaknya lahir dan besar di tempat tersebut.

Pada tahun 1995 Aliamin mulai menempati lokasi di sisi kiri depan bangunan tembok Benteng Rotterdam (Taman Patung Kuda), ini atas permintaan Gabungan Pengusahan Konstrusi (GAPENSI) TK 1 Sul-sel, melalui surat tugas yang diterbitkan Badan Pimpinan Daerah Gapensi TK I Sul-sel tertanggal 15 April 1995, Aliamin diminta untuk merawat dan menjaga Taman Patung Kuda Benteng yang merupakan Binaan Gapensi. Gapensi pada tahun 1995 diberikan kewenangan oleh Pemerintah Kota Madya untuk mengelola Taman Patung Kuda.

Pada awal bekerja sebagai perawat taman, Aliamin mendapat upah sekitar Rp. 70.000 s/d Rp. 100.000 perbulan dari Gapensi. Namun pada tahun 1997 terjadi krisis, sehingga keuangan Gapensi ikut mendapat imbas, maka Drs. A. M. Mochtar meminta kepada Aliamin agar membuka usaha warung kedai kopi di area taman agar tetap bisa membiayai taman dan dapat bertahan hidup, karena Gapensi tidak lagi memiliki anggaran untuk mengupah Aliamin. Hasil dari penjualan kedai kopi digunakan Aliamin untuk menjaga dan merawat taman.

Pada tahun 1999 pernah dilakukan pengukuran lokasi situs oleh pihak balai, itu tanpa komunikasi kepada Aliamin sebagai pengelola taman. Hingga pada tahun 2010 terbit Sertifikat Hak Pakai (SHP) atas nama balai, tetap juga Aliamin tidak diajak komunikasi, paling tidak untuk memperjelas posisi Aliamin setelah terbitnya sertifikat.

Secara hukum, penguasaan Aliamin yang menjaga kelestarian dan keberlanjutan Cagar Budaya Benteng Rotterdam secara konsisten adalah sah dan bukanlah perbuatan melawan hukum. Apalagi penguasaan tersebut dilakukan jauh sebelum terbitnya SHP tahun 2010. Penguasa fisik (bezitter) haruslah dilindungi oleh hukum, tidak seorangpun yang dapat melakukan eksekusi pengosongan lahan tanpa melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Melalui penguasaan selama puluhan tahun, maka timbullah seperangkat hak Aliamin sebagai warga negara, antara lain ; hak atas pekerjaan termasuk mencari nafkah, hak atas pendidikan terhadap 5 (lima) orang anak Aliamin, hak atas tempat tinggal dan perumahan, hak atas keberlanjutan keluarga, dan hak atas kehidupan yang layak. Secara aktual, yang dilakukan Aliamin merupakan wujud penikmatan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 15 Ayat (1) huruf a UU Nomor 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya.

Seperangkat hak tersebut merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang wajib dihormati dan dilindungi oleh negara. Tidak seorangpun, termasuk pihak balai yang dapat menghilangkan/merampas HAM secara sewenang – wenang. Hal ini telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 28 I Ayat (4) dan Pasal 28 J Ayat (1) UUD 1945, menyatakan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Dan Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 71 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, menyatakan bahwa “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM…”

Di sisi lain, Aliamin yang selama puluhan tahun secara sukarela melakukan pelestarian secara konsisten dan keberlanjutan, seharusnya diberikan insentif oleh Pemda Sul-sel, bukan malah digusur. Berdasarkan ketentuan Pasal 36 Ayat (1) dan (2) PERDA Prov. Sulsel Nomor 2 tahun 2014 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya, menyatakan “setiap orang, kelompok masyarakat, atau badan yang memiliki dan/ atau menguasi Cagar Budaya dengan sukarela melakukan pelestarian secara konsisten dan berkelanjutan serta memenuhi kaidah pelestarian terhadap Cagar Budaya dapat diberi insentif dan/atau kompenasasi dari Pemerintah Daerah. Pemberian insentif sebagaimana dimaksud, dapat berbentuk bantuan advokasi, tenaga teknis, tenaga ahli, sarana dan prasarana, dan/atau pemberian tanda pengahargaan. Sedangkan pemberian kompensasi sebagaiamana dimaksud, dapat berbentuk uang, bukan uang, dan/atau tanda penghargaan.”

Rencana revitalisasi oleh pihak balai dilakukan secara diskriminatif, sebab di lain pihak terdapat banyak bangunan permanen yang berdiri di dalam kawasan cagar budaya Benteng Rotterdam. Ironisnya, pihak balai kehilangan nyali untuk menertibkan bangunan – bangunan tersebut. Dalam artian, pihak balai hanya bernyali terhadap masyarakat kecil dan lemah seperti Aliamin.

Olehnya itu, kami menilai rencana pengosongan oleh pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya Sul-sel terhadap rumah tempat tinggal Aliamin adalah tindakan diskriminatif, sewenang – wenang, melawan hukum, dan menimbulkan ancaman terjadinya pelanggaran HAM.

