“Warga Negara adalah pemegang Hak (Rights Holder), sementara Negara merupakan pengemban kewajiban”
– Duty Barier
Reformasi telah berusia 18 tahun, namun ternyata masih ada sebagian warga negara yang belum mendapatkan perlakukan secara wajar. Inilah yang dialami oleh korban peristiwa tahun 1965 beserta keluarganya yang selama ini memikul beban atas perbuatan yang mereka tidak lakukan pada peristiwa Gerakan 30 September (G.30 S). Hak mereka dipasung selama berpuluh – puluh tahun dan sampai sekarang belum bisa menikmati hak – hak konstitusi sebagaimana warga negara lainnya. Mungkin saat ini kita akan kesulitan menemukan korban langsung peristiwa tahun 1965, karena sebagian besar dari mereka sudah almarhum. Namun sebagai manusia, mereka memiliki anak dan cucu yang juga terpaksa ikut mewarisi beban masa lalu serta tersisi dalam pergaulan sehari-hari karena identitas yang melekat pada diri mereka.
Mesti diakui bahwa pemerintahan orde baru telah berhasil mengindoktrinasi bangsa ini dengan wacana “bahaya laten komunis” menyebabkan hilangnya memori kolektif masyarakat akan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di masa lalu. Selama berpuluh-puluh tahun, wacana tersebut direproduksi dan diawetkan hingga secara sosial diyakini sebagai satu – satunya kebenaran dan menjadi “camon sense” yang tidak perlu lagi dipertanyakan.
Namun bukan berati negara bebas memunggungi kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, karena penyelesaiannya merupakan bagian yang diperlukan dalam proses demokratisasi. Hal ini untuk meyakinkan bahwa masa lalu tidak lagi merupakan beban dalam artian tidak lagi menghantui masa kini.
Kewajiban Negara
Sebagai anggota Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB), Indonesia telah meratifikasi setidaknya 6 (enam) instrumen penting PBB tentang HAM. Satu diantaranya adalah UU No.12 tahun 2005 tentang pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, secara resmi Indonesia menjadi negara pihak sejak tanggal 23 Februari 2006. Indonesia selaku anggota Dewan HAM PBB, juga memiliki kewajiban untuk meningkatkan standar perlindungan HAM dalam wilayah kekuasaannya. Oleh karenanya, melekat tanggungjawab di dalamnya, bahwa negara adalah subyek yang harus memastikan pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap warga negara.
Terdapat tiga kewajiban sebagai negara pihak, Pertama, kewajiban untuk melindungi, dalam hal ini negara harus memberikan jaminan perlindungan dan mencegah segala bentuk pelanggaran terhadap HAM, baik yang dilakukan oleh negara maupun pelaku dari unsur non-negara. kedua, kewajiban untuk memajukan, negara harus mengeluarkan regulasi, kebijakan ataupun peraturan yang tidak bertentangan dengan nilai, norma dan aturan hukum HAM. Dan ketiga, kewajiban untuk memenuhi, dalam arti negara harus melakukan tindakan nyata, seperti mengalokasikan anggaran, menyusun program, dan membuat kebijakan untuk menjamin pemenuhan HAM setiap warga negara, seperti memberikan pemulihan bagi setiap warga negara yang menjadi korban maupun keluarganya dari sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat.
Penegakan “Setengah Hati”
Setelah Soeharto turun, pemerintah membentuk Komisi Nasional (Komnas) HAM beserta instrumen diantaranya, UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, UU No. 13 tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Tidak hanya itu, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi bagi Korban Pelanggaran HAM berat. Sebagai tambahan, pemerintah juga sempat mengesahkan UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun, sepertinya harapan masih terlampau jauh akan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Pembentukan institusi Komisi Nasional (Komnas) HAM dan instrument HAM masih belum cukup untuk memuaskan dahaga masyarakat akan keadilan, terutama keluarga korban. Padahal, dalam laporan hasil penyelidikan Komnas HAM tahun 2012 telah menyatakan bahwa peristiwa 1965 telah memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 9 UU No. 26 tahun 2000. Akan tetapi dalam proses penyidikan, Kejaksaan Agung berbeda pendapat dengan Komnas HAM. Sehingga saat ini prosesnya masih mengendap di Kejaksaan Agung.
Upaya non-Yudisial atau Yudisial?
Tingginya keinginan sosial untuk bernegosiasi dengan masa lalu, ditanggapi oleh pemerintah dengan memilih jalan rekonsiliasi. Karena, sepertinya rekonsiliasi adalah jalan yang paling rasional bagi pemerintahan populis saat ini. Hal ini dilakukan untuk menghindari resistensi politik kubu statusquo sekaligus memastikan popularitas tetap terjaga. Selain itu, rekonsiliasi merupakan solusi politik yang bergantung pada dinamika politik indonesia. Namun tanpa melalui pengungkapan fakta dan kebenaran maka rekonsiliasi ibarat beli kucing dalam karung.
Berbeda dengan rekonsiliasi, yang paling mendekati keadilan substansial bagi korban maupun keluarga korban adalah upaya reparasi. Dalam konteks HAM dan hukum internasional, reparasi diartikan sebagai kewajiban pelaku untuk memulihkan kondisi atau situasi pihak yang dirugikan (korban) akibat tindakan pelaku.
Dalam hukum nasional, model reparasi digambarkan dalam Pasal 35 UU 26 tahun 2000, menyatakan, “Setiap korban pelanggaran Hak Asas Manusia (HAM) yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Sementara pelaksanaannya secara teknis dapat menggunakan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya. Sedangkan Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban oleh pelaku atau pihak ketiga. Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, dan jabatan.
Dalam praktek penegakan HAM di Indonesia, reparasi pernah dilakukan pada pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat tahun 2004 dalam kasus Tanjungpriok. Majelis Hakim melakukan terobosan hukum baru, dengan memutuskan pemberian kompensasi kepada korban dan ahli warisnya. Namun pada pengadilan tingkat banding maupun kasasi di Mahkamah Agung memutusakan terdakwa bebas dari segala tuntutan. Meskipun demikian, kasus ini adalah sebuah kemajuan proses yudisial penyelesaian HAM berat di Indonesia yang patut dipraktekkan kembali dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat 1965.*
Penulis : Edy Kurniawan (PBH LBH Makassar)
Comments
No comment yet.