Oleh: Haswandy Andy Mas, S.H./Direktur LBH Makassar
Perbedaan sikap KPU dan Bawaslu terkait mantan narapidana kasus korupsi yang ikut mendaftar sebagai bakal calon legislatif (Bacaleg) dalam Pemilu 2019, menjadi polemik dan menyita perhatian publik bulan-bulan terakhir.
Ketentuan Pasal 4 ayat (3) Peraturan KPU No. 20/2018 (PKPU) yang mendorong komitmen moral Partai Politik (Parpol) peserta pemilu agar dalam melakukan seleksi dan mengajukan bacaleg untuk tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak dan/atau korupsi, oleh Bawaslu dianggap bertentangan dengan Pasal 240 UU Pemilu.
Padahal PKPU tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi dilengkapi dengan dokumen Pakta Integirtas yang telah ditandatangani oleh Parpol. Di dalamnya berisi pernyataan Parpol bersedia dikenakan sanksi administrasi berupa pembatalan bakal calon yang diajukan jika melanggar, dalam hal ini mengajukan bacaleg terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak dan/atau korupsi.
Anti Korupsi
Dalam konteks pemberantasan korupsi, PKPU tersebut mengandung ketentuan yang “menjembatani” norma hukum yang diatur dalam UU pemilu dengan norma etika politik yang dimuat dalam Pakta Integritas sebagai upaya mewujudkan Pemilu 2019 yang berintegritas dan upaya serius untuk memutus mata rantai “lingkaran setan” korupsi yang semakin akut di negeri ini.
Tersirat, PKPU dibentuk atas kesadaran bahwa korupsi hanya dapat diberantas/ diminimalisir tidak sekadar dengan perangkat keras pemerintahan yang baik (hukum, proses dan institusi) tetapi juga harus disertai dengan perangkat lunaknya (etika dan harapan publik), dengan ‘mengubah budaya politik dalam arti luas’ (lihat Oscar Kurer, 2003).
Sayangnya, sejumlah Parpol tidak konsisten melaksanakan Pakta Integritas tersebut. Bawaslu RI, menemukan sedikitnya 199 mantan terpidana korupsi yang mendaftar. Di Sulawesi Selatan, terdapat delapan Bacaleg DPRD kabupaten/ kota berstatus mantan terpidana korupsi namun pada saat pendaftaran, mereka dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) oleh KPU.
Tiga di antaranya kemudian mengajukan sengketa ke Bawaslu, masing-masing atas nama Tiga di antaranya kemudian mengajukan sengketa ke Bawaslu, masing-masing atas nama: 1) JONI CORNELIUS TONDOK – Bacaleg DPRD Kab. Toraja Utara Usulan PKPI, 2) ANDI MUTTAMAR MATTOTORANG – Bacaleg DPRD Kab. Bulukumba usulan Partai Berkarya, dan 3) RAMADHAN UMASANGAJI – Bacaleg DPRD Kota Parepare, usulan Partai Perindo (tribun-timur.com, 3 September 2018)
Bawaslu kemudian mengabulkan permohonan para bacaleg mantan terpidana korupsi tersebut namun KPU tetap pada sikapnya yakni menolak mantan terpidana korupsi sebagai caleg Pemilu 2019 dengan dalih PKPU belum dibatalkan oleh MA.
Menagih
Terlepas berbagai argumentasi hukum yang mendasari beda sikap keduanya (KPU dan Bawaslu) dan untuk menghindari polemik semakin berkepanjangan tanpa kepastian hukum, maka pada hari Rabu malam, 5 September 2018 antara DKPP, KPU dan Bawaslu akhirnya membangun kesepakatan yang kurang lebih berisi bahwa Pertama, mendorong Mahkamah Agung (MA) segera memutus permohonan uji materi ketentuan Pasal 4 ayat (3) PKPU yang melarang Parpol untuk mengusulkan bacaleg mantan narapidana korupsi; Kedua, melakukan pendekatan kepada Parpol Peserta Pemilu untuk menarik bacalegnya yang berstatus mantan narapidana korupsi.
Kesepakatan pertama tetap membuka peluang mantan narapidana korupsi untuk diloloskan sebagai caleg pemilu 2019 dan terkesan melepas tanggungjawab Parpol. Padahal Parpol sebagai peserta pemilu memiliki peran dan tanggungjawab moral yang sangat strategis untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang berintegritas dengan melakukan seleksi dan mengajukan calon yang benar-benar berkualitas dan bersih.
Menagih Parpol untuk melaksanakan Pakta integritas dan Parpol bersedia untuk mengganti para bacalegnya dengan figur yang bukan mantan terpidana terkhusus korupsi adalah solusi yang paling elegan untuk mengakhiri polemik ini. Kecuali, Parpol tersebut hendak menerima risiko menderita kekalahan besar dalam pemilu kali ini.
Menjegal
Para pakar menyimpulkan bahwa dalam demokrasi terlepas dari tanggung jawab pidana, politisi yang telah terpilih juga terikat oleh konsep tanggung jawab politik, yang menjadi pusat kontrak perwakilan antara pemilih dan mereka yang terpilih (lihat Luís de Sousa & Marcelo Moriconi, 2013)
Dengan demikian, jika ternyata MA akhirnya menjatuhkan putusan yang membatalkan PKPU dan/ atau jika beberapa Parpol masih tetap ngotot mengajukan mantan terpidana korupsi sebagai bacalegnya, maka tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan selain upaya “menjegal” para caleg mantan koruptor bersama parpol pendukung sejak di tahapan kampanye hingga di bilik suara.
Salah satu cara efektif untuk menjegalnya adalah dengan mendorong penyelenggaran Pemilu dalam hal ini KPU dan Bawaslu untuk mengoptimalkan pelaksanaan ketentuan Pasal 240 UU Pemilu terkait frasa yang menyatakan “kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” dengan memberikan tanda/ stempel “Mantan terpidana Korupsi” pada setiap alat peraga kampanye dan kertas suara yang mencantumkan nama caleg tersebut, sebagaimana tawaran Bawaslu dalam beberapa pernyataannya.
Publikasi Parpol yang mengusung caleg mantan terpidana korupsi tentu tidak dapat dihindari. Disertai upaya masif kalangan masyarakat sipil terutama pers yang turut mengumumkan/ memberitakannya berdasarkan informasi yang akurat dan sesuai standar etika profesi jurnalis, ditambah materi kampanye terkait dampak yang ditimbulkan oleh korupsi.
Upaya ini tentu akan menguntungkan dan bahkan didukung oleh parpol lainnya dan calegnya yang bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak dan/ atau korupsi. Sebagaimana klaim bahwa Isu korupsi baru memiliki konsekuensi negatif dalam Pemilu ketika dipolitisasi dan parpol lain mengambil keuntungan dari retorika anti-korupsi selama kampanye (Andreas Bågenholm, 2009). Apatah lagi, polemik caleg mantan terpidana korupsi terlanjur menjadi isu yang membesar dalam Pemilu kali ini dan ditolak oleh moral politik publik.
Upaya-upaya menjegal tersebut di atas adalah sah sebagai manifestasi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dan hak kebebasan berekspresi yang dilindungi oleh konstitusi dalam Negara demokrasi, sebagaimana dalih mantan terpidana korupsi bahwa mereka memiliki hak politik untuk mencalonkan diri dalam pemilu yang juga dilindungi konstitusi, tanpa ada pembatasan? Wallahu a’lam bishawab.
*Tulisan ini telah dimuat di Tribun Timur – Edisi 11 September 2018 pada halaman 11