Untuk itu, kami dari Aliansi Rakyat dan Mahasiswa (ALARM) Tolak PENGGUSURAN menuntut dan mendesak kepada:

1. Presiden R.I. untuk menghentikan rencana penggusuran terhadap Aliamin;
2. Menteri Pendidikan & Kebudayaan R.I. Cq. Dirjen Kebudayaan R.I. Cq. Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Sulsel untuk menghentikan rencana penggusuran terhadap Aliamin;
3. DPRD Sulsel & DPRD Makassar untuk menghentikan rencana penggusuran terhadap Aliamin;
4. KOMNAS HAM R.I. untuk melakukan penyelidikan terkait ancaman terjadinya pelanggaran HAM;
5. OMBUDSMAN R.I. untuk melakukan penyelidikan terkait dugaan mall administrasi Surat dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Prov. Sulsel Nomor : 0303/E22.1/TU/2019, tanggal 12 Februari 2019

 

Makassar, 26 Februari 2019.

 

Narahubung:

    1. 1. 0853-9512-2233 (Edy Kurniawan/Kepala Divisi Tanah & Lingkungan Hidup LBH Makassar-YLBHI/Kuasa Hukum Aliamin)
    1. 2. 0877-8181-1313 (Mukhtar Guntur Kilat/Presiden Federasi Serikat Perjuangan Buruh Indonesia)
    1. 3. 0812-4264-9000 (Aliamin/korban rencana pengosongan kawasan Cagar Budaya Benteng Roterdam, Makassar)

 

Categories
EKOSOB SIPOL slide

Solidaritas untuk Juru Parkir Makassar Tolak Kenaikan Setoran

Salam perjuangan,

Sehubungan dengan surat edaran dari PD. Parkir Kota Makassar Raya yang dikeluarkan pada tanggal 10 Januari 2019 dengan nomor: 001/10.3/PD.PMR/I/2019, perihal Penyesuaian Target Setoran Titik Parkir dengan alasan “pertumbuhan kendaraan sebesar 7% yang memacetkan arus lalu lintas sehingga perlu penataan parkiran,” maka dinaikka target anggaran sebesar Rp. 27.054.420.000 (dua puluh tujuh miliar lima puluh empat juta empat ratus dua puluh ribu rupiah). Menelaah isi surat edaran tersebut yang sangat tidak masuk di akal, tidak manusiawi serta ketidak saling terhubungnya antara peningkatan volume kendaraan dengan pendapatan Juru Parkir sehingga kenaikan target setoran Juru Parkiran di Kota Makassar tidak dapat dibenturkan.

Peningkatan volume kendaraan terus bertumbuh, akan tetapi lahan milik Juru Parkir di Kota Makassar sama sekalai tidak mengalami perubahan. Meskipun volume kendaraan terus bertambah tetapi itu tidak berdampak pada pendapatan Juru Parkir. Seharusnya juga ketika PD. Parkir Kota Makassar Raya akan mengambil kebijakan kenaikan setoran terhadap Juru Parkir, ini dapat dikatakan bentuk ketidakpedulian dan tidak adanya pertimbangan terhadap nasib Juru Parkir.

Selain itu, hak-hak Juru Parkir yang tidak terpenuhi oleh pihak PD. Parkir Kota Makassar Raya seperti jaminan kesehatan, kesejahteraan Juru Parkir, seragam Juru Parkir, ketersediaan kasrcis parkir dan ganti rugi ketika terjadi kehilangan baik itu berupa kendaraan hingga helm maupun barang lain yang dibebankan kepada Juru Parkir. Perlu diketahui behwa Juru Parkir menyumbang besar terhadap pemasukan APBD Kota Makassar.

Maka dari itu, kami dari Solidaritas untuk Juru Parkir Makassar dengan tegas menolak setoran terhadap Juru Parkir yang tidak berdasar dan menuntut:

  1. Batalkan kenaikan setoran Juru Parkir!
  2. Wujudkan transparansi anggaran PD. Parkir Kota Makassar Raya!
  3. Libatkan Juru Parkir dalam pengambilan kebijakan!
  4. Penuhi hak-hak Juru Parkir!
  5. Berikan jaminan keamanan kepada Juru Parkir!

(SERIKAT JURU PARKIR MAKASSAR (SJPM), FIK-ORNOP SULSEL, LBH MAKASSAR, ACC SULAWESI, FOSIS, KOMUNAL, PEMBEBASAN, PMII RAYON FAI UMI)

Categories
EKOSOB SIPOL slide

“Orang Kritis dan Miskin Dilarang Kuliah”

Press Release dan Legal Opini LBH Makassar terkait respon terhadap kampus Institut Agama Islam Muhammadiyah (IAIM) Sinjai yang mengeluarkan SK Skorsing dan D.O. terhadap empat (4) mahasiswanya yang diduga karena menggelar aksi mempertanyakan transparansi penggunaan uang pembayaran kartu ujian semester yang dianggap sangat memberatkan bagi mereka yang berasal dari keluarga tidak mampu. Silakan download filenya di sini!

Categories
EKOSOB slide

PT. Lonsum; Perampas Tanah Rakyat yang Bebal

Kronologi Kasus Sengketa Tanah Ulayat Masyarakat Adat Ammatoa Kajang Vs. PT. LonsumPT. Lonsum sudah sejak lama terus merampas tanah rakyat Bulukumba, termasuk masyarakat Adat Ammatoa Kajang. Perjuangan Panjang yang dilakukan oleh Rakyat Bulukumba bersama Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Bulukumba mendapat setitik terang setelah diterbitkannya Perda Kab. Bulukumba No. 9 Tahun 2015 Tentang Pengukuhan, Pengakuan Hak dan Hak Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang.

