Categories
slide Uncategorized

Press Release: YLBHI-LBH Makassar Membuka Posko Pengaduan Hukum Korban Pelayanan Kesehatan & Penanganan Jenazah Covid-19 Sulawesi Selatan

Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) telah menetapkan Wabah Covid-19 sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (Public Health Emergency of International Concern, PHEIC) yang sejak Maret 2020 dan dinyatakan sebagai Pandemi Global. Situasi ini tidak secara cepat dan serius ditanggapi oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah di Indonesia. Pemerintah Indonesia baru menyatakan sebagai darurat Nasional non-Alam pada hari Sabtu Sore tanggal 14 Maret 2020. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan juga lamban dan dinilai gagal dalam mencegah penyebaran Pandemi COVID-19.

Hingga saat ini, penangan Covid-19 menimbulkan berbagai polemik di masyarakat, LBH Makassar mencatat setidaknya beberapa masalah tersebut diantarnya pasien dengan gejala sama dengan Covid-19 ditetapkan sebagai Pasien Dalam pemantauan (PDP) sambil menunggu hasil SWAB Test tanpa ada layanan medis yang sesuai kebutuhan. Apabila pasien yang divonis dengan status PDP meninggal dunia, maka proses pengurusan jenazah sampai pada tahap pemakaman menggunakan prosedur protokol kesehatan pencegahan penularan Covid-19. Namun pasca pemakaman hasil SWAB Test justru dinyatakan negatif.  Sehingga prosedur tersebut menuai protes, banyak masyarakat yang menolak pemakaman jenazah keluarganya yang meninggal dunia dengan Status PDP dilakukan dengan perosedur penanganan pencegahan Covid-19 dengan alasan bahwa Proses penetapan status Pasien yang tidak akurat dan proses pengurusan jenazah sampai pemakaman dikhawatirkan tidak dilakukan dengan menggunakan ritual budaya maupun keagamaan yang bersangkutan. Bahkan keluarga pasien yang kemudian dinyatakan  negatif Covid-19 meminta pemindahan Jenazah.

Bahkan terdapat pasien yang masuk ke RS karna mengalami kecelakaaan, namun ketika korban mengalami situasi kritis di ruang ICU, diduga para perawat tidak memberikan penanganan sampai saat korban dinyatakan meninggal dunia. Penanganan jenazah korban dilakukan dengan prosedur penanganan Covid-19. Hal tersebut membuat keluarga pasien kaget dan keberatan namun tidak mendapatkan penjelasan dari pihak rumah sakit.

Tidak adanya informasi yang transparan dan akuntabel dari Pihak Rumah Sakit dalam memberikan status Covid-19 kepada pasien membuat masyarakat menjadi geram dan tak jarang menimbulkan konflik antar keluarga pasien, pihak rumah sakit dan gugus tugas Covid-19 yang bertanggung jawab dalam proses penangangan jenazah.

Laporan ini menunjukkan sikap pemerintah (pusat dan daerah) telah gagal dalam memberikan pemenuhan Hak Asasi Manusia dalam ranah pemenuhan hak atas kesehatan terhadap warga Negara. Padahal, tanggungjawab negara terhadap pemenuhan Hak atas Kesehatan telah diatur dalam berbagai aturan hukum baik Internasional maupun Nasional, yang meliputi:

  • Pasal 25 (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM),
  • Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945
  • Pasal 12 UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Kovenan EKOSOB),
  • UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
  • UU No 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan

Semua aturan hukum di atas mengatur Tanggungjawab Pemerintah (pusat dan daerah) untuk menjamin pengakuan, pemenuhan, dan perlindungan Hak Atas Kesehatan setiap orang di wilayah negara RI termasuk di Provinsi Sulawesi Selatan, yang mencakup jaminan ketersediaan Fasilitas Layanan Barang dan Jasa serta Informasi Kesehatan harus memenuhi prinsip-prinsip  berikut:

  • Aksesibilitas, yakni fasilitas, barang, dan jasa layanan kesehatan harus dapat diakses oleh semua orang. Aksesibilitas memiliki empat dimensi yang saling menopang, yaitu : tanpa diskriminasi, aksesibilitas fisik, aksesibilitas ekonomis (keterjangkauan), aksesibilitas informasi terkhusus kelompok rentan penyandang disabilitas;
  • Penerimaan, yaitu penghormatan terhadap etika medis, kesesuaian budaya, dan kepekaan terhadap gender. Penerimaan mensyaratkan bahwa fasilitas kesehatan, barang, layanan, dan program berpusat pada orang dan melayani kebutuhan spesifik berbagai kelompok populasi dan sesuai dengan standar internasional etika medis untuk kerahasiaandan persetujuan berdasarkan informasi.
  • Kualitas, yaitu fasilitas barang, dan jasa harus disetujui secara ilmiah dan medis yang merupakan komponen kunci dari cakupan Kesehatan Universal, termasuk pengalaman serta persepsi perawatan kesehatan dengan persyaratan mengahruskan : Aman, Efektif, Tepat waktu(tidak mengurangi waktu tunggu dan terkadang penundaan yang berbahaya), Pemerataan, Terintegrasi, dan Efisien

Negara mempunyai beban untuk pembuktian bahwa setiap usaha atau tindakan yang tidak dilakukan dalam penggunaan sumber daya yang tersedia dengan tujuan untuk memastikan, sebagai suatu prioritas, mengenai kewajiban diatas. Harus ditekankan, bagaimanapun juga, bahwa Negara harus melakukannya.

Kegagalan Pemerintah akan berdampak hukum, dimana setiap orang yang harus dipenuhi dan dijamin hak atas kesehatannya memiliki hak untuk menggungat pemerintah selaku pemangku kewajiban baik leat mekanisme hukum secara nasional maupun internasional, sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya khususnya Pasal 12 terkait Hak atas Kesehatan.

Merespon situasi praktek pelayanan kesehatan dan proses penanganan jenazah Covid-19 yang dinilai trerdapat dugaan maladministrasi, YLBHI – LBH Makassar membuka posko pengaduan hukum di kantor YLBHI – LBH Makassar.

 

Makassar, 13 Juni 2020

 

Abdul Azis Dumpa

Advokat Publik YLBHI – LBH Makassar

085 217 485 826

 

 

 

Kontak Pengaduan:

Uki: 0822 9151 9628

Salman: 0852 9930 7770

Categories
slide Uncategorized

Disabilitas Rentan Diskriminasi, AIPJ2 Dorong LBH Agendakan Seminar dan Lokakarya

Penyandang disabilitas acap kali menjadi korban diskriminasi ketika diperhadapkan dengan hukum. Baik pidana maupun perdata.

Hal itu menjadi momok bagi sebagian besar penyandang cacat. Sebab secara psikis, kondisi itu tambah merusak mental mereka.

Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIJP 2) mendorong LBH Makassar bersama Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sulsel, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulsel, dan Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Sulsel untuk mengagendakan seminar dan lokakarya atau Semiloka mengenai layanan inklusi bagi penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum di Kabupaten Bulukumba, Sulsel.

Pemkab Bulukumba pun merespons agenda itu. Tercatat di Kabupaten Bulukumba menjadi daerah pertama di Sulawesi Selatan bagian selatan untuk penyelenggaraan seminar dan lokakarya itu. Di sana, menghadirkan narasumber dari unsur penegak hukum, organisasi penyandang disabilitas maupun Pemerintah Daerah, dalam hal ini SKPD dan stakeholder terkait.

Tujuannya sangat jelas, yakni penyuluhan hukum terkait hak-hak kelompok rentan termasuk penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum kepada masyarakat. Di Bulukumba sendiri, kelompok rentan ini terbilang cukup besar jumlahnya, setidaknya ada 400an jiwa masuk dalam kategori kelompok rentan itu.

Bahkan di Bulukumba juga telah memiliki Perda Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas, yang salah satu isinya juga mengatur terkait tanggungjawab pemerintah daerah dalam mewujudkan layanan yang inklusi bagi penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum.

“Semiloka ini dilandasi dengan kebutuhan akan sinergitas antar pemangku kepentingan, baik Pemerintah Daerah melalui organisasi perangkat daerah terkait, Institusi penegak hukum, organisasi bantuan hukum, organisasi masyarakat sipil lainnya untuk mewujudkan layanan peradilan yang inklusi, agar proses hukum memperhatikan karakteristik dan kebutuhan ragam disabilitas,” kata Muhammad Fajar Akbar, seorang dari LBH Makassar, Selasa, 29 Oktober 2019 Lalu

“Dengan demikian, setiap penyandang disabilitas memperoleh perlakuan dan perlindungan hukum yang setara. Apalagi Kabupaten Bulukumba akan menjadi tuan rumah salah satu event bertaraf nasional yaitu Temu Inklusi 2020,” lanjutnya.

Sudah menjadi kewajiban Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, tanpa terkecuali para penyandang cacat.

Di mana para penyandang cacat sebagai warga negara Indonesia punya kedudukan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang sama untuk hidup maju, dan berkembang secara adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Para stakeholder telah menindaklanjuti dalam bentuk komitmen seperti upaya pembangunan sarana dan prasarana maupun upaya perbaikan layanan.

Aksesibilitas yang baik bukan berarti fasilitas mewah atau istimewa, melainkan terjangkau dan mendorong para penyandang cacat untuk mandiri dalam melakukan segala hal.

Senior Advisor Program AIJP 2, Muhammad Joni Yulianto menuturkan, semiloka rencananya akan diselenggarakan pada 29 sampai 30 Oktober 2019 di Aula Kantor Kemenag Bulukumba.

