Sejak wacana tentang lingkungan hidup menjadi pembicaraan dimana – mana, terus meluas ke seluruh dunia dan akhirnya mendorong Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk menyelenggarakan United Nation Conference on Human Environmental (UNCHE) di Stokholm, Swedia pada 5 Juni 1972. Hari pembukaan konferensi ini jatuh pada 5 Juni, sejak saat itu hingga saat ini selalu diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Internasional. Sejak konferensi inilah muncul dua aliran besar dalam paradigma pembangunan, yakni kaum developmentalism dan environmentalism. Perdebatan kedua aliran ini tanpa disadari juga semakin meningkatkan pemahaman dan penghayatan umat manusia akan pentingnya lingkungan hidup. Keadaan ini mendorong PBB dalam sidang umumnya pada Desember 1983 membentuk komisi World Commission on Environment and Development (WCED).
Salah satu tugas WCED adalah menyusun strategi jangka panjang untuk pengembangan lingkungan menuju pembangunan berkelanjutan (Sustanaible Development) di tahun 2000 dan sesudahnya. Dalam akhir tugas komisi ini, diterbitkan laporan berjudul Our Common Future yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul “Hari Depan Kita Bersama”. Laporan ini merekomendasikan perubahan – perubahan secara institusional dan hukum sebagai tonggak pentingnya pemahaman wawasan lingkungan hidup yang dapat diterapkan di semua sektor pembangunan.

Dalam headline Kompas tanggal 1 April 2016, suhu bumi semakin tinggi karena pemanasan global menyebabkan gletser di antartika mencair sehingga menambah ketinggian permukaan air laut. Dipertegas dengan release dari Met Office Inggris menunjukkan bahwa suhu rata – rata global pada tahun 2016 berada di antara 0,72 ° C (1.29 ° F) dan 0,96 ° C (1.73 ° F). Dengan begitu suhu tahun ini yang paling tinggi selama 20 abad terakhir. Semua fenomena ini kembali mengingatkan kita akan bahaya pemanasan global (Global Warming).
Sebagai negara yang memiliki jumlah pantai yang terpanjang di dunia, Indonesia menghadapi persoalan dengan kenaikan permukaan air laut dan ancaman tenggelamnya pulau – pulau kecil. Sebagai negara yang memiliki luas hutan tropis terbesar di dunia, Indonesia sedang menghadapi persoalan dengan kehilangan kawasan hutan hujan yang terjadi setiap detiknya, serta kasus – kasus penggundulan/kebakaran hutan yang selama ini mejadi penyumbang emisi karbon terbesar di dunia yang menyebabkan lubang ozon semakin menganga.
Disisi lain, semua aspek kelestarian alam makin hari semakin tergerus dan meningkat kerusakannya. Kondisi hutan, pegunungan, air, dan udara semakin tercemar. Lingkungan permukiman yang sehat makin berkurang, kondisi sungai dan danau – danau terus menerus mengalami pencemaran dan kotor sehingga menjadi salah satu sumber penyakit, jutaan kilometer pantai mengalami abrasi serta ribuan ekosistem terumbu karang terus mengalami pemutihan.
Yang paling dramatis kita rasakan hari ini adalah terjadinya krisis air dimana – mana. Padahal, dua pertiga wilayah Indonesia adalah air dan kelautan ditambah sepertiga wilayah daratan yang merupakan tanah dan air Indonesia yang kaya raya. Tapi kini justru di tanah dan air itulah kita mengalami krisis yang serius. Apakah tanah dan air yang sedang sakit ini yang hendak diwariskan oleh generasi sekarang untuk generasi di masa mendatang?
Sebagai negara yang sedang memasuki tahap industrialisasi, wawasan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan sangat diperlukan dalam aras kekuasaan negara dan kebijakan pembangunan untuk menghadapi arus besar paradigma pembangunan yang tidak berpihak kepada lingkungan hidup. seperti tergambar dalam perkembangan pola hubungan yang exploitatif antara manusia dan alam, dunia ini menyaksikan kerusakan yang sangat dahsyat dalam keseimbangan ekosistem. Semua ini disebabkan oleh tindakan massif yang dilakukan, berupa kegiatan explorasi dan exploitasi alam oleh umat manusia dalam proses industrialisasi besar – besaran, demi mengejar keuntungan secara ekonomis.
Tindakan tersebut dilakukan pula dengan menggunakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang serba otomatis, sehingga lingkungan alam dimana – mana mengalami kerusakan dan kemunduran fungsi dan daya dukung kehidupan bersama. Padahal, alam raya dan alam sekitar memiliki ekosistem yang satu sama lain saling bergantung. Kerusakan di satu bidang menimbulkan dampak kerusakan pula pada bidang lain.
Prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup sebenarnya sudah diadopsi dalam UUD 1945 sejak perubahan keempat tahun 2002, dalam Pasal 33 Ayat (4) dan pasal 28H ayat (1). Pada intinya hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat serta pelayanan kesehatan yang baik merupakan hak asasi manusia. Begitu pula dengan UU Nomor No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menekankan aspek perlindungan. Adanya ketentuan hak asasi bagi setiap orang mengharuskan negara untuk menjamin terpenuhinya hak tersebut. Di samping dibebani kewajiban dan tanggung jawab, negara juga berhak menuntut setiap orang maupun badan hukum dan memaksa untuk tidak merusak lingkungan dan mencemarkan lingkungan hidup.
Namun, dalam prakteknya para penyelenggara pembangunan kerap menempuh jalan pintas yang cenderung memunggungi arah konstitusi. Letak persoalannya adalah tidak adanya Political Will serta kurangnya pemahaman dari para penyelenggara pembangunan dan semua pemangku kepentingan akan pentingnya lingkungan hidup. Jika kita terus menerus menelikung konstitusi sebagai dasar bernegara, maka kita akan terus mewarisi generasi pesakitan dan akan terus menambal luka yang semakin menganga. Sebab, setiap warga negara dan setiap generasi harus menjadi perawat yang baik untuk menyelamatkan “Hari Depan Kita Bersama”.
Penulis : Edy Kurniawan,SH (Pekerja Bantuan Hukum LBH Makassar)
Foto : copied from shutterstock.com
Comments
No comment yet.