Selain itu, pada 8 Agustus 2018 Pemerintah dalam Hal ini Kemendagri R.I. melakukan mediasi yang merupkn rekomendasi dari pemerintah Kabupaten Bulukumba yang telah berupaya menyelesaikan konflik yang terjadi, namun setiap keputusan yang dikeluarkan oleh Pemkab Bulukumba tidak pernah diindahkan oleh PT. Lonsum. Dalam mediasi tersebut diperolah kesepakatan bahwa Lonsum tidak boleh melakukan aktivitas apapun sebelum menyelesaikan masalah yang terjadi dalam area HGU milik PT. Lonsum, seperti luas HGU melebihi batas, tahan ulayat masyarakat Adat Ammatoa Kajang dan tanah bersertifikat yang diklaim PT. Lonsum.

Namun, ternyata semua itu tidak dapat menghentikan aktivitas Lonsum untuk terus merampas lahan milik masyarakat terkhusus masyarakat Adat Ammatoa Kajang.

Sejak tangal 31 Agustus 2018 , masyarakat di desa Bonto Mangiring, Kecamatan Bulukumpa dan masyarakat Desa Tamatto serta masyarakat Adat Ammatoa Kajang melakukan protes dengan melakukan penghadangan alat berat buldoser milik PT. Lonsum yang melakukan pengolahan di atas tanah yang terdapat pekuburan dan mata air yang menjadi sumber penghidupan warga di (Bukit Madu) Desa Bonto Mangiring dan (Bukit Jaya) Desa Tamatto. Dari Hasil survei yang dilakukakan AGRA Cabang Bulukumba, setidaknya terdapat 33 titik air (Bukit Madu) di Desa Bonto Mangiring dan beberapa sungai kecil dan 28 titik air (Bukit Jaya) di Desa Tamatto yang rusak dan hilang akibat aktivitas peremajaan perkebunan yang dilakukan oleh PT. Lonsum.

Pada perjalanannya PT. Lonsum tetap melakukan pengolahan dan peremajaan sehingga selang air yang digunakan masyarakat mengambil air dan sungai-sungai kecil banyak yang hilang (tertimbun) dan rusak. Sehingga pada tanggal 10 September 2018 masyarakat melakukan aksi dengan tuntutan utama PT. Lonsum harus menghentikan aktifitas pengolahaan di lahan yg terdapat pekuburan dan sumber air warga dan meminta mendatangkan pihak PT. Lonsum untuk berdialog dengan masyarakat.

Tanggal 12 September 2018 masyarakat berdialog dengan pihak PT. Lonsum yang difasililitasi oleh pemerintah daerah. Kesepakatan untuk tidak mengolah lahan yang di dalamnya terdapat sumber air dan pekuburan milik warga sekitar telah terbangun dengan pihak PT. Lonsum. Akan tetapi, faktanya, disaat dialog berlangsung, pihak PT. Lonsum sedang melakukan aktifitas pengolahan lahan dan baru diketahui warga setelah ada laporan dan mendapati buldoser PT. Lonsum sedang beroperasi di lahan yang menjadi kesepakatan bersama, sehingga pada tanggal 17 September 2018, Bupati Bulukumba mengeluarkan surat himbauan kepada PT. Lonsum untuk tidak melakukan aktifitas pengolahah sebelum tim dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bulukumba dan tim kecil turun melakukan survey lokasi serapan air dan perkuburan masyarakat di area HGU.

Meski demikian, PT. Lonsum tetap bertindak bebal. Atas kebebalan itu, Masyarakat Adat Ammatoa Kajang melakukan aksi reklaiming berupa pendudukan dan penanaman serentak di area HGU yang berada dalam wilayah Adat Ammatoa Kajang.

Tanggal 14 Desember 2018, Pemkab Bulukumba kembali meminta PT. Lonsum untuk tidak melakukan aktivitas peremajaan di area konflik yang juga merupakan wilayah resapan air yang dibatasi oleh tanaman jagung milik masyaraka Adat Ammatoa Kajang. Tak lama kemudian, pada 20 Desember telah terbit surat kesimpulan terkait penyelesaian konflik pertanahan di Bulukumba yang diterbitkan oleh Kemendagri. Inti dari surat tersebut adalah bagaimana upaya penyelesaian konflik harus diselesaikan secepat mungkin, dan selama upaya penyelesaian Pemda harus menjamin keamanan dan kondusifitas di area konflik.

Bukannya patuh dan mejalankan semua perintah, Pada 9 Januari 2019, PT. Lonsum malah kembali melakukan aktivitas peremajaan di area konflik. Namun, upaya tersebut kembali dihadang oleh masyarakat yang tengah melakukan pendudukan.

