Dari makna harafiahnya, tirani menggambarkan sebuah negara yang diperintah oleh seorang penguasa yang bertindak sekehendak hatinya, kekuasaan yang dipergunakannya secara sewenang-wenang. Dalam konteks negara hukum, tirani dapat diartikan sebagai tindakan menyimpang terhadap peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh pejabat penyelenggara negara dan mengabaikan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai pedoman bagi pejabat negara dalam bertindak atas nama negara.
Memasuki alam demokrasi dan konstitusional, perilaku tirani secara total dihapuskan lantaran telah menjadi momok yang menakutkan bagi rakyat. Untuk menghindari praktek tirani, maka setiap tindakan pejabat negara mesti melibatkan masyarakat sebagai perwujudan asas kedaulatan rakyat. Pelibatan tersebut ditujukan untuk menguatkan posisi masyarakat sipil sebagai wujud akan nilai-nilai demokrasi. Tegasnya, tugas utama penyelenggara negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, sebagaimana ditegaskan dalam alinea IV pembukaan UUD 1945.
Namun, belakangan ini aroma perilaku tirani mulai tercium di tampuk-tampuk kekuasaan. Pejabat negara yang notabene sebagai representasi kehendak rakyat mulai menarik garis dari amanat konstitusi, sikap tersebut dapat diukur melalui beberapa kebijakan menyangkut hajat hidup orang banyak. Salah satunya adalah kebijakan penetapan kawasan reklamasi di wilayah pesisir Pantai Losari, Makassar, Sulawesi Selatan.
Mencerabut Asas Keadilan
Pada dasarnya, reklamasi merupakan upaya pengelolaan wilayah pesisir untuk meningkatkan nilai tambah wilayah pesisir ditinjau dari aspek teknis, lingkungan dan sosial-ekonomi. Kegiatan reklamasi dilakukan secara massif di hampir semua daerah sebagai upaya pengadaan lahan baru yang diproyeksikan akan menjadi titik pertumbuhan ekonomi baru untuk meningkatkan pendapatan daerah. Sumber daya di wilayah pesisir yang relatif kaya kemudian dijadikan pusat pertumbuhan ekonomi. Sebagai konsekuensinya adalah terjadinya ancaman terkait keseimbangan lingkungan hidup dan perubahan pola sosial-ekonomi masyarakat di reklamasi terjadi.
Hingga saat ini tercatat sedikitnya 17 kabupaten/kota yang menerapkan kebijakan reklamasi dengan menempatkan nelayan sebagai pihak tergusur dan memaksa nelayan untuk beralih profesi, tak terkecuali kegiatan reklamasi di Pantai Losari Kota Makassar.
Bagi pemerintah daerah, reklamasi Pantai Losari dipandang sebagai jalan pintas untuk mengejar pertumbuhan ekonomi daerah. Kendati demikian, ambisi pemerintah daerah tidak boleh memunggungi fungsi pelestarian lingkungan hidup, serta tidak boleh memangkas sebagian maupun keseluruhan atas hak-hak masyarakat setempat baik di bidang ekonomi, sosial maupun budaya.
Paling tidak saat ini kita bisa saksikan wajah muram Pantai Losari yang bising dengan suara mesin-mesin penimbun laut. Sebelum direklamasi, para nelayan tangkap maupun pencari kerang /Pattude masih bisa menikmati hasil laut yang melimpah sebagai sumber kehidupan dan penghidupan mereka. Potret pembangunan dengan gaya reklamasi telah mengokupasi ladang penghidupan nelayan dan memaksa mereka berali profesi dari pemungut kerang/tude menjadi pemungut plastik/Payabo.
Anomali Penegakan Hukum
Hingga saat ini, kurang lebih 14 (empat belas) pelaku usaha tengah melakukan penimbunan laut di sekitaran Pantai Losari. Aktivitas tersebut telah mengakibatkan pelanggaran terhadap hak konstitusi masyarakat setempat seperti, hilangnya akses publik, serta hilangnya mata pencaharian nelayan. Keadaan ini terjadi akibat adanya pembiaran dan pelonggaran oleh pemerintah maupun penegak hukum, sehingga mengakibatkan nelayan semakin termiskinkan dan termarjinalkan. Jika dibiarkan, keadaan ini akan mengarah pada praktek tirani kekuasaan.
Setali tiga uang, pemerintah provinsi secara diam-diam menerbitkan izin reklamasi seluas 157,23 ha untuk pembangunan kawasan Centre Poin of Indonesia (CPI) yang diperuntukkan sebagai kawasan bisnis global terpadu, real estate, wisma negara dan lain sejenisnya. Sedangkan, masyarakat yang mengalami dampak secara langsung hingga kini belum mendapatkan kompensasi maupun ganti rugi. Disisi lain, kebijakan reklamasi sama sekali tidak melibatkan publik sejak tahap perencanaan hingga terbitnya surat keputusan. Sikap tertutup pemerintah telah mencerabut asas keterbukaan dimana masyarakat berhak untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif. Jika dibiarkan, tindakan ini akan mengarah pada praktek tirani kekuasaan.
Dengan dilanggarnya asas keterbukaan, maka secara tidak langsung asas keadilan dan asas kepentingan umum ikut terseret. Dimana setiap tindakan pejabat negara harus mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif. Jika asas keterbukaan, asas keadilan dan asas kepentingan umum tidak lagi menjadi pedoman penyelenggaraan negara, maka sistem pemerintahan akan kembali pada tirani kekuasaan.
Penulis : Edy Kurniawan (Pekerja Bantuan Hukum LBH Makassar)