Peserta berasal dari perwakilan Pemerintah Daerah Bulukumba yaitu Setda, khususnya bagian hukum, dan OPD terkait seperti Dinsos, Dinkes, DP3A, P2TP2A, RSUD.

Perwakilan Institusi Penegak Hukum seperti PN, KEJARI, dan Polres, serta OBH lokal. Diikuti juga oleh perwakilan organisasi profesi seperti asosiasi Psikiater dan Psikologi serta Organisasi Advokat. Selain itu diikuti juga oleh organisasi penyandang disabilitas serta Paralegal.

Joni Yulianto menyebut, bentuk supporting di luar penegak hukum terhadap penyandang disabilitas, yakni trauma healing ketika proses peradilan usai. Sebab pemulihan psikis atau trauma tidak bisa selesai begitu saja.

“Di awal perlu ada assesment terkait kondisi penyandang disabilitas, tingkat traumanya seperti apa, tingkat disabilitasnya apa, maka assesment itu bisa dilakukan oleh profesional medis dan psikolog. Kemudian nanti saat proses peradilan nanti dibutuhkan trauma healing, dibutuhkan juga nanti proses pemulihan setelah peradilan selesai,” ujarnya.

“Biasanya jika menjadi korban bahwa traumanya tidak bisa hilang, itu butuh dipulihkan. Nah di situ peran psikolog, psikiater, medis. Kemudian juga paralegal dan organisasi penyandang disabilitas itu juga sangat penting mendampingi korban dan keluarga,” jelas dia.

 

Catatan: Berita ini telah terbit di media online indonesiasatu.co.id pada 01 November 2019

Categories
Uncategorized

RMO Teriak Mosi Tidak Percaya dan Reformasi Dikorupsi di Depan DPRD Sulsel

Tepat di Hari Sumpah Pemuda, berbagai elemen masyarakat tergabung dalam Rakyat Melawan Oligarki (RMO) menggelar aksi di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Selatan. Senin, (28/10).

Dalam orasi politik yang disampaikan oleh Jenderal Lapangan (Jenlap), Aqsha mengatakan, apa yang dilakukan ini merupakan bentuk protes Mosi Tidak Percaya dari rakyat.

Lanjut, khususnya di Makassar dalam menyikapi polemik kebijakan negara yang tidak pro rakyat.

“Makassar akan terus mengawal dalam mengkritisi kinerja pemerintahan yang tak peduli lagi dengan rakyatnya, seperti rancangan dan revisi Undang-undang yang didorong oleh DPR yang tidak membawa aspirasi rakyat kecil, kami menutut perbaikan reformasi, akibat reformasi dikorupsi,” kata Aqsha.

Olehnya itu mereka menilai bahwa sikap pemerintahan Indonesia tidak merepresentasikan aspirasi rakyat.

Aqsha juga menegaskan agar pemerintah segera membatalkan segala Rancangan UU yang merugikan rakyat.

Mewakili massa aksi, Aqsha mendesak negera agar dalam tempo singkat Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) disahkan, dan RUU Pekerja Rumah Tangga (PRT), serta terbitkan Perppu KPK.

“Pemerintah harusnya mendengar dan mewujudkan kedaulatan rakyatnya dengan mengesahkan UU yang mendorong kesejahteraan rakyat, bukan malah sebaliknya,” ujarnya.

“Hari ini kita hadir untuk menentang segala ketidakadilan dan meluangkan keresahan rakyat, mulai mahasiswa yang terbunuh hingga kekerasan di Papua, maka solusinya adalah kedaulatan rakyat,” tandasnya.

Dalam aksi ini, sekitar 8 ratus pengunjuk rasa dari elemen mahasiswa, pelajar, buruh, nelayan, juru parkir dan kaum miskin kota.

Sementara itu, Humas aksi, Arin berharap agar masyarakat bersimpati dan mendukung penuh gerakan rakyat melawan oligarki.

“Kami menyeru kepada seluruh rakyat agar mendukung penuh gerakan ini, karena sepenuhnya gerakan ini atas nama perjuangan rakyat menolak segala kebijakan yang tidak pro rakyat,” ungkapnya.

“Rakyat harus sadar dan membangun kekuatan politik rakyat sebagai oposisi pemerintah saat ini yang dikuasai kepentingan oligarki,” kunci Arin.

Adapun organisasi yang tergabung dalam RMO, diantaranya; Aliansi Masyarakat Melawan Oligarki, Gerak Buruh Makassar, Aliansi Selamatkan Pesisir, Unhas Bergerak, BEM UNM, Aliansi Mahasiswa UMI, Aliansi Perti Fajar, Aliansi Mahasiswa Upri, Aliansi Mahasiswa Polimedia, Aliansi Pelajar Makassar, Aliansi Mahasiswa UIN

 

Catatan: Berita ini telah deterbitkan oleh media online publikasionline.id pada 28 Oktober 2019