Merespon hal tersebut, pada 10 Januari 2019 Polres Bulukumba menginisiasi untuk mengadakan rapat koordinasi di area konflik. Rapat koordinasi tersebut dihadiri oleh Kapolres dan Wakapolres Bulukumba beserta jajarannya. Rapat ini juga dihadiri oleh pihak Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, PT. Lonsum serta AGRA Cabang Bulukumba. Ada tiga poin kesepakatan dalam rapat koordinasi tersebut yaitu pertama, Pihak PT. Lonsum tidak diperkenankan menanam karet di atas lokasi yang sedang dalam klaim masyarakat adat, dimana batasannya adalah semua lahan yang ditanami jagung oleh Masyarakat Adat. Kedua, Masyarakat adat tidak diperkenankan menambah lahan untuk penanaman jagung. Masyarakat adat juga tidak membuat rumah permanen di atas area reclaiming, cukup dengan rumah kebun semantara. Ketiga, Kedua belah pihak tidak diperkenankan saling mengintimidasi.

Namun, pada 11 Januari 2019/sehari pasca rapat koordinasi, PT. Lonsum kembali melakukan aktivitas peremajaan di area konflik. Ini sudah cukup menggambarkan kepada kita bagaimana karakter PT. Lonsum sebenarnya yang sewenang-wenang dan tidak menghargai kesepakatan bahkan perintah. Bukan hanya permintaan dan perintah Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, Kapolres Bulukumba, Pemerintah Kabupaten Bulukumba hingga Pemerintah Pusat dalam hal ini Mendagri tidak dihiraukan oleh PT. Lonsum dan tidak menjadi penghalang bagi PT. Lonsum untuk terus merampas tanah rakyat.

Lonsum ternyata tak pernah memperlihatkan itikad baiknya dan tak pernah menaati kesepakatan yang telah dibangun bersama pihak Pemkab dan Polres Bulukumba, bahwa tidak boleh ada penanaman apapun di area konflik termasuk Karet dan Jagung.

Senin, 14 Januari 2019. Lonsum kembali melakukan penanaman karet dan semakin memperluas areal peremajaan tanaman karet, sehingga saat ini proses peremajaan sudah mulai mendekati kawasan tanaman jagung masyarakat adat kajang.

Selasa, 15 Januari 2019, Lonsum kembali merencanakan perluasan area peremajaan. Dan berkemungkinan besar akan memasuki area konflik yang dibatasi tanaman Jagung.

Berdasar pada perintah Kapolres dan Bupati Bulukumba kepada pihak PT. Lonsum untuk tidak menanam di atas lokasi tanaman jagung masyarakat adat, maka masyarakat Adat Ammatoa Kajang pun akan senantiasa mengingatkan PT. Lonsum untuk tetap tunduk pada perintah tersebut. Pengabaian pihak PT. Lonsum terhadap perintah tersebut sebagai keputusan dari upaya penyelesaian konflik adalah bentuk provokasi dan bukti bahwa tidak ada itikat baik dari pihak PT. Lonsum untuk taat pada proses dan upaya-upaya penyelesaian konflik yang diinisiasi oleh kapolres dan bupati, artinya tidak ada penghormatan PT. Lonsum terhadap keduanya.

Penulis : Al Iqbal (Dept. Pendidikan dan Propaganda FMN Makassar)

Categories
EKOSOB slide

Proyek Pembangunan Pasar, Pemkab Wajo Caplok Tanah Warga Tanpa Ganti Rugi

Setelah mendapatkan laporan pengaduan dari masyarakat Bontouse Desa Pincengpitu Kec. Tanasitolo, Kab. Wajo, terkait pembangunan Pasar Tancung, LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Makassar menurunkan tim investigasi ke lokasi pada Ju’mat, 04 Januari 2019. Pasar Tancung yang berlokasi di Desa Pincengpitu Kec. Tanasitolodibangun pada tahun 2016 melalui Dana Tugas Pembantuan Kementerian Perdagangan, dengan pagu anggaran pembangunan fisik sebesar Rp 5.4 M, dan Pasar Tanjung telah dihibahkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Wajo.

Berdasarkan temuan tim investigasi di lapangan, lokasi pembangunan Pasar Tancung berada di atas tanah warga. Terdapat tiga objek tanah milik warga yang diklaim oleh Pemerintah Daerah Wajo, diantaranya tanah milik Abd. Hamid, H. Amir dan Darmi dengan luas total yang diklaim seluas 8.297 m2. Objek lahan ini sebelumnya merupakan area persawahan yang diwariskan dari orang tua mereka dengan bukti alas hak kepemilikan sah berdasarkan hukum yang berlaku.

Tanah ini sudah lama dikuasai secara turun terumun, pada tahun 1975 lahan sawah milik orang tua mereka diantaranya Parojai, Letnan H. Gontang, dan Abu Dg. Manai dipinjamkan untuk menjadi lapangan sepak bola di lingkungan Bontouse, ini atas inisiasi dari Letnan H. Gontang (orang tua dari H. Amir). Pada tahun 2005 lahan tersebut dikembalikan kepada keluarga pemilik bersangkutan, karena tidak lagi difungsikan sebagai tempat acara pertandingan sepak bola.

Abd. Hamid sebagai salah satu pemilik tanah, kembali mengelolahnya menjadi lahan sawah garapan. Namun menjelang 3 tahun setelah digarap olehnya, dia mendapat surat panggilan oleh pemerintah setempat dengan tuduhan penyerobotan tanah negara. Ternyata tanpa dia ketahui, Pemerintah telah menerbitkan Sertifikat Hak Pakai No. 00004 atas nama Pemerintah Kabupaten Wajo yang dipergunakan untuk lapangan sepak bola Bontouse yang terbit pada tahun 2011. Objek tanah yang dimaksud dalam sertifikat adalah lokasi Lapangan Bontouse yang merupakan tanah warisan milikAbd. Hamid, H. Amir dan Darmi.

