Salmia binti Ahmad Abadi kembali dikriminalisasi. Perempuan berusia 52 tahun ini kembali dilaporkan dengan dugaaan penyerobotan lahan yang terletak di Parapa, Desa Rappang, Kecamatan Tapango, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Salmia dituduh menyerobot tanah yang sudah ia kuasai sejak tahun 1987 hingga saat ini. Tanah tersebut tak pernah ia jual, hibahkan atau dikelola orang lain. Tanah berupa sawah yang letaknya tak terlalu jauh dari rumahnya.
Tanggal 30 Desember 2019 Salmia dilaporkan oleh salah seorang warga bernama Syahril. Setelah mendapatkan panggilan dari penyidik, Salmia menemui penyidik dan diperiksa dengan status sebagai saksi. Berselang beberapa bulan, ia kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
Sudah berulang kali Salmia dilaporkan dengan dugaan penyerobotan lahan. Sudah tiga kali ia berstatus tersangka. Pertama kali dilaporkan pada tahun 2006. Setelah diperiksa, ia kemudian ditetapkan menjadi tersangka. Setelah penetapan tersangka, kasusnya dihentikan.
Tahun 2012 ia kembali dilaporkan dan ditetapkan sebagai tersangka. Namun proses hukum yang dihadapinya menggantung dan tak ada kejelasan. Tahun 2013 dan 2016 ia kembali dilaporkan dan hanya berstatus sebagai saksi.
Akhir tahun 2019, ia kembali dilaporkan. Setelah satu kali menghadap penyidik, ia kembali ditetapkan sebagai tersangka. Ia heran kenapa ia dilaporkan berulang-ulang di objek yang sama. Ia berharap penyidik yang ,menangani perkaranya bisa bersikap objektif atas pelaporan dirinya.
Sehari-harinya, Salmia bekerja sebagai seorang petani. Ini dilakukannya untuk menghidupi keluarganya. Ia adalah tulang punggung keluarga.
Sebagai petani, ia menanam padi dan kakao. Hasil panen sawah dan kebun kakao ia gunakan untuk membiayai 6 orang anak angkatnya. Sebagai orang tua tunggal, jika ia bekerja, tak ada orang yang akan membiayai kebutuhan keluarganya.
Proses hukum yang ia jalani membuat ia tak nyaman bekerja, terlebih ini sudah berulang-ulang dilakukan padanya. namun ia menghormati proses hukum yang harus ia hadapi.
“Saya tak salah, jadi saya harus hadapi dengan berani”. Tuturnya dengan ekspresi penuh keyakinan
Tahun 1993, Ahmad Abadi yang merupakan ayah kandung Salmia pernah dilaporkan dengan dugaan penyerobotan lahan. Objek tanahnya sama dengan tanah yang saat ini dikuasai Salmia. Pengadilan Negeri Polewali Mamasa memutuskan bahwa Ahmad Abadi dan beberapa warga Parapa yang juga dilaporkan dinyatakan tidak bersalah dan harus dibebaskan.
Sepeniggal ayahnya, kriminalisasi itu berlanjut pada Salmia.
Naharuddin mengaku heran dengan laporan berulang-ulang yang dialami oleh Salmia. Ia tahu persis tuduhan yang dialamatkan pada Salmia.
“Saya sudah lama tinggal di Parapa, jadi saya tahu persis kasus ini. Tanah yang dikuasai dan dikelola Salmia adalah tanah yang dibuka sendiri oleh ayahnya. Jadi tidak mungkin menyerobot” ungkap Naharuddin.
Sebelum jadi sawah, dulu Parapa adalah rawa yang menjadi sarang buaya. Masyarakat bergotong royong dan membangun tanggul hingga menjadi kampung dan lahan pertanian. Setelah menjadi lahan pertanina produktif, barulah orang-orang dari luar datang dan mengaku pemilik tanah tersebut. Tambah Naharuddin.
Tak hanya tanah Salmia, tanah warga Parapa lainnya juga menjadi incaran banyak pihak. Pelaporan warga ke Polisi sudah sering dialami warga Parapa. Masyarakat di Parapa berharap proses hukum yang sedang dijalani Salmia dihentikan. Mereka mengaku juga akan mengawal kasus ini secara bersama-sama, terlebih yang menjadi korban tidak hanya Salmia.
Setelah penetepan tersangka oleh penyidik, Salmia kini menunggu kelanjutan proses hukum yang dijalaninya. Ia berharap penegak hukum yang memeriksa perkaranya menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.