Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap lembaga–lembaga negara, pada tanggal 10 Desember 2015 tepat hari lahirnya DUHAM (Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia), Mahkamah Konstitusi (MK) mempertegas keberpihakannya pada rakyat, khususnya pada masyarakat local di kawasan hutan yang selama ini kerap mendapat stigma buruk sebagai perambah hutan. Masyarakat local menjadi kehilangan akses atas sumber daya alam dalam kawasan hutan sebagai sumber kehidupan dan penghidupan mereka. Keadaan ini menyebabkan hilangnya hak konstitusi masyarakat local sebagai warga Negara Indonesia. Maka dengan keluarnya putusan MK, masyarakat local bisa bernafas legah sebab keputusan tersebut secara tegas telah mengakomodir hak – hak mereka.
Tak pelak lagi, diantara sekian banyak lembaga negara, MK sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman bertugas melindungi konstitusi (The guardian of constitusion). Sikap tegas MK menjadi indikator yang merefleksikan penguatan dan pemajuan prinsip – prinsip negara hukum yang berdemokrasi berasaskan pancasila. Apabila terdapat undang – undang yang bertentangan dengan konstitusi (Inconstitusional), MK dapat memberikan tafsiran yang memiliki kekuatan hukum (The sole interpreter of constitusion) agar bersesuain dengan nilai – nilai konstitusi. MK dapat membatalkan undang – undang tersebut baik secara keseluruhan maupun sebagian pasal yang bertentangan. Tak ayal lagi, MK sebagai badan yudisial pun menjadi perisai konstitusi yang melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai hak konstitusional dan hak setiap warga negara.
Lebih dari 15 tahun berlakunya, Undang – undang Kehutanan telah menjadi alat untuk merampas wilayah kelola masyarakat local. Atas nama negara diberikan kepada korporasi melalui skema perizinan untuk dieksploitasi secara membabi buta tanpa mempedulikan nilai – nilai kearifan lokal. Pilar HAM dalam konstitusi pun terancam punah, karena sepertinya pemerintah terus berupaya untuk merawat lupa akan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta pengakuan yang sama di depan hukum“.
Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah dan dilandasi hubungan yang kuat antara masyarakat dan hutan, serta kearifan dalam pengelolaan hutan dapat dibuktikan dengan terjaganya keberlangsungan sumber penghidupan yang berwawasan lingkungan. Namun, harmoni masyarakat mulai terusik dengan masuknya dinas kehutanan yang berdampak pada keterbatasan akses masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan sandang-pangan.
Seperti halnya yang terjadi pada 89 KK di Desa Tabo – Tabo, Kab. Pangkep. Masyarakat yang telah hidup berurat akar secara turun temurun menggarap lahan yang dikuasainya dengan peralatan sederhana seperti parang, cangkul dan arit. Keberadaan mereka dapat dilihat dari bukti sejarah yang berhubungan dengan leluhur mereka seperti kuburan tua, tempat pelaksanaan upacara adat, bekas kampung, dan cerita rakyat setempat. Kehidupan mereka mulai terkungkung secara perlahan sejak tahun 1971 dengan adanya proyek penanaman pohon Akasya yang dilaksanakan oleh dinas kehutanan. Puncaknya tahun 1979 bersamaan dengan penetapan kawasan hutan tanpa menerima ganti rugi.
Tahun 2009 dua orang warga tabo – tabo yang menggarap sawah dan menanam pohon pisang demi menyambung hidup dan menafkahi keluarga, mereka dituduh telah menggunakan dan menduduki kawasan hutan dengan tidak sah dan dituntut tidak kurang satu tahun. Mereka kemudian menajalani hukuman atas vonis Pengadilan Negeri Pangkep.
Sebelumnya, melalui putusan Nomor 45/PUU-IX/2011, MK menegaskan bahwa penetapan kawasan hutan merupakan proses akhir dari rangkaian pengukuhan kawasan hutan. Sedangkan, penunjukan kawasan hutan merupakan proses dan bukan hasil final. Sehingga, peta penunjukan kawasan hutan tidak bisa dirujuk menjadi dasar hukum batas kawasan hutan.
Dua tahun pasca putusan MK, lahirlah undang – undang No. 18 tahun 2013 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Kawasan Hutan (UUP3H). Masyarakat kawasan hutan menaruh ekspektasi besar, sebab semangat UUP3H adalah untuk menghadang exploitasi hutan oleh korporasi melalui modus operandi canggih. Setali tiga uang, UUP3H justru menimbulkan ketidakpastian hukum, dan mempertajam pisau kriminalisasi.
Tahun 2014, buah pahit UUP3H dirasakan oleh Pak Bahtiar seorang petani asal Kab. Sinjai yang dijerat pidana dengan merujuk peta penunjukan kawasan hutan. Hingga saat ini, kasusnya sudah bergulir sampai tingkat Mahkamah Agung. Namun, beliau belum mendapatkan keadilan. Kasus terakhir yang masih hangat adalah penetapan status tersangka Pak Cecep salah satu warga Desa Watang Kassa, Kab.Pinrang pada bulan Desember 2015. Ia dituduh telah melakukan perambahan hutan. Aneh bin ajaib, ketentuan pasal pidana yang menjerat Pak Cecep persis sama dengan pasal yang telah dibatalkan oleh MK pada tanggal 10 Desember 2015. Entahlah, apakah penegak hukum di daerah kurang mendapatkan pasokan informasi atau merekalah yang malas membaca.
Dengan keluarnya putusan MK pada tanggal 10 Desember 2015. Ketentuan pidana dalam pasal 50 ayat (3) huruf e dan huruf i UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan yang dimaksud dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersil. Dengan demikian, penerapan pidana kehutanan sudah seharusnya kembali pada tujuan pembangunan nasional yaitu untuk tujuan sebesar – besarnya kemakmuran yang adil dan makmur. Maka dengan itu, dihimbau kepada aparat penegak hukum agar seharusnya mengedepankan pendekatan secara preventif, adapun pendekatan represif harus dilakukan sebagai upaya terakhir (Ultimum remedium). Sebab akan terjadi paradoks jika disatu sisi undang – undang mengakui keberadaan masyarakat local secara turun temurun. Namun, disisi lain mereka dilekatkan dengan stigma perambah hutan dengan segala ketentuan pidananya.
Penulis : Edy Kurniawan, SH (APH LBH Makassar – Bidang Tanah dan Lingkungan)
Comments
No comment yet.