Menurut keterangan Abd. Hamid bahwa adanya sertifikat Hak Pakai atas nama Pemeritah Daerah Wajo tersebut, sama sekali tanpa sepengetahuan dan seizin dirinya dan dua orang pemilik lainnya. Pemerintah Daerah tidak ingin memberikan ganti rugi atas lahan seluas 8.297 m2 yang diatasnya telah berdiri bangunan Pasar Tancung. Sejak di resmikan pada 13 Juni 2017 oleh Bupati Wajo H. A. Burhanuddin Unru, sampai saat ini Pasar Tancung masih difungsikan tanpa penyelesaian sengketa dan ganti rugi kepada para pemiliknya.

Categories
Berita Media EKOSOB

Paralegal Training for Parking Attendants

Parking attendants in Makassar were given paralegal training by the Makassar Legal Aid Institute. The program aims to improve legal awareness and embolden participants to fight corruption.

Tempo Media Grup – EVERY time he talks about current affairs concerning the law and politics, Syam­sudin—known as Aco—will inevitably get fired up. Oc­casionally he will contribute his own analyses. Once in a while, he will refer to laws that are relevant to whatever the issues being discussed, both criminal and civil, even laws on marriage.

The 51-year-old resident of Parang Tambung in Makassar, South Sulawe­si, says the comments he makes often surprise his conversation partners—perhaps because he is a “mere” park­ing attendant at a mall in Jalan Pengay­oman, Makassar. Aco has directed park­ing at the mall for 15 years, after trying his hand at various jobs upon finishing middle school. “Before, I was complete­ly blind about legal matters,” he said.

Aco explained that he began studying the law in a paralegal training program organized by the Makassar Legal Aid Institute (Makassar LBH) in 2015. Those who made presentations in the training program included representatives from the Makassar LBH, Indonesian Wom­en’s Legal Aid for Justice (LBH APIK), the Anticorruption Commission (ACC) and the South Sulawesi Information and Communication Forum for Non-gov­ernmental Organizations (Fikornop).

Besides parking attendants such as Aco, farmers as well as representatives from customary and coastal communi­ties also participated in the one-month training. “Daeng (honorific for a respected man in the Makassar tradition) Ngawing and I represented the Makas­sar Parking Attendants Union (SPJM),” said Aco.

The paralegal training did not only widen Aco’s horizons on legal affairs; it also gave the father of three courage. Through the program, Aco learned to recognize and fight attempts at intim­idation, both by law enforcement offi­cers and ordinary citizens using the ser­vices of parking attendants. Now, park­ing attendants who participated are bold enough to negotiate.

Last year, for example, Aco and Mursalim aka Ngawing led an audience between the SPJM, PD Parkir (regional parking enterprise) and the Makassar Regional People’s Representative Coun­cil (DPRD) to discuss the implementa­tion of smart parking, which would re­quire parking attendants to take photos of vehicles using their services.

According to the initial plan, PD Parkir would be receiving 60 percent of profits, while the rest would go to the parking attendants. The SPJM refused the plan. “On the field we’re exposed to the heat and rain. It would be unfair to receive a smaller portion of the earn­ings,” said Aco. The plan has not yet been implemented.

Aco says after the training, he and Ngawing served as confidantes for their peers at the SPJM, not only on parking affairs, but occasionally also for per­sonal matters such as divorce and do­mestic violence. They come to Aco and Ngawing because the around 300 SPJM members know that Aco and Ngawing also learned about domestic violence and gender issues in the paralegal train­ing program. “We’re thankful we can assist friends who are involved in legal issues,” he said. “If they run into a wall, then we’ll ask for the LBH’s help.”

Nonetheless, Aco does not deny that a number of problems are caused by the parking attendants’ own mistakes, for example parking fees that are too ex­pensive at certain locations. Usually, Aco or Ngawing would attend to such problems using a more personal ap­proach. “We’ll talk some sense into such ‘gangster’ parking attendants over cof­fee.”

THE various problems experienced by parking attendants are why the Makas­sar LBH held the paralegal training pro­gram. Another reason, said Makassar LBH Director Haswandy Andy Mas, was the disproportionate number of avail­able attorneys and paralegals com­pared to people in the community who need but cannot afford legal aid.

The LBH then brainstormed ways to empower the community, to effect structural changes in the legal sphere, by providing paralegal training on ba­sic legal knowledge. “We want the com­munity to be able to defend and fulfill their rights as citizens,” said Haswandy, known as Wawan.

Coincidentally, in 2010-2011, the LBH and Fikornop began advocating on be­half of parking attendants. At the time, PD Parkir had implemented fees for ve­hicles parked on public roads. Accord­ing to Wawan, the regulation could po­tentially harm parking attendants’ earnings as they must also deposit money to the owners of the property or buildings they work on, say restaurant and shop owners.

Because of this development, park­ing attendants began to be involved in routine discussions at the LBH office, also attended by representatives from the low-income urban community, such as street vendors, those living in slum neighborhoods, and victims of evic­tion. In the discussions, the LBH did not only perform legal mentoring, but also accustomed participants to addressing the public and speaking their minds.

The discussion sessions encouraged the LBH to hold paralegal training in 2015. The program was joined by 20 in­dividuals, Aco included. In the program, the LBH applied the standard nation­al curriculum for paralegal training, which, among others, covers topics such as gender equality, child protection, the environment, human rights and a num­ber of international conventions. “We also provided material on labor rights, in line with the problems they most of­ten encounter,” said Wawan.

Wawan said the organizers did have issues when they presented the materi­al, especially because none of the par­ticipants had any legal background and most had only completed middle school. Furthermore, participants did not truly understand the goal of the training pro­gram at first. “Some thought the train­ing was to help them evade the Police Mobile Brigade,” said Wawan, laugh­ing heartily. There were also partici­pants who claimed to feel “nauseated” because the material was too heavy.

Because of these issues, topics were always delievered contextually. When teaching about gender equality, say, the LBH’s team introduced the topic by discussing household problems. When teaching about the duties and author­ities of government institutions, the team would discuss issues experienced by the community. “So, they know their position and rights, for example when the parking fee is raised by the govern­ment,” said Makassar LBH’s division head of labor rights and rights of the poor, Firmansyah, known as Charlie.

According to Charlie, after the train­ing program was completed, partici­pants were still given indirect assis­tance by the LBH and Fikornop, espe­cially during legal predicaments.

Ngawing says the LBH’s paralegal training has improved his self-confi­dence. Although he is “only” a middle school graduate, Ngawing now has the courage to mediate issues, negotiate with law enforcement and accompany his colleagues who are involved in prob­lems with the police. “I had actually been wanting to do something about in­justices [for a long time], but only now do I have the courage, because I’ve learned a little bit about legal procedures,” said the 50-year-old.

But Ngawing still has two nagging concerns. First, the Makassar LBH has not provided follow-up paralegal train­ing for old participants—only for new ones. Meanwhile, Ngawing feels that he and alumni of the first program still need something of a refresher course. He believes that the discussions held at the LBH office are still insufficient for expanding his knowledge of the law.

The second concern is the lack of ini­tiative from young parking attendants to learn about the law. Ngawing says un­til today not one SJPM youth has shown interest in participating in the parale­gal training program. As a result, Ngaw­ing and Aco can only attempt to share their knowledge in routine SJPM meet­ings every Monday. They will occasion­ally invite LBH activists and Fikornop to speak at these meetings. “My hope is that more parking attendants will be in­creasingly vocal and critical,” he said.[]

Sumber : Majalah Tempo Edisi 20 Agustus 2018

Categories
EKOSOB

LBH Makassar & KPA Sulsel Perkuat Organisasi Petani Dataran Tinggi Gowa

Sembilan orang pimpinan Serikat Petani Bontoganjeng (SPB) Malino, Kab. Gowa kembali mendapat surat panggilan pemeriksaan sebagai tersangka dari Polres Gowa. Berdasarkan surat panggilan, pemeriksaan dijadwalkan pada tanggal 2 Juli 2018 di Polres Gowa. Sebenarnya, kasus ini telah berjalan sejak satu tahun yang lalu, mereka yang mendapat surat penggilan telah diperiksa satu tahun yang lalu dengan kasus yang sama, namun statusnya masih penyelidikan. Kiranya kasus ini tidak lagi dilanjutkan karena selama satu tahun tidak ada perkembangan kasus, akan tetapi secara tiba – tiba mereka mendapat surat panggilan dengan status tersangka. Dalam artian, kasus ini telah ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan.

Merespon kasus ini, LBH Makassar bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Sul-sel melakukan konsolidasi bersama Serikat Petani Bontoganjeng (SPB) pada sabtu malam, 30 Juni 2019 bertempat di sekretariat SPB Kampung Kanreapia, Dusun Buluballea, Desa Pattapang, Kec. Tinggimoncong, Kab. Gowa. Konsolidasi ini melibatkan puluhan unsur pimpinan SPB. Sedangkan dari pihak pendamping dihadiri oleh Edy K. Wahid, Kepala Divisi Tanah & Lingkungan LBH Makassar dan Rizki Arimbi, Koordinator KPA Sulsel. Adapun agenda utama dari konsolidasi ini adalah penguatan organisasi petani.

Terjadinya rentetan peristiwa kriminalisasi petani yang hidup dalam kawasan hutan menjadi pertimbangan utama dilakukannya penguatan organisasi. Sebab LBH Makassar melihat peristiwa ini terjadi akibat lemahnya organisasi petani. Salah satu indikatornya adalah kurangnya koordinasi internal organisasi maupun pendamping. Untuk melawan kriminalisasi maka perlu diperkuat organisasi petani, tegas Edy K. Wahid.

Dg. Linrung yang akrab disapa Pak Janggo, salah satu pimpinan SPB menjelaskan bahwa selama ± 1 tahun kami menggarap dengan tenang, tidak ada lagi teguran atau intimidasi dari pihak kehutanan. Sehingga kami kurang koordinasi kepada pendamping, khususnya penasehat hukum LBH Makassar. Sekitar tiga bulan lalu saya pernah dipanggil oleh Pak Kanit untuk diperiksa dan Pak Kanit bilang jika pemeriksaannya ringanji, jadi jangan mako pake pengacara, ujar Dg. Linrung. Karena nabilang Pak Kanit ringanji, maka saya mau diperiksa tanpa pengacara LBH Makassar, lanjutnya.

