Categories
SIPOL slide

Mengecam Pernyataan “Tembak di Tempat” Oleh Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo

Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo (SYL)mengeluarkan pernyataan di media Massa perihal tembak ditempat dalam penanganan Begal di Makassar. Salah satunya dimuat di halaman depan Koran Tribun Timur Selasa, 21 Juni 2016 dengan Judul “Gubernur: Begal Pantas Ditembak”. Dalam pemberitaan tersebut Syahrul Yasin Limpo mengatakan “Tembak saja, mereka, kejahatannya sudah melewati batas ambang toleransi.” Ungkapnya. Seruan tembak tersebut dilanjutkan dengan mengatakan “Kita akan lakukan shock teraphy.” Tegasnya. Selaku Kepala Daerah dan pemangku kekuasaan, tidak semestinya SYL mengeluarkan pernyataan yang cenderung reaksioner dan emosional, dalam menangani persoalan begal,karena Penegakan hukum adalah upaya untuk mencapai tujuan hukum yakni, kemanfaatan, kepastian, dan keadilan, bukan balas dendam dan bukan pula tindakan insidentil belaka. Sehingga harus dilakukan secara objektif dan proporsional dengan tidak mengabaikan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).

Dalam pernyataannya, SYL tidak bisa memisahkan antara menggunakan upaya paksa (forced action) dengan menggunakan kekerasan (violence action). Upaya paksa yang menjadi kewenangan kepolisian sama sekali tidak identik ataupun dapat disamakan dengan tindak kekerasan.Penggunaan kekuatan (senjata api)sebagai upaya paksa telah diatur dalam Perkapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.Dalam Pasal 47 ayat (1) peraturan ini disebutkaan bahwa penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia. Lebih lanjut, dalam Perkapolri No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Dalam Pasal 8 ayat 1 diatur bahwa penggunaan senjata hanya boleh dilakukan dalam keadaan menghindari timbulnya luka parah atau kematian, upaya terakhir untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan, danmencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.

Pada prinsipnya, penggunaan senjata api merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka. Sehingga harus berdasarkan prosedur hukum, dengan memperhatikan situasi dan kondisi di lapangan serta menjamin tidak ada pelanggaran hak hidup dan hak bebas dari penyiksaan, bukan tembakan yang dapat dilakukan kepada siapa saja yang diindikasikan terkait dengan begal atau untuk tujuan memberikan “shock terapy“. Apalagi istilah “tembak di tempat” tidak dikenal dalam undang-undang, sehingga dapat ditafsirkan lain.

Penegakan Hukum terhadap pelaku begal memang harus dilakukan, sebab masyarakat juga berhak untuk mendapatkan hak untuk rasa aman yang dijamin konstitusi, namun tentu sajapenegakan hukum tersebut tidak boleh melanggar prinsip-prinsip hak asasi lainnya.

Pernyataan SYL yang mengidentikkan Tatto dengan kejahatan, sangat membahayakan dan dapat memberi stigma negatif yang dapat menimbulkan adanya diskriminasi kepada mereka yang memiliki tattoo meski tidak terkait dengan kejahatan apapun, disamakan dengan pelaku kriminal. Hal ini justru akan memicu penyalahgunaan wewenang oleh penegak hukum yang berujung pada adanya pelanggaran HAM, bahkan dapat menimbukan korban salah tangkap.

Pernyataan SYL yang terkesan mendorong penegakan hukum oleh aparat kepolisian di Sulsel dengan mengabaikan semangat Reformasi Polri yang menginginkan perubahan dalam pelaksanaan tugas anggota kepolisian,yaitudari kultur militeristik menjadi kultur demokratik.Dalam kehidupan masyarakat yang demokratis, Polri harus pula memberikan jaminan keamanan, ketertiban dan perlindungan hak asasi manusia kepada masyarakat serta menunjukkan transparansi dalam setiap tindakan, menjunjung tinggi kebenaran, kejujuran, keadilan,kepastian dan manfaat sebagai wujud pertanggung jawaban terhadap publik.

Berdasarkan Pernyataan Tembak di tempat Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo yang di muat di beberapa media, maka kami Lembaga Bantuan Hukum Makassarmenyatakan sikap :

  1. Mengecam pernyataan Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo terkait tembak di tempat sebagai upaya shock teraphy dalam penanganan kasus Begal di Makassar.
  2. Meminta Kepada Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo untuk melakukan klarifikasi di media dengan meyerukan kepada pihak keamanan (Polri) dalam menanggulangi masalah kejahatan begal di Makassar harus sesuai dengan prosedur hukum dan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.
  3. Meminta Polda Sulsel untuk melakukan Evaluasi Penanganan Masalah Kejahatan Begal di Makassar, dengan memandang bahwa persoalan Begal di Makassar bukan hanya persoalan hukum namun merupakan persoalan sosial, sehingga membutuhkan pendekatan yang lain salah satunya dengan Program Perpolisian Masyarakat (Polmas) yang telah dicanangkan sebagai bagian dari reformasi Polri.

 

Makassar, 24 Juni 2016

LBH Makassar

Haswandy Andi Mas, SH
Direktur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *