Restorative Justice dan Efektivitas Penegakan Hukum

Haswandy Andy Mas

(Direktur LBH Makassar & Anggota Forum Restorative Justice Kota Makassar)

 

Menjelang berakhirnya tahun 2019 yang baru saja berlalu, warga net sempat dihebohkan dengan video viral berdurasi 30 detik berisi rekaman aksi seorang ibu yang menampar siswi kelas 2 SD di Makassar. Ibu tersebut kemudian diproses dan menjadi Tersangka. Namun kemudian kasusnya dihentikan karena antara pelaku dan orangtua korban telah berdamai yang difasilitasi oleh ketua RW setempat, P2TP2A Kota Makassar dan disetujui oleh pihak kepolisian.

Secara normatif kasus penganiayaan terhadap anak bukan delik aduan, meskipun ada perdamaian, namun proses hukum tetap berlanjut hingga ke Pengadilan. Penghentian perkara dalam kasus ini terjadi atas adanya “diskresi” dari penyidik Kepolisian yang diatur dalam Pasal 18 UU Kepolisian.

Penyelesaian kasus seperti ini disebut Restorative Justice (RJ)atau Keadilan Restoratif yakni penataan kembali sistem pemidanaan yang lebih adil, baik bagi pelaku, korban, maupun masyarakat (Bagir Manan, Varia Peradilan, No. 247, 2006). Dalam kasus ini, RJ menghasilkan konsensus yang tetap memberikan efek jerah bagi pelaku (sesuai jenis dan tingkat kesalahannya) sekaligus pembelajaran bagi masyarakatdan memenuhi rasa keadilan pihak korban,

Dimana pelakunya sempat menjalani penahanan beberapa hari di Kepolisian, telah mengaku bersalah disertai rasa penyesalan dan permohonan maaf secara langsung kepada korban dan orangtuanya serta masyarakat melalui media. Anak yang menjadi korban telah pula menjalani proses pemulihan (restorative) melalui layanan rehabilitasi medis dan psikologis.

 

Beban Anggaran

Kasus tersebut memang tergolong sederhana dan ringan namun bisa dibayangkan jika berlanjut hingga ke persidangan, tentu akan membutuhkan biaya operasional, sarana dan prasarana serta tenaga personil dari masing-masing institusi yang tergabung dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system)mulai kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilaan yang tentunya akan membebani anggaran negara.

Padahal beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap tahunnya terjadi ketimpangan antara besarnya jumlah perkara yang dilaporkan dibandingkan dengan minimnya jumlah personil, biaya penanganan perkara, sarana dan praranadi masing-masing institusi aparat penegak hukum. Ketimpangan tersebut telah mengakibatkan banyaknya perkara yang sama sekali tidak tertangani alias mandek, beberapa perkara lainnya tertangani namun tidak berkualitas. Minimnya anggaran penanganan perkara juga membuka peluang terjadinya pemerasan aparat penegak hukum terhadap para pencari keadilan untuk menutupi biaya operasional penanganan perkara.

Apalagi jika tersangka/ terdakwa ditahan dan divonis penjara, tentu semakin menambah beban anggaran negara untuk menjamin ketersediaan petugas, biaya makan dan operasional lainnya, sarana dan parasarana termasuk gedung dan kamar-kamar sel (untuk lebih jelasnya, baca Pengantar Analisis Ekonomi Dalam Kebijakan Pidana di Indonesia, Choky Ramadhan, 2016).

Belum termasuk dampak sosial yang ditimbulkan jika ternyata tahanan dan narapidana (napi) adalah orangtua sekaligus pencari nafkah satu-satunya dalam keluarga. Anak-anaknya akan terancam putus sekolah karena kekurangan biaya dan potensi gangguan psikologis karena ejekan temannya dan stigma masyarakat yang menyebutnya “anak penjahat”. Hal ini tentu memiliki efek domino terhadap beban dan tanggungjawab pemerintah dalam pemenuhan hak atas kesejahteraan dan masa depan terbaik untuk anak

Over Kapasitas

Berdasarkan data pertanggal 31 Desember 2019, jumlah penghuni Rutan Makassar sebanyak 2.556 orang dari kapasitas yang hanya dapatmenampung sebanyak 1.000 orang atau terjadi overkapasitas sebesar 156 % dan 50 % diantaranya adalah tahanan dan napi kasus Narkoba (sumber: mslap.ditjenpas.go.id/). Hal ini berdampak terhadap kondisi psikologis dan kesehatan para napi dan tahanan yang memburuk, gangguan keamanan dan ketertiban yang mengakibatkan terjadinya perkelahian sesama penghuni dan kerusuhan di rutan dan lapas.

Dampak lainnya, fungsi pelayanan dan pembinaan sehingga proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi napi berpotensi gagal sehingga tahanan dan napi berpeluang untuk kembali melakukan kejahatan (residivis) bahkan jenis kejahatannya dapat semakin meningkat, seperti Freddy Budiman yang semula pencopet kemudian menjadi pengedar narkotika dan beberapa kali keluar-masuk penjara sebelum menjadi bandar besar/gembong yang membuatnya divonis hukuman mati.

Optimalisasi RJ

Sudah saatnya optimalisasi penanganan perkara pidana dengan pendekatan RJ yang dapat diterapkan sebelum dan pada setiap tahapan sistem peradilan pidana dengan melibatkan para pihak (korban dan pelaku) serta seluruh stakeholder terkait yakni aparat penegak hukum, instansi pemerintah daerah terkaitdan tokoh masyarakat setempat termasuk organisasi masyarakat sipil,

Beberapa jenis kasus yang dapat ditangani dengan pendekatan RJ antara lain kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku lewat mekanisme diversi sebagaimana yang diatur dalam SPPA, kasus penganiayaan ringan seperti kasus di atas, tindak pidana moneter seperti pencurian, penggelapan dan penipuan yang nilai kerugian korban tidak terlalu besar, apalagi pelaku masihdapat mengupayakan mengganti kerugian korban.

Tidak terkecuali kasus narkoba kategori pengguna karena mereka adalah korban dari sindikat jaringan peredaran gelap narkoba dan merupakan penghuni terbanyak di rutan/ lapas. Penerapannya dapat dilakukan lewat rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi terdakwa melalui vonis hakim dan bagi napi lewat program Dirjen PAS yang saat ini juga mendorong pemberian Amnesti bagi pengguna yang telah menjalani pidana selama waktu tertentu dan telah menjalani rehabilitasi,

Dengan begitu, diharapkan efektivitas penegakan hukum untuk mewujudkan ketertiban umum dan memenuhi rasa aman serta hakatas keadilan bagi setiap warga negara yang pada gilirannya anggaran negara dapat digunakan seefisien mungkin dan dioptimalkan pada program pembangunan yang lebih tepat untuk mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Amin ya Rabbal Alamin.

 

 

Catatan: Opini ini telah dimuat di koran harian Tribun Timur pada edisi 18 Januari 2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content