LBH Makassar menduga jika penetapan tersangka 9 pimpinan SPB adalah berdasarkan hasil pemeriksaan/BAP yang dilakukan tanpa pendampingan dari penasehat hukum, sebagaimana pengakuan Dg. Linrung di atas.

Secara teknis, LBH Makassar selaku penasehat hukum memberikan penjelasan dan gambaran mengenai proses pemeriksaan yang akan dilakukan oleh penyidik pada tanggal 2 Juli 2018. Sekaligus memberikan penjelasan hukum kepada SPB mengenai status hukum dan gambaran kedepan kasus pidana yang sedang berjalan. Edy K. Wahid kemudian menekankan pentingnya pengawalan non-litigasi yang harus dilakukan oleh SPB. Baik berupa kampanye populis maupun aksi – aksi massa.[]

 

Categories
EKOSOB slide

Pemberian Pemahaman Hukum dan Pembentukan Organisasi Tani warga Kawasan Hutan Lindung Laposo Niniconang Kabupaten Soppeng

Pasca kemenangan pendampingan di persidangan terdakwa kasus perusakan hutan lindung Laposo Niniconang, Kabupaten soppeng, yakni Sukardi, Jamadi dan Sahidin, Tim LBH Makassar kembali melakukan pendampingan terhadap warga yang tinggal dalam Kawasan hutan tersebut pada 11-12 Mei 2018. Kami berangkat dari Dusun lagoci menuju Kawasan hutan (kampung Coppoliang) Bersama dengan beberapa warga. Perjalanan terasa ekstrim karena sejak berangkat kami diguyur hujan melalui hutan yang cukup Panjang dan trek yang hanya lapisan tanah liat sehingga membuat mobil yang ditumpangi terguncang serasa terhempas oleh hempasan ombak. Perjalanan kami sempat terhenti dikarenakan trek sangat sulit dilalui, sehingga memaksa driver untuk memasang rantai di kedua ban belakang mobil sehingga dapat melewati trek tanah liat tersebut. Perjalanan kami ditempuh selama ±60 menit.

Kedatangan kami disambut hangat dan rasa bahagia oleh warga. Ini terlihat dari benyaknya warga yang antusias menunggu kedatangan kami dan memberikan sapaan yang hangat ketika kami tiba di rumah salah seorang warga yang nantinya dijadikan tempat untuk melaksanakan agenda. Ini merupakan bentuk kebahagiaan warga karena telah memenagkan proses persidangan melawan pihak Kehutanan.

Pendampingan kali ini fokus pada pemberian pemahaman hukum terhadap warga mengenai kelanjutan bagaimana tindakan warga selanjutnya dalam mengelola lahan mereka. Sampai saat ini warga masih saja merasa was-was terhadap kejadian yang menimpa 3 (tiga) terdakwa. Ini dinuktikan dengan adanya salah seorang warga yang bertanya saat pemberian pemahaman hukum. “Bagaimanami itu pak kalau saya kerja kebun? Tidak papaji tebang pohon yang mengganggu?”. Seketika itu pula langsung dijawab oleh Edy Kurniawa, yang merupakan salah satu dari Penasihat Hukum para terdakwa. Ia mengatakan bahwa selama pohon tersebut ditebang dan tidak diperjual belikan (komersialisasi), itu tidak ada masalah.

Selain itu, juga dilakukan pembentukan organisasi tani untuk kerja jangka Panjang. Organisasi yang akan dibentuk terdiri dari organisasi tingkat Kebupaten, Desa dan Kampung. Sebelumnya, telah ada organisasi yang telah dibentuk yang bernama Forum Bersama (Forbes) Petani Latemmamala. Namun, organisasi tersebut bersifat taktis dan sementara, untuk mendukung perjuangan para terdakwa. selanjutnya akan dibentuk organisasi jangka Panjang, sehingga warga dapat secara mandiri melakukan pergerakan apabila dikemudian hari terdapat problem yang dihadapi.

Sebelumnya, para terdakwa didakwa Pasal 12 jo. Pasal 82, atau Pasal 17 Ayat 2 jo. Pasal 92 Ayat 1 UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan, dengan ancaman pidana hingga paling lama 10 tahun dan denda 5 miliar rupiah. namun, dakwaan tersebut berhasil dikalahkan di proses persidangan yang didampingi oleh LBH Makassar. Selain itu, tak kalah pentingnya juga gerakan nonlitigasi yang dilakukan oleh Forbes Petani Latemmamala dan Front Perjuangan Tani Latemmamala yang tak henti-hentinya memberikan dukungan berupa berbagai macam aksi, sejak bergulirnya persidangan para terdakwa di Pengadilan Negeri Watansoppeng sampai pada pembesannya.

Categories
EKOSOB Opini slide

Ketimpangan Hukum Kawasan Hutan

Oleh : Edy Kurniawan (Advokat Publik LBH Makassar-YLBHI)

Hukum tidak menjadi sah karena kedudukannya sebagai undang – undang, melainkan karena ia dapat diterima oleh masyarakat dan diyakini sebagai jalan hidup yang lebih baik, (Satjipto Rahardjo).

Dari adagium di atas, terbersit pertanyaan pada Aparat Penegak Hukum (APH), Polisi, Jaksa, Advokat dan Hakim. Sudah benarkah cara kita menegakkan hukum?. Pertanyaan ini disematkan khusus pada situasi penegakan hukum dalam kawasan hutan. Sebab, konflik penguasaan lahan dalam kawasan hutan sudah menjadi masalah kronis. Negara dalam hal ini pihak kehutanan mengukuhkan kawasan hutan, padahal di dalamnya terdapat masyarakat yang menjalankan tradisi dan budaya lokal.

Tradisi lokal yang umum berlaku, yaitu merawat dan mengelola lahan setiap hari yang dilakukan secara turun-temurun, sudah cukup membuktikan bahwa tanah tersebut adalah miliknya. Mereka mengelolanya agar berfungsi produktif. Sebab, jika tidak dikelola hingga lahan tersebut ditumbuhi semak belukar, maka mereka telah menelantarkan tanahnya dan tidak berhak lagi atas tanah tersebut. Hal ini telah menjadi kesadaran hukum bangsa Indonesia yang kemudian diakui secara legal oleh negara melalui ketentuan pada Pasal 24 Ayat (2) Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.

Akan tetapi, kesadaran hukum tersebut di atas dianggap terlarang oleh pihak kehutanan, hanya karena tidak bisa menunjukkan izin dari pejabat yang berwenang. Hal ini menjadikan kesadaran hukum terdistorsi. Sebab, akan terjadi paradoks apabila negara di satu pihak mengakui masyarakat yang hidup secara turun – temurun di dalam hutan. Namun di sisi lain, masyarakat tersebut diancam dengan hukuman. Sebaliknya, negara justru harus hadir memberikan perlindungan terhadap masyarakat demikian.

Sebuah kasus menarik yang terjadi di kawasan hutan Laposo Niniconang, Soppeng. Para petani telah mengelola lahan dalam kawasan hutan selama empat generasi, sejak ratusan tahun lalu. Namun pada tahun 2014, oleh pihak kehutanan ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Akibatknya seluruh warga dianggap ilegal, karena mendiami kawasan hutan lindung tanpa hak, padahal ada sekitar 3.950 KK atau 23.428 jiwa yang menggantungkan hidup dalam kawasan hutan tersebut.

Tajam Kebawah

Maraknya pembalakan liar yang dilakukan secara terorganisir melibatkan modal besar, telah menimbulkan kerusakan hutan yang mengakibatkan bencana alam, kerugian negara, kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup, serta meningkatkan pemanasan global. Untuk mencegah dan menindak pelaku perusakan hutan, maka dibentuklah Undang – Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).

UU P3H yang sebenarnya ditujukan khusus kepada pelaku pembalakan liar atau kejahatan perusakan hutan yang terorganisir melibatkan modal besar, namun hingga saat ini belum pernah terdengar UU P3H menjerat pelaku-pelaku tersebut di atas. Justru UU P3H menelan korban 9 (sembilan) petani kecil yang tersebar di Sinjai, Gowa dan Soppeng.

Tiga petani asal Soppeng, Jamadi, Sukardi dan Sahidin, harus menghadapi tuntutan 1 (satu) tahun penjara dan denda Rp 500 juta, hanya karena mengelola lahan yang merupakan satu-satunya sumber penghidupan mereka bersama keluarganya.

Akan tetapi, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Watansoppeng menjatuhkan vonis bebas (vrijspraak) terhadap ketiga petani tersebut di atas. Hakim berpendapat bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) keliru menerapkan UU P3H, sebab secara filisofis UU P3H ditujukan khusus pada kejahatan perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisir, bukan untuk petani kecil yang melakukan perladangan tradisional secara turun-temurun dalam kawasan hutan.

Putusan Majelis Hakim di atas telah mengembalikan penegakan UU P3H pada khitahnya, sekaligus menjadi pembelajaran penting bagi penegak hukum agar kedepan tidak lagi melakukan kriminalisasi terhadap petani kecil dengan pendekatan represif. Melainkan pendekatan dialog yang menjunjung tinggi prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Surat Edaran Nomor : SE.1/Menlhk-II/2015 tentang Penanganan Kasus-Kasus Lingkungan Hidup dalam Kehutanan.

Reforma Agraria

Reforma Agraria menjadi program prioritas nasional. Namun prakteknya, terjadi kesalahan tafsir. Sebab, Reforma Agraria yang dijalankan saat ini tidak berbanding lurus dengan penyelesaian konflik agraria, khususnya dalam kawasan hutan. Justru konflik dalam kawasan hutan semakin meningkat, serta korban dari petani kecil pun bertambah. Maka, sudah seharusnya pemerintah mengintegrasikan upaya penyelesaian konflik agraria ke dalam paket kebijakan Reforma Agraria. Sebab jika tidak, Reforma Agraria yang genuine akan tetap jauh panggang dari api.(**)

(Tulisan telah dimuat pada rubrik opini Harian Fajar edisi Rabu 4